“Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena.
Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.” Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena. “Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena. Dan, “Iya.” “Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan itu tidak langsung dijawab Jena. Dia masih berpikir bahwa semua kecerobohannya mungkin saja karena ketidakprofesionalan dirinya. Helaan nafasnya terdengar. “Dilihat aja belum.” Menoleh sekilas, lalu, “File nya tiba-tiba hilang. Flashdisk nya juga.” Dan, “Hah? Serius?” Brian meneleng untuk melihat wajah Jena yang kembali menatap laptop. Jena hanya mengangguk. “Aku temani?” Sontak dia terkekeh saat Jena menatapnya dengan horor, “Malam ini? Nggak apa-apa kok. Kasihan ada cewek sendirian di kantor.” Jena memutar bola matanya, “Halah. Modus.” Jawaban itu langsung disambut oleh tawa Brian. Rupanya Jena saat ini sedang tidak mood, jadi, “Udah sana. Pulang. Nggak usah gangguin aku. Aku mau fokus kerjain ini.” Tangannya mendorong pelan lengan Brian yang dekat dengannya. “Aku serius, Je. Masa mau ninggalin cewek cantik, seksi, bahenol—aduh!” Brian kembali tertawa, namun kali ini sambil mengusap tangannya yang kena tampar. “Pulang, ga?”tanya Jena dengan pelototannya. Bola matanya bisa saja menggelinding. “Serius, lho! Pulang sana.” Jena kembali pada posisinya. Dia menyangga dagu dengan satu tangan dan satu tangan lainnya bermain di papan ketik, juga sesekali bermain di kursor. Jena pikir, lelaki itu akan menyerah. Dia akan bangkit, berjalan, dan meninggalkan Jena sendirian. Ternyata, tidak. Lelaki itu malah lebih mendekatkan kursinya. Kepalanya diletakkan di atas meja. Bersisian dengan laptop Jena. Hanya beralaskan dengan satu tangannya. Dan wajahnya menoleh, menatap setiap sudut wajah Jena. Keadaan itu entah mengapa membuat atmosfer ruangan terkesan berbeda. Ada hawa lain yang tiba-tiba mengguncang seluruh isi pikiran Jena. Dia sesekali melirik Brian yang masih memandangnya. Jena berdehem, “Pulang sana. Kamu nggak bakal dapat apapun.” Dia kembali melirik Brian yang tersenyum. Lengkungan senyum itu seakan diberikan tulus untuk Jena. “Aku nggak menginginkan apapun kok. Hanya ingin menemani,”jawab Brian dengan senyumannya. “Halah. Halah.” Jena kembali memutar bola matanya. Sesaat kemudian, keheningan mulai melanda. Hanya terdengar bising yang berasal dari papan ketik. Meski dilanda kantuk, Jena berusaha untuk tetap melanjutkan pekerjaannya. Seharusnya, Jena bangkit dan berjalan ke arah pantry, lalu membuat secangkir kopi. Namun, sayangnya, Jena bukan pecinta minuman berkafein itu. Jena kembali meraih botol air mineralnya. Dia menghembuskan nafas panjang saat melihat pekerjaannya baru selesai lima puluh persen di jam dua belas malam. Setelah meletakkan botol airnya, Jena kembali fokus pada layar. Sejenak pandangan Jena teralihkan pada samping laptop. Dia pikir lelaki itu masih memandanginya. Ternyata sudah tidur. Jena berdecak. “Halah. Katanya mau temenin. Eh, malah tidur. Mendengkur pula,”gumamnya. Matanya kembali menatap layar. Namun, sesuatu menarik pandangannya lagi. Dia melihat setiap inci wajah lelaki yang tengah tertidur itu. Benar-benar tidak ada kegagalan di dalam wajahnya. Jena akui itu. Lelaki itu benar-benar mencerminkan sosok tampan yang dipuja-puja oleh kaum hawa. “Aku ganteng, kan?”gumaman Brian membuat Jena terkesiap. Jena kembali pada posisinya semula. Tidak berani melirik Brian yang membuka mata dan mengerjap pelan. “Mimpi.” “Apa? Apa kamu bilang?” Suara parau khas baru bangun itu terdengar menarik di telinga Jena. Brian berdehem, lalu bangkit dari duduknya. Langkahnya yang menjauh membuat pandangan Jena kembali padanya. Embusan nafas Jena terdengar lagi. Dia larut dalam pekerjaannya. Mencoba fokus dan kembali melihat draft yang baru dibuatnya. Matanya menyipit. Memastikan bahwa datanya tidak salah. Dia kembali mengetik. Menghabiskan waktu selama setengah jam setelah kepergian Brian. Jena pikir, lelaki itu sudah sadar dan pulang ke rumahnya. Namun, “Hai! Tuh, kan! Aku tahu kamu pasti belum pulang.” Brian mendekat dengan satu kantung yang dijinjing. “Aku bawain makanan sama teh.” Tangannya bergerak bebas menyiapkan semua isi kantung itu di atas meja. Ada dua nasi kotak, beberapa roti dan cemilan. Juga minuman dingin dan segelas teh. Kening Jena berkerut, memastikan bahwa lelaki itu sadar dengan apa yang dibelinya. “Kamu beli ini semua?” Telunjuknya terarah pada semua hidangan itu. Brian menjawab, “Iya lah. Kamu pikir aku ngerampok?” Dan jawabannya itu membuat Jena tertawa-tawa. Dia mengambil satu kaleng minuman dingin yang diberikan Brian. “Makasih.” “My pleasure…” Keduanya mengobrol selama beberapa saat sebelum Jena akhirnya kembali pada layar laptopnya. Dia sesekali masih menimpali atau membalas perkataan Brian. Keduanya menghabiskan waktu yang sudah melewati dini hari. Bahkan, Jena sempat melirik arlojinya beberapa kali. Dan hal itu tentu saja menarik bagi Brian. Jadi, “Kamu mau pulang? Ayo! Biar aku antar!” Namun, “Yan, aku harus selesaikan semuanya dan langsung kirim file nya ke Pak Mungga. Karena besok akan ada meeting lagi.” Jena menoleh, “Dan aku harap, semuanya berjalan lancar. Tanpa ada makian.” Brian tidak menjawab. Dia hanya mengangguk. Membiarkan Jena kembali fokus pada pekerjaannya. Tangan Brian terulur, mengambil satu kotak nasi goreng yang dia pesan. Membukanya. Lalu, menyendoknya. “Buka mulut, Je. Aaa!” Jena menggeleng pelan dengan kekehannya. Namun, dia bersedia membuka mulut dan menerima suapan dari Brian. “Enak, ngga?”tanya Brian. Dan langsung mendapat jempol Jena. Brian tersenyum. “Iya lah. Siapa dulu dong yang bikin? Duren nih bos. Senggol dong.” “Uhuk! Uhuk!” Brian panik dan segera mengambil botol mineral milik Jena. Mengangsurkannya sampai perempuan itu meminumnya hingga tandas. “Kamu nggak apa-apa, Je?” Jena menggeleng. Dia menatap Brian lama. Memastikan bahwa omongan lelaki itu barusan adalah candaan. Namun, keduanya hanya bersitatap. Brian benar-benar tidak mengutarakan bahwa omongannya tadi adalah candaan. Jadi, “Serius? Jadi, selama setengah jam tadi, kamu pulang buat bikin nasi goreng buat aku?” Dan, “Ya. Tapi, bukan cuma buat kamu. Aku bikinin buat aku juga,”jawab Brian. Jawaban itu tidak membuat Jena menampar tangannya lagi. Melainkan hanya terdiam, menerawang jauh. Dia sempat berpikir bahwa Aran tidak pernah melakukan itu untuknya. Selama empat tahun dia berhubungan dengan Aran, lelaki itu tidak pernah membawakan bekal. Atau sekedar menemaninya di kala lembur. Hanya mengirimkan pesan teks berupa, ‘Jangan telat makan’ atau ‘Jangan begadang’. Begitu saja. Lalu, pandangan Jena kembali memandang Brian. Pada seorang duda yang selalu bersikap baik. Meski Jena akui bukan hanya padanya lelaki itu bersikap baik. Namun, dia benar-benar mencontohkan sikap lelaki yang benar-benar laki. Tapi, tetap saja ada yang masih mengganjal di pikiran Jena. Matanya kembali fokus pada layar yang menampilkan file nya yang sudah selesai. Dia hanya menggerakkan tangannya di kursor. Seolah sedang memeriksa ulang isi file nya. Brian kembali menyodorkan sendok yang dipenuhi oleh nasi goreng. “Satu lagi.” Dan Jena kembali menerima suapan itu. Berkali-kali Brian melakukan itu sampai nasi gorengnya habis. Padahal, bisa saja Jena memakannya sendiri. Toh, pekerjaannya sudah selesai. Jena menghabiskan minuman kalengnya. Dia melirik Brian yang mulai memakan nasi kotaknya. Sebenarnya dari arah manapun, Brian itu ganteng. Jena akui itu. Sikapnya juga terbilang baik. Namun, “Yan? Apa yang membuat kamu menjadi duda?” Bukannya menjawab dengan serius, Brian malah tertawa kecil. Dia hampir saja tersedak. Setelah meminum minumannya, dia menjawab, “Aku sebenarnya belum pernah menjawab pertanyaan ini, sih. Tapi, buat kamu … it’s okay.” “Halah. Halah.” Jena kembali memutar bola matanya. Tangannya bergerak di papan kursor untuk menyimpan file yang baru dikerjakannya. Menyalinnya juga agar tidak terjadi kecerobohan lagi. “Serius dong, Yan.” Brian belum menjawab. Dia melanjutkan makannya dengan nikmat sampai selesai. Meminum air banyak-banyak, lalu, “Kamu mau dengar dari mana? Dari atas atau dari bawah?” Jena spontan menoleh. Keningnya berkerut seiring kening Brian yang terangkat. Mata Jena menyipit. Memastikan bukan pikirannya yang kotor. “Itu nggak bermakna ambigu, kan?” Dan, ya. Sudah pasti Brian tertawa lagi. Dia berdehem sebentar sebelum melanjutkan omongannya. “Simpel, sih. Mungkin karena nggak ada kecocokan?” Kepalanya meneleng melihat ekspresi Jena. “Hah? Nggak ada kecocokan? Terus ngapain nikah?” Mungkin kurang lebih begitulah yang akan orang-orang lontarkan ketika mendengar jawaban Brian barusan. “Begini, Je. Aku sama mantan istri aku itu, kami dijodohkan. Ya alasannya ada lah ... Aku belum bisa menjelaskannya secara rinci.” Dan Brian lega karena Jena mengangguk, “ Bulan-bulan awal aku banyak tahu soal sikapnya yang dominan. Tidak membiarkan aku ikut andil dalam aspek apapun. Maunya harus dituruti terus, kalau enggak ya … marah. Bulan-bulan awal pernikahan kami, aku berusaha sabar, banyak mengalah. Tapi, sampai di suatu titik. Aku capek.” Suaranya merendah dengan helaan nafas panjang. “Apa kamu nggak tanyain dulu sama dia? Alasan dari sikapnya kayak kamu itu? Coba ngobrol baik-baik?” Jena rupanya hanyut dalam cerita Brian. “Udah, Je. Tapi, dia nggak mau jawab. Dia cuma bilang ada alasannya, tapi nggak mau ngasih tau.” Brian menyilang kedua tangannya di atas desk. Duduknya agak menyerong. Sehingga Jena bisa melihat raut wajah sendunya. “Dia biarkan aku menerka-nerka. Tanpa harus menjelaskannya. Kayak … apa, ya? Kayak aku tuh nggak bisa diandalkan.” Terdengar menyakitkan juga. Sampai Jena bisa merasakan sakitnya jika di posisi itu. Atau mungkin … dia merasa sakit saat mengetahui bahwa Brian menjelaskannya dengan cinta? “Berarti … masalah kalian belum benar-benar tuntas?” Entah mengapa, Jena menginginkan sebuah sangkalan dari Brian. Dia ingin lelaki itu mengatakan hal yang berlainan dari pikirannya. Namun, “Ya. Kami selesai dalam masalah yang belum benar-benar tuntas.” Jena termangu. Dia menatap Brian yang juga menatapnya. Penerangan di kubikel Jena menjadi satu-satunya yang menyirami wajah keduanya. Membuat wajah Brian separuhnya dalam gelap. Jena tidak bersuara lagi. Dia hanya menggumam lama. Matanya kembali dia alihkan ke laptop yang sudah redup. Tangannya segera membereskan isi desk. Brian juga membantunya, mengemas hidangan yang dibawanya tadi ke dalam kantung. Suara derap langkah dari luar partisi terdengar. Ketukan stiletto nya membuat Jena tahu bahwa ada seorang wanita yang akan masuk ke sini. Namun, suara pantofel yang terdengar dari kejauhan juga menarik perhatian keduanya. Jena dan Brian saling berpandangan. Jena panik sendiri. Dia ingin cepat-cepat meninggalkan kubikelnya. Namun, laptopnya masih di sana. Dia segera memasukkannya ke dalam tas laptop. Seiring suara langkah itu mendekat, semakin kencang degup jantung Jena. Dia tidak ingin tertangkap basah di sini, berduaan dengan Brian. Namun, baru saja Jena akan melewati Brian, kakinya menginjak botol mineral. Dan itu membuat kakinya terpeleset. Tubuhnya hampir jatuh ke belakang. Kalau saja, tidak ada tangan yang menyangga pinggangnya. Kalau saja. Karena kini, Jena bisa melihat dengan jelas wajah tampan Brian yang menatapnya. Dan tanpa sadar, kedua tangan Jena memegangi leher kemeja Brian. Keduanya nyaris berciuman saat seseorang baru saja sampai. “Je, gue baru ingat kalau Lo pasti—” Suara itu berhenti dengan mata membulat. “Ya ampun! Sori. Gue nggak sengaja. Gue balik, ya? Lanjutin aja, Je.”Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah? Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul.Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?”Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka
“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se
Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya
“Gimana? Udah Lo tembak?” Pertanyaan itu muncul saat Brian baru saja membakar rokoknya. Riski, sedang menatap Brian yang duduk di sampingnya. Belum memberikan jawaban apapun. “Udah atau belum, sih?” Brian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya pelan. “Belum.”Kini mereka berdua sedang duduk di smoking room. Di ruangan persegi yang tertutup itu membuat keduanya sering menghabiskan waktu di sana. Apalagi kalau sedang jenuh atau penat menghadapi pekerjaan. Riski berdecak, “Kenapa? Gue pikir kemarin Lo langsung nembak pas gue sama Mbak Nurul ninggalin Lo berdua?”Asap kecil yang baru saja keluar dari bibir Brian membentuk awan-awan kecil, lalu hilang saat Riski meniupnya. Brian menoleh, “Gue rasa … gue harus ngasih jeda buat dia. Dia baru saja putus. Kemungkinan dia bakal nerima gue kayaknya cuma lima persen.” Brian memandangi rokoknya. Riski menghela napas. Dia membuka bungkusan rokok dan mengambil satu batang. Menyalakan dan ikut menghisap, lalu menghembuskan asapnya kencang. “Ter
Pagi itu, adalah pagi yang membosankan. Brian dengan segelas kopinya yang masih mengeluarkan uap, duduk di depan pantry sembari memperhatikan beberapa karyawan yang memasuki kantin.Sesekali mengecek arloji, sesekali melirik orang yang masuk, sesekali juga dia akan menghembuskan nafas berat.Mungkin ini pagi kedua perempuan itu tidak masuk ke kantin di pagi hari?Atau mungkin Jena sudah mengganti rutinitasnya di pagi hari?Jadi, saat Riski baru saja meletakkan segelas susu hangat di atas meja. Brian menepuk pundaknya, “Nitip, ya. Nanti gue balik.” Jarinya menunjuk segelas kopi yang masih panas. Dan, tanpa menunggu persetujuan Riski, kaki Brian segera melangkah pergi. Meninggalkan Riski yang menatapnya aneh.Langkah besar yang terkesan buru-buru itu berjalan di atas koridor. Melewati beberapa divisi yang tengah rapat dan akhirnya langkahnya terhenti di sebuah partisi. Yang akhir-akhir ini menjadi candunya. Namun, belum sempat Brian memasukinya, dia berpapasan dengan Mbak Nurul. Jadi,
Brian baru saja selesai meeting di pukul tujuh malam. Langkahnya gegas menghampiri divisi yang bersebelahan dengan divisi pemasaran. Tepat saat karyawan lain telah keluar, seorang lelaki yang ditunggunya dari tadi baru saja menampakkan batang hidungnya.Aran terkejut dengan kedatangan Brian yang tiba-tiba. “Brian? Ngapain Lo di sini? Lupa Lo divisinya Jena di mana?” Lelaki itu bahkan tidak melihat kilat amarah yang menyala-nyala di mata Brian.Brian menarik ujung kerah kemeja Aran. “Ikut gue!” Meski Aran memberontak dan bertanya-tanya, Brian tetap mengunci mulutnya. Dia memerlukan sebuah tempat agar keributan yang terjadi tidak mengundang perhatian apalagi beberapa karyawan dan atasannya masih berada di ruang meeting. Jadi, Brian menghempaskan tubuh Aran saat mereka sudah sampai di lobi. “Lo ada masalah apa, sih?”Bug!Brian berhasil melayangkan satu bogem mentah di pipi Aran. “Anjing! Lo yang ngambil flashdisknya Jena, kan? Lo bikin dia harus ngulang semuanya dari awal bahkan dia s
Jena baru saja menginjakkan kakinya memasuki elevator. Dia baru selesai menemani Pak Ari untuk menemui beberapa orang penting di sebuah restoran. Tepat sebelum pintu elevator itu tertutup rapat, sebuah map tersisip di tengah, mencegah pintu itu untuk segera tertutup. Pintu elevator pun kembali terbuka.“Hai!”seru Mbak Nurul sambil melangkah masuk. “Dari mana, Mbak?”tanya Jena memerhatikan beberapa map yang ditenteng Mbak Nurul. Mbak Nurul menunduk, dia mengangkat beberapa map itu tinggi-tinggi agar bisa dilihat juga oleh Jena. “Biasalah. Pak Mungga hanya bisa andalin gue kalau ada protes dari divisi lain.” Lalu, dia terdiam beberapa saat. Menggigit bibirnya dengan bimbang. Lalu, “Je?”“Hm?” “Lo udah lihat video viral di Twitter belum?”Kini Jena menoleh, keningnya mengernyit dengan gelengan di kepala. “Gue sama sekali belum ada waktu untuk itu. Memangnya ada apa?”Mbak Nurul melotot, “Serius?! Videonya viral loh, Je! Apalagi pake hashtag Citrabangsa!” Mbak Nurul masih syok dengan r
Jena sudah berada di depan sebuah apartemen yang diarahkan oleh Riski. Sejak dua puluh menit yang lalu, Jena masih di sana. Menimbang-nimbang apakah dia akan menemui Brian atau memilih untuk pulang saja.Ini untuk kesekian kalinya Jena mengecek arlojinya. Waktu sudah hampir menginjak pukul sebelas malam. Sebenarnya tidak apa-apa Jena pulang agak terlambat. Toh, ayah dan ibunya sedang ke Bandung. Tapi, entah mengapa rasa mules dengan dada yang berdegup kencang melanda saat kakinya akan melangkah lagi. Jena mendongak. Menatap pada elevator yang tidak bergerak sama sekali. Mungkin saja beberapa penghuni sudah terlelap atau mungkin sudah istirahat.Jadi, Jena memutuskan untuk membalik tubuh. Dia memutuskan untuk menundanya. Tapi, lagi-lagi, perkataan Mbak Nurul terngiang-ngiang di kepalanya.‘Ya … ‘kan kita nggak tahu, Je. Mungkin aja Brian depresi berat akibat insiden yang menimpa dan patah hati yang bersamaan? Ya, kan? Jadi … mau nggak Lo minta maaf sama dia?’“Astaga …!”gumamnya. Dan
Brian mengecek arlojinya beberapa kali. Sesekali dia mengecek ponselnya, sesekali juga dia menoleh saat Pak Ajri meminta jawaban darinya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jena juga tidak menjawab pesan yang dikiriminya sore tadi. Jadi, Brian berpikir untuk menunda rencananya malam ini. Pandangannya tertuju pada dinding kaca yang membatasi setiap sudut restoran. Dari sini, Brian bisa melihat dengan jelas pemandangan Kota Metropolitan dari luar. Begitu macetnya. Lalu lalang kendaraan membuatnya menghela nafas. Rencananya akan ditunda. Ya, malam ini, Brian berencana untuk mengutarakan perasaannya. Dia tidak ingin menunda lagi. Perempuan itu, seperti mempunyai magnet yang kuat. Apalagi, Brian sudah menantikan waktu ini. Namun, apalah daya, semua hanya bisa direncanakan. “Brian, apa kamu punya janji dengan seseorang?”tanya Pak Ajri. Rupanya beliau menyadari sikap Brian yang tidak se-antusias tadi. Tidak semangat seperti tadi. Brian menggeleng. “Tidak, Pak.” Bohong. Ta
Notes : Ada part tentang malam yang dilalui Jena dan Brian di apartemennya. Buat yang penasaran, bisa buka di Karya Karsa. Cari. Kreator : Bastiankers Seri : Dikejar Duda Keren Ada part terkunci yang menceritakan soal malam itu. Bagi yang penasaran aja. Keep reading! ***“Presentasi kamu sangat bagus,”puji Pak Mungga. Beliau bertepuk tangan kecil, lalu yang lain mengikuti. Jena tersenyum senang. “Terimakasih, Pak.” Pak Mungga mengangguk. Lalu, Doni berdiri dan mengakhiri rapat di siang ini. Setelahnya, satu persatu mulai keluar ruangan. Sementara Jena, harus merapihkan laptop dan barang-barangnya yang berada di atas meja. Memasukkannya satu persatu, tentu saja sambil mendengar ocehan Mbak Nurul.“Lo denger, kan?”tanya Mbak Nurul. “Gue butuh banget bantuan seseorang untuk gantiin gue Minggu depan, Je. Lo bisa, kan?”Jena menggeleng cepat. Lalu, menenteng tasnya. “Enggak, Mbak. Lo tahu, kan, pekerjaan gue harus numpuk karena P
Jena sudah berada di depan sebuah apartemen yang diarahkan oleh Riski. Sejak dua puluh menit yang lalu, Jena masih di sana. Menimbang-nimbang apakah dia akan menemui Brian atau memilih untuk pulang saja.Ini untuk kesekian kalinya Jena mengecek arlojinya. Waktu sudah hampir menginjak pukul sebelas malam. Sebenarnya tidak apa-apa Jena pulang agak terlambat. Toh, ayah dan ibunya sedang ke Bandung. Tapi, entah mengapa rasa mules dengan dada yang berdegup kencang melanda saat kakinya akan melangkah lagi. Jena mendongak. Menatap pada elevator yang tidak bergerak sama sekali. Mungkin saja beberapa penghuni sudah terlelap atau mungkin sudah istirahat.Jadi, Jena memutuskan untuk membalik tubuh. Dia memutuskan untuk menundanya. Tapi, lagi-lagi, perkataan Mbak Nurul terngiang-ngiang di kepalanya.‘Ya … ‘kan kita nggak tahu, Je. Mungkin aja Brian depresi berat akibat insiden yang menimpa dan patah hati yang bersamaan? Ya, kan? Jadi … mau nggak Lo minta maaf sama dia?’“Astaga …!”gumamnya. Dan
Jena baru saja menginjakkan kakinya memasuki elevator. Dia baru selesai menemani Pak Ari untuk menemui beberapa orang penting di sebuah restoran. Tepat sebelum pintu elevator itu tertutup rapat, sebuah map tersisip di tengah, mencegah pintu itu untuk segera tertutup. Pintu elevator pun kembali terbuka.“Hai!”seru Mbak Nurul sambil melangkah masuk. “Dari mana, Mbak?”tanya Jena memerhatikan beberapa map yang ditenteng Mbak Nurul. Mbak Nurul menunduk, dia mengangkat beberapa map itu tinggi-tinggi agar bisa dilihat juga oleh Jena. “Biasalah. Pak Mungga hanya bisa andalin gue kalau ada protes dari divisi lain.” Lalu, dia terdiam beberapa saat. Menggigit bibirnya dengan bimbang. Lalu, “Je?”“Hm?” “Lo udah lihat video viral di Twitter belum?”Kini Jena menoleh, keningnya mengernyit dengan gelengan di kepala. “Gue sama sekali belum ada waktu untuk itu. Memangnya ada apa?”Mbak Nurul melotot, “Serius?! Videonya viral loh, Je! Apalagi pake hashtag Citrabangsa!” Mbak Nurul masih syok dengan r
Brian baru saja selesai meeting di pukul tujuh malam. Langkahnya gegas menghampiri divisi yang bersebelahan dengan divisi pemasaran. Tepat saat karyawan lain telah keluar, seorang lelaki yang ditunggunya dari tadi baru saja menampakkan batang hidungnya.Aran terkejut dengan kedatangan Brian yang tiba-tiba. “Brian? Ngapain Lo di sini? Lupa Lo divisinya Jena di mana?” Lelaki itu bahkan tidak melihat kilat amarah yang menyala-nyala di mata Brian.Brian menarik ujung kerah kemeja Aran. “Ikut gue!” Meski Aran memberontak dan bertanya-tanya, Brian tetap mengunci mulutnya. Dia memerlukan sebuah tempat agar keributan yang terjadi tidak mengundang perhatian apalagi beberapa karyawan dan atasannya masih berada di ruang meeting. Jadi, Brian menghempaskan tubuh Aran saat mereka sudah sampai di lobi. “Lo ada masalah apa, sih?”Bug!Brian berhasil melayangkan satu bogem mentah di pipi Aran. “Anjing! Lo yang ngambil flashdisknya Jena, kan? Lo bikin dia harus ngulang semuanya dari awal bahkan dia s
Pagi itu, adalah pagi yang membosankan. Brian dengan segelas kopinya yang masih mengeluarkan uap, duduk di depan pantry sembari memperhatikan beberapa karyawan yang memasuki kantin.Sesekali mengecek arloji, sesekali melirik orang yang masuk, sesekali juga dia akan menghembuskan nafas berat.Mungkin ini pagi kedua perempuan itu tidak masuk ke kantin di pagi hari?Atau mungkin Jena sudah mengganti rutinitasnya di pagi hari?Jadi, saat Riski baru saja meletakkan segelas susu hangat di atas meja. Brian menepuk pundaknya, “Nitip, ya. Nanti gue balik.” Jarinya menunjuk segelas kopi yang masih panas. Dan, tanpa menunggu persetujuan Riski, kaki Brian segera melangkah pergi. Meninggalkan Riski yang menatapnya aneh.Langkah besar yang terkesan buru-buru itu berjalan di atas koridor. Melewati beberapa divisi yang tengah rapat dan akhirnya langkahnya terhenti di sebuah partisi. Yang akhir-akhir ini menjadi candunya. Namun, belum sempat Brian memasukinya, dia berpapasan dengan Mbak Nurul. Jadi,
“Gimana? Udah Lo tembak?” Pertanyaan itu muncul saat Brian baru saja membakar rokoknya. Riski, sedang menatap Brian yang duduk di sampingnya. Belum memberikan jawaban apapun. “Udah atau belum, sih?” Brian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya pelan. “Belum.”Kini mereka berdua sedang duduk di smoking room. Di ruangan persegi yang tertutup itu membuat keduanya sering menghabiskan waktu di sana. Apalagi kalau sedang jenuh atau penat menghadapi pekerjaan. Riski berdecak, “Kenapa? Gue pikir kemarin Lo langsung nembak pas gue sama Mbak Nurul ninggalin Lo berdua?”Asap kecil yang baru saja keluar dari bibir Brian membentuk awan-awan kecil, lalu hilang saat Riski meniupnya. Brian menoleh, “Gue rasa … gue harus ngasih jeda buat dia. Dia baru saja putus. Kemungkinan dia bakal nerima gue kayaknya cuma lima persen.” Brian memandangi rokoknya. Riski menghela napas. Dia membuka bungkusan rokok dan mengambil satu batang. Menyalakan dan ikut menghisap, lalu menghembuskan asapnya kencang. “Ter
Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya
“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se