Bagian 145 Jalan Tengah Fahmi beserta ibu dan adiknya berjalan kaki menuju pasar untuk mencari mesin jahit. Namun, ketika belum sampai di tujuan, ada sebuah mobil berhenti di depan mereka. Pintu mobil itu bergeser ke arah samping. Seorang laki-laki dengan badan besar muncul dan menarik paksa Naina yang membawa bayi beserta putranya. Kemudian mobil berjalan cepat menuju satu tempat yang begitu sunyi dan senyap. Jauh dari keramaian dan tidak ada satu orang pun yang bisa dimintakan tolong. “Kau yakin peritahnya hanya untuk membuang mereka saja? Tidak perlu dibunuh?” tanya lelaki yang melempar ketiganya di padang pasir pada supir. “Yakin, kalau dibunuh malah jadi masalah besar nanti. Yang penting mereka sudah pergi. Cepat, tinggalkan tempat ini.” Mobil itu kemudian pergi. Tinggalah mereka bertiga di sana tanpa arah dan tujuan. “Ya Allah, ini di mana, dan siapa mereka tadi?” Naina menenangkan Rahmah yang terus saja menangis. Cukup lama mereka di dalam mobil dan tak ingat pula ke mana
Bagian 146 Menerima Nasab “Apa? Gubernur Asad ingin melamarku?” tanya Maira pada ayahnya. Mereka baru selesai makan malam bersama dan sudah waktunya menjelaskan hasil perbincangan di telepon tadi sore. “Iya, kau tak salah dengar, Nak. Mereka memiliki seorang putra, dan mereka rasa cocok untuk menjadi suamimu,” ujar Ali dengan jantung berdebar luar biasa. Di ruang tamu hanya tinggal ia dan Maira saja, detik-detik kejujuran yang menyakitkan hati. Kejahatan belasan tahun silam yang meninggalkan jejak berupa seorang gadis bermata biru. “Tapi, rasanya aneh sekali. Mengapa tak mencari wanita lain seperti guru, dokter, atau anak ulama dan mungkin saja anak gubernur lainnya. Bukankah dengan yang demikian jauh lebih sekufu.” Maira berpikir ada yang aneh. Rasanya tidak masuk akal jika keluarga Asad ingin meminangnya. Sedangkan ia pernah membuat keributan kecil di dalam istana sang gubernur. Tatapan Nyonya Heba saja sudah jelas tak menyukainya. “Tak selamanya sekufu selalu menjadi ukuran d
Bagian 147 Putra Gubernur “Benarkah Maira tak marah pada kita?” tanya Gu pada Ali yang menjelaskan hasil pembicaraan tadi pagi pada dirinya. Sepasang suami istri itu sedang menyiapkan kudapan untuk acara sore nanti. Sudah biasa mereka berdua mengerjakan pekerjaan rumah bersama-sama. “Benar. Ekspresinya pun biasa-biasa saja. Dia terlihat menarik napas lega,” ucap Ali. “Yang benar? Jangan-jangan di belakang kita dia menangis lagi.” Gu tahu sebab wanita di depan orang yang dicintai berkata baik-baik saja, padahal hatinya sudah hancur luar biasa. “Itu aku tidak tahu. Yang paling penting dia sudah memaafkan kita. Bahkan tak ingin tahu apa pun masa lalu kita. Aku sedikit lega.” “Ya, alhamdulillah kalau begitu. Hanya tinggal lamaran saja nanti sore. Semoga pihak keluarga laki-laki menerima, dan kalau tidak menerima mereka bisa menjaga aib kita. Tak terbayangkan kalau mereka mengumbarnya ke sana kemari.” Gu memotong-motong ayam untuk diberi tepung. Ali hanya diam tak mau menanggapi lagi
Bagian 148 Firasat Orang Tua Kurang dari sebulan setelah lamaran, pesta pernikahan pun digelar sangat meriah. Sebelumnya akad nikah hanya untuk pihak keluarga inti saja. Hakim Harun menjadi wali untuk Humaira binti Gulaisha Amira. Ali tak kuasa menahan air mata. Gadis yang sejak usia empat tahun tumbuh besar bersamanya, kini telah menjadi milik orang lain yang lebih berhak, yaitu suaminya. Maira pun demikian, ia tak sanggup menahan air matanya lagi ketika harus berjauhan dari rumah, terutama ayahnya, sosok lelaki yang selalu ada untuknya. Gu jadi ikut menangis, melihat keharuan ayah dan anak itu. Namun, anak perempuan memang harus meninggalkan rumah. Ia telah menjadi tanggung jawab baru bagi seorang suami. Nyonya Heba berdandan sangat mewah hari itu. Perhiasan yang seharusnya tertutup oleh kerudung lebar ia keluarkan. Cincin berlian yang ia kenakan sampai dua, gelang yang sengaja keluar dari lengan baju dan bros berwarna kuning keemasan yang membuat mata Naima silau memandangnya.
Bagian 149 Sarang Ular BerbisaHeba iri dengan mahar yang diberikan Amran untuk istrinya. Tak tanggung-tanggun sebuah jeep warna hitam mengilat kini sudah menjadi hak milik Maira. Sebab istri pertama Asad itu bahkan sampai sekarang satu mobil dibagi dua pula dengan Gia. Bagaimana mungkin seorang Maira yang baru saja masuk bisa mendapatkan fasilitas sedemikian mewah, bahkan Amran saja belum pernah memberikan barang mahal untuknya. Seharusnya ia berbakti dulu pada ibunya, baru menyayangi istrinya.“Kau tidak ada rencanakah untuk memberikanku mobil baru?” tanya Heba pada suaminya. Semua sudah kembali ke kamar masing-masing. Asad lebih banyak menghabiskan malam dengan istri pertamanya. Mengingat usianya sudah tak lagi muda sebenarnya untuk menikahi Gia yang bahkan umurnya di bawah Naima. “Untuk apa, Heba Sayang. Apa mobil pintu geser ke samping itu kurang untukmu?” “Mobil itu bukan hanya untukku, kan? Tapi untuk istri mudamu iya juga,” gerutu ibu Amran. “Iya, tapi, kan, yang lebih ban
Bagian 150 Salah Tujuan “Kupikir menikah bukanlah hal yang sulit. Ternyata sangat sulit untuk dikerjakan,” keluh Maira di dalam kamar hotelnya. Suaminya sosok yang semuanya terlalu ingin terlihat mewah. Bahkan hotel tempat mereka menginap saja tidak tanggung-tanggung yang dipesan. Amran juga ingin menyampaian keinginannya untuk liburan ke luar negeri. Namun, untuk yang satu itu Maira menolak dengan tegas. Bagaimana mungkin bisa liburan sementara sudah satu minggu pekerjaan mereka hanya jalan-jalan saja. Amran tertawa puas setiap hari, sedangkan polisi wanita itu tersenyum dengan penuh kepalusan. Tidak hanya sampai di sana saja, putra Heba itu juga menyita ponsel istrinya selama bulan madu. Katanya supaya tidak ada yang mengganggu. Pertanyaannya, diganggu dalam hal apa? Menghubungi keluarga Maira terutama Ali apakah termasuk unsur yang mengganggu? “Hah, pusing kepalaku. Rasanya biarlah aku menangkap penjahat daripada terjebak dengan anak manja ini.” Putri Ali memasang senyum palsu
Bagian 151 Bujuk Rayu Ola datang menemui Nyonya Heba di pagi hari. Setelah dua minggu Maira menikah ia tak sabar ingin menagih janji istri gubernur itu untuk menempatkan dirinya di dalam rumah. Terserah walau jadi yang kedua pun tak apa. Ola berjanji tidak akan menuntut banyak dari Maira. Lagi pula mereka dahulu bersahabat, ia yakin pasti Maira akan menerima kehadiran dirinya. Menghamba gadis asal Mesir itu layaknya pengemis cinta. Heba sampai risih dibuatnya.“Kau ini, sabar dulu! Baru juga dua minggu putraku menikah sudah mau kau masuk dalam rumah tangganya. Bisa mengamuk Maira nanti di rumah ini.” Sang nyonya utama sudah mulai mengenal watak menantunya, meski demikian ia tetap tak mau mengalah. Perempuan tak bernasab adalah hinaan yang paling sering Heba lontarkan. “Lalu harus berapa lama aku menunggu, Nyonya. Engkau sudah berjanji padaku?” bujuk Ola tak menyerah. Padahal Amran belum pernah bertemu dengan dirinya. “Tunggulah paling tidak dua atau satu tahunlah paling cepat. Nan
Bagian 152 Rumah Tempat Pulang Maira meninggalkan Amran sendirian di proyek. Bukan tugasnya sebagai polisi untuk mengawasi hal-hal seperti itu. Tak peduli ia walau ada izin dari suaminya atau tidak. Semua perkataan Amran bagai angin lewat saja di telinganya. Kehidupan pernikahan yang tidak sehat, karena sudah salah niat dari awal. Putri pertama Ali itu mulai berjalan dan mencoba mencari Fahmi serta Naina. Dengan berbekal foto usang ia bertanya pada orang-orang di pasar yang keadaanya tidak jauh berbeda miskinnya. Tidak tahu, tidak kenal, atau sudah lama tidak terlihat begitulah reaksi orang-orang ketika Maira mencari seseorang. Memang keberadaan Fahmi serta Naina di sana seperti satu dari jutaan pasir di pantai. Tak menyerah, wanita bermata biru itu masih saja berjalan. Hingga ia berpapasan dengan dua orang yang membuang Fahmi di tengah padang pasir. Mereka berdua pernah berurusan dengan Maira saat membagikan paket makanan. Dua lelaki tersebut membenci gaya kepemimpinan wanita itu
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast