Beranda / Romansa / DIKEJAR DUDA KEREN / KESALAHAN YANG TIDAK DILAKUKAN

Share

KESALAHAN YANG TIDAK DILAKUKAN

Penulis: Bastiankers
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-15 09:29:50

“Datang, kok. Jena akan datang dengan saya.” Suara bariton itu keluar dari laki-laki yang tengah berdiri dan meletakkan satu tangannya di meja, sedang tangan yang lainnya memegangi kursi Jena. 

Jena mengangkat wajahnya. Menatap sekilas pada Brian yang menyunggingkan seulas senyum padanya. Sebelum akhirnya kembali menatap Aran yang memicingkan matanya. “Kalian punya hubungan?”

Mulut Jena penuh, dia mencoba berbicara, namun artikulasinya kurang jelas. “Gangbnhdnnjnga.” Kurang lebih begitulah yang didengar Aran.

Aran dan Jena tertegun beberapa saat ketika tangan Brian mengelus puncak kepala Jena. “Makan yang benar dulu dong, Sayang …” Dan kejadian itu membuat hawa kantin menjadi lebih panas. Terbukti saat Aran melonggarkan sedikit dasinya dan mengibaskan kemejanya. 

Jena dapat melihat dengan jelas raut wajah Aran yang tampak jengah dan muak. Mungkin Jena akan merutuki Brian karena memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’. 

Tapi, ketika melihat reaksi Aran seperti itu, Jena sepertinya akan sujud syukur pada Brian selama seminggu. Tangan Jena mengambil segelas air, meminumnya hingga setengah. Saat mulutnya hendak berbicara, Aran terlebih dulu bangkit dan meninggalkan kantin.

“Poor … Aran.”

Bola mata Jena berputar. Dia sudah menyelesaikan makannya dan bangkit menghadap Brian. Ingin sekali dia menampar mulut yang baru saja mengejek Aran. “Kamu ngapain, sih?”

“Kamu harusnya berterimakasih karena aku sudah menolong kamu,”sahut Brian. Dia menyisir rambutnya dengan jemari. Tampak tidak memperdulikan tatapan Jena yang setajam silet itu.

Jena berdecak. “Nggak. Aku nggak bakalan berterimakasih untuk orang yang suka ikut campur tanpa diminta. Ngerti?”

Brian memasukkan satu tangannya di saku celana, satu tangan lainnya masih memegang kursi yang diduduki Jena tadi. Dia mengangguk lemah, “Ngerti, Sayang …”

Jawaban itu membuat Jena menampar lengannya, “Nggak waras!” Dan Brian hanya tertawa-tawa melihat sosok itu sudah berjalan melewatinya. 

Dari arah pintu tampak Mbak Nurul menghentikan langkahnya dan melongokkan wajahnya, “Je, sepuluh menit lagi meeting. Pak Mungga minta data-data soal iklan dan media sosial yang minggu kemarin.” Setelahnya, Mbak Nurul berlalu setelah tersenyum pada Brian. 

Embusan nafas Jena terdengar panjang dan lelah. Dia baru saja makan di jam empat sore dan akan melaksanakan rapat yang kira-kira membutuhkan waktu lama. Padahal Jena sudah berpikir akan pulang tepat waktu. Namun, sepertinya itu hanyalah angan-angannya saja.

Seseorang memegangi kedua pundaknya dari belakang. Memijat pelan, lalu, “Ayo, semangat-semangat! Ayo, dong. Sayang?”

“Ish! Berisik!” Jena berbalik dan memukul perut milik lelaki itu, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Brian yang kembali menertawainya.

Langkah Jena terayun melewati koridor. Juga, melewati beberapa partisi. Dia sempat melihat Aran yang tampak sibuk menelepon seseorang. 

Langkah Jena terasa lebih berat saat melihat sosok itu. Empat tahun yang mereka jalani bukan waktu singkat. Mereka sudah menghabiskan waktu bersama dan melakukan pertemuan keluarga.

Meski Jena akui bahwa memang benar Aran tidak pernah berniat untuk membicarakan soal pertunangan, atau yang lebih ekstrim, yaitu pernikahan. Dia tidak melakukannya. Sedang dengan Sasha, lelaki itu langsung berpikir untuk serius.

Apa Jena memang tidak menjadi pilihan untuk dijadikan seorang istri? Apakah Jena seburuk itu? Jena menghembuskan nafas gusar.

Dia baru saja memasuki partisinya, langkahnya terayun cepat menuju kubikelnya. Mengambil laptop dan—tangan Jena meraba-raba dalam laci. Matanya berpendar mencari sebuah benda kecil yang sudah dia siapkan jauh-jauh hari.

“Je? Yuk! Pak Mungga belum datang tuh.” Suara Mbak Nurul terdengar seiring langkahnya mendekati kubikel Jena. Kernyitan di keningnya muncul saat melihat Jena mengobrak-abrik isi mejanya. “Je? Nyariin apa, sih?”

“Flashdisk, Mbak! Seingat gue letakin di samping laptop. Atau nggak … ya laci. Tapi, sekarang nggak ada,” ucap Jena. Wajahnya tampak putus asa sekali.

“Serius?” Mbak Nurul ikut mencari setiap sudut meja Jena. Dan benar, benda kecil itu tidak ada di sana. Keduanya berpandangan. Tampak ketegangan di sana.

“Tapi, di laptop Lo ada, kan?” Mbak Nurul menunjuk laptop yang berada di atas meja. 

Jena mengangguk lemah, “Ada, kok. Cuma nggak se-detail yang di flashdisk.”jawab Jena. Tangannya mengusap wajahnya gusar. 

“Nggak apa-apa. Yang penting ada draft mentahnya. Yuk!” Mbak Nurul berjalan terlebih dulu. Dan Jena mengikutinya dari belakang dengan energi yang benar-benar habis.

Seiring langkah berjalan, semakin bertambah degup jantung Jena. Dia sempat berpapasan dengan Aran yang menatapnya dari balik partisi. Namun, Jena memutuskan kontak mata terlebih dulu.

Langkahnya terayun di koridor dengan ketukan Stiletto yang khas. Sempat menghentikan langkah dengan wajah memelas. Namun, tidak mungkin dia tidak menghadiri metting penting ini.

Jadi, Jena memutuskan untuk tetap menghadiri meeting meski keadaannya hari ini semakin buruk. Terlepas dari apa yang menimpa hubungan percintaannya.

Tangan Jena terulur, membuka pintu kaca dan segera masuk. Untung saja Pak Mungga belum datang. Jadi, Jena bisa duduk dengan tenang dan akan memeriksa file yang ada di laptopnya.

Namun, sepertinya keberuntungan tidak berpihak pada Jena. Pak Mungga baru saja datang dan langsung duduk di kursinya. Matanya berpendar melihat pada divisinya yang sudah lengkap. 

“Baik. Kita langsung saja, ya?” Pak Mungga berdiri dan langsung menyalakan proyektor setelah menghubungkan dengan laptopnya. “Begini. Saya sudah menemui beberapa owner dan sudah berdiskusi dengan pihak manajemen tentang produk yang akan dirilis nanti.” Lalu, “Yang minggu kemarin saya suruh bikin draft iklan dan media sosialnya? Ada?” Tatapnya berpendar pada mereka yang duduk dengan raut wajah tegang.

Mbak Nurul menyenggol lengan Jena, “Ada kok, Pak.” Lalu, dia berbisik, “Je, sana kasih.” Padahal seandainya Mbak Nurul melihat wajah Jena yang sudah pucat, dia pasti akan mengulur waktu.

Semua memandangi Jena yang sangat lamban. Dia berdiri dan berjalan menghampiri Pak Mungga. Meletakkan laptopnya di dekat Pak Mungga. Tangannya segera mengotak-atik isi laptopnya. Mencari laporan yang sudah dia sediakan.

Kosong.

Jena tidak kehabisan akal. Dia terus mencari dan membuka beberapa file meski tangannya sudah gemetar. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri di samping Pak Mungga.

“Mana? Kok lama banget?” Pak Mungga ikut melihat isi laptop Jena. Kernyitan di dahinya mendalam saat melihat isi laptop Jena yang sama sekali tidak tersimpan file-file apapun di dalamnya. “Belum kamu kerjakan?”

Sontak Jena menggeleng, “Sudah, Pak. Saya sudah kerjakan. Sudah saya salin juga ke flashdisk. Saya yakin kok, Pak. Saya nggak bohong. File nya nggak mungkin saya hapus.” Tangan Jena masih bergerak di atas kursor.

“Mana flashdisk nya?” Dan saat pertanyaan itu meluncur. Tubuh Jena membeku. Dia mendongak dan menatap pada Mbak Nurul yang menatapnya dengan tatapan penuh tanya.

“Hilang, Pak.” Suara Jena merendah. Dia hampir kehabisan suara saat mengatakannya. 

Pak Mungga berdecak sebal. Sore itu dihabiskan setelah melalui berbagai kritikan pedas dan sesekali makian yang ditujukan pada Jena. Jena benar-benar hanya terdiam dengan penuh penyesalan. 

Setelah Pak Mungga memutuskan untuk keluar ruangan. Beberapa orang sudah menghambur untuk segera keluar ruangan juga. Dan, ada beberapa menghampiri Jena. Mengusap lengannya. Mencoba menenangkan Jena yang pucat pasi.

“Nggak apa-apa kok, Je. Pak Mungga emang gitu. Kamu nggak perlu masukin ke dalam hati. Ya?”ucap Dian, lalu pergi meninggalkan Jena yang masih terdiam.

Mbak Nurul menghela nafas panjang. Dia menghampiri Jena setelah menjinjing tas laptopnya. “Je, kenapa nggak bilang? Kalau tahu tadi, aku bisa ngulur waktu dan nyari flashdisk kamu yang mungkin keselip atau jatuh.” Helaan nafasnya terdengar lagi, “Tapi, nggak apa-apa. Jadikan ini pelajaran aja buat kamu. Biar kamu lebih aware. Oke?”

Jena mengangguk lemah. Dia berjalan keluar saat Mbak Nurul merangkulnya. Bercerita panjang lebar meski Jena tidak menanggapi. Setidaknya dengan begitu, pikiran Jena tidak terlalu terpuruk.

Setelahnya, Jena memutuskan untuk duduk di balik kubikelnya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali saat memandangi lampu-lampu sudah dimatikan. Tersisa hanya lampu meja yang menyinari kubikelnya saja. 

Jena kembali membuka laptop. Dia kembali mencari file-file yang ada di laptopnya. Benar-benar kosong. Jena yakin bahwa dia tidak mungkin menghapusnya. 

Kalau benar itu terjadi maka benar bahwa Jena cari mati. Tapi, tidak. Jena masih berpikir bahwa mungkin saja file nya dia pindahkan. Dia masih mengotak-atiknya saat seseorang berjalan mendekat. “Je? Kamu belum pulang?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • DIKEJAR DUDA KEREN   MASA LALU BRIAN

    “Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena. Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.”Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena.“Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena.Dan, “Iya.”“Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan i

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-16
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Kesepakatan yang buruk

    Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah? Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul.Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?”Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-28
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Belum membuat keputusan

    “Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-01
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Makan bersama

    Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-01
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Mau adat apa?

    “Gimana? Udah Lo tembak?” Pertanyaan itu muncul saat Brian baru saja membakar rokoknya. Riski, sedang menatap Brian yang duduk di sampingnya. Belum memberikan jawaban apapun. “Udah atau belum, sih?” Brian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya pelan. “Belum.”Kini mereka berdua sedang duduk di smoking room. Di ruangan persegi yang tertutup itu membuat keduanya sering menghabiskan waktu di sana. Apalagi kalau sedang jenuh atau penat menghadapi pekerjaan. Riski berdecak, “Kenapa? Gue pikir kemarin Lo langsung nembak pas gue sama Mbak Nurul ninggalin Lo berdua?”Asap kecil yang baru saja keluar dari bibir Brian membentuk awan-awan kecil, lalu hilang saat Riski meniupnya. Brian menoleh, “Gue rasa … gue harus ngasih jeda buat dia. Dia baru saja putus. Kemungkinan dia bakal nerima gue kayaknya cuma lima persen.” Brian memandangi rokoknya. Riski menghela napas. Dia membuka bungkusan rokok dan mengambil satu batang. Menyalakan dan ikut menghisap, lalu menghembuskan asapnya kencang. “Ter

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-08
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Aran

    Pagi itu, adalah pagi yang membosankan. Brian dengan segelas kopinya yang masih mengeluarkan uap, duduk di depan pantry sembari memperhatikan beberapa karyawan yang memasuki kantin.Sesekali mengecek arloji, sesekali melirik orang yang masuk, sesekali juga dia akan menghembuskan nafas berat.Mungkin ini pagi kedua perempuan itu tidak masuk ke kantin di pagi hari?Atau mungkin Jena sudah mengganti rutinitasnya di pagi hari?Jadi, saat Riski baru saja meletakkan segelas susu hangat di atas meja. Brian menepuk pundaknya, “Nitip, ya. Nanti gue balik.” Jarinya menunjuk segelas kopi yang masih panas. Dan, tanpa menunggu persetujuan Riski, kaki Brian segera melangkah pergi. Meninggalkan Riski yang menatapnya aneh.Langkah besar yang terkesan buru-buru itu berjalan di atas koridor. Melewati beberapa divisi yang tengah rapat dan akhirnya langkahnya terhenti di sebuah partisi. Yang akhir-akhir ini menjadi candunya. Namun, belum sempat Brian memasukinya, dia berpapasan dengan Mbak Nurul. Jadi,

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-09
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Patah hati

    Brian baru saja selesai meeting di pukul tujuh malam. Langkahnya gegas menghampiri divisi yang bersebelahan dengan divisi pemasaran. Tepat saat karyawan lain telah keluar, seorang lelaki yang ditunggunya dari tadi baru saja menampakkan batang hidungnya.Aran terkejut dengan kedatangan Brian yang tiba-tiba. “Brian? Ngapain Lo di sini? Lupa Lo divisinya Jena di mana?” Lelaki itu bahkan tidak melihat kilat amarah yang menyala-nyala di mata Brian.Brian menarik ujung kerah kemeja Aran. “Ikut gue!” Meski Aran memberontak dan bertanya-tanya, Brian tetap mengunci mulutnya. Dia memerlukan sebuah tempat agar keributan yang terjadi tidak mengundang perhatian apalagi beberapa karyawan dan atasannya masih berada di ruang meeting. Jadi, Brian menghempaskan tubuh Aran saat mereka sudah sampai di lobi. “Lo ada masalah apa, sih?”Bug!Brian berhasil melayangkan satu bogem mentah di pipi Aran. “Anjing! Lo yang ngambil flashdisknya Jena, kan? Lo bikin dia harus ngulang semuanya dari awal bahkan dia s

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-10
  • DIKEJAR DUDA KEREN   PUTUS

    Suasana temaram lampu baru saja menyelimuti perasaan hangat sepasang kekasih. Ya, baru saja. Sebelum suatu kata yang menghancurkan suasana hangat malam ini. Jena masih tercengang. Otaknya mendadak buntu untuk menangkap maksud dari lelaki yang berdiri di hadapannya. Masih tampak belum percaya dengan kata yang keluar tadi. “Pu … tus?”Lelaki itu mengangguk yakin. “Iya, putus. Kita putus,”ujarnya. Tampak tidak ragu dari wajahnya. Dia bahkan hanya mengedikkan bahu saat Jena menatapnya dengan tatapan penuh selidik.“Alasannya?” Jena masih tidak menyangka bahwa hubungan yang dia pertahankan selama bertahun-tahun ini akan lenyap seketika. Dia masih berharap lelaki itu membatalkan atau mungkin hanya mengusilinya saja. Namun, “Je … aku tahu ini berat buat kamu. Tapi, please … aku belum siap kalau harus ke jenjang serius. Alias, aku masih belum yakin untuk menikah.” Jena menggeleng pelan. “Nggak. Nggak mungkin cuma itu, kan? Aku udah kenal lama sama kamu, Ran! Aku yakin kamu nggak benar-bena

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13

Bab terbaru

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Patah hati

    Brian baru saja selesai meeting di pukul tujuh malam. Langkahnya gegas menghampiri divisi yang bersebelahan dengan divisi pemasaran. Tepat saat karyawan lain telah keluar, seorang lelaki yang ditunggunya dari tadi baru saja menampakkan batang hidungnya.Aran terkejut dengan kedatangan Brian yang tiba-tiba. “Brian? Ngapain Lo di sini? Lupa Lo divisinya Jena di mana?” Lelaki itu bahkan tidak melihat kilat amarah yang menyala-nyala di mata Brian.Brian menarik ujung kerah kemeja Aran. “Ikut gue!” Meski Aran memberontak dan bertanya-tanya, Brian tetap mengunci mulutnya. Dia memerlukan sebuah tempat agar keributan yang terjadi tidak mengundang perhatian apalagi beberapa karyawan dan atasannya masih berada di ruang meeting. Jadi, Brian menghempaskan tubuh Aran saat mereka sudah sampai di lobi. “Lo ada masalah apa, sih?”Bug!Brian berhasil melayangkan satu bogem mentah di pipi Aran. “Anjing! Lo yang ngambil flashdisknya Jena, kan? Lo bikin dia harus ngulang semuanya dari awal bahkan dia s

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Aran

    Pagi itu, adalah pagi yang membosankan. Brian dengan segelas kopinya yang masih mengeluarkan uap, duduk di depan pantry sembari memperhatikan beberapa karyawan yang memasuki kantin.Sesekali mengecek arloji, sesekali melirik orang yang masuk, sesekali juga dia akan menghembuskan nafas berat.Mungkin ini pagi kedua perempuan itu tidak masuk ke kantin di pagi hari?Atau mungkin Jena sudah mengganti rutinitasnya di pagi hari?Jadi, saat Riski baru saja meletakkan segelas susu hangat di atas meja. Brian menepuk pundaknya, “Nitip, ya. Nanti gue balik.” Jarinya menunjuk segelas kopi yang masih panas. Dan, tanpa menunggu persetujuan Riski, kaki Brian segera melangkah pergi. Meninggalkan Riski yang menatapnya aneh.Langkah besar yang terkesan buru-buru itu berjalan di atas koridor. Melewati beberapa divisi yang tengah rapat dan akhirnya langkahnya terhenti di sebuah partisi. Yang akhir-akhir ini menjadi candunya. Namun, belum sempat Brian memasukinya, dia berpapasan dengan Mbak Nurul. Jadi,

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Mau adat apa?

    “Gimana? Udah Lo tembak?” Pertanyaan itu muncul saat Brian baru saja membakar rokoknya. Riski, sedang menatap Brian yang duduk di sampingnya. Belum memberikan jawaban apapun. “Udah atau belum, sih?” Brian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya pelan. “Belum.”Kini mereka berdua sedang duduk di smoking room. Di ruangan persegi yang tertutup itu membuat keduanya sering menghabiskan waktu di sana. Apalagi kalau sedang jenuh atau penat menghadapi pekerjaan. Riski berdecak, “Kenapa? Gue pikir kemarin Lo langsung nembak pas gue sama Mbak Nurul ninggalin Lo berdua?”Asap kecil yang baru saja keluar dari bibir Brian membentuk awan-awan kecil, lalu hilang saat Riski meniupnya. Brian menoleh, “Gue rasa … gue harus ngasih jeda buat dia. Dia baru saja putus. Kemungkinan dia bakal nerima gue kayaknya cuma lima persen.” Brian memandangi rokoknya. Riski menghela napas. Dia membuka bungkusan rokok dan mengambil satu batang. Menyalakan dan ikut menghisap, lalu menghembuskan asapnya kencang. “Ter

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Makan bersama

    Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Belum membuat keputusan

    “Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Kesepakatan yang buruk

    Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah? Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul.Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?”Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka

  • DIKEJAR DUDA KEREN   MASA LALU BRIAN

    “Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena. Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.”Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena.“Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena.Dan, “Iya.”“Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan i

  • DIKEJAR DUDA KEREN   KESALAHAN YANG TIDAK DILAKUKAN

    “Datang, kok. Jena akan datang dengan saya.” Suara bariton itu keluar dari laki-laki yang tengah berdiri dan meletakkan satu tangannya di meja, sedang tangan yang lainnya memegangi kursi Jena. Jena mengangkat wajahnya. Menatap sekilas pada Brian yang menyunggingkan seulas senyum padanya. Sebelum akhirnya kembali menatap Aran yang memicingkan matanya. “Kalian punya hubungan?”Mulut Jena penuh, dia mencoba berbicara, namun artikulasinya kurang jelas. “Gangbnhdnnjnga.” Kurang lebih begitulah yang didengar Aran.Aran dan Jena tertegun beberapa saat ketika tangan Brian mengelus puncak kepala Jena. “Makan yang benar dulu dong, Sayang …” Dan kejadian itu membuat hawa kantin menjadi lebih panas. Terbukti saat Aran melonggarkan sedikit dasinya dan mengibaskan kemejanya. Jena dapat melihat dengan jelas raut wajah Aran yang tampak jengah dan muak. Mungkin Jena akan merutuki Brian karena memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’. Tapi, ketika melihat reaksi Aran seperti itu, Jena sepertinya akan

  • DIKEJAR DUDA KEREN   PERSETUJUAN TANPA KOMPROMI

    Pagi itu adalah pagi terburuk bagi Jena. Dia baru saja menghabiskan malamnya untuk menangisi Aran. Yang padahal belum tentu lelaki itu mengingatnya, atau mungkin juga sedang mengejek Jena.Ingin sekali Jena tidak kemana-mana hari ini, namun telepon dari Mbak Nurul selalu menghantuinya. Yang pada akhirnya, membuat Jena tetap ke kantor meski suasana hatinya memburuk.Baru saja sampai dan duduk di balik kubikelnya, Jena sudah menarik nafas panjang saat melihat tumpukan berkas. Beberapa tumpukan itu mungkin saja tengah menertawai Jena. Membuat Jena melipat tangannya di atas desk dan meletakkan dagunya di sana.Seseorang menarik kursi di samping Jena. Menghasilkan derit yang terdengar sekilas. Membuat Jena segera menoleh.“Wiihh … pagi-pagi lemas amat?” Mbak Nurul memicing. Lama dia menatap wajah Jena yang tidak biasanya. “Lo nggak apa-apa, Je? Kok mata Lo bengkak?” Lalu, dia sedikit terkesiap. Entah apa yang dia pikirkan, lalu, “Apa jangan-jangan Aran udah lamar Lo? Iya, kan?”Jena menghe

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status