Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah?
Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul. Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?” Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka pintu kabinet. “Mau ngambil apa?” Brian. Ya. Dia menoleh pada Jena. “CIEEEEEE!!” Sorak Riski hingga membuat beberapa karyawan yang berada di dekat situ menoleh pada keduanya. “Mau ngambil apa, Sayang? Gitu, Yan!” Ah. Dasar. Jena berdehem sebentar. Seharusnya dia mempunyai kemampuan untuk menghilangkan seseorang dari pendengaran atau penglihatannya. Namun, kondisinya saat ini benar-benar tidak mendukung. “Gula,”jawab Jena dengan suara rendah. “Balas, Yan! ‘Ngapain pake gula, sih? Kamu ‘kan udah manis’ gituuuu …” Riski ini benar-benar tidak tahu sikon. Hingga Jena harus menahan malu ketika melihat karyawan lain ikut menggodanya. “Nggak usah didengerin,”ucap Brian setelah meletakkan stoples gula. Lelaki itu hanya memesan makanan. Tapi, gerakannya mampu membuat sepasang mata Jena terus mengikuti. Rupanya pergerakan Jena itu disadari oleh siluman kodok bernama Riski. “Yan, jangan lama-lama! Ayang Lo liatin mulu nih.” Jena hanya geleng-geleng melihat sikap Riski yang antusias atas kesalahpahamannya. Setelah tehnya jadi, Jena segera berlalu. Di ambang pintu dia mendengar Riski berdehem kencang. Benar-benar sinting kali tuh orang. Beberapa karyawan yang tadi menggoda Jena sempat berpapasan di koridor. Mereka senyam-senyum tidak jelas sambil berbisik-bisik. Ah, sial. Jena harus segera sampai di ruangannya dengan cepat. Oke. Kali ini Jena selamat. Dia memasuki partisinya dengan baik. Duduk di balik kubikelnya. Menyesap teh hangatnya sebagai pembuka pekerjaannya yang menumpuk. Pikiran Jena baru saja fokus pada pekerjaannya. Matanya masih menatap monitor laptopnya. Tapi, entah mengapa, pikirannya bukan di situ. Berbelok pada sang duda. Iya. Duda keren itu. Siapa lagi kalau bukan Brian? Dari ceritanya semalam, Jena mengambil kesimpulan bahwa lelaki itu tidak bersalah. Dia mengambil keputusan yang tepat untuk mengakhiri hubungan dengan sang mantan karena memang posisinya yang kalah. Dia menuntut haknya sebagai seorang suami. Dia ingin menjadi dominan juga. Tapi, perempuan yang tidak dikenali Jena itu tidak mengerti. Berbanding terbalik dengan hubungan Aran dan Jena dulu. Jena memposisikan diri sebagai perempuan yang selalu membutuhkan Aran. Walaupun terkadang dia bisa melakukannya sendiri. Tapi, ketika mengharapkan seorang lelaki melakukan sesuatu itu begitu menyenangkan. Jena heran sendiri. Kok bisa ada perempuan model begitu? “Cieee … ngelamun apa, sih, Bu?” Ah. Sial. Godaan selalu datang di waktu yang tidak tepat. Jena menoleh singkat. Meraih kursi di samping yang masih kosong untuk Mbak Nurul duduki. “Wah. Makasih. Eh—atau jangan-jangan Lo lakuin ini karena semalam gue ngambil tindakan yang benar? Iya, kan?” “Astaga, Mbak. Apa yang Lo lihat semalam tuh ngga ada apa-apanya!”balas Jena. Dia harus membela diri sebelum omongan itu makin melebar. Mbak Nurul terkejut. Wajahnya mendekat pada Jena yang keningnya sudah mengerut. “Serius?! Berarti yang Lo lakuin sama Brian lebih dari itu?!” Ya ampun! Suaranya kencang sekali. Sampai pandangan beberapa karyawan yang sedang bekerja ikut menoleh. Rasanya Jena ingin segera hilang ditelan bumi. Atau mungkin dia berharap tiba-tiba diculik. Tapi, tidak. Jena hanya memijiti keningnya yang tiba-tiba sakit. “Mbak. Maksud gue bukan gitu.” “Terus? Jangan bilang kalau kalian lebih parah lagi?! Omaygat!!!” Teriakan histeris itu tambah membuat pening kepala Jena. Dia langsung mengambil kertas dan meremasnya. Setelahnya, dia menyumpal mulut Mbak Nurul yang setengah terbuka itu. “Ih! Jena!!”protes Mbak Nurul. “Dengerin gue, Mbak. Maksud gue, apa yang Lo lihat semalam itu cuma salah paham. Gue sama Brian itu nggak ada apa-apa.” Jelas? Harusnya Mbak Nurul paham. Tapi, matanya mendelik, “Halah. Nggak ada apa-apa, tapi berduaan di kantor? Lo kira gue anak TK yang gampang dibodohi?” Di tengah-tengah panasnya hawa di kubikel Jena. Aran datang dengan pandangan jenuh. Tangannya dilipat di atas kubikel. “Je? Gue mau ngomong.” Tambah sakit lagi kepala Jena. Kalau Aran datang cuma untuk menyudutkan Jena, lebih baik dia enyah saja. Sebelum Jena benar-benar melakukan hal yang buruk, mencekiknya misalnya. Namun, “Apa?” Mbak Nurul menggebrak meja. Dia lantas berbicara dengan Aran, “Gue minta pendapat Lo, Ran.” Tampak antusias sekali. Mata Aran tertuju pada Mbak Nurul. Sesekali melirik Jena yang menoleh pada Mbak Nurul. “Apa, Mbak? Gue bisa kok diandalkan dalam hal itu.” Muak sekali telinga Jena. Sayangnya telinganya tidak bisa memuntahkan cairan busuk di muka Aran. Namun, satu hal penuh kecurigaan dia layangkan pada Mbak Nurul. Jena ikut menyimak. “Menurut Lo, cewek sama cowok berduaan di kantor, tengah malam, itu punya hubungan atau enggak?” Mata Mbak Nurul berbinar-binar saat embusan nafas Jena terdengar. Benar-benar membuat energi Jena habis. Tentu saja Aran tidak tahu-menahu soal itu. Jadi, “Ya, pastilah. Mana mungkin mereka berduaan tanpa status. Udah jelas itu mah.” Aran! Mbak Nurul bersorak kegirangan. Sedangkan, Jena sudah menjatuhkan kepalanya di atas desk. Dia benar-benar muak dengan semuanya. “Tuh, kan! Tapi, Jena nggak mau tuh ngakuin. Gimana, dong?”timpal Mbak Nurul. “Ngakuin apa?” Aran pasti makin kesal kalau dia tahu. “Iya! Jadi, semalam tuh gue nemuin dia sama Brian berduaan! Di sini, Ran! Dan Lo tahu, gongnya tuh Jena meluk si Duren itu!”cicit Mbak Nurul. Jena segera mengangkat kepalanya. “Astaga, Mbak! Gue nggak meluk! Mata Lo itu. Astaga!” Jena bingung. Dia frustasi sekali. Namun, saat melihat pada Aran. Wajah Aran tampak merah. Yang Jena tahu, kalau wajahnya merah itu pertanda lelaki itu sedang marah. Apa Aran sedang cemburu? Jena tidak berbicara apapun setelah melihat Aran berjalan pergi. Loh? Bukannya dia mau mengatakan sesuatu? Mbak Nurul tersenyum. Dia melipat tangannya di atas desk. “Gue sebenarnya sengaja doang.” Mbak Nurul bisa melihat dengan ujung matanya bahwa Jena menoleh. “Pengen lihat reaksi Aran. Enak banget dia mutusin Lo, terus mau deket-deket lagi,”celetuknya sebelum berlalu. Jadwal meeting Jena begitu padat, hingga pekerjaannya harus ditunda beberapa waktu. Hal itu membuat dia harus pulang di jam sebelas malam. Jena pikir, kedua orang tuanya sudah tertidur. Ternyata belum. Keduanya sedang duduk berjarak satu meja makan berbentuk persegi. Jena mendekat setelah melepas flatshoes nya. “Pagi, Bu. Pagi, Yah,”sapanya. Menyalami kedua tangan mereka. Lalu, duduk di dekat ibunya. Jena meraih segelas air, meminumnya. “Tumben, belum tidur.” “Je—” Ucapan Ayah harus terpotong karena ibunya menyela. “Ibu sama Ayah sudah sepakat.” Kening Jena mengernyit. Dia meletakkan gelas dengan baik sebelum menoleh pada ibunya. “Sepakat apa?” Ibu melirik ayahnya yang tampak putus asa. Keduanya seperti mengalami sesuatu yang buruk. Namun, Jena memilih untuk mendengar jawaban itu. “Sepakat untuk … menerima lamaran anak sahabat ayah. Namanya Viar—” “Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se
Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya
Suasana temaram lampu baru saja menyelimuti perasaan hangat sepasang kekasih. Ya, baru saja. Sebelum suatu kata yang menghancurkan suasana hangat malam ini. Jena masih tercengang. Otaknya mendadak buntu untuk menangkap maksud dari lelaki yang berdiri di hadapannya. Masih tampak belum percaya dengan kata yang keluar tadi. “Pu … tus?”Lelaki itu mengangguk yakin. “Iya, putus. Kita putus,”ujarnya. Tampak tidak ragu dari wajahnya. Dia bahkan hanya mengedikkan bahu saat Jena menatapnya dengan tatapan penuh selidik.“Alasannya?” Jena masih tidak menyangka bahwa hubungan yang dia pertahankan selama bertahun-tahun ini akan lenyap seketika. Dia masih berharap lelaki itu membatalkan atau mungkin hanya mengusilinya saja. Namun, “Je … aku tahu ini berat buat kamu. Tapi, please … aku belum siap kalau harus ke jenjang serius. Alias, aku masih belum yakin untuk menikah.” Jena menggeleng pelan. “Nggak. Nggak mungkin cuma itu, kan? Aku udah kenal lama sama kamu, Ran! Aku yakin kamu nggak benar-bena
Pagi itu adalah pagi terburuk bagi Jena. Dia baru saja menghabiskan malamnya untuk menangisi Aran. Yang padahal belum tentu lelaki itu mengingatnya, atau mungkin juga sedang mengejek Jena.Ingin sekali Jena tidak kemana-mana hari ini, namun telepon dari Mbak Nurul selalu menghantuinya. Yang pada akhirnya, membuat Jena tetap ke kantor meski suasana hatinya memburuk.Baru saja sampai dan duduk di balik kubikelnya, Jena sudah menarik nafas panjang saat melihat tumpukan berkas. Beberapa tumpukan itu mungkin saja tengah menertawai Jena. Membuat Jena melipat tangannya di atas desk dan meletakkan dagunya di sana.Seseorang menarik kursi di samping Jena. Menghasilkan derit yang terdengar sekilas. Membuat Jena segera menoleh.“Wiihh … pagi-pagi lemas amat?” Mbak Nurul memicing. Lama dia menatap wajah Jena yang tidak biasanya. “Lo nggak apa-apa, Je? Kok mata Lo bengkak?” Lalu, dia sedikit terkesiap. Entah apa yang dia pikirkan, lalu, “Apa jangan-jangan Aran udah lamar Lo? Iya, kan?”Jena menghe
“Datang, kok. Jena akan datang dengan saya.” Suara bariton itu keluar dari laki-laki yang tengah berdiri dan meletakkan satu tangannya di meja, sedang tangan yang lainnya memegangi kursi Jena. Jena mengangkat wajahnya. Menatap sekilas pada Brian yang menyunggingkan seulas senyum padanya. Sebelum akhirnya kembali menatap Aran yang memicingkan matanya. “Kalian punya hubungan?”Mulut Jena penuh, dia mencoba berbicara, namun artikulasinya kurang jelas. “Gangbnhdnnjnga.” Kurang lebih begitulah yang didengar Aran.Aran dan Jena tertegun beberapa saat ketika tangan Brian mengelus puncak kepala Jena. “Makan yang benar dulu dong, Sayang …” Dan kejadian itu membuat hawa kantin menjadi lebih panas. Terbukti saat Aran melonggarkan sedikit dasinya dan mengibaskan kemejanya. Jena dapat melihat dengan jelas raut wajah Aran yang tampak jengah dan muak. Mungkin Jena akan merutuki Brian karena memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’. Tapi, ketika melihat reaksi Aran seperti itu, Jena sepertinya akan
“Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena. Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.”Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena.“Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena.Dan, “Iya.”“Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan i
Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya
“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se
Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah? Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul.Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?”Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka
“Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena. Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.”Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena.“Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena.Dan, “Iya.”“Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan i
“Datang, kok. Jena akan datang dengan saya.” Suara bariton itu keluar dari laki-laki yang tengah berdiri dan meletakkan satu tangannya di meja, sedang tangan yang lainnya memegangi kursi Jena. Jena mengangkat wajahnya. Menatap sekilas pada Brian yang menyunggingkan seulas senyum padanya. Sebelum akhirnya kembali menatap Aran yang memicingkan matanya. “Kalian punya hubungan?”Mulut Jena penuh, dia mencoba berbicara, namun artikulasinya kurang jelas. “Gangbnhdnnjnga.” Kurang lebih begitulah yang didengar Aran.Aran dan Jena tertegun beberapa saat ketika tangan Brian mengelus puncak kepala Jena. “Makan yang benar dulu dong, Sayang …” Dan kejadian itu membuat hawa kantin menjadi lebih panas. Terbukti saat Aran melonggarkan sedikit dasinya dan mengibaskan kemejanya. Jena dapat melihat dengan jelas raut wajah Aran yang tampak jengah dan muak. Mungkin Jena akan merutuki Brian karena memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’. Tapi, ketika melihat reaksi Aran seperti itu, Jena sepertinya akan
Pagi itu adalah pagi terburuk bagi Jena. Dia baru saja menghabiskan malamnya untuk menangisi Aran. Yang padahal belum tentu lelaki itu mengingatnya, atau mungkin juga sedang mengejek Jena.Ingin sekali Jena tidak kemana-mana hari ini, namun telepon dari Mbak Nurul selalu menghantuinya. Yang pada akhirnya, membuat Jena tetap ke kantor meski suasana hatinya memburuk.Baru saja sampai dan duduk di balik kubikelnya, Jena sudah menarik nafas panjang saat melihat tumpukan berkas. Beberapa tumpukan itu mungkin saja tengah menertawai Jena. Membuat Jena melipat tangannya di atas desk dan meletakkan dagunya di sana.Seseorang menarik kursi di samping Jena. Menghasilkan derit yang terdengar sekilas. Membuat Jena segera menoleh.“Wiihh … pagi-pagi lemas amat?” Mbak Nurul memicing. Lama dia menatap wajah Jena yang tidak biasanya. “Lo nggak apa-apa, Je? Kok mata Lo bengkak?” Lalu, dia sedikit terkesiap. Entah apa yang dia pikirkan, lalu, “Apa jangan-jangan Aran udah lamar Lo? Iya, kan?”Jena menghe
Suasana temaram lampu baru saja menyelimuti perasaan hangat sepasang kekasih. Ya, baru saja. Sebelum suatu kata yang menghancurkan suasana hangat malam ini. Jena masih tercengang. Otaknya mendadak buntu untuk menangkap maksud dari lelaki yang berdiri di hadapannya. Masih tampak belum percaya dengan kata yang keluar tadi. “Pu … tus?”Lelaki itu mengangguk yakin. “Iya, putus. Kita putus,”ujarnya. Tampak tidak ragu dari wajahnya. Dia bahkan hanya mengedikkan bahu saat Jena menatapnya dengan tatapan penuh selidik.“Alasannya?” Jena masih tidak menyangka bahwa hubungan yang dia pertahankan selama bertahun-tahun ini akan lenyap seketika. Dia masih berharap lelaki itu membatalkan atau mungkin hanya mengusilinya saja. Namun, “Je … aku tahu ini berat buat kamu. Tapi, please … aku belum siap kalau harus ke jenjang serius. Alias, aku masih belum yakin untuk menikah.” Jena menggeleng pelan. “Nggak. Nggak mungkin cuma itu, kan? Aku udah kenal lama sama kamu, Ran! Aku yakin kamu nggak benar-bena