Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah?
Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul. Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?” Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka pintu kabinet. “Mau ngambil apa?” Brian. Ya. Dia menoleh pada Jena. “CIEEEEEE!!” Sorak Riski hingga membuat beberapa karyawan yang berada di dekat situ menoleh pada keduanya. “Mau ngambil apa, Sayang? Gitu, Yan!” Ah. Dasar. Jena berdehem sebentar. Seharusnya dia mempunyai kemampuan untuk menghilangkan seseorang dari pendengaran atau penglihatannya. Namun, kondisinya saat ini benar-benar tidak mendukung. “Gula,”jawab Jena dengan suara rendah. “Balas, Yan! ‘Ngapain pake gula, sih? Kamu ‘kan udah manis’ gituuuu …” Riski ini benar-benar tidak tahu sikon. Hingga Jena harus menahan malu ketika melihat karyawan lain ikut menggodanya. “Nggak usah didengerin,”ucap Brian setelah meletakkan stoples gula. Lelaki itu hanya memesan makanan. Tapi, gerakannya mampu membuat sepasang mata Jena terus mengikuti. Rupanya pergerakan Jena itu disadari oleh siluman kodok bernama Riski. “Yan, jangan lama-lama! Ayang Lo liatin mulu nih.” Jena hanya geleng-geleng melihat sikap Riski yang antusias atas kesalahpahamannya. Setelah tehnya jadi, Jena segera berlalu. Di ambang pintu dia mendengar Riski berdehem kencang. Benar-benar sinting kali tuh orang. Beberapa karyawan yang tadi menggoda Jena sempat berpapasan di koridor. Mereka senyam-senyum tidak jelas sambil berbisik-bisik. Ah, sial. Jena harus segera sampai di ruangannya dengan cepat. Oke. Kali ini Jena selamat. Dia memasuki partisinya dengan baik. Duduk di balik kubikelnya. Menyesap teh hangatnya sebagai pembuka pekerjaannya yang menumpuk. Pikiran Jena baru saja fokus pada pekerjaannya. Matanya masih menatap monitor laptopnya. Tapi, entah mengapa, pikirannya bukan di situ. Berbelok pada sang duda. Iya. Duda keren itu. Siapa lagi kalau bukan Brian? Dari ceritanya semalam, Jena mengambil kesimpulan bahwa lelaki itu tidak bersalah. Dia mengambil keputusan yang tepat untuk mengakhiri hubungan dengan sang mantan karena memang posisinya yang kalah. Dia menuntut haknya sebagai seorang suami. Dia ingin menjadi dominan juga. Tapi, perempuan yang tidak dikenali Jena itu tidak mengerti. Berbanding terbalik dengan hubungan Aran dan Jena dulu. Jena memposisikan diri sebagai perempuan yang selalu membutuhkan Aran. Walaupun terkadang dia bisa melakukannya sendiri. Tapi, ketika mengharapkan seorang lelaki melakukan sesuatu itu begitu menyenangkan. Jena heran sendiri. Kok bisa ada perempuan model begitu? “Cieee … ngelamun apa, sih, Bu?” Ah. Sial. Godaan selalu datang di waktu yang tidak tepat. Jena menoleh singkat. Meraih kursi di samping yang masih kosong untuk Mbak Nurul duduki. “Wah. Makasih. Eh—atau jangan-jangan Lo lakuin ini karena semalam gue ngambil tindakan yang benar? Iya, kan?” “Astaga, Mbak. Apa yang Lo lihat semalam tuh ngga ada apa-apanya!”balas Jena. Dia harus membela diri sebelum omongan itu makin melebar. Mbak Nurul terkejut. Wajahnya mendekat pada Jena yang keningnya sudah mengerut. “Serius?! Berarti yang Lo lakuin sama Brian lebih dari itu?!” Ya ampun! Suaranya kencang sekali. Sampai pandangan beberapa karyawan yang sedang bekerja ikut menoleh. Rasanya Jena ingin segera hilang ditelan bumi. Atau mungkin dia berharap tiba-tiba diculik. Tapi, tidak. Jena hanya memijiti keningnya yang tiba-tiba sakit. “Mbak. Maksud gue bukan gitu.” “Terus? Jangan bilang kalau kalian lebih parah lagi?! Omaygat!!!” Teriakan histeris itu tambah membuat pening kepala Jena. Dia langsung mengambil kertas dan meremasnya. Setelahnya, dia menyumpal mulut Mbak Nurul yang setengah terbuka itu. “Ih! Jena!!”protes Mbak Nurul. “Dengerin gue, Mbak. Maksud gue, apa yang Lo lihat semalam itu cuma salah paham. Gue sama Brian itu nggak ada apa-apa.” Jelas? Harusnya Mbak Nurul paham. Tapi, matanya mendelik, “Halah. Nggak ada apa-apa, tapi berduaan di kantor? Lo kira gue anak TK yang gampang dibodohi?” Di tengah-tengah panasnya hawa di kubikel Jena. Aran datang dengan pandangan jenuh. Tangannya dilipat di atas kubikel. “Je? Gue mau ngomong.” Tambah sakit lagi kepala Jena. Kalau Aran datang cuma untuk menyudutkan Jena, lebih baik dia enyah saja. Sebelum Jena benar-benar melakukan hal yang buruk, mencekiknya misalnya. Namun, “Apa?” Mbak Nurul menggebrak meja. Dia lantas berbicara dengan Aran, “Gue minta pendapat Lo, Ran.” Tampak antusias sekali. Mata Aran tertuju pada Mbak Nurul. Sesekali melirik Jena yang menoleh pada Mbak Nurul. “Apa, Mbak? Gue bisa kok diandalkan dalam hal itu.” Muak sekali telinga Jena. Sayangnya telinganya tidak bisa memuntahkan cairan busuk di muka Aran. Namun, satu hal penuh kecurigaan dia layangkan pada Mbak Nurul. Jena ikut menyimak. “Menurut Lo, cewek sama cowok berduaan di kantor, tengah malam, itu punya hubungan atau enggak?” Mata Mbak Nurul berbinar-binar saat embusan nafas Jena terdengar. Benar-benar membuat energi Jena habis. Tentu saja Aran tidak tahu-menahu soal itu. Jadi, “Ya, pastilah. Mana mungkin mereka berduaan tanpa status. Udah jelas itu mah.” Aran! Mbak Nurul bersorak kegirangan. Sedangkan, Jena sudah menjatuhkan kepalanya di atas desk. Dia benar-benar muak dengan semuanya. “Tuh, kan! Tapi, Jena nggak mau tuh ngakuin. Gimana, dong?”timpal Mbak Nurul. “Ngakuin apa?” Aran pasti makin kesal kalau dia tahu. “Iya! Jadi, semalam tuh gue nemuin dia sama Brian berduaan! Di sini, Ran! Dan Lo tahu, gongnya tuh Jena meluk si Duren itu!”cicit Mbak Nurul. Jena segera mengangkat kepalanya. “Astaga, Mbak! Gue nggak meluk! Mata Lo itu. Astaga!” Jena bingung. Dia frustasi sekali. Namun, saat melihat pada Aran. Wajah Aran tampak merah. Yang Jena tahu, kalau wajahnya merah itu pertanda lelaki itu sedang marah. Apa Aran sedang cemburu? Jena tidak berbicara apapun setelah melihat Aran berjalan pergi. Loh? Bukannya dia mau mengatakan sesuatu? Mbak Nurul tersenyum. Dia melipat tangannya di atas desk. “Gue sebenarnya sengaja doang.” Mbak Nurul bisa melihat dengan ujung matanya bahwa Jena menoleh. “Pengen lihat reaksi Aran. Enak banget dia mutusin Lo, terus mau deket-deket lagi,”celetuknya sebelum berlalu. Jadwal meeting Jena begitu padat, hingga pekerjaannya harus ditunda beberapa waktu. Hal itu membuat dia harus pulang di jam sebelas malam. Jena pikir, kedua orang tuanya sudah tertidur. Ternyata belum. Keduanya sedang duduk berjarak satu meja makan berbentuk persegi. Jena mendekat setelah melepas flatshoes nya. “Pagi, Bu. Pagi, Yah,”sapanya. Menyalami kedua tangan mereka. Lalu, duduk di dekat ibunya. Jena meraih segelas air, meminumnya. “Tumben, belum tidur.” “Je—” Ucapan Ayah harus terpotong karena ibunya menyela. “Ibu sama Ayah sudah sepakat.” Kening Jena mengernyit. Dia meletakkan gelas dengan baik sebelum menoleh pada ibunya. “Sepakat apa?” Ibu melirik ayahnya yang tampak putus asa. Keduanya seperti mengalami sesuatu yang buruk. Namun, Jena memilih untuk mendengar jawaban itu. “Sepakat untuk … menerima lamaran anak sahabat ayah. Namanya Viar—” “Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se
Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya
“Gimana? Udah Lo tembak?” Pertanyaan itu muncul saat Brian baru saja membakar rokoknya. Riski, sedang menatap Brian yang duduk di sampingnya. Belum memberikan jawaban apapun. “Udah atau belum, sih?” Brian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya pelan. “Belum.”Kini mereka berdua sedang duduk di smoking room. Di ruangan persegi yang tertutup itu membuat keduanya sering menghabiskan waktu di sana. Apalagi kalau sedang jenuh atau penat menghadapi pekerjaan. Riski berdecak, “Kenapa? Gue pikir kemarin Lo langsung nembak pas gue sama Mbak Nurul ninggalin Lo berdua?”Asap kecil yang baru saja keluar dari bibir Brian membentuk awan-awan kecil, lalu hilang saat Riski meniupnya. Brian menoleh, “Gue rasa … gue harus ngasih jeda buat dia. Dia baru saja putus. Kemungkinan dia bakal nerima gue kayaknya cuma lima persen.” Brian memandangi rokoknya. Riski menghela napas. Dia membuka bungkusan rokok dan mengambil satu batang. Menyalakan dan ikut menghisap, lalu menghembuskan asapnya kencang. “Ter
Pagi itu, adalah pagi yang membosankan. Brian dengan segelas kopinya yang masih mengeluarkan uap, duduk di depan pantry sembari memperhatikan beberapa karyawan yang memasuki kantin.Sesekali mengecek arloji, sesekali melirik orang yang masuk, sesekali juga dia akan menghembuskan nafas berat.Mungkin ini pagi kedua perempuan itu tidak masuk ke kantin di pagi hari?Atau mungkin Jena sudah mengganti rutinitasnya di pagi hari?Jadi, saat Riski baru saja meletakkan segelas susu hangat di atas meja. Brian menepuk pundaknya, “Nitip, ya. Nanti gue balik.” Jarinya menunjuk segelas kopi yang masih panas. Dan, tanpa menunggu persetujuan Riski, kaki Brian segera melangkah pergi. Meninggalkan Riski yang menatapnya aneh.Langkah besar yang terkesan buru-buru itu berjalan di atas koridor. Melewati beberapa divisi yang tengah rapat dan akhirnya langkahnya terhenti di sebuah partisi. Yang akhir-akhir ini menjadi candunya. Namun, belum sempat Brian memasukinya, dia berpapasan dengan Mbak Nurul. Jadi,
Brian baru saja selesai meeting di pukul tujuh malam. Langkahnya gegas menghampiri divisi yang bersebelahan dengan divisi pemasaran. Tepat saat karyawan lain telah keluar, seorang lelaki yang ditunggunya dari tadi baru saja menampakkan batang hidungnya.Aran terkejut dengan kedatangan Brian yang tiba-tiba. “Brian? Ngapain Lo di sini? Lupa Lo divisinya Jena di mana?” Lelaki itu bahkan tidak melihat kilat amarah yang menyala-nyala di mata Brian.Brian menarik ujung kerah kemeja Aran. “Ikut gue!” Meski Aran memberontak dan bertanya-tanya, Brian tetap mengunci mulutnya. Dia memerlukan sebuah tempat agar keributan yang terjadi tidak mengundang perhatian apalagi beberapa karyawan dan atasannya masih berada di ruang meeting. Jadi, Brian menghempaskan tubuh Aran saat mereka sudah sampai di lobi. “Lo ada masalah apa, sih?”Bug!Brian berhasil melayangkan satu bogem mentah di pipi Aran. “Anjing! Lo yang ngambil flashdisknya Jena, kan? Lo bikin dia harus ngulang semuanya dari awal bahkan dia s
Jena baru saja menginjakkan kakinya memasuki elevator. Dia baru selesai menemani Pak Ari untuk menemui beberapa orang penting di sebuah restoran. Tepat sebelum pintu elevator itu tertutup rapat, sebuah map tersisip di tengah, mencegah pintu itu untuk segera tertutup. Pintu elevator pun kembali terbuka.“Hai!”seru Mbak Nurul sambil melangkah masuk. “Dari mana, Mbak?”tanya Jena memerhatikan beberapa map yang ditenteng Mbak Nurul. Mbak Nurul menunduk, dia mengangkat beberapa map itu tinggi-tinggi agar bisa dilihat juga oleh Jena. “Biasalah. Pak Mungga hanya bisa andalin gue kalau ada protes dari divisi lain.” Lalu, dia terdiam beberapa saat. Menggigit bibirnya dengan bimbang. Lalu, “Je?”“Hm?” “Lo udah lihat video viral di Twitter belum?”Kini Jena menoleh, keningnya mengernyit dengan gelengan di kepala. “Gue sama sekali belum ada waktu untuk itu. Memangnya ada apa?”Mbak Nurul melotot, “Serius?! Videonya viral loh, Je! Apalagi pake hashtag Citrabangsa!” Mbak Nurul masih syok dengan r
Jena sudah berada di depan sebuah apartemen yang diarahkan oleh Riski. Sejak dua puluh menit yang lalu, Jena masih di sana. Menimbang-nimbang apakah dia akan menemui Brian atau memilih untuk pulang saja.Ini untuk kesekian kalinya Jena mengecek arlojinya. Waktu sudah hampir menginjak pukul sebelas malam. Sebenarnya tidak apa-apa Jena pulang agak terlambat. Toh, ayah dan ibunya sedang ke Bandung. Tapi, entah mengapa rasa mules dengan dada yang berdegup kencang melanda saat kakinya akan melangkah lagi. Jena mendongak. Menatap pada elevator yang tidak bergerak sama sekali. Mungkin saja beberapa penghuni sudah terlelap atau mungkin sudah istirahat.Jadi, Jena memutuskan untuk membalik tubuh. Dia memutuskan untuk menundanya. Tapi, lagi-lagi, perkataan Mbak Nurul terngiang-ngiang di kepalanya.‘Ya … ‘kan kita nggak tahu, Je. Mungkin aja Brian depresi berat akibat insiden yang menimpa dan patah hati yang bersamaan? Ya, kan? Jadi … mau nggak Lo minta maaf sama dia?’“Astaga …!”gumamnya. Dan
Notes : Ada part tentang malam yang dilalui Jena dan Brian di apartemennya. Buat yang penasaran, bisa buka di Karya Karsa. Cari. Kreator : Bastiankers Seri : Dikejar Duda Keren Ada part terkunci yang menceritakan soal malam itu. Bagi yang penasaran aja. Keep reading! ***“Presentasi kamu sangat bagus,”puji Pak Mungga. Beliau bertepuk tangan kecil, lalu yang lain mengikuti. Jena tersenyum senang. “Terimakasih, Pak.” Pak Mungga mengangguk. Lalu, Doni berdiri dan mengakhiri rapat di siang ini. Setelahnya, satu persatu mulai keluar ruangan. Sementara Jena, harus merapihkan laptop dan barang-barangnya yang berada di atas meja. Memasukkannya satu persatu, tentu saja sambil mendengar ocehan Mbak Nurul.“Lo denger, kan?”tanya Mbak Nurul. “Gue butuh banget bantuan seseorang untuk gantiin gue Minggu depan, Je. Lo bisa, kan?”Jena menggeleng cepat. Lalu, menenteng tasnya. “Enggak, Mbak. Lo tahu, kan, pekerjaan gue harus numpuk karena P
