“Danis.” Panggilan dari Mala membuat Niko dan Danis menoleh bersamaan.“Bunda ….” Danis berlari, berhambur memeluk bundanya.“Maaf, Bunda tadi ketiduran, makanya telat jemput Danis.” Mala berjongkok, memeluk putranya erat. “Nggak apa-apa Bunda, lagian Danis nggak sendiri. Ada Pak Satpam dan Om Niko. Temen Bunda.” Karena terlalu menghawatirkan Danis, Mala tidak menyadari ada Niko. “Kamu di sini, Niko?”“Tadi nggak sengaja lewat sini. Terus lihat Danis kebingungan jadi kuhampiri.”Alasan yang tidak masuk akal bagi Mala, apalagi Mala yakin belum pernah mengenalkan Niko pada Danis, jadi bagaimana mungkin Niko bisa mengenali wajah Danis. “Danis duduk di sana dulu, ya! Bunda mau bicara sebentar sama Om.” Tunjuk Mala pada bangku di samping pos Satpam.“Siap Bunda.” Bocah itu menurut.Mala bersedekap dada, tatapannya mengintimidasi Niko. “Kamu kok tau itu putraku. Seingatku aku belum pernah ngenalin kamu sama Danis.”Niko menelan salivanya, bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Mala.
“Kamu tunggu di sini saja Jo!” “Baik, Bos.”Bara turun dari mobil, melepas kacamata hitamnya, memperhatikan sekeliling. Menurut informasi dari Jo, showroom ini milik dari pria yang beberapa waktu ke belakang mendekati Mala.Sesuatu mulai menggelitik keingintahuan Bara tentang Niko semenjak dia tahu, pria muda itu gencar mendekati Mala. Mulai di tempat karaoke hingga nekat mengikuti mobil Paijo yang mengantarkan Mala pulang.“Kaya juga dia.” Bibir Bara tersungging, kaki jenjangnya melangkah memasuki showroom.Kedatangannya tentu disambut hangat oleh pegawai showroom. “Selamat siang Tuan, ada yang bisa saya bantu.”“Saya ingin melihat-lihat mobil yang ada di sini. Kata salah satu rekan saya kualitas mobil yang dijual di sini lumayan bagus,” ujar Bara, netranya menelisik setiap penjuru tempat yang ia datangi guna mencari keberadaan Niko, ya, kata Paijo nama pemuda yang mendekati Mala adalah Niko.“Rekan Tuan tidak salah, meski bekas tapi mobil di showroom kami memang memiliki kualitas y
Siulan terdengar nyaring dari bibir Tomi saat memarkir motor di teras rumah. “Darimana Mas?” tanya Mala. Perempuan itu duduk bersilang kaki di sofa ruang tamu.Pertanyaan Mala membuat Tomi yang baru memasuki rumah terjingkat. “Kerja lah, darimana lagi,” jawab Tomi.Bibir Mala terlipat. “Hem. Mala lupa kalau Mas Tomi pekerja keras.” Sindir Mala yang bangkit terus berlalu meninggalkan suaminya.“Maksud kamu apa, La?!” Tomi mencekal lengan istrinya. “Apa?” Mala menaikan kedua alisnya.“Kamu tadi ngomong aku pekerja keras. Nyindir!” “Siapa yang nyindir?” “Kamu!” Amarah Tomi tersulut.“Nyindir gimana?” Mala melepaskan cekalan tangan Tomi dari lengannya.“Bilang kalau aku pekerja keras.”“Mas ini lucu. Aku bilang pekerja keras, marah. Aku bilang pemalas juga marah.” Rahang Tomi mengeras. “Kamu jangan mancing emosiku!”
Menajamkan penglihatannya, Niko sampai mengucek mata berkali-kali. “Mas Tomi,” gumam Niko. Kenapa Tomi keluar dari rumah Mala. Dia harus mencari tahu. Namun, dia harus menahan diri, lagipula saat ini juga sudah terlalu larut. Kepala Niko serasa mau pecah, semalaman dia tidak bisa memejamkan mata. Rasa penasaran menggerogoti benaknya. Bayangan Tomi keluar dari rumah Mala terus berputar tanpa henti. Hari ini semua rasa penasarannya harus terjawab. Membawa salah satu mobil dagangannya, Niko meluncur ke bengkel tempat Tomi bekerja. Melihat sebuah mobil memasuki area bengkel, Tomi segera menyambut calon pelanggannya. Tangan Niko mencengkram stang mobil erat, dadanya bergemuruh hebat saat ingatan tentang Tomi kembali berkelebat. Tidak, dia tidak boleh terbawa suasana. “Tenang Niko. Tarik napas … hembuskan perlahan.” Interupsi Niko pada dirinya sendiri. “Tunjukkan senyum terbaikmu. Oke.” Niko memegang
“Mas Tomi,” ucap Niko dan Mala secara bersamaan. “Kalian kompak sekali,” kata Tomi dengan alis yang terangkat. “Kamu belum menjawab pertanyaanku, Niko. Kamu ngapain di sini?” selidik Tomi, setahunya rumah langganannya itu jauh dari daerah sini.“Aku lagi nyari alamat teman Mas, katanya, sih, dia tinggal di daerah sini. Kebetulan Mbak ini,” Mata Niko tertuju pada Mala, “sedang ada di depan rumah jadi aku tanya-tanya. Tapi, rupanya Mbaknya nggak kenal sama temanku,” jelas Niko. “Oh begitu. Karena orang yang kamu cari tidak ketemu. Lebih baik kamu mampir dulu ke rumahku,” Tomi masuk ke dalam pagar merangkul pundak Mala, “kenalkan dia istriku, Mala,” imbuh Tomi.Telapak tangan Mala terasa sangat dingin, jemarinya saling bertaut rapat. “Mereka saling kenal.” Mala membatin.“Istri Mas Tomi cantik.” Tatapan Niko terus tertuju pada Mala. Tawa Tomi pecah, mendengar istrinya dipuji. “Dia dulu primadona kamp
“Siapa?” tanya Nina penasaran.“Yang pasti seseorang yang kompeten dalam bidang hukum.” Seulas senyum terbit di bibir Niko.“Nik, aku boleh tanya sesuatu nggak?”“Tanya apa?”“Kamu suka, ya, sama Mala?” Nina bertanya dengan sangat hati-hati agar tidak menyinggung Niko.“Mala nggak cerita kalau dia nolak aku,” ujar Niko dengan wajah masam.“Cerita, sih.”“Kalau Mala udah cerita, kok, kamu masih nanya tentang perasaanku.”“Hanya memastikan saja.”“Memastikan apa?” potong Niko.“Kamu beneran cinta sama Mala atau sekedar terobsesi sama dia,” cerca Nina.“Kalau sekedar terobsesi nggak mungkin aku bela-belain datang ke sekolah Danis, biar anak itu kenal sama aku.” “Ha ….” Nina melongo, tidak menyangka Niko seserius itu dengan Mala sampai mendekati putra sahabatnya itu. “Serius?” lanjutnya.“Ya, kali aku bohon
Mala mengekor langkah ibu mertuanya, tapi ternyata Danis dan ibu mertuanya sudah masuk ke kamar mandi.“Buk, biar Mala saja yang memandikan Danis.” Pