Home / Romansa / DIKEJAR DUDA KEREN / PERSETUJUAN TANPA KOMPROMI

Share

PERSETUJUAN TANPA KOMPROMI

Author: Bastiankers
last update Last Updated: 2025-03-14 10:27:32

Pagi itu adalah pagi terburuk bagi Jena. Dia baru saja menghabiskan malamnya untuk menangisi Aran. Yang padahal belum tentu lelaki itu mengingatnya, atau mungkin juga sedang mengejek Jena.

Ingin sekali Jena tidak kemana-mana hari ini, namun telepon dari Mbak Nurul selalu menghantuinya. Yang pada akhirnya, membuat Jena tetap ke kantor meski suasana hatinya memburuk.

Baru saja sampai dan duduk di balik kubikelnya, Jena sudah menarik nafas panjang saat melihat tumpukan berkas. Beberapa tumpukan itu mungkin saja tengah menertawai Jena. Membuat Jena melipat tangannya di atas desk dan meletakkan dagunya di sana.

Seseorang menarik kursi di samping Jena. Menghasilkan derit yang terdengar sekilas. Membuat Jena segera menoleh.

“Wiihh … pagi-pagi lemas amat?” Mbak Nurul memicing. Lama dia menatap wajah Jena yang tidak biasanya. “Lo nggak apa-apa, Je? Kok mata Lo bengkak?” Lalu, dia sedikit terkesiap. Entah apa yang dia pikirkan, lalu, “Apa jangan-jangan Aran udah lamar Lo? Iya, kan?”

Jena menghela nafas. Dia tidak menjawabnya langsung. Masih berpikir bahwa semua yang menimpanya kemarin adalah mimpi buruk. 

“Je? Ceritain dong!”pinta Mbak Nurul dengan antusias. Dia tidak tahu saja kalau suasana hati Jena sedang tidak baik-baik saja. 

“Gue udah putus.” Jena tidak menoleh. Dia hanya menyangga dagunya dengan satu telapak tangan. Dia sudah tahu respon perempuan di sampingnya itu.

Terperangah dalam waktu lama. Matanya membulat tidak percaya. Dan mulutnya membuka hendak bersuara. Banyak sekali pertanyaan yang muncul di benaknya. Namun, “Kok bisa?” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Mbak Nurul.

Jena mengedikkan bahunya. “Ya … gitu.” Jena mengambil beberapa berkas dan mulai menelitinya. Dia pikir, Mbak Nurul akan segera bangkit dan membiarkannya sendiri. Ternyata, tidak.

“Siapa yang mutusin? Lo? Atau Aran?” Sepertinya perempuan itu masih tidak percaya dengan apa yang menimpa Jena. Jena memaklumi itu, karena hanya Mbak Nurul yang tahu tentang semuanya.

“Aran,”jawabnya. Menoleh singkat, “Udah, ya, Mbak? Aku kayaknya mau fokus sama kerjaan aku yang numpuk ini. Lagian tuh duda satu juga nggak nanggung-nanggung mau ngasih semuanya ke aku.”

Mbak Nurul bangkit setelah melepaskan tawanya. Dia hanya menepuk pundak Jena sebelum benar-benar menghilang dari kubikel Jena. Sesaat, membuat Jena melepaskan nafas panjang.

Akhirnya, dia bisa menikmati sunyi senyap yang bisa membawanya fokus dalam pekerjaan lagi. Setidaknya begitu. Setidaknya dengan dia sibuk dan fokus bekerja, maka dia tidak akan terlalu memikirkan kisah percintaannya yang kandas.

Semua sedang fokus pada pekerjaan mereka masing-masing. Hanya terdengar beberapa bunyi bising, seperti bunyi keyboard, bunyi print, atau terdengar beberapa langkah kaki.

Dia benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya. Sampai-sampai tidak memperdulikan perutnya yang sudah kelaparan dan minta diisi. Matanya melirik jam dinding. Ternyata waktunya sudah tersita banyak. 

Baru saja Jena bangkit dan membereskan beberapa barang di desk. Pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang memasuki work station dan menuju ke arah kubikelnya.

Senyum khas yang selalu ditujukan pada Jena itu, kini membuat Jena tampak muak. Dia memalingkan wajah sesaat. 

“Je? Aku nyariin di kantin nggak ada. Tahunya kamu masih di sini,”ucap Aran seraya melipat tangannya di atas kubikel Jena. 

“Kenapa? Bukannya urusan kita udah selesai?”ketus Jena. Di wajahnya terlihat pemandangan tidak bahagia. Namun, sepertinya Aran tidak mengerti itu.

“Apa, sih? Professional dong, Je. Bagaimana pun kita ini masih rekan kerja. Nggak etis bawa-bawa perasaan di dalam dunia kerja,”ucap lelaki itu.

Jena berdecak. “Kalau gitu, cari aja partner lain. Soalnya aku ‘nggak etis’!”sahut Jena. Kemudian, berjalan melewati Aran yang hendak menarik pergelangan tangannya.

Lelaki itu mengekor di belakang Jena. Tampak ingin berkomentar atas sikap dan tindakan yang diambil Jena. Apalagi yang Aran mau? Toh, hubungan mereka sudah selesai?

Jena tidak menggubris Aran meski beberapa karyawan lain menatap keduanya bergantian saat mereka sudah tiba di kantin. Jena mengambil tempat duduk di sudut. Dia merogoh saku untuk mengambil ponsel. Memainkan benda persegi itu agar tatapnya tidak bertemu dengan Aran yang duduk di hadapannya.

“Je … kamu itu masih kekanak-kanakan tahu, ga?” Aran menatap tajam pada Jena yang malas menanggapinya.

Jena tidak menyahut. Dia hanya menggumam. Lama. Sembari sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri pada beberapa orang yang memerhatikan mereka. 

“Ini nih. Satu hal yang paling nggak aku suka dari kamu. Selalu kekanak-kanakan. Egois dan paling nggak bisa dengerin orang lain,”lanjut Aran. Dia sama sekali tidak memperdulikan tatapan beberapa mata. Ya, mungkin itu sudah sikapnya. Yaitu, tidak peduli dengan tanggapan orang.

Jena berdecak sebal. Dia hanya bersandar di kursi sambil melipat tangan di dada. Matanya sesaat memicing sebelum menjawab ucapan Aran. “Oh ya? Aku egois? Nggak salah tuh? Selama empat tahun pacaran, baru kali ini kamu bilang aku egois?”

Aran mengangguk. “Ya.” 

Dia benar-benar menyebalkan di mata Jena. Seandainya tidak ada orang di sana, mungkin saja Jena akan meneriakinya dengan kata-kata serapah. Setelah apa yang dilihat Jena semalam, bisa-bisanya laki-laki itu datang untuk menghakiminya. 

Seorang pelayan datang membawakan pesanan keduanya. Namun, tatapan sengit yang dilayangkan Jena tidak berubah. Dia bahkan berpikir untuk mengambil jus jeruk yang dia pesan dan melemparnya pada kemeja putih Aran. 

Tidak. Jena tidak akan melakukan hal bodoh itu di kantor. Apalagi di tengah-tengah banyaknya karyawan yang baru saja masuk untuk meeting dadakan. 

Jena menoleh sebentar saat mendengar suara yang dia kenali. 

“Tahap perencanaan sudah saya bagikan pada pihak manajemen. Tinggal diakumulasikan kembali,”ucap Brian pada beberapa orang di hadapannya. Mereka mengambil tempat duduk di samping meja Jena.

Mungkin saja lelaki itu tahu bahwa seseorang sedang menatapnya. Maka dari itu, dia menoleh pada meja di seberang. Tatap keduanya bertemu sebelum akhirnya Brian memutuskan tatap itu terlebih dulu. 

“Semua datanya akan saya kirim besok,”sahut salah satu dari mereka. Membuat wajah Brian tampak tidak puas mendengarnya.

“Kalau bisa sore atau malam ini. Supaya saya bisa memeriksanya ulang dan akan memberikan draft nya pada Pak Ridwan. Bisa?”

Jena tidak melihat lagi aktivitas yang berlangsung di sampingnya. Tangannya sudah menyendok pasta yang dipesannya. Memakannya sambil terus mendengar percakapan di seberang. 

“Je, ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu.” Suara Aran memecah fokus Jena. Meski Jena tidak menanggapinya, Aran tetap akan bersuara. Jadi, “Aku mau tunangan sama Shasa. Bunda yang pengen.”

Jena terkekeh. Dia menertawakan alasan yang dikemukakan Aran. Bunda yang menginginkan katanya? Selepas yang dilihat Jena semalam? Apakah benar demikian? “Oh … bagus. Selamat, ya.”

“Kamu datang, kan?”tanya Aran dengan menaikkan alisnya satu. Tampak tidak yakin dengan Jena. Lalu, “Acara pertunangan ku bulan depan. Kalau bisa, kamu datang bawa pasangan. Bisa, kan?”

Jena menghentikan kunyahannya. Garpunya terlepas dari tangannya saat merasa kerongkongannya tertohok. Sesak begitu melanda saat ini. 

Namun, “Datang kok. Jena akan datang dengan saya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • DIKEJAR DUDA KEREN   KESALAHAN YANG TIDAK DILAKUKAN

    “Datang, kok. Jena akan datang dengan saya.” Suara bariton itu keluar dari laki-laki yang tengah berdiri dan meletakkan satu tangannya di meja, sedang tangan yang lainnya memegangi kursi Jena. Jena mengangkat wajahnya. Menatap sekilas pada Brian yang menyunggingkan seulas senyum padanya. Sebelum akhirnya kembali menatap Aran yang memicingkan matanya. “Kalian punya hubungan?”Mulut Jena penuh, dia mencoba berbicara, namun artikulasinya kurang jelas. “Gangbnhdnnjnga.” Kurang lebih begitulah yang didengar Aran.Aran dan Jena tertegun beberapa saat ketika tangan Brian mengelus puncak kepala Jena. “Makan yang benar dulu dong, Sayang …” Dan kejadian itu membuat hawa kantin menjadi lebih panas. Terbukti saat Aran melonggarkan sedikit dasinya dan mengibaskan kemejanya. Jena dapat melihat dengan jelas raut wajah Aran yang tampak jengah dan muak. Mungkin Jena akan merutuki Brian karena memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’. Tapi, ketika melihat reaksi Aran seperti itu, Jena sepertinya akan

    Last Updated : 2025-03-15
  • DIKEJAR DUDA KEREN   MASA LALU BRIAN

    “Je? Kamu belum pulang?” Suara khas dari seseorang yang Jena kenali terdengar seiring langkahnya mendekat. “Je?” Suara itu terdengar lagi saat dia sudah sampai di kubikel Jena. Pandangan mereka bertemu beberapa saat, namun Jena menjadi yang pertama memutus tatap itu. Dia melepas nafas berat dengan menyangga dagu beralaskan satu tangan. Tangan lainnya bermain di papan ketik. “Belum.”Lelaki itu yang tidak lain adalah Brian, mulai menarik kursi di desk sebelah dan duduk berdekatan dengan Jena. Memakai kacamata bulat yang dia genggam sedari tadi. Ikut meneliti isi file yang sedang dibuat Jena.“Ngapain?”ketus Jena tanpa merubah posisi. Dia hanya menoleh singkat dengan kernyitan di dahinya. “Lihat file yang—lho? Bukannya ini pernah kamu buat, ya? Bukannya minggu lalu? Iya, kan? Yang waktu kamu kerjain di rooftop?”cecar Brian dengan menoleh kan seluruh wajahnya pada Jena.Dan, “Iya.”“Kenapa? Apa Pak Mungga nggak suka?” Brian masih menatap wajah Jena yang tidak menoleh itu. Pertanyaan i

    Last Updated : 2025-03-16
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Kesepakatan yang buruk

    Pagi yang buruk. Atau mungkin pagi yang cerah? Ah. Jena benar-benar tidak bisa mengontrol perasaannya ketika berpapasan dengan Brian di kantin. Pagi ini dia memilih untuk membuat teh hangat, guna untuk menyegarkan pikirannya dari kemungkinan yang muncul.Entah keberuntungan atau malah musibah. Karena di saat yang sama, pintu kantin terbuka dan dua orang pria yang tengah membahas pekerjaan langsung menghentikan obrolan mereka. “Gitu, Yan. Mumpung Pak Redi sebentar kosong tuh. Lo bisa korting—eh, ada Jena.” Riski melambaikan tangan. “Hai, Je. Malam yang begitu indah, bukan?”Jena mengalihkan tatap setelah pandangannya sempat bertemu dengan Brian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis. Padahal Jena menginginkan Brian menutup mulut Riski saat ini. Jena mendongak. Menatap kabinet yang diletakkan tinggi. Astaga. Jena lupa pakai stiletto nya. Alhasil, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun, memang dasarnya orang pendek. Jadi, Jena memutuskan hanya diam saat seseorang mendekat dan membuka

    Last Updated : 2025-03-28
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Belum membuat keputusan

    “Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se

    Last Updated : 2025-04-01
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Makan bersama

    Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya

    Last Updated : 2025-04-01
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Mau adat apa?

    “Gimana? Udah Lo tembak?” Pertanyaan itu muncul saat Brian baru saja membakar rokoknya. Riski, sedang menatap Brian yang duduk di sampingnya. Belum memberikan jawaban apapun. “Udah atau belum, sih?” Brian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya pelan. “Belum.”Kini mereka berdua sedang duduk di smoking room. Di ruangan persegi yang tertutup itu membuat keduanya sering menghabiskan waktu di sana. Apalagi kalau sedang jenuh atau penat menghadapi pekerjaan. Riski berdecak, “Kenapa? Gue pikir kemarin Lo langsung nembak pas gue sama Mbak Nurul ninggalin Lo berdua?”Asap kecil yang baru saja keluar dari bibir Brian membentuk awan-awan kecil, lalu hilang saat Riski meniupnya. Brian menoleh, “Gue rasa … gue harus ngasih jeda buat dia. Dia baru saja putus. Kemungkinan dia bakal nerima gue kayaknya cuma lima persen.” Brian memandangi rokoknya. Riski menghela napas. Dia membuka bungkusan rokok dan mengambil satu batang. Menyalakan dan ikut menghisap, lalu menghembuskan asapnya kencang. “Ter

    Last Updated : 2025-04-08
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Aran

    Pagi itu, adalah pagi yang membosankan. Brian dengan segelas kopinya yang masih mengeluarkan uap, duduk di depan pantry sembari memperhatikan beberapa karyawan yang memasuki kantin.Sesekali mengecek arloji, sesekali melirik orang yang masuk, sesekali juga dia akan menghembuskan nafas berat.Mungkin ini pagi kedua perempuan itu tidak masuk ke kantin di pagi hari?Atau mungkin Jena sudah mengganti rutinitasnya di pagi hari?Jadi, saat Riski baru saja meletakkan segelas susu hangat di atas meja. Brian menepuk pundaknya, “Nitip, ya. Nanti gue balik.” Jarinya menunjuk segelas kopi yang masih panas. Dan, tanpa menunggu persetujuan Riski, kaki Brian segera melangkah pergi. Meninggalkan Riski yang menatapnya aneh.Langkah besar yang terkesan buru-buru itu berjalan di atas koridor. Melewati beberapa divisi yang tengah rapat dan akhirnya langkahnya terhenti di sebuah partisi. Yang akhir-akhir ini menjadi candunya. Namun, belum sempat Brian memasukinya, dia berpapasan dengan Mbak Nurul. Jadi,

    Last Updated : 2025-04-09
  • DIKEJAR DUDA KEREN   Patah hati

    Brian baru saja selesai meeting di pukul tujuh malam. Langkahnya gegas menghampiri divisi yang bersebelahan dengan divisi pemasaran. Tepat saat karyawan lain telah keluar, seorang lelaki yang ditunggunya dari tadi baru saja menampakkan batang hidungnya.Aran terkejut dengan kedatangan Brian yang tiba-tiba. “Brian? Ngapain Lo di sini? Lupa Lo divisinya Jena di mana?” Lelaki itu bahkan tidak melihat kilat amarah yang menyala-nyala di mata Brian.Brian menarik ujung kerah kemeja Aran. “Ikut gue!” Meski Aran memberontak dan bertanya-tanya, Brian tetap mengunci mulutnya. Dia memerlukan sebuah tempat agar keributan yang terjadi tidak mengundang perhatian apalagi beberapa karyawan dan atasannya masih berada di ruang meeting. Jadi, Brian menghempaskan tubuh Aran saat mereka sudah sampai di lobi. “Lo ada masalah apa, sih?”Bug!Brian berhasil melayangkan satu bogem mentah di pipi Aran. “Anjing! Lo yang ngambil flashdisknya Jena, kan? Lo bikin dia harus ngulang semuanya dari awal bahkan dia s

    Last Updated : 2025-04-10

Latest chapter

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Kalung untuk Jena

    Brian mengecek arlojinya beberapa kali. Sesekali dia mengecek ponselnya, sesekali juga dia menoleh saat Pak Ajri meminta jawaban darinya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jena juga tidak menjawab pesan yang dikiriminya sore tadi. Jadi, Brian berpikir untuk menunda rencananya malam ini. Pandangannya tertuju pada dinding kaca yang membatasi setiap sudut restoran. Dari sini, Brian bisa melihat dengan jelas pemandangan Kota Metropolitan dari luar. Begitu macetnya. Lalu lalang kendaraan membuatnya menghela nafas. Rencananya akan ditunda. Ya, malam ini, Brian berencana untuk mengutarakan perasaannya. Dia tidak ingin menunda lagi. Perempuan itu, seperti mempunyai magnet yang kuat. Apalagi, Brian sudah menantikan waktu ini. Namun, apalah daya, semua hanya bisa direncanakan. “Brian, apa kamu punya janji dengan seseorang?”tanya Pak Ajri. Rupanya beliau menyadari sikap Brian yang tidak se-antusias tadi. Tidak semangat seperti tadi. Brian menggeleng. “Tidak, Pak.” Bohong. Ta

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Brian kembali

    Notes : Ada part tentang malam yang dilalui Jena dan Brian di apartemennya. Buat yang penasaran, bisa buka di Karya Karsa. Cari. Kreator : Bastiankers Seri : Dikejar Duda Keren Ada part terkunci yang menceritakan soal malam itu. Bagi yang penasaran aja. Keep reading! ***“Presentasi kamu sangat bagus,”puji Pak Mungga. Beliau bertepuk tangan kecil, lalu yang lain mengikuti. Jena tersenyum senang. “Terimakasih, Pak.” Pak Mungga mengangguk. Lalu, Doni berdiri dan mengakhiri rapat di siang ini. Setelahnya, satu persatu mulai keluar ruangan. Sementara Jena, harus merapihkan laptop dan barang-barangnya yang berada di atas meja. Memasukkannya satu persatu, tentu saja sambil mendengar ocehan Mbak Nurul.“Lo denger, kan?”tanya Mbak Nurul. “Gue butuh banget bantuan seseorang untuk gantiin gue Minggu depan, Je. Lo bisa, kan?”Jena menggeleng cepat. Lalu, menenteng tasnya. “Enggak, Mbak. Lo tahu, kan, pekerjaan gue harus numpuk karena P

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Ciuman

    Jena sudah berada di depan sebuah apartemen yang diarahkan oleh Riski. Sejak dua puluh menit yang lalu, Jena masih di sana. Menimbang-nimbang apakah dia akan menemui Brian atau memilih untuk pulang saja.Ini untuk kesekian kalinya Jena mengecek arlojinya. Waktu sudah hampir menginjak pukul sebelas malam. Sebenarnya tidak apa-apa Jena pulang agak terlambat. Toh, ayah dan ibunya sedang ke Bandung. Tapi, entah mengapa rasa mules dengan dada yang berdegup kencang melanda saat kakinya akan melangkah lagi. Jena mendongak. Menatap pada elevator yang tidak bergerak sama sekali. Mungkin saja beberapa penghuni sudah terlelap atau mungkin sudah istirahat.Jadi, Jena memutuskan untuk membalik tubuh. Dia memutuskan untuk menundanya. Tapi, lagi-lagi, perkataan Mbak Nurul terngiang-ngiang di kepalanya.‘Ya … ‘kan kita nggak tahu, Je. Mungkin aja Brian depresi berat akibat insiden yang menimpa dan patah hati yang bersamaan? Ya, kan? Jadi … mau nggak Lo minta maaf sama dia?’“Astaga …!”gumamnya. Dan

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Rencana rahasia

    Jena baru saja menginjakkan kakinya memasuki elevator. Dia baru selesai menemani Pak Ari untuk menemui beberapa orang penting di sebuah restoran. Tepat sebelum pintu elevator itu tertutup rapat, sebuah map tersisip di tengah, mencegah pintu itu untuk segera tertutup. Pintu elevator pun kembali terbuka.“Hai!”seru Mbak Nurul sambil melangkah masuk. “Dari mana, Mbak?”tanya Jena memerhatikan beberapa map yang ditenteng Mbak Nurul. Mbak Nurul menunduk, dia mengangkat beberapa map itu tinggi-tinggi agar bisa dilihat juga oleh Jena. “Biasalah. Pak Mungga hanya bisa andalin gue kalau ada protes dari divisi lain.” Lalu, dia terdiam beberapa saat. Menggigit bibirnya dengan bimbang. Lalu, “Je?”“Hm?” “Lo udah lihat video viral di Twitter belum?”Kini Jena menoleh, keningnya mengernyit dengan gelengan di kepala. “Gue sama sekali belum ada waktu untuk itu. Memangnya ada apa?”Mbak Nurul melotot, “Serius?! Videonya viral loh, Je! Apalagi pake hashtag Citrabangsa!” Mbak Nurul masih syok dengan r

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Patah hati

    Brian baru saja selesai meeting di pukul tujuh malam. Langkahnya gegas menghampiri divisi yang bersebelahan dengan divisi pemasaran. Tepat saat karyawan lain telah keluar, seorang lelaki yang ditunggunya dari tadi baru saja menampakkan batang hidungnya.Aran terkejut dengan kedatangan Brian yang tiba-tiba. “Brian? Ngapain Lo di sini? Lupa Lo divisinya Jena di mana?” Lelaki itu bahkan tidak melihat kilat amarah yang menyala-nyala di mata Brian.Brian menarik ujung kerah kemeja Aran. “Ikut gue!” Meski Aran memberontak dan bertanya-tanya, Brian tetap mengunci mulutnya. Dia memerlukan sebuah tempat agar keributan yang terjadi tidak mengundang perhatian apalagi beberapa karyawan dan atasannya masih berada di ruang meeting. Jadi, Brian menghempaskan tubuh Aran saat mereka sudah sampai di lobi. “Lo ada masalah apa, sih?”Bug!Brian berhasil melayangkan satu bogem mentah di pipi Aran. “Anjing! Lo yang ngambil flashdisknya Jena, kan? Lo bikin dia harus ngulang semuanya dari awal bahkan dia s

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Aran

    Pagi itu, adalah pagi yang membosankan. Brian dengan segelas kopinya yang masih mengeluarkan uap, duduk di depan pantry sembari memperhatikan beberapa karyawan yang memasuki kantin.Sesekali mengecek arloji, sesekali melirik orang yang masuk, sesekali juga dia akan menghembuskan nafas berat.Mungkin ini pagi kedua perempuan itu tidak masuk ke kantin di pagi hari?Atau mungkin Jena sudah mengganti rutinitasnya di pagi hari?Jadi, saat Riski baru saja meletakkan segelas susu hangat di atas meja. Brian menepuk pundaknya, “Nitip, ya. Nanti gue balik.” Jarinya menunjuk segelas kopi yang masih panas. Dan, tanpa menunggu persetujuan Riski, kaki Brian segera melangkah pergi. Meninggalkan Riski yang menatapnya aneh.Langkah besar yang terkesan buru-buru itu berjalan di atas koridor. Melewati beberapa divisi yang tengah rapat dan akhirnya langkahnya terhenti di sebuah partisi. Yang akhir-akhir ini menjadi candunya. Namun, belum sempat Brian memasukinya, dia berpapasan dengan Mbak Nurul. Jadi,

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Mau adat apa?

    “Gimana? Udah Lo tembak?” Pertanyaan itu muncul saat Brian baru saja membakar rokoknya. Riski, sedang menatap Brian yang duduk di sampingnya. Belum memberikan jawaban apapun. “Udah atau belum, sih?” Brian menghisap rokok dan menghembuskan asapnya pelan. “Belum.”Kini mereka berdua sedang duduk di smoking room. Di ruangan persegi yang tertutup itu membuat keduanya sering menghabiskan waktu di sana. Apalagi kalau sedang jenuh atau penat menghadapi pekerjaan. Riski berdecak, “Kenapa? Gue pikir kemarin Lo langsung nembak pas gue sama Mbak Nurul ninggalin Lo berdua?”Asap kecil yang baru saja keluar dari bibir Brian membentuk awan-awan kecil, lalu hilang saat Riski meniupnya. Brian menoleh, “Gue rasa … gue harus ngasih jeda buat dia. Dia baru saja putus. Kemungkinan dia bakal nerima gue kayaknya cuma lima persen.” Brian memandangi rokoknya. Riski menghela napas. Dia membuka bungkusan rokok dan mengambil satu batang. Menyalakan dan ikut menghisap, lalu menghembuskan asapnya kencang. “Ter

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Makan bersama

    Karena lagi-lagi membuat beberapa kepala yang masih bekerja, menatap Jena sekilas.“Mbak, plis. Gue lagi mau fokus sama pekerjaan gue.” Tentu saja, Jena tidak yakin dengan omongannya. Karena yang baru saja disampaikan Mbak Nurul membuat pipinya memerah.Mbak Nurul mendesah berat. Dia bangkit dari kursinya. “Yaudah. Gue juga mau lanjutin berkas yang dikirim Pak Ari, sih. Dadah!”Jena tersenyum tipis melihat sosok itu berlalu pergi. Jena memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Namun, sejam kemudian dia benar-benar lelah. Memutuskan untuk bangkit dan berjalan pada rooftop. Dia mungkin ingin menghirup udara segar.Dan untungnya … tidak ada orang meeting di sana. Hanya beberapa orang saja yang duduk untuk bersantai.Jena memilih berdiri. Tangannya memegang pembatas, sedangkan matanya tertuju di lantai bawah. Lalu lalang pekerja dan anak magang yang sedang berkumpul tidak menarik perhatiannya.Karena yang menarik perhatiannya adalah orang yang berjalan membelah kerumunan itu. Tubuhnya

  • DIKEJAR DUDA KEREN   Belum membuat keputusan

    “Apa? Aku nggak peduli namanya siapa! Tapi, kok kalian nggak bicarain ini dulu sama aku? Nggak tanyain dulu sama aku?” Jena berdiri sambil menatap keduanya bergantian.Tatap Jena terhenti lama pada ibunya. Iya. Sampai kapanpun Jena tidak akan pernah bisa membela diri atas keras kepala ibunya. Beliau selalu mempunyai kemampuan agar semua kemauannya diikuti.Tapi, untuk hal ini, Jena pikir keterlaluan. Di saat dia baru saja menguatkan diri atas hubungannya yang berakhir. Di tengah kegamangan yang menimpa. Di saat lukanya belum benar-benar sembuh. Kenapa ibunya bisa semena-mena seperti itu?Ayah Jena menatap anaknya dengan iba. Lantas berdiri, tanpa menoleh sedikitpun pada istrinya. “Jena, ayah belum menerimanya. Kalau kamu menolak, maka—”“Ayah!”sela ibunya dengan tatapan tidak suka.Namun, “—maka ayah akan berusaha berbicara dengan mereka.” Ayah Jena tetap melanjutkan ucapannya meski ibu sudah memotong ucapannya.Pandangan Jena mengabur. Dia tersenyum samar meski rasa tenggorokannya se

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status