“Hai,” sapa seorang pria yang duduk bersilang kaki di sofa panjang room, kedua tangannya direntangkan di sandaran sofa. Siapa lagi kalau bukan Niko. “Kemarilah!” Niko menepuk ruang kosong disisinya.Terdengar desau pelan dari bibir tipis Mala. Perempuan yang malam ini mengenakan crop top tanpa lengan dan rok hitam di atas paha itu menurut. Bagaimana pun juga, Niko adalah tamunya malam ini. “Kamu cantik malam ini, La.” Niko memandang lekat wanita di sampingnya. Beruntung pencahayaan di ruangan ini remang, kalau tidak pasti Mala sangat malu bila Niko melihat semburat merah dipipinya karena pujian Niko. “Pada dasarnya semua wanita itu cantik, Niko,” sanggah Mala guna menyamarkan rasa bahagianya.“Tapi kamu berbeda, La.” Tatapan Niko begitu dalam, membuat Mala menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, salah tingkah. “Mau menyanyikan lagu apa malam ini.” Mala mencoba mengalihkan perhatian Niko.“Aku tidak ingin bernyanyi, aku hanya ingin ditemani olehmu malam ini.” Niko menyand
Mala yang mengenakan celana jeans, kaos oversize berwarna hitam yang dibalut sweater rajut masih mematung di depan pagar besi bercat biru. Ragu untuk masuk. Pasalnya dia tengah berdiri di depan sebuah showroom mobil. Dari yang terlihat, sih, begitu karena banyak berbagai jenis mobil terparkir di sana. Dan juga sebuah banner yang cukup besar ‘Pradana Dealer’.Tidak ada pilihan lain, Mala menghubungi Niko daripada salah alamat. *Niko meraba tempat tidurnya, mencoba menemukan benda yang sedari tadi terus terasa getarannya. “Hem. Siapa?”“Ini aku Mala. Sepertinya aku salah alamat,” ucap Mala di seberang sana.Mendengar suara lembut Mala, mata Niko yang semula masih terpejam membeliak seketika. “Kenapa bisa salah alamat. Bukannya kemarin alamatnya sudah kukirim via WA?” Nada suara Niko benar-benar khawatir.“Aku datang ke alamat yang kamu kirimkan, tapi kok, malah showroom mobil?!”“Kamu datang ke alamat yang benar, La,” ucap Niko lega. “Tunggu di situ, aku akan turun.”Beringsut dari
“Mas Tomi masih mengingatku ternyata.” Tina membuka masker yang menutupi wajahnya. Senyumnya masih sama, binar di matanya juga. Binar dan senyum bahagia setiap menatap pria pujaannya. Tidak pernah berubah, meski beberapa purnama telah berlalu. “Tentu saja. Siapa yang bisa melupakan gadis idola sekolah,” ucap Tomi dengan senyum yang tetap menawan di mata Tina. “Percuma jadi idola sekolah bila mendapatkanmu saja tidak bisa,” celetuk Tina. Tomi tertawa keras mencoba menghilangkan rasa canggung yang menyergap tiba-tiba. Bukan rahasia lagi bahwa Tina memang memedam rasa pada Tomi sejak SMA. Bu Farida –ibu Tomi– juga tahu dan juga secara terang-terangan memberi restu. Tina wanita sempurna dimata Farida; cantik, baik dan loyal padanya, juga dari keluarga berada. Benar-benar menantu idaman. Akan tetapi, harapan bermenantu Tina harus kandas karena Tomi justru menginginkan Mala untuk dijadikan istri. Besarnya kasih sayang Farida pada sang putra membuatnya terpaksa menerima Mala. “Ah, kam
“Dari Ibu,” jawab Tina.“Ada perlu apa, Na?”“Tidak ada, hanya memastikan saja ini benar-benar nomer kamu.” Terdengar sedikit gelak tawa dari Tina. “Kalau tidak ada keperluan penting, aku tutup, ya, aku mau beres-beres alat bengkel. Sudah waktunya tutup,” timpal Tomi, dia rasa telpon Tina memiliki maksud lain. “Eh, jangan ditutup dulu. Aku cuma bercanda. Bukan tanpa alasan aku minta nomor telpon Mas dari Ibu, kalau sewaktu-waktu mobilku mogok atau bermasalah, kan, aku bisa langsung menghubungi Mas Tomi,” bohong Tina. “Baiklah simpan nomorku kalau begitu,” pasrah Tomi.Setelah panggilan terputus, Tomi memijit pelipisnya yang berdenyut. Apa maksud ibunya, memberikan nomer ponselnya pada Tina. Padahal ibunya tahu Tina dulu pernah memendam rasa padanya karena Tomi merasa alasan yang disampaikan Tina hanya sekedar alasan.Selepas pekerjaannya selesai Tomi memutuskan akan ke rumah ibunya, agar semuanya jelas.“Danis mana, Tom?” tanya Bu Farida sambil mencari keberadaan cucunya.“Danis di
Hampir setiap malam Niko menemui Mala, meski bukan sebagai tamu. “Hai,” sapa Mala pada Niko yang seperti biasa menunggunya di parkiran kafe. Pria yang mengenakan hoodie putih itu menoleh.“Hai juga.” Seulas senyum terbit di bibir tebal Niko. “Kenapa ke sini lagi?” protes Mala. Keduanya duduk di sebuah bangku besi yang berada di sudut parkiran.Membuang puntung rokok yang dihisap lalu menginjaknya dengan sepatu Niko kembali bersuara, “Untuk menemuimu, Apalagi?” “Nik!” Mala menatap pria yang hampir sebulan ini selalu berada di sekelilingnya.“Apa?” Tatapan Mala dibalas oleh Niko bahkan Niko memandang wanita di sampingnya itu dengan sangat dalam. Udara malam yang begitu dingin membuat Mala terus menggosok bahunya. “Jangan seperti ini. Jangan datang setiap hari!”“Kenapa?” Tatapan Niko tetap begitu dalam pada Mala. “Udara malam tidak baik untuk kesehatan. Lebih baik kamu istirahat,” tutur Mala.“Bagaimana lagi?” Kedua tangan Niko bertumpu pada kursi besi, kepalanya mendongak memanda
“Danis.” Panggilan dari Mala membuat Niko dan Danis menoleh bersamaan.“Bunda ….” Danis berlari, berhambur memeluk bundanya.“Maaf, Bunda tadi ketiduran, makanya telat jemput Danis.” Mala berjongkok, memeluk putranya erat. “Nggak apa-apa Bunda, lagian Danis nggak sendiri. Ada Pak Satpam dan Om Niko. Temen Bunda.” Karena terlalu menghawatirkan Danis, Mala tidak menyadari ada Niko. “Kamu di sini, Niko?”“Tadi nggak sengaja lewat sini. Terus lihat Danis kebingungan jadi kuhampiri.”Alasan yang tidak masuk akal bagi Mala, apalagi Mala yakin belum pernah mengenalkan Niko pada Danis, jadi bagaimana mungkin Niko bisa mengenali wajah Danis. “Danis duduk di sana dulu, ya! Bunda mau bicara sebentar sama Om.” Tunjuk Mala pada bangku di samping pos Satpam.“Siap Bunda.” Bocah itu menurut.Mala bersedekap dada, tatapannya mengintimidasi Niko. “Kamu kok tau itu putraku. Seingatku aku belum pernah ngenalin kamu sama Danis.”Niko menelan salivanya, bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Mala.
