Home / Romansa / DIMADU TANPA RESTU / 6 - Ejekan Dari Wira

Share

6 - Ejekan Dari Wira

Author: NHOVIE EN
last update Last Updated: 2025-03-22 12:39:30

“Assalamu’alaikum…,” ucap Sekar dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan di depan semua anak-anak didiknya.

“Wa’alaikumussalam, Bu,” jawab mereka serentak.

Sekar tersenyum. Rasa lelah di hatinya seolah sirna di depan anak-anak didik yang sangat ia cintai. Dua puluh anak kelas tiga yang ada di hadapannya kini, tersenyum manis tanpa beban. Ia pun harus bisa mengimbangi sikap dan senyuman itu tanpa peduli hatinya yang saat ini sedang tercabik-cabik.

Detik-demi detik pun terus berlalu, hingga pagi yang cerah kini berubah menjadi sore yang cerah. Cahaya matahari yang tadinya bersinar di ufuk timur, kini mulai turun.

Sekar melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul tiga sore. Tugasnya sebagai tenaga pendidik hari ini sudah selesai. Saatnya ia pulang dan Kembali dengan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.

Namun hari ini terasa sangat berbeda. Untuk pertama kalinya Sekar enggan melangkahkan kakinya meninggalkan ruang guru. Untuk pertama kalinya ruang guru itu lebih nyaman disbanding dengan rumahnya sendiri.

“Sekar, kamu belum pulang?” tanya bu Lastri, rekan sesama guru.

“Iya, Bu. Sebentar lagi. Ini masih ada yang aku kerjakan,” ucap Sekar, lalu membalik-balik sebuah buku.

Lastri mendekat. “Sekar, kamu baik-baik sajakan? Ibu lihat hari ini kamu sedikit pucat dan mata kamu sembab. Kamu juga tidak sesemangat biasanya.”

Sekar menggeleng, berusaha mengukir senyum. “Aku baik-baik saja kok, Bu. Lagi malas saja pulang, soalnya di rumah sepi,” bohong Sekar.

“Suami kamu masih di luar kota?”

Sekar mengangguk lemah, tapi wajahnya tertunduk.

“Ya sudah, ibu duluan ya. Kalau kamu butuh teman cerita, ibu siap jadi teman cerita kamu,” ucap Lastri, mencoba menawarkan diri.

Sekar hanya membalas dengan anggukan.

Lastri pun keluar dari ruang guru itu, meninggalkan Sekar sendirian di sana.

Disaat ruangan itu benar-benar sudah sepi, Sekar pun berpikir, Buat apa aku terus-terusan di sini? Hidup terus berjalan, bukan? Jadi semuanya harus aku hadapi. Menghindar tidak akan menyelesaikan semuanya.

Sekar segera mengemasi barang-barangnya, masuk ke dalam citycar kecil miliknya dan segera meninggalkan area sekolah menuju rumahnya.

“Assalamu’alaikum…,” ucap Sekar sesampai di rumah.

Namun wanita itu tidak mendapati jawaban apa pun dari dalam.

Sekar menarik gagang pintu, dan pintu terbuka. Perlahan Sekar pun masuk ke rumahnya. Rumah itu terlihat sepi, seolah tidak ada siapa-siapa di sana.

Sekar terus berjalan menuju kamarnya. Namun sebelum kakinya melangkah masuk, matanya tertuju pada ruang makan yang memang berada tepat di samping kamarnya.

Keadaan meja makan, sama berantakannya seperti ia tinggalkan tadi pagi. Mata Sekar tertuju pada cangkir kopi yang ia siapkan untuk Wira. Ia pun mendekati cangkir itu, membuka tutupnya dan melihat isinya masih utuh. Sekar juga membuka wadah berisi sandwich yang sudah ia siapkan. Sama, masih utuh tak tersentuh.

Sekar mendesah, ia kecewa. Wira sama sekali tidak menyentuh sarapan yang sudah susah payah ia siapkan.

“Eh, mbak Sekar sudah pulang? Maaf ya, aku tidak sempat membereskan dapur. Mbak tahu sediri kalau aku sedang hamil. Jadi aku sangat lelah.”

Sebuah suara tiba-tiba saja muncul dari arah belakang Sekar.

Sekar membalik tubuhnya. “Mas Wira sarapan di mana?”

“Aku nggak tahu. Tadi dia terlambat bangun. Gimana nggak terlambat, mainnya sampai pagi gitu. Mas Wira memang punya nafsu yang tinggi. Pantas saja nggak cukup sama satu istri.” Kata-kata yang keluar dari bibir Amara seolah memanas-manasi Sekar.

Sekar tidak menjawab. Ia segera menekan Langkah menuju kamarnya.

“Mbak, aku mau makan. Tolong siapkan!” perintah Amara.

Tanpa menoleh, Sekar menjawab, “Kamu bisa siapkan sendiri. Kalau tidak bisa, kamu bisa membelinya. Ingat, aku istri pertama di sini, bukan pembantu.”

Amara mendekat. “Jadi kamu tidak mau menyiapkannya untukku? Mau aku adukan pada mas Wira? Apa kamu mau ditendang dari rumah ini?”

Sekar emosi, tapi ia berusaha mengendalikan diri. Ia memutar tubuhnya, menatap tajam wajah Amara.

“Aku lelah. Seharian aku bekerja mengajar anak-anak di sekolah dasar. Aku tidak punya waktu melayani orang yang sudah menghancurkan rumah tanggaku,” tegas Sekar. Segera ia balikkan badannya dan masuk ke dalam kamar.

Lagi-lagi, Sekar hanya bisa menangis dari balik pintu. Ingin rasanya ia membakar rumah ini agar Amara dan Wira bisa merasakan sakitnya terbakar keadaan.

Di luar, Amara berdecak kesal. Ia Kembali masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia ambil ponselnya lalu ia ketikkan sesuatu untuk Wira.

***

Pukul lima sore.

Mobil Innova hitam sudah terparkir di depan rumah Sekar. Itu adalah mobil Wira—suaminya. Biasanya, Sekar dengan senyum merona akan menunggu kepulangan sang suami. Tapi kali ini tidak, Sekar sama sekali tidak keluar kamar sejak ia pulang mengajar.

Wira turun dan masuk ke dalam rumah itu.

“Selamat sore, Mas,” ucap Amara, menyambut dengan wajah segar dan pakaian mini.

Wira tersenyum, mencium bibir wanita itu sesaat lalu menebar pandang ke sekeliling rumah.

“Sekar mana?”

“Di kamarnya. Dia tidak keluar sejak pulang kerja. Mas, kenapa sih mbak Sekar itu jahat sama aku? Kamu lihat ini.” Amara memperlihatkan siku kirinya pada Wira.

“Kenapa ini?” tanya Wira.

“Tadi aku minta tolong sama mbak Sekar buatin aku nasi goreng, karena aku memang ngidam nasi goreng buatan mbak Sekar. Kata kamu nasi goreng buatan mbak Sekar sangat enak. Tapi mbak Sekar malah marah dan melempar wajan ke arah aku. Aku mencoba mengelak tapi malah kena siku. Terus mbak Sekar juga memaksa aku membereskan dapur.” Amara menyentuh sikunya dan pura-pura meringis.

Wira berjalan mendekat ke arah kamar Sekar. Sebelum mendekati pintu kamar, ia alihkan pandangannya ke arah dapur. Kondisi dapur itu sama berantakannya seperti tadi pagi sebelum ia berangkat kerja.

“Mas, maafkan aku. Bukannya aku nggak mau beresin, tapi kamu tahu sendiri kalau aku lagi sakit, Mas. Aku ini lagi hamil muda. Tadi aku sudah coba bereskan sedikit, tiba-tiba aku pusing.” Amara memberi alasan.

Wira mendekati pintu kamar Sekar, mengetuknya pelan.

“Sekar, keluar.”

Tidak butuh waktu lama, pintu itu pun terbuka. Kini Sekar berdiri di hadapan Wira.

“Ada apa, Mas?” tanya Sekar.

“Apa benar kamu sudah melempar wajan ke tangan Amara?”

Sekar menghela napas. Ia alihkan pandangannya ke arah Amara, mengerti kalau ia baru saja dihasut oleh wanita itu.

“Sekar, jawab pertanyaanku,” tegas Wira.

“Apa kamu masih percaya sama aku, Mas?” balas Sekar.

“Sekar, aku mohon. Bisa nggak di rumah ini kita hidup dengan tenang dan damai. Kamu tahu kalau Amara sedang hamil. Dia hamil muda dan kamu tahu sendiri kalau orang hamil itu banyak pantangannya.”

Sekar hanya diam, mencoba menelaah wajah suaminya.

“Oiya, kamu mana mengerti. Kamukan tidak pernah hamil,” lanjut Wira.

DHUAR!!

Sekar merasakan hatinya disambar petir yang dahsyat saat ini. Suaminya, orang yang sangat ia cintai dan hormati, kini seakan mengejek dirinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • DIMADU TANPA RESTU   7 – Terpaksa

    Sekar masih terpana. Air matanya nyaris membanjiri wajah cantik alami itu, namun Sekar susah payah menahannya. Ia memang rapuh, tapi tidak ingin terlihat lemah di depan Wira dan Amara.“Sekar, aku lelah. Segera bereskan dapur itu dan siapkan makanan. Atau aku akan mencari makanan di luar bersama Amara.”“Kenapa mas tidak mencari pembantu saja, Mas? Bukankah mas Wira mampu menafkahi dua istri. Jadi pasti mas Wira juga mampu membayar pembantu di rumah ini,” jawab Sekar, masih dengan nada sopan.Kedua bola mata Wira menatap tajam istrinya itu. Tidak pernah selama ini Sekar melihat pandangan tajam seperti itu dari kedua mata suaminya.“Apa kamu mulai membantah perintah suamimu, ha? Kamu lupa pesan-pesan mendiang ibu?”Ibu?Ya, ibu Sekar sebelum meninggal memang banyak memberikan wejangan hidup kepada wanita itu. Wejangan-wejangan baik khususnya untuk suami.Ibu Sekar dulunya adalah pribadi yang sangat taat pada agama. Ia juga sangat taat pada suaminya. Tapi untungnya, mendiang ayahnya Seka

    Last Updated : 2025-04-03
  • DIMADU TANPA RESTU   8 – Bergelora

    “Sekar, buka pintunya!” gema suara terdengar. Suara yang sangat khas yang selama ini begitu dirindukan oleh Sekar. Namun kini pemilik suara itu balik menyakitinya.Sekar segera bangkit, menyeka air matanya dan kini berdiri di depan daun pintu. Sekar menghela napas sejenak sebelum tangan kanannya benar-benar menekan gagang pintu lalu menariknya.“Mas Wira, ada apa?” tanya Sekar.“Kamu sudah makan?” tanya Wira.Sekar menggeleng.“Ayo makan bareng.”Sekar mengangguk. Kali ini ia benar-benar tidak ingin ribut, jadi ia tidak membantah perintah Wira.Terlihat Amara menggandeng Wira dengan manja menuju meja makan.Lagi-lagi, Sekar hanya bisa menghela napas.“Silakan duduk, Mas,” ucap Amara, memundurkan sebuah kursi makan untuk Wira.“Terima kasih,” balas Wira.Amara duduk tepat di samping Wira sementara Sekar duduk di depan suaminya. Tidak ada

    Last Updated : 2025-04-07
  • DIMADU TANPA RESTU   9 – Tuduhan Baru

    “Malam ini aku ingin bersama Sekar,” ucap Wira.Amara tidak senang, namun ia berusaha sembunyikan perasaan itu dari Wira.“Tentu saja, Mas. Bukankah Sekar adalah istri pertama kamu dan wajar saja kalau kamu juga menginginkannya. Aku tidak keberatan,” balas Amara.Wira keluar dari kamar. Langkah kakinya membawanya ke ruang dapur, di mana saat ini Sekar sedang membereskan bekas makanan dirinya dan Amara. Sementara Sekar? Ia tidak makan malam sama sekali.Diam-diam, Amara mengintip aktivitas suaminya dengan Sekar di ruang dapur. Ada yang membara di hatinya. Terlebih ketika melihat Wira memperlakukan Sekar dengan sangat lembut.Melihat Wira mencumbu Sekar dengan penuh nafsu, Amara pun tidak tahan. Ia tidak ingin membiarkan Sekar menikmati malam ini dengan Wira. Bagaimanapun juga, ia harus menguasai hati, jiwa, tubuh dan harta Wira. Itulah tujuan utamanya.“AUCH!!” Amara berteriak. Kakinya memijak pecahan kaca yang sudah ia siapkan sendiri hingga berdarah.Suara teriakan itu seketika membua

    Last Updated : 2025-04-07
  • DIMADU TANPA RESTU   10 – Kedatangan Yang Mendadak

    Pukul sepuluh pagi, di kediaman Sekar.Sebuah mobil minibus berhenti perlahan di halaman rumah sederhana itu. Dari dalamnya turun sepasang paruh baya—berpakaian rapi dan membawa sebuah bungkusan kecil. Wajah mereka tampak cerah, menyimpan senyum lebar seolah membawa kabar bahagia. Mereka berjalan perlahan menuju pintu rumah, langkah mereka penuh semangat.Sementara itu, Sekar baru saja kembali dari halaman belakang. Di tangannya tergenggam sebuah gembor kosong yang hendak ia isi ulang, karena belum semua tanaman yang ia siram.Saat pandangannya jatuh pada sepasang paruh baya yang sangat ia kenali itu, Sekar langsung menghentikan langkah. Ia meletakkan gembor di pinggir teras dan segera berjalan cepat menghampiri mereka.“Ibu, Bapak, kenapa nggak ngabarin dulu kalau mau datang?” sapanya dengan suara penuh kehangatan, seraya mengulurkan tangan. Ia menyalami keduanya dengan takzim dan penuh hormat.“Kamu apa kabar, Nduk?” sang Ibu membuka suara, masih dengan senyum lebar. “Ibu dan Bapak

    Last Updated : 2025-04-08
  • DIMADU TANPA RESTU   11 – Ketahuan Juga

    Wira duduk di kursi samping ayahnya. Matanya tak henti melirik ke arah kamar tempat Amara bersembunyi. Gelas teh yang sejak tadi ia pegang sudah dingin, tapi belum juga disentuh. Di hadapannya, Sekar duduk berseberangan, pura-pura sibuk menyusun camilan di meja. Ia menyadari kegelisahan suaminya, namun memilih bungkam. Ia tahu, badai bisa datang sewaktu-waktu.“Ibu lihat kamu kok agak aneh, Wira?” tanya sang Ibu tiba-tiba, memecah keheningan yang menggantung di udara.Refleks, Wira menegakkan punggung. “Aneh gimana, Bu?”“Kelihatan tegang. Biasanya kalau kami datang, kamu santai. Tapi ini dari tadi kayak orang ketakutan.”Wira terkekeh kecil, meski terasa kaku. “Wira cuma kaget aja, Bu. Nggak nyangka Bapak dan Ibu datang mendadak. Padahal akhir pekan ini rencananya Wira mau beresin beberapa kerjaan.”“Kerjaan bisa diatur, Wira. Tapi keluarga itu tetap nomor satu,” ujar sang Ayah dengan nada lembut, sembari menepuk bahu anaknya.Sekar berdiri dengan senyum canggung. “Sekar ambilkan bua

    Last Updated : 2025-04-10
  • DIMADU TANPA RESTU   12 – Kemarahan Suryo

    Sekar masih terpaku di sudut kamarnya. Matanya menatap kosong ke dinding, tubuhnya terasa berat untuk sekadar berdiri. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan kedua orang tua Wira di ruang tamu. Namun yang pasti, hatinya semakin rapuh, nyaris tak mampu menanggung beban kenyataan yang menghimpit.Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Jantung Sekar berdetak kencang, menimbulkan dentuman cemas di dadanya. Ia enggan beranjak, tapi suara ketukan kembali terdengar, kali ini disertai dengan suara yang ia kenali: Dian, ibunda Wira.Dengan langkah pelan dan berat, Sekar mendekat. Ia menarik engsel pengunci pintu, lalu memutar gagangnya perlahan hingga pintu terbuka.“Ibu ingin bicara,” ucap Dian tanpa basa-basi.Sekar mengangguk, memberikan jalan agar wanita paruh baya itu bisa masuk ke dalam kamarnya.“Silakan duduk, Bu,” katanya pelan, seraya menarik sebuah kursi kayu mendekati ranjang.Dian duduk di kursi, sementara Sekar memilih duduk di tepi ranjang, menjaga jarak yang tetap terasa meny

    Last Updated : 2025-04-11
  • DIMADU TANPA RESTU   13 – Tersudut

    Malam ini terasa asing. Ruang makan yang dulu penuh kehangatan, kini dingin sedingin es. Baru kali ini Sekar duduk di meja makan yang sama dengan Wira dan Amara. Bahkan Dian dan Suryo pun ada di sana. Atmosfernya kaku, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—tajam, menusuk.Makanan tersaji di atas meja, aromanya menggoda. Siapa lagi yang memasak kalau bukan Sekar?Ya, selain karena tanggung jawabnya sebagai istri, Sekar memang jago masak. Tidak pernah sekalipun Wira mengeluh soal masakannya. Apa pun yang ia buat, selalu cocok di lidah Wira. Selalu.“Tunggu apa lagi? Ayo makan,” ucap Suryo memecah keheningan yang mencekam.Sekar yang sedari tadi termenung, tersentak. Ia duduk di samping Wira, mengambil piring, dan seperti biasa menuang nasi secukupnya lalu menyerahkannya kepada suaminya. Gerakan yang telah ia lakukan ratusan kali selama bertahun-tahun. Dian pun melakukan hal serupa untuk Suryo.Sementara Amara? Ia terlihat canggung, seperti orang yang salah kostum di pesta resmi.

    Last Updated : 2025-04-12
  • DIMADU TANPA RESTU   14 – Keinginan Sekar

    Usai mencuci piring, Amara meninggalkan dapur dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah ringan. Namun, langkah itu terhenti seketika saat suara Dian memanggilnya dari ruang keluarga.“Amara, ke sini. Kami ingin bicara,” ucap Dian, tegas namun masih terdengar tenang.Amara menoleh, menahan napas sejenak, lalu melangkah mendekati Dian, Suryo, Sekar, dan Wira yang telah menunggunya di ruang keluarga. Suasana di ruangan itu terasa berat, seperti ada kabut tak kasatmata yang membebani udara.“Ada apa, Bu?” tanyanya ramah, meski sorot matanya menyiratkan kewaspadaan.“Duduk. Kami ingin berbicara baik-baik,” balas Dian.Tanpa banyak komentar, Amara menuruti. Ia duduk bersimpuh di atas karpet tebal yang empuk, bergabung dengan yang lain. Tatapan Wira sesekali mencuri pandang ke arah Sekar, lalu kembali menatap Amara dengan gelisah.“Amara, kamu tahu kalau rumah ini adalah milik Sekar,” Suryo memulai pembicaraan dengan nada datar namun tajam.Amara mengangguk lemah, menunduk dalam.“Rumah in

    Last Updated : 2025-04-12

Latest chapter

  • DIMADU TANPA RESTU   28 – Kebohongan Amara Terbongkar

    Jam istirahat siang ini, Sekar tampak sibuk di depan laptopnya. Ia duduk tegak di meja kerja, pandangannya fokus ke layar yang memantulkan cahaya biru samar ke wajahnya. Tangan kanannya menggerakkan mouse, sementara tangan kirinya menopang dagu. Di layar itu, ia tengah memantau pesan-pesan dari ponsel Amara yang sudah berhasil ia sadap.Dengan seksama, Sekar membaca satu per satu isi chat. Ia mencari bukti—apapun yang bisa mengonfirmasi dugaannya tentang kehamilan Amara, juga ke mana saja wanita itu pergi selama Wira tidak berada di rumah.“Sekar, kamu kelihatan serius sekali,” sapa sebuah suara lembut dari belakang.Sekar tersentak. Dengan gerakan cepat, ia meminimalkan jendela sadapan dan membuka file presentasi sebagai kamuflase.“Eh, Bu Aisyah! Iya, saya sedang memeriksa laporan beberapa siswa,” jawab Sekar dengan senyum yang dipaksakan.“Maaf kalau mengganggu. Aku cuma khawatir, kamu akhir-akhir ini terlihat berbeda. Tapi ya sudah, aku lanjut ngajar dulu, ya.” Aisyah tersenyum han

  • DIMADU TANPA RESTU   27 – Menyadap Hanphone Amara

    Amara memijat pelipisnya yang mulai terasa berat. Ia menguap lebar, terlihat sangat mengantuk.“Ada apa, Amara? Kamu baik-baik saja?” tanya Sekar sambil memerhatikan wajah pucat adik tirinya itu.Amara berusaha mengusir kantuk yang menyerang. “Entahlah. Kenapa aku tiba-tiba ngantuk banget, ya?”“Kamu begadang semalam? Kalau memang lelah, istirahat saja dulu. Aku nggak masalah kok merayakan ulang tahun sendirian,” ucap Sekar mencoba tersenyum, meski senyum itu terasa getir bagi dirinya sendiri.Amara mengangguk lemah. Ia mencoba berdiri dan berjalan menuju kamarnya, namun langkahnya terlihat limbung, seperti orang mabuk.“Kamu kelihatan nggak sehat. Mau aku antar ke rumah sakit?” tawar Sekar, memasang raut khawatir yang nyaris sempurna.Amara menggeleng pelan. “Enggak, cuma lelah dan ngantuk.”Setelah tiba di kamarnya, Amara langsung merebahkan diri di atas ranjang. Sekar berdiri mematung di depan pintu kamar selama beberapa menit, memastikan bahwa Amara benar-benar terlelap.Begitu na

  • DIMADU TANPA RESTU   26 – Masih Curiga

    Sekar tersenyum ramah saat Wira dan Amara akhirnya pulang. Mereka cukup lama di luar, sebab jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore. Padahal Sekar sendiri sudah berada di rumah sejak sebelum pukul empat, usai menyelesaikan tugas mengajarnya.“Bagaimana hasilnya, Mas? Bayinya sehat-sehat saja?” tanya Sekar, membuka obrolan. Sebenarnya, bukan kesehatan bayi yang ingin ia ketahui—melainkan kepastian apakah Amara benar-benar hamil atau hanya pura-pura.“Kami nggak jadi ke dokter,” jawab Wira datar. Wajahnya tampak lelah. Ia menjatuhkan diri ke sofa dengan gerakan kasar, memperlihatkan keletihan yang menumpuk. “Bisa tolong buatkan aku kopi?”Sekar mengangguk pelan, meski keningnya sedikit berkerut. Tanpa bertanya lagi, ia langsung ke dapur untuk membuatkan kopi panas. Begitu kopi siap, Sekar menyajikannya di meja, tepat di depan Wira."Maaf, Mas. Boleh aku tahu, kenapa kalian nggak jadi ke dokter?" tanyanya, nada suaranya terdengar hati-hati tapi jelas menyimpan kecurigaan.“Tadi, di

  • DIMADU TANPA RESTU   25 – Menemukan Alasan

    Pagi itu, Wira tampak berseri-seri. Ia berdiri di depan mobil dengan senyum lebar, menanti Amara yang bersiap di ambang pintu. Di benaknya sudah tergambar jelas hasil USG calon anak mereka nanti—gambar kecil janin yang sehat dan berkembang sempurna.“Ayo masuk, Sayang,” ucapnya seraya membukakan pintu mobil.Amara tersenyum tipis. Senyuman yang seolah dipaksakan. Keningnya berkerut, jelas menunjukkan pikirannya tengah berputar, mencari celah untuk bisa menghindar dari pemeriksaan dokter hari ini.Begitu memastikan semuanya siap, Wira pun melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah, menuju salah satu klinik kandungan.“Gimana perasaan kamu sekarang? Ada keluhan?” tanya Wira, memecah keheningan di dalam mobil.Amara menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Mas.”“Syukurlah… Semoga pemeriksaan hari ini berjalan lancar. Aku cuma ingin memastikan kamu dan calon anak kita sehat dan berkembang

  • DIMADU TANPA RESTU   24 – Kegelisahan Amara

    Amara terlihat begitu bahagia. Sejak Wira pulang dari Surabaya, wanita itu tak pernah melepaskan diri dari dekapan sang suami. Ia memonopoli kebersamaan mereka, duduk lengket di sisi Wira di ruang makan—seolah tak ingin membiarkan satu detik pun berlalu tanpa kehadirannya.Sementara itu, Sekar hanya bisa menahan perih. Duduk di seberang meja, memandangi adegan yang menghujam hatinya seperti sembilu.Mereka mulai makan malam. Berkali-kali Amara memuji masakan Sekar, mencoba menarik perhatian Wira, bersikap seolah ia sangat menghargai kakak madunya itu.Sekar hanya tersenyum kecil, dingin dan kaku. Tidak ada lagi kehangatan di balik senyumnya.“Mas,” ucap Sekar pelan, membuka pembicaraan yang lebih serius. “Aku perhatikan selama ini Amara belum pernah memeriksakan dirinya ke dokter atau bidan. Memangnya Mas nggak penasaran dengan perkembangan janinnya?”Wira yang sedang menyuap nasi terakhirnya, tiba-tiba berhenti. Tatap

  • DIMADU TANPA RESTU   23 – Cairan Dosa

    Cahaya temaram menyelimuti kamar sebuah apartemen yang terletak di sudut kota. Lampu gantung berpendar redup, menyisakan bayangan samar di dinding. Di atas ranjang, dua tubuh saling menyatu dalam irama yang menggoda dosa—seorang wanita bersuami, dan seorang pria yang terikat janji suci dengan wanita lain.Mereka tak peduli pada sumpah pernikahan. Tak memikirkan luka yang akan tercipta. Dunia seolah terhenti di ruangan itu. Yang mereka tahu, hanya kenikmatan sesaat yang membakar.Rambut panjang sang wanita tergerai indah, menyapu wajah pria di bawahnya. Pinggang ramping itu meliuk gemulai, menghujam pelan namun pasti, menciptakan gelombang sensasi yang membuat tubuh keduanya bergetar dalam kehangatan yang terlarang.Desah lirih memenuhi ruangan. Ciuman demi ciuman berpindah tempat, berirama seperti denting jam yang kini tak terdengar. Dua lidah saling menjelajah, menari dalam kecupan yang tak mengenal malu.Amara, si wanita, terus bergerak. Seperti ucapannya lewat telepon tadi—bahwa ia