Brian mengecek arlojinya beberapa kali. Sesekali dia mengecek ponselnya, sesekali juga dia menoleh saat Pak Ajri meminta jawaban darinya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jena juga tidak menjawab pesan yang dikiriminya sore tadi. Jadi, Brian berpikir untuk menunda rencananya malam ini. Pandangannya tertuju pada dinding kaca yang membatasi setiap sudut restoran. Dari sini, Brian bisa melihat dengan jelas pemandangan Kota Metropolitan dari luar. Begitu macetnya. Lalu lalang kendaraan membuatnya menghela nafas. Rencananya akan ditunda. Ya, malam ini, Brian berencana untuk mengutarakan perasaannya. Dia tidak ingin menunda lagi. Perempuan itu, seperti mempunyai magnet yang kuat. Apalagi, Brian sudah menantikan waktu ini. Namun, apalah daya, semua hanya bisa direncanakan. “Brian, apa kamu punya janji dengan seseorang?”tanya Pak Ajri. Rupanya beliau menyadari sikap Brian yang tidak se-antusias tadi. Tidak semangat seperti tadi. Brian menggeleng. “Tidak, Pak.” Bohong. Ta
Notes : Ada part tentang malam yang dilalui Jena dan Brian di apartemennya. Buat yang penasaran, bisa buka di Karya Karsa. Cari. Kreator : Bastiankers Seri : Dikejar Duda Keren Ada part terkunci yang menceritakan soal malam itu. Bagi yang penasaran aja. Keep reading! ***“Presentasi kamu sangat bagus,”puji Pak Mungga. Beliau bertepuk tangan kecil, lalu yang lain mengikuti. Jena tersenyum senang. “Terimakasih, Pak.” Pak Mungga mengangguk. Lalu, Doni berdiri dan mengakhiri rapat di siang ini. Setelahnya, satu persatu mulai keluar ruangan. Sementara Jena, harus merapihkan laptop dan barang-barangnya yang berada di atas meja. Memasukkannya satu persatu, tentu saja sambil mendengar ocehan Mbak Nurul.“Lo denger, kan?”tanya Mbak Nurul. “Gue butuh banget bantuan seseorang untuk gantiin gue Minggu depan, Je. Lo bisa, kan?”Jena menggeleng cepat. Lalu, menenteng tasnya. “Enggak, Mbak. Lo tahu, kan, pekerjaan gue harus numpuk karena P
Jena sudah berada di depan sebuah apartemen yang diarahkan oleh Riski. Sejak dua puluh menit yang lalu, Jena masih di sana. Menimbang-nimbang apakah dia akan menemui Brian atau memilih untuk pulang saja.Ini untuk kesekian kalinya Jena mengecek arlojinya. Waktu sudah hampir menginjak pukul sebelas malam. Sebenarnya tidak apa-apa Jena pulang agak terlambat. Toh, ayah dan ibunya sedang ke Bandung. Tapi, entah mengapa rasa mules dengan dada yang berdegup kencang melanda saat kakinya akan melangkah lagi. Jena mendongak. Menatap pada elevator yang tidak bergerak sama sekali. Mungkin saja beberapa penghuni sudah terlelap atau mungkin sudah istirahat.Jadi, Jena memutuskan untuk membalik tubuh. Dia memutuskan untuk menundanya. Tapi, lagi-lagi, perkataan Mbak Nurul terngiang-ngiang di kepalanya.‘Ya … ‘kan kita nggak tahu, Je. Mungkin aja Brian depresi berat akibat insiden yang menimpa dan patah hati yang bersamaan? Ya, kan? Jadi … mau nggak Lo minta maaf sama dia?’“Astaga …!”gumamnya. Dan
Jena baru saja menginjakkan kakinya memasuki elevator. Dia baru selesai menemani Pak Ari untuk menemui beberapa orang penting di sebuah restoran. Tepat sebelum pintu elevator itu tertutup rapat, sebuah map tersisip di tengah, mencegah pintu itu untuk segera tertutup. Pintu elevator pun kembali terbuka.“Hai!”seru Mbak Nurul sambil melangkah masuk. “Dari mana, Mbak?”tanya Jena memerhatikan beberapa map yang ditenteng Mbak Nurul. Mbak Nurul menunduk, dia mengangkat beberapa map itu tinggi-tinggi agar bisa dilihat juga oleh Jena. “Biasalah. Pak Mungga hanya bisa andalin gue kalau ada protes dari divisi lain.” Lalu, dia terdiam beberapa saat. Menggigit bibirnya dengan bimbang. Lalu, “Je?”“Hm?” “Lo udah lihat video viral di Twitter belum?”Kini Jena menoleh, keningnya mengernyit dengan gelengan di kepala. “Gue sama sekali belum ada waktu untuk itu. Memangnya ada apa?”Mbak Nurul melotot, “Serius?! Videonya viral loh, Je! Apalagi pake hashtag Citrabangsa!” Mbak Nurul masih syok dengan r
Brian baru saja selesai meeting di pukul tujuh malam. Langkahnya gegas menghampiri divisi yang bersebelahan dengan divisi pemasaran. Tepat saat karyawan lain telah keluar, seorang lelaki yang ditunggunya dari tadi baru saja menampakkan batang hidungnya.Aran terkejut dengan kedatangan Brian yang tiba-tiba. “Brian? Ngapain Lo di sini? Lupa Lo divisinya Jena di mana?” Lelaki itu bahkan tidak melihat kilat amarah yang menyala-nyala di mata Brian.Brian menarik ujung kerah kemeja Aran. “Ikut gue!” Meski Aran memberontak dan bertanya-tanya, Brian tetap mengunci mulutnya. Dia memerlukan sebuah tempat agar keributan yang terjadi tidak mengundang perhatian apalagi beberapa karyawan dan atasannya masih berada di ruang meeting. Jadi, Brian menghempaskan tubuh Aran saat mereka sudah sampai di lobi. “Lo ada masalah apa, sih?”Bug!Brian berhasil melayangkan satu bogem mentah di pipi Aran. “Anjing! Lo yang ngambil flashdisknya Jena, kan? Lo bikin dia harus ngulang semuanya dari awal bahkan dia s
Pagi itu, adalah pagi yang membosankan. Brian dengan segelas kopinya yang masih mengeluarkan uap, duduk di depan pantry sembari memperhatikan beberapa karyawan yang memasuki kantin.Sesekali mengecek arloji, sesekali melirik orang yang masuk, sesekali juga dia akan menghembuskan nafas berat.Mungkin ini pagi kedua perempuan itu tidak masuk ke kantin di pagi hari?Atau mungkin Jena sudah mengganti rutinitasnya di pagi hari?Jadi, saat Riski baru saja meletakkan segelas susu hangat di atas meja. Brian menepuk pundaknya, “Nitip, ya. Nanti gue balik.” Jarinya menunjuk segelas kopi yang masih panas. Dan, tanpa menunggu persetujuan Riski, kaki Brian segera melangkah pergi. Meninggalkan Riski yang menatapnya aneh.Langkah besar yang terkesan buru-buru itu berjalan di atas koridor. Melewati beberapa divisi yang tengah rapat dan akhirnya langkahnya terhenti di sebuah partisi. Yang akhir-akhir ini menjadi candunya. Namun, belum sempat Brian memasukinya, dia berpapasan dengan Mbak Nurul. Jadi,
“Gimana? Udah Lo tembak?” Pertanyaan itu muncul saat Brian baru saja membakar rokoknya. Riski, sedang menatap Brian yang duduk di sampingnya. Belum memberikan jawaban apapun. “Udah atau belum, sih?” Brian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya pelan. “Belum.”Kini mereka berdua sedang duduk di smoking room. Di ruangan persegi yang tertutup itu membuat keduanya sering menghabiskan waktu di sana. Apalagi kalau sedang jenuh atau penat menghadapi pekerjaan. Riski berdecak, “Kenapa? Gue pikir kemarin Lo langsung nembak pas gue sama Mbak Nurul ninggalin Lo berdua?”Asap kecil yang baru saja keluar dari bibir Brian membentuk awan-awan kecil, lalu hilang saat Riski meniupnya. Brian menoleh, “Gue rasa … gue harus ngasih jeda buat dia. Dia baru saja putus. Kemungkinan dia bakal nerima gue kayaknya cuma lima persen.” Brian memandangi rokoknya. Riski menghela napas. Dia membuka bungkusan rokok dan mengambil satu batang. Menyalakan dan ikut menghisap, lalu menghembuskan asapnya kencang. “Ter
Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya
“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se