“Kamu tunggu di sini saja Jo!” “Baik, Bos.”Bara turun dari mobil, melepas kacamata hitamnya, memperhatikan sekeliling. Menurut informasi dari Jo, showroom ini milik dari pria yang beberapa waktu ke belakang mendekati Mala.Sesuatu mulai menggelitik keingintahuan Bara tentang Niko semenjak dia tahu, pria muda itu gencar mendekati Mala. Mulai di tempat karaoke hingga nekat mengikuti mobil Paijo yang mengantarkan Mala pulang.“Kaya juga dia.” Bibir Bara tersungging, kaki jenjangnya melangkah memasuki showroom.Kedatangannya tentu disambut hangat oleh pegawai showroom. “Selamat siang Tuan, ada yang bisa saya bantu.”“Saya ingin melihat-lihat mobil yang ada di sini. Kata salah satu rekan saya kualitas mobil yang dijual di sini lumayan bagus,” ujar Bara, netranya menelisik setiap penjuru tempat yang ia datangi guna mencari keberadaan Niko, ya, kata Paijo nama pemuda yang mendekati Mala adalah Niko.“Rekan Tuan tidak salah, meski bekas tapi mobil di showroom kami memang memiliki kualitas y
Siulan terdengar nyaring dari bibir Tomi saat memarkir motor di teras rumah. “Darimana Mas?” tanya Mala. Perempuan itu duduk bersilang kaki di sofa ruang tamu.Pertanyaan Mala membuat Tomi yang baru memasuki rumah terjingkat. “Kerja lah, darimana lagi,” jawab Tomi.Bibir Mala terlipat. “Hem. Mala lupa kalau Mas Tomi pekerja keras.” Sindir Mala yang bangkit terus berlalu meninggalkan suaminya.“Maksud kamu apa, La?!” Tomi mencekal lengan istrinya. “Apa?” Mala menaikan kedua alisnya.“Kamu tadi ngomong aku pekerja keras. Nyindir!” “Siapa yang nyindir?” “Kamu!” Amarah Tomi tersulut.“Nyindir gimana?” Mala melepaskan cekalan tangan Tomi dari lengannya.“Bilang kalau aku pekerja keras.”“Mas ini lucu. Aku bilang pekerja keras, marah. Aku bilang pemalas juga marah.” Rahang Tomi mengeras. “Kamu jangan mancing emosiku!”
Sore yang indah untuk menikmati secangkir teh hangat dan dan cemilan. Seperti halnya yang dilakukan Anan saat ini. “Duduk sini! Papa mau bicara.” Anan menepuk kursi rotan disampingnya. Menyuruh istrinya duduk setelah menghidangkan secangkir teh dan sepiring biskuit.“Mau bahas soal Niko,” sarkas Anggi. Dia sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan suaminya.Namun, Anan belum menanggapi. Pria itu menyeruput teh buatan istrinya. “Teh buatan Mama memang paling nikmat,” puji Anan.Anggi melipat tangannya, wajahnya semakin ditekuk. “Langsung pada intinya saja, Pa.”Anan meletakkan kembali tehnya. “Apa tidak berniat mencari tau dulu tentang calon Niko?”“Untuk apa cari tau. Mama sudah tau dia wanita nggak bener,” sarkas Anggi. “Papa heran, Mama tau dari siapa, sih soal Mala?” “Dari Eve.”Anan tertawa terbahak. “Dari Evelyn mantan Niko itu.”
Bibir Mala terkembang melihat Niko berlari ke arahnya. Sore ini Niko, Danis, dan Mala jalan-jalan ke taman kota.“Danis aktif sekali.” Niko mendaratkan tubuhnya di samping Mala. Mereka duduk di rerumputan yang ada di taman. “Aku sampai kewalahan menemaninya.” Napas Niko terdengar naik-turun setelah menemani Danis bermain.“Terima kasih sudah menyayangi Danis, Nik.” Mala menatap pria di sampingnya dengan sangat dalam.Memberanikan diri, Niko menggenggam tangan Mala. Ditatapnya mata wanita yang bertahta di hatinya itu dengan sangat dalam. Lengkungan yang indah terbit di bibir tebal Niko.“Ya, siapa tau setelah melihat ketulusanku menyayangi putranya, Bundanya akan luluh. Dan mau menerima keberadaanku di hidupnya.” Niko mencoba berkelakar. Meskipun dia tahu mungkin jawabannya akan sama. Namun, dia bertekad sebanyak Mala menolaknya, sebanyak itu dia akan menyatakan cintanya.Mala mengalihkan pandanganny
“Bos,” lirih Mala. Dia begitu terkejut karena Bara memeluknya secara tiba-tiba. Bahkan pelukan pria itu begitu erat. “Maaf … Mala … Maaf.” Bara melepaskan pelukannya pada Mala. “Aku begitu bahagia.” Nampak Bara menyentuh sudut netranya. “Sekarang dimana ibumu?” Bara mengedarkan pandangannya.“Ibu saya, Bos?” Mala keheranan. Kenapa Bara mencari ibunya.“Iya Ibumu dimana, dia?” Meski Bara meneteskan air mata, tapi terlihat binar bahagia di wajahnya.“Ibu saya sudah meninggal.” “Apa?” Bara nampak terkejut, bahkan pria itu sampai terduduk di lantai. “Tidak mungkin adikku Naima sudah tiada,” raung Bara.“Maksud Bos apa?” Mala berjongkok, mensejajarkan diri dengan Bara.“Ibumu adikku Mala.”Lalu Bara menceritakan tentang kisahnya dan ibu Mala. Keduanya yatim piatu sejak kecil mereka terpaksa hidup di jalanan dan berpindah-pindah. Tidak tega, Bara mengirim Naima ke panti asuhan
Niko mengajak Aksa menemui Mala sore ini. Karena sepupunya itu harus menghadiri beberapa sidang hari ini. Mobil melaju membelah padatnya lalu lintas hingga mereka sampai di sebuah rumah kontrakan. Di teras kontrakan, seorang gadis dengan cenala jeans belel dan kaos crop top terlihat bangkit dari duduknya. Menyambut kedatangan keduanya.“Kita sudah sampai,” kata Niko setelah mematikan mesin mobil.Aksa tersenyum samar. “Oke juga selera Niko.” Pandangannya tertuju pada Nina.“Lama banget, sih.” Nina mencebik kesal.“Dia masih banyak urusan.” Niko melirik Aksa. “Oh.” Nina memperhatikan penampilan Aksa. “Dia yang mau bantuin Mala?”“He em. Oh, ya, kenalkan dia Aksa sepupuku.” Niko memperkenalkan Nina dengan Aksa.“Hallo Pak Aksa kenalkan saya Nina.” Gadis cantik itu mengulurkan tangannya, dengan senyuman indah yang membingkai di wajahnya.“Aksa.” Aksa merasakan sesuatu yang berbeda saat bersalaman dengan Nina. “Mau duduk di sini atau di dalam.” Nina memberi opsi.“Di sini saja,” sahut
Perkataan Tomi tentu membuat ayah Tina murka. Pria yang rambutnya mulai memutih itu bahkan sampai menggebrak meja. “Kurang ajar kamu Tomi!” hardik ayah Tina. “Setelah kamu menggagahi anak saya, kamu mau lepas tanggung jawab?”“Dia sendiri yang menawarkan tubuhnya pada saya,” ucap Tomi diikuti tatapan benci pada Tina.“Jaga ucapmu!” Ayah Tina menunjuk wajah Tomi, Ayah mana yang rela anaknya dihina. Ibu Tina mencoba menenangkan suaminya, dia mengusap lengan suaminya selembut mungkin. “Sabar Pak … sabar.”Sementara Tina hanya bisa tersenyum getir. Serendah itukah dia di mata Tomi.“Sabar Pak … ini bisa dibicarakan baik-baik. Jangan emosi dulu.” Farida mencoba menengahi.“Terserah kamu mau bilang apa Mas yang pasti … kamu harus menikahiku. Karena sekarang aku sedang mengandung anakmu.”Perkataan Tina jelas semakin memperkeruh suasana. Terutama Tomi. Kepala seakan hampir meledak. Masalah Mala belum selesai, masalah baru muncul. Berbeda dengan putranya, Farida justru bahagia mendengar pe
Melihat kediaman Tomi, Mala semakin naik pitam. “Jawab Tomi … jangan diam saja!” Teriakan Mala semakin memekakkan telinga. Bahkan urat-urat leher wanita itu sampai terlihat jelas. Air mata juga terus mengalir deras di pipinya. Hancur, marah, sedih, dan kecewa menjadi satu. Bukan tanpa sebab, kotak kecil yang ditemukan Farida berisi sebuah kalung emas berliontin jangkar. Kalung itu satu-satunya bukti yang Mala miliki.Bukti yang ditinggalkan oleh pria biadab yang lima tahun lalu merenggut mahkotanya. Menghancurkan hidupnya. Membuatnya terjebak dalam pernikahan toxic. Tomi semakin meraung, merengkuh kaki Mala. “Ampuni aku Mala!” Tomi tidak bisa berkelit. “Aku mohon. Aku terpaksa … aku … aku terlalu mencintaimu.”Mala membungkuk, melepaskan rengkuhan Tomi dari kakinya hingga Tomi terdorong ke belakang. Tamparan pun Mala layangkan pada Tomi.“Biadab kamu Tomi. Brengsek … bajingan ….” Segala sumpah serapah Mala ucapkan.“Hey …!” Farida yang melihat perlakuan Mala pada putranya berteri
Melihat Mala yang terus menangis, Nina ikut menangis. “Sudah, La, jangan nangis! Lelaki kayak gitu tidak pantas kamu tangisi.” Nina mendekap Mala sangat erat.Awalnya Mala pikir, dia tidak akan sedih dan terluka saat mendapati Tomi selingkuh. Nyatanya, tidak. Hatinya tetap saja merasa sesak, seperti dihimpit bongkahan batu.Air mata yang sekian lama mampu dia tahan, tumpah juga. “Kupikir aku akan baik-baik saja, Nin. Ternyata disini.” Tunjuk Mala pada dada sebelah kanan. “Rasanya sakit sekali.” Suara Mala begitu parau dan memilukan.Nina mengelus surai Mala, mencoba menenangkan sahabatnya. Tubuh Mala terus berguncang hebat. “Apa salahku, Nin. Hingga Mas Tomi selalu menyakitiku.”“Kamu tidak salah La tapi, Tomi saja yang brengsek,” geram Nina. Matanya juga memerah karena ikut menangis.“Kita jemput Danis, Nin.”“Ya, kita memang harus menjemput Danis. Kita ke alamat yang tadi, Pak.”
Mala tersenyum sinis memandangi Tomi yang tertidur sangat lelap. Di aplikasi hijau semua bukti terpampang nyata. Bukan hanya ada chat mesra, tapi juga banyak foto tidak senonoh yang Tina kirim pada Tomi.Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Mala memotret dan memvideokan semua bukti perselingkuhan suaminya. “Anggap saja ini jalan dari Tuhan untuk lepas dari suamimu Mala,” lirih Mala.Saat akan mengembalikan ponsel milik Tomi, tatapan Mala tertuju pada kemeja Tomi yang sedidik tersingkap di bagian dada. Ada sebuah tanda yang Mala paham betul, tanda apa itu.“Oh, jadi si perempuan ini sengaja meninggalkan jejak rupanya.” Mala berdecak pelan.Mala mondar-mandir di ruang tamu, dia sudah punya bukti. Namun, dia tidak boleh gegabah. Dia harus memikirkan sebuah cara untuk membongkar perselingkuhan Tomi. Perselingkuhan Tomi juga semakin meyakinkan Mala untuk berpisah. Meski dia harus menanggung konsekuens
Mala mengekor langkah ibu mertuanya, tapi ternyata Danis dan ibu mertuanya sudah masuk ke kamar mandi.“Buk, biar Mala saja yang memandikan Danis.” Pintu kamar mandi Mala ketuk dari luar.Di dalam kamar mandi, Farida bingung. Kalau dia membiarkan Mala masuk, nanti menantunya itu tanya-tanya tentang keberadaan Tomi pada Danis. Namun, kalau dia tidak membuka pintu bisa-bisa Mala curiga.Tidak ada pilihan lain, Farida memegang bahu cucunya. “Nenek mau minta tolong sama Danis.”“Minta tolong apa, Nek?” tanya Danis polos.“Nanti kalau Bunda tanya-tanya soal Ayah. Danis bilang saja Ayah ke pasar, seperti yang Nenek bilang tadi.” Instruksi Farida.“Tapi kan Ayah dari semalam tidak pulang, Nek,” ucap Danis apa adanya.“Sstt.” Farida menutup bibir mungil Danis dengan telunjuk, kepalanya menoleh ke arah pintu. Takut Mala mendengar percakapan mereka. “Jangan keras-keras! Danis, kan, anak yang penu