Pagi itu adalah pagi terburuk bagi Jena. Dia baru saja menghabiskan malamnya untuk menangisi Aran. Yang padahal belum tentu lelaki itu mengingatnya, atau mungkin juga sedang mengejek Jena.
Ingin sekali Jena tidak kemana-mana hari ini, namun telepon dari Mbak Nurul selalu menghantuinya. Yang pada akhirnya, membuat Jena tetap ke kantor meski suasana hatinya memburuk. Baru saja sampai dan duduk di balik kubikelnya, Jena sudah menarik nafas panjang saat melihat tumpukan berkas. Beberapa tumpukan itu mungkin saja tengah menertawai Jena. Membuat Jena melipat tangannya di atas desk dan meletakkan dagunya di sana. Seseorang menarik kursi di samping Jena. Menghasilkan derit yang terdengar sekilas. Membuat Jena segera menoleh. “Wiihh … pagi-pagi lemas amat?” Mbak Nurul memicing. Lama dia menatap wajah Jena yang tidak biasanya. “Lo nggak apa-apa, Je? Kok mata Lo bengkak?” Lalu, dia sedikit terkesiap. Entah apa yang dia pikirkan, lalu, “Apa jangan-jangan Aran udah lamar Lo? Iya, kan?” Jena menghela nafas. Dia tidak menjawabnya langsung. Masih berpikir bahwa semua yang menimpanya kemarin adalah mimpi buruk. “Je? Ceritain dong!”pinta Mbak Nurul dengan antusias. Dia tidak tahu saja kalau suasana hati Jena sedang tidak baik-baik saja. “Gue udah putus.” Jena tidak menoleh. Dia hanya menyangga dagunya dengan satu telapak tangan. Dia sudah tahu respon perempuan di sampingnya itu. Terperangah dalam waktu lama. Matanya membulat tidak percaya. Dan mulutnya membuka hendak bersuara. Banyak sekali pertanyaan yang muncul di benaknya. Namun, “Kok bisa?” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Mbak Nurul. Jena mengedikkan bahunya. “Ya … gitu.” Jena mengambil beberapa berkas dan mulai menelitinya. Dia pikir, Mbak Nurul akan segera bangkit dan membiarkannya sendiri. Ternyata, tidak. “Siapa yang mutusin? Lo? Atau Aran?” Sepertinya perempuan itu masih tidak percaya dengan apa yang menimpa Jena. Jena memaklumi itu, karena hanya Mbak Nurul yang tahu tentang semuanya. “Aran,”jawabnya. Menoleh singkat, “Udah, ya, Mbak? Aku kayaknya mau fokus sama kerjaan aku yang numpuk ini. Lagian tuh duda satu juga nggak nanggung-nanggung mau ngasih semuanya ke aku.” Mbak Nurul bangkit setelah melepaskan tawanya. Dia hanya menepuk pundak Jena sebelum benar-benar menghilang dari kubikel Jena. Sesaat, membuat Jena melepaskan nafas panjang. Akhirnya, dia bisa menikmati sunyi senyap yang bisa membawanya fokus dalam pekerjaan lagi. Setidaknya begitu. Setidaknya dengan dia sibuk dan fokus bekerja, maka dia tidak akan terlalu memikirkan kisah percintaannya yang kandas. Semua sedang fokus pada pekerjaan mereka masing-masing. Hanya terdengar beberapa bunyi bising, seperti bunyi keyboard, bunyi print, atau terdengar beberapa langkah kaki. Dia benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya. Sampai-sampai tidak memperdulikan perutnya yang sudah kelaparan dan minta diisi. Matanya melirik jam dinding. Ternyata waktunya sudah tersita banyak. Baru saja Jena bangkit dan membereskan beberapa barang di desk. Pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang memasuki work station dan menuju ke arah kubikelnya. Senyum khas yang selalu ditujukan pada Jena itu, kini membuat Jena tampak muak. Dia memalingkan wajah sesaat. “Je? Aku nyariin di kantin nggak ada. Tahunya kamu masih di sini,”ucap Aran seraya melipat tangannya di atas kubikel Jena. “Kenapa? Bukannya urusan kita udah selesai?”ketus Jena. Di wajahnya terlihat pemandangan tidak bahagia. Namun, sepertinya Aran tidak mengerti itu. “Apa, sih? Professional dong, Je. Bagaimana pun kita ini masih rekan kerja. Nggak etis bawa-bawa perasaan di dalam dunia kerja,”ucap lelaki itu. Jena berdecak. “Kalau gitu, cari aja partner lain. Soalnya aku ‘nggak etis’!”sahut Jena. Kemudian, berjalan melewati Aran yang hendak menarik pergelangan tangannya. Lelaki itu mengekor di belakang Jena. Tampak ingin berkomentar atas sikap dan tindakan yang diambil Jena. Apalagi yang Aran mau? Toh, hubungan mereka sudah selesai? Jena tidak menggubris Aran meski beberapa karyawan lain menatap keduanya bergantian saat mereka sudah tiba di kantin. Jena mengambil tempat duduk di sudut. Dia merogoh saku untuk mengambil ponsel. Memainkan benda persegi itu agar tatapnya tidak bertemu dengan Aran yang duduk di hadapannya. “Je … kamu itu masih kekanak-kanakan tahu, ga?” Aran menatap tajam pada Jena yang malas menanggapinya. Jena tidak menyahut. Dia hanya menggumam. Lama. Sembari sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri pada beberapa orang yang