Suasana temaram lampu baru saja menyelimuti perasaan hangat sepasang kekasih. Ya, baru saja. Sebelum suatu kata yang menghancurkan suasana hangat malam ini.
Jena masih tercengang. Otaknya mendadak buntu untuk menangkap maksud dari lelaki yang berdiri di hadapannya. Masih tampak belum percaya dengan kata yang keluar tadi. “Pu … tus?” Lelaki itu mengangguk yakin. “Iya, putus. Kita putus,”ujarnya. Tampak tidak ragu dari wajahnya. Dia bahkan hanya mengedikkan bahu saat Jena menatapnya dengan tatapan penuh selidik. “Alasannya?” Jena masih tidak menyangka bahwa hubungan yang dia pertahankan selama bertahun-tahun ini akan lenyap seketika. Dia masih berharap lelaki itu membatalkan atau mungkin hanya mengusilinya saja. Namun, “Je … aku tahu ini berat buat kamu. Tapi, please … aku belum siap kalau harus ke jenjang serius. Alias, aku masih belum yakin untuk menikah.” Jena menggeleng pelan. “Nggak. Nggak mungkin cuma itu, kan? Aku udah kenal lama sama kamu, Ran! Aku yakin kamu nggak benar-benar dalam keputusan kamu!” “Terserah! Terserah apa pun yang kamu bilang. Aku tetap ingin putus!” Aran mengatakannya dengan lantang dan lugas. Setelahnya, dia pergi meninggalkan Jena yang termangu. Di bawah lampu temaram yang menyirami setengah tubuh Jena. Jena mengambil langkah lunglai. Dia berjalan perlahan menelusuri area taman. Dia bingung sendiri. Tidak mengerti dengan maksud Aran. Padahal yang dimaksud ayah Jena bukan perihal menikah. Tapi, mungkin saja Aran salah paham yang mengakibatkan hubungan keduanya harus kandas. Setelah bertahun-tahun. Jena dan Aran sudah menghabiskan waktu empat tahun. Namun, apa hasilnya? Kandas. Jena berdecak. Langkahnya tetap terayun keluar area taman. Kini, dia menjejaki trotoar. Sendirian. Dia benar-benar seperti perempuan yang kehilangan arah. Langkahnya terhenti. Sorotan lampu mobil yang membunyikan klakson di dekat Jena, membuatnya membalik tubuh. Dia masih berharap Aran datang, menjemputnya, membawanya pulang, dan mengatakan bahwa semuanya adalah kebohongan. Namun, “Jena? Kamu kok di sini?” Seseorang yang menyembulkan kepala dari kaca yang diturunkan itu membuat Jena terdiam. Dia pikir, seseorang yang membawa mobil itu Aran. Ternyata, bukan. “Jena?” Sekali lagi, lelaki itu kembali bersuara karena Jena masih terdiam. Namun, kali kedua sama saja. Jena masih memilih diam. Tatapnya tertuju pada lelaki berkemeja hitam itu. Dia masih bergeming. Lelaki itu memutuskan untuk keluar dan menghampiri Jena. Penampilannya benar-benar tidak berubah dari yang Jena lihat pagi tadi. “Je? Kamu baik-baik aja?”tanyanya, “Aku antar pulang. Yuk!” Tanpa menunggu jawaban Jena, lelaki itu menuntunnya. Membukakan pintu di samping jok pengemudi. Setelah memastikan Jena sudah duduk dengan nyaman, lelaki itu memutari mobil dan masuk ke jok pengemudi. “Aku … aku sebenarnya nggak apa-apa kok,”ucap Jena tanpa menoleh. Dia hanya menatap lurus dengan pandangan yang mulai kabur. Lelaki itu mengangguk. Seketika hening saat lelaki itu mendekat ke arah Jena. Tubuhnya condong dan membuat Jena panik. Jena sontak menutup mata saat wajah lelaki itu berada di depan wajahnya. Hembusan nafas lelah itu bisa Jena rasakan. Begitu mengundang debar di dada. Jena bahkan menggenggam erat bajunya tanpa membuka mata. Click! “Udah. Aku udah pasangin seat belt kamu,”ucap lelaki itu saat menjauh. Dia bahkan tidak menyadari muka memerah milik Jena. Mata Jena terbuka lebar. Dia memastikan seat belt yang baru dipasangkan lelaki itu. Benar. Ya ampun! Apa yang diharapkan Jena? Apa Jena mengharapkan sebuah ciuman dari lelaki itu? “Makasih,”ucap Jena tanpa menoleh. Dia yakin mukanya sudah merah merona. Tidak mungkin dia berbalik dengan perasaan canggung yang menyelimutinya. Jena berdehem. Dia menoleh sekilas, “Kamu baru pulang, ya?” “Iya. Tadi Pak Christ minta ditemani. Sekaligus aku harus temui konsultan dulu. Jadi … ya, begini aja.”jawabnya. Tatapnya lurus pada jalanan. Kini, mobil mereka sudah berada pada keramaian. “Kamu sendiri? Kok di jalan?” “Oh … aku—itu apa? Hmm … sama teman tadi.” Bohong. Jena sengaja agar kisah cintanya tidak terdengar menyedihkan. Dia bahkan menoleh sekilas saat lelaki itu mengerutkan kening. “Jadi? Kamu mau langsung pulang?” Astaga, Jena! Pertanyaan macam apa itu? Lihat? Lelaki itu tertawa pelan melihat tingkah absurd Jena. Dia sempat menggeleng, “Kamu nih lucu. Ya iyalah, langsung pulang. Kenapa memangnya?” Dia melirik sekilas, “Mau kamu kenalin ke orang tua kamu?” Jena mengibaskan tangannya, “Eh, enggak ya … entar orang tuaku pingsan kalau aku bawa pulang duda.” Sontak lelaki itu tertawa terbahak-bahak. “Nggak apa-apa dong. Duren nih bos. Senggol dong,”ucapnya bernada. Yang membuat tawa Jena meledak. Mobil mereka mulai memasuki area gang. Jena melirik lelaki itu sekilas. Iya, dia akui lelaki itu memiliki paras yang rupawan. Side profil yang dimilikinya membuat beberapa perempuan pasti memujanya. Rahang yang tampak kokoh itu, dipadukan dengan mata yang indah, lekuk hidung yang runcing, dan bibir tipis, serta alis tebalnya. Siapa yang akan menolak? Namun, untuk Jena? Tentu saja Jena akan menolak. Meski lelaki itu selalu berperilaku baik padanya. Lelaki itu berdehem. Sekilas melirik, lalu kembali menatap jalan setapak yang akan sampai pada area perumahan. “Untung aku masih ingat rumah kamu di mana.” Jena tersenyum tipis. Dia membuka mulut hendak bersuara. Namun, pemandangan di seberang jalan lebih menarik perhatiannya. Aran. Ya. Dia sedang berciuman dengan seorang perempuan yang Jena kenali. Seketika dunia terasa senyap. Mata Jena terus mengikuti keduanya meski mobil sudah melewati mereka. Jena termangu. Meratapi kebodohannya selama ini. Dia pikir, Aran tulus mencintainya. Namun, setulus apa dia sampai-sampai bisa mencium bibir dari seseorang yang Jena anggap sahabat? “Je?” Suara itu membuat lamunan Jena buyar. Tatap Jena berpendar. Ternyata mereka telah sampai. “Oh … udah sampai, ya?”gumamnya. Terlihat bodoh. Jena tidak memperdulikan sorot mata yang ditujukan lelaki itu. Dia memilih turun. Sesaat setelah menutup pintu mobil. Sebelum Jena mengucapkan kalimat terima kasih, sebuah suara bariton khas yang Jena kenali terdengar. “Jena? Baru pulang? Mana Aran?” Mulut Jena tergagap. Dia menatap ayahnya yang baru keluar rumah dan lelaki yang sekarang sedang di dalam mobil. “Aran … Aran lagi ada urusan, Yah.” Ayahnya manggut-manggut. Kepalanya bergerak mengintip seseorang yang di dalam mobil. Namun, belum sempat memperhatikannya dengan baik, lelaki itu turun. Dengan senyum khasnya, dia berjalan menghampiri Ayah Jena. Mengulurkan tangan. “Saya Brian, Om. Teman Jena.” Melirik sekilas perempuan yang jantungnya hampir copot itu. Ayah membalas uluran tangan Brian. Setelahnya, dia menatap Brian dan Jena bergantian. Keningnya mengkerut, “Teman?” Wajar ayahnya keheranan, karena yang ayahnya tahu Jena jarang bergaul dengan lelaki semenjak berpacaran dengan Aran. “Teman kantor,”jelas Jena. Suaranya bahkan hampir tidak kedengaran saking rendahnya. “Oh … teman kantor.” Ayah manggut-manggut sambil memerhatikan penampilan Brian. “Masuk dulu?” Brian mengangguk. Namun, Jena menggeleng. Sesuatu yang buruk akan terjadi jika Brian masuk ke dalam. “Dia mau langsung pulang ke rumahnya kok, Yah.” Tatap Jena beralih pada Brian. “Iya, kan?” Meski ragu dan keheranan, Brian tetap mengangguk. “Mungkin lain kali, Om.” Satu kalimat yang membuat Jena menutup mata. Tidak! Seharusnya Brian tidak mengatakan hal itu. Ayah Jena mengangguk antusias. “Baik. Saya tunggu kedatangan kamu, ya?” Telunjuknya mengacung, lalu lelaki paruh baya itu bergegas masuk. Meninggalkan keduanya. Embusan nafas kasar terdengar dari Jena. Berkali-kali dia melepaskan nafas kasar. Mengundang rasa penasaran Brian. “Ada apa, sih?” “Kamu nggak seharusnya iyain dong. Nggak segampang itu!”protes Jena. Matanya melotot pada Brian. “Maksudnya? Emangnya kalau aku datang ke rumah kamu. Kita langsung bakal dinikahin?” Oh, Ya Tuhan! Bagaimana Jena akan menjelaskannya?Pagi itu adalah pagi terburuk bagi Jena. Dia baru saja menghabiskan malamnya untuk menangisi Aran. Yang padahal belum tentu lelaki itu mengingatnya, atau mungkin juga sedang mengejek Jena.Ingin sekali Jena tidak kemana-mana hari ini, namun telepon dari Mbak Nurul selalu menghantuinya. Yang pada akhirnya, membuat Jena tetap ke kantor meski suasana hatinya memburuk.Baru saja sampai dan duduk di balik kubikelnya, Jena sudah menarik nafas panjang saat melihat tumpukan berkas. Beberapa tumpukan itu mungkin saja tengah menertawai Jena. Membuat Jena melipat tangannya di atas desk dan meletakkan dagunya di sana.Seseorang menarik kursi di samping Jena. Menghasilkan derit yang terdengar sekilas. Membuat Jena segera menoleh.“Wiihh … pagi-pagi lemas amat?” Mbak Nurul memicing. Lama dia menatap wajah Jena yang tidak biasanya. “Lo nggak apa-apa, Je? Kok mata Lo bengkak?” Lalu, dia sedikit terkesiap. Entah apa yang dia pikirkan, lalu, “Apa jangan-jangan Aran udah lamar Lo? Iya, kan?”Jena menghe
“Datang, kok. Jena akan datang dengan saya.” Suara bariton itu keluar dari laki-laki yang tengah berdiri dan meletakkan satu tangannya di meja, sedang tangan yang lainnya memegangi kursi Jena. Jena mengangkat wajahnya. Menatap sekilas pada Brian yang menyunggingkan seulas senyum padanya. Sebelum akhirnya kembali menatap Aran yang memicingkan matanya. “Kalian punya hubungan?”Mulut Jena penuh, dia mencoba berbicara, namun artikulasinya kurang jelas. “Gangbnhdnnjnga.” Kurang lebih begitulah yang didengar Aran.Aran dan Jena tertegun beberapa saat ketika tangan Brian mengelus puncak kepala Jena. “Makan yang benar dulu dong, Sayang …” Dan kejadian itu membuat hawa kantin menjadi lebih panas. Terbukti saat Aran melonggarkan sedikit dasinya dan mengibaskan kemejanya. Jena dapat melihat dengan jelas raut wajah Aran yang tampak jengah dan muak. Mungkin Jena akan merutuki Brian karena memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’. Tapi, ketika melihat reaksi Aran seperti itu, Jena sepertinya akan
“Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena. Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.”Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena.“Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena.Dan, “Iya.”“Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan i
Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah? Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul.Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?”Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka
“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se
Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya
Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya
“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se
Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah? Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul.Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?”Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka
“Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena. Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.”Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena.“Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena.Dan, “Iya.”“Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan i
“Datang, kok. Jena akan datang dengan saya.” Suara bariton itu keluar dari laki-laki yang tengah berdiri dan meletakkan satu tangannya di meja, sedang tangan yang lainnya memegangi kursi Jena. Jena mengangkat wajahnya. Menatap sekilas pada Brian yang menyunggingkan seulas senyum padanya. Sebelum akhirnya kembali menatap Aran yang memicingkan matanya. “Kalian punya hubungan?”Mulut Jena penuh, dia mencoba berbicara, namun artikulasinya kurang jelas. “Gangbnhdnnjnga.” Kurang lebih begitulah yang didengar Aran.Aran dan Jena tertegun beberapa saat ketika tangan Brian mengelus puncak kepala Jena. “Makan yang benar dulu dong, Sayang …” Dan kejadian itu membuat hawa kantin menjadi lebih panas. Terbukti saat Aran melonggarkan sedikit dasinya dan mengibaskan kemejanya. Jena dapat melihat dengan jelas raut wajah Aran yang tampak jengah dan muak. Mungkin Jena akan merutuki Brian karena memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’. Tapi, ketika melihat reaksi Aran seperti itu, Jena sepertinya akan
Pagi itu adalah pagi terburuk bagi Jena. Dia baru saja menghabiskan malamnya untuk menangisi Aran. Yang padahal belum tentu lelaki itu mengingatnya, atau mungkin juga sedang mengejek Jena.Ingin sekali Jena tidak kemana-mana hari ini, namun telepon dari Mbak Nurul selalu menghantuinya. Yang pada akhirnya, membuat Jena tetap ke kantor meski suasana hatinya memburuk.Baru saja sampai dan duduk di balik kubikelnya, Jena sudah menarik nafas panjang saat melihat tumpukan berkas. Beberapa tumpukan itu mungkin saja tengah menertawai Jena. Membuat Jena melipat tangannya di atas desk dan meletakkan dagunya di sana.Seseorang menarik kursi di samping Jena. Menghasilkan derit yang terdengar sekilas. Membuat Jena segera menoleh.“Wiihh … pagi-pagi lemas amat?” Mbak Nurul memicing. Lama dia menatap wajah Jena yang tidak biasanya. “Lo nggak apa-apa, Je? Kok mata Lo bengkak?” Lalu, dia sedikit terkesiap. Entah apa yang dia pikirkan, lalu, “Apa jangan-jangan Aran udah lamar Lo? Iya, kan?”Jena menghe
Suasana temaram lampu baru saja menyelimuti perasaan hangat sepasang kekasih. Ya, baru saja. Sebelum suatu kata yang menghancurkan suasana hangat malam ini. Jena masih tercengang. Otaknya mendadak buntu untuk menangkap maksud dari lelaki yang berdiri di hadapannya. Masih tampak belum percaya dengan kata yang keluar tadi. “Pu … tus?”Lelaki itu mengangguk yakin. “Iya, putus. Kita putus,”ujarnya. Tampak tidak ragu dari wajahnya. Dia bahkan hanya mengedikkan bahu saat Jena menatapnya dengan tatapan penuh selidik.“Alasannya?” Jena masih tidak menyangka bahwa hubungan yang dia pertahankan selama bertahun-tahun ini akan lenyap seketika. Dia masih berharap lelaki itu membatalkan atau mungkin hanya mengusilinya saja. Namun, “Je … aku tahu ini berat buat kamu. Tapi, please … aku belum siap kalau harus ke jenjang serius. Alias, aku masih belum yakin untuk menikah.” Jena menggeleng pelan. “Nggak. Nggak mungkin cuma itu, kan? Aku udah kenal lama sama kamu, Ran! Aku yakin kamu nggak benar-bena