  • DIMADU TANPA RESTU   22 – Fakta Baru

    Sejak kepergian Wira ke luar kota, Sekar mulai mencium gelagat aneh dari Amara. Tidak sekalipun ia melihat wanita itu mual, muntah, atau merasa pusing. Amara terlihat sehat, bugar, bahkan terlalu ceria untuk ukuran seorang perempuan yang katanya sedang mengandung. Ia kerap pergi keluar rumah, makan sembarangan, bahkan minum minuman bersoda—kebiasaan yang jelas-jelas tidak baik untuk wanita hamil.Awalnya, Sekar berusaha cuek. Ia memilih untuk tidak ambil pusing. Namun, bisikan-bisikan dari para tetangga yang mulai berdatangan secara perlahan membuatnya gelisah. Kebisingan yang biasanya ia anggap sebagai angin lalu, kini terasa seperti pisau yang menusuk dari segala arah.“Jadi benar ya, kalau Wira menikah lagi?” tanya seorang wanita paruh baya, tetangganya yang rumahnya hanya berjarak satu pintu dari rumah Sekar.Sekar yang sedang memilih sayuran di depan gerobak tukang sayur hanya diam. Pertanyaan itu membuatnya merasa risih, dadanya seketika

  • DIMADU TANPA RESTU   21 – Masakan Aneh

    “Ada apa, Mas?” tanya Sekar dengan nada datar, namun sorot matanya mengandung letih yang sulit disembunyikan.“Sekar, sudah aku bilang dari awal. Tolong jaga Amara dan kandungannya selama aku nggak ada. Tapi kenapa kamu malah terus membuat masalah? Kenapa kamu melempar Amara dengan kain basah?” Suara Wira meninggi, sarat emosi dan kekecewaan.Sekar menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak dalam dadanya. “Apa Mas masih punya sedikit saja rasa percaya padaku?”“Jangan berusaha membela diri, Sekar,” balas Wira tegas, dingin.Sekar terdiam, akhirnya menyerah pada keadaan. “Sekarang, Mas mau aku apa?” Nada suaranya melemah. Ia tidak ingin memperpanjang keributan.“Buatkan makan untuk Amara,” perintah Wira.“Baiklah,” ucap Sekar lirih.“Dan berikan kembali ponselnya.”Tanpa sepatah kata, Sekar menyodorkan ponsel Amara lalu melangkah ke dapur dengan kepala tertunduk.Sementara itu, Amara menyeringai sinis, penuh kemenangan. Ia masih melanjutkan obrolannya dengan Wira dengan nada manja y

  • DIMADU TANPA RESTU   20 – Mabuk

    Pukul sebelas malam.Meski bibirnya berkali-kali berkata bahwa ia tak peduli pada Amara, hati Sekar justru menunjukkan hal sebaliknya. Gelisah menyelimuti dirinya. Ia terus mondar-mandir di ruang keluarga, beberapa kali menoleh ke arah pintu sambil melirik jam dinding besar yang tergantung di sana.Kemana wanita itu? batinnya gelisah.Ponsel yang sempat retak karena ulah Amara kini sudah diperbaiki. Sekar telah membawanya ke pusat servis, memperbaiki semua kerusakan meski hatinya masih terasa remuk.Ia berusaha keras menahan diri untuk tidak memberitahu Wira, tapi setiap detik yang berlalu semakin menghantam kegelisahannya. Jarum panjang jam seolah bergerak lambat, menyiksa.Tepat pukul sebelas malam, Sekar tak sanggup lagi. Ia menekan nomor Wira.“Ada apa, Sekar?” suara berat suaminya terdengar dari seberang.“Mas, apa Amara menghubungimu?” tanya Sekar ragu.“Tidak. Memangnya kenapa?”Sekar menarik napas panjang. Kata-kata berputar di benaknya, tak tahu harus mulai dari mana.“Ada ap

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status