memerhatikan mereka. “Ini nih. Satu hal yang paling nggak aku suka dari kamu. Selalu kekanak-kanakan. Egois dan paling nggak bisa dengerin orang lain,”lanjut Aran. Dia sama sekali tidak memperdulikan tatapan beberapa mata. Ya, mungkin itu sudah sikapnya. Yaitu, tidak peduli dengan tanggapan orang. Jena berdecak sebal. Dia hanya bersandar di kursi sambil melipat tangan di dada. Matanya sesaat memicing sebelum menjawab ucapan Aran. “Oh ya? Aku egois? Nggak salah tuh? Selama empat tahun pacaran, baru kali ini kamu bilang aku egois?” Aran mengangguk. “Ya.” Dia benar-benar menyebalkan di mata Jena. Seandainya tidak ada orang di sana, mungkin saja Jena akan meneriakinya dengan kata-kata serapah. Setelah apa yang dilihat Jena semalam, bisa-bisanya laki-laki itu datang untuk menghakiminya. Seorang pelayan datang membawakan pesanan keduanya. Namun, tatapan sengit yang dilayangkan Jena tidak berubah. Dia bahkan berpikir untuk mengambil jus jeruk yang dia pesan dan melemparnya pada kemeja putih Aran. Tidak. Jena tidak akan melakukan hal bodoh itu di kantor. Apalagi di tengah-tengah banyaknya karyawan yang baru saja masuk untuk meeting dadakan. Jena menoleh sebentar saat mendengar suara yang dia kenali. “Tahap perencanaan sudah saya bagikan pada pihak manajemen. Tinggal diakumulasikan kembali,”ucap Brian pada beberapa orang di hadapannya. Mereka mengambil tempat duduk di samping meja Jena. Mungkin saja lelaki itu tahu bahwa seseorang sedang menatapnya. Maka dari itu, dia menoleh pada meja di seberang. Tatap keduanya bertemu sebelum akhirnya Brian memutuskan tatap itu terlebih dulu. “Semua datanya akan saya kirim besok,”sahut salah satu dari mereka. Membuat wajah Brian tampak tidak puas mendengarnya. “Kalau bisa sore atau malam ini. Supaya saya bisa memeriksanya ulang dan akan memberikan draft nya pada Pak Ridwan. Bisa?” Jena tidak melihat lagi aktivitas yang berlangsung di sampingnya. Tangannya sudah menyendok pasta yang dipesannya. Memakannya sambil terus mendengar percakapan di seberang. “Je, ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.” Suara Aran memecah fokus Jena. Meski Jena tidak menanggapinya, Aran tetap akan bersuara. Jadi, “Aku mau tunangan sama Shasa. Bunda yang pengen.” Jena terkekeh. Dia menertawakan alasan yang dikemukakan Aran. Bunda yang menginginkan katanya? Selepas yang dilihat Jena semalam? Apakah benar demikian? “Oh … bagus. Selamat, ya.” “Kamu datang, kan?”tanya Aran dengan menaikkan alisnya satu. Tampak tidak yakin dengan Jena. Lalu, “Acara pertunangan ku bulan depan. Kalau bisa, kamu datang bawa pasangan. Bisa, kan?” Jena menghentikan kunyahannya. Garpunya terlepas dari tangannya saat merasa kerongkongannya tertohok. Sesak begitu melanda saat ini. Namun, “Datang kok. Jena akan datang dengan saya.”“Datang, kok. Jena akan datang dengan saya.” Suara bariton itu keluar dari laki-laki yang tengah berdiri dan meletakkan satu tangannya di meja, sedang tangan yang lainnya memegangi kursi Jena. Jena mengangkat wajahnya. Menatap sekilas pada Brian yang menyunggingkan seulas senyum padanya. Sebelum akhirnya kembali menatap Aran yang memicingkan matanya. “Kalian punya hubungan?”Mulut Jena penuh, dia mencoba berbicara, namun artikulasinya kurang jelas. “Gangbnhdnnjnga.” Kurang lebih begitulah yang didengar Aran.Aran dan Jena tertegun beberapa saat ketika tangan Brian mengelus puncak kepala Jena. “Makan yang benar dulu dong, Sayang …” Dan kejadian itu membuat hawa kantin menjadi lebih panas. Terbukti saat Aran melonggarkan sedikit dasinya dan mengibaskan kemejanya. Jena dapat melihat dengan jelas raut wajah Aran yang tampak jengah dan muak. Mungkin Jena akan merutuki Brian karena memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’. Tapi, ketika melihat reaksi Aran seperti itu, Jena sepertinya akan
“Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena. Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.”Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena.“Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena.Dan, “Iya.”“Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan i
Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah? Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul.Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?”Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka
“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se
Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya
Suasana temaram lampu baru saja menyelimuti perasaan hangat sepasang kekasih. Ya, baru saja. Sebelum suatu kata yang menghancurkan suasana hangat malam ini. Jena masih tercengang. Otaknya mendadak buntu untuk menangkap maksud dari lelaki yang berdiri di hadapannya. Masih tampak belum percaya dengan kata yang keluar tadi. “Pu … tus?”Lelaki itu mengangguk yakin. “Iya, putus. Kita putus,”ujarnya. Tampak tidak ragu dari wajahnya. Dia bahkan hanya mengedikkan bahu saat Jena menatapnya dengan tatapan penuh selidik.“Alasannya?” Jena masih tidak menyangka bahwa hubungan yang dia pertahankan selama bertahun-tahun ini akan lenyap seketika. Dia masih berharap lelaki itu membatalkan atau mungkin hanya mengusilinya saja. Namun, “Je … aku tahu ini berat buat kamu. Tapi, please … aku belum siap kalau harus ke jenjang serius. Alias, aku masih belum yakin untuk menikah.” Jena menggeleng pelan. “Nggak. Nggak mungkin cuma itu, kan? Aku udah kenal lama sama kamu, Ran! Aku yakin kamu nggak benar-bena
Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya
“Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se
Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah? Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul.Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?”Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka
“Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena. Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.”Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena.“Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena.Dan, “Iya.”“Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan i
“Datang, kok. Jena akan datang dengan saya.” Suara bariton itu keluar dari laki-laki yang tengah berdiri dan meletakkan satu tangannya di meja, sedang tangan yang lainnya memegangi kursi Jena. Jena mengangkat wajahnya. Menatap sekilas pada Brian yang menyunggingkan seulas senyum padanya. Sebelum akhirnya kembali menatap Aran yang memicingkan matanya. “Kalian punya hubungan?”Mulut Jena penuh, dia mencoba berbicara, namun artikulasinya kurang jelas. “Gangbnhdnnjnga.” Kurang lebih begitulah yang didengar Aran.Aran dan Jena tertegun beberapa saat ketika tangan Brian mengelus puncak kepala Jena. “Makan yang benar dulu dong, Sayang …” Dan kejadian itu membuat hawa kantin menjadi lebih panas. Terbukti saat Aran melonggarkan sedikit dasinya dan mengibaskan kemejanya. Jena dapat melihat dengan jelas raut wajah Aran yang tampak jengah dan muak. Mungkin Jena akan merutuki Brian karena memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’. Tapi, ketika melihat reaksi Aran seperti itu, Jena sepertinya akan
Pagi itu adalah pagi terburuk bagi Jena. Dia baru saja menghabiskan malamnya untuk menangisi Aran. Yang padahal belum tentu lelaki itu mengingatnya, atau mungkin juga sedang mengejek Jena.Ingin sekali Jena tidak kemana-mana hari ini, namun telepon dari Mbak Nurul selalu menghantuinya. Yang pada akhirnya, membuat Jena tetap ke kantor meski suasana hatinya memburuk.Baru saja sampai dan duduk di balik kubikelnya, Jena sudah menarik nafas panjang saat melihat tumpukan berkas. Beberapa tumpukan itu mungkin saja tengah menertawai Jena. Membuat Jena melipat tangannya di atas desk dan meletakkan dagunya di sana.Seseorang menarik kursi di samping Jena. Menghasilkan derit yang terdengar sekilas. Membuat Jena segera menoleh.“Wiihh … pagi-pagi lemas amat?” Mbak Nurul memicing. Lama dia menatap wajah Jena yang tidak biasanya. “Lo nggak apa-apa, Je? Kok mata Lo bengkak?” Lalu, dia sedikit terkesiap. Entah apa yang dia pikirkan, lalu, “Apa jangan-jangan Aran udah lamar Lo? Iya, kan?”Jena menghe
Suasana temaram lampu baru saja menyelimuti perasaan hangat sepasang kekasih. Ya, baru saja. Sebelum suatu kata yang menghancurkan suasana hangat malam ini. Jena masih tercengang. Otaknya mendadak buntu untuk menangkap maksud dari lelaki yang berdiri di hadapannya. Masih tampak belum percaya dengan kata yang keluar tadi. “Pu … tus?”Lelaki itu mengangguk yakin. “Iya, putus. Kita putus,”ujarnya. Tampak tidak ragu dari wajahnya. Dia bahkan hanya mengedikkan bahu saat Jena menatapnya dengan tatapan penuh selidik.“Alasannya?” Jena masih tidak menyangka bahwa hubungan yang dia pertahankan selama bertahun-tahun ini akan lenyap seketika. Dia masih berharap lelaki itu membatalkan atau mungkin hanya mengusilinya saja. Namun, “Je … aku tahu ini berat buat kamu. Tapi, please … aku belum siap kalau harus ke jenjang serius. Alias, aku masih belum yakin untuk menikah.” Jena menggeleng pelan. “Nggak. Nggak mungkin cuma itu, kan? Aku udah kenal lama sama kamu, Ran! Aku yakin kamu nggak benar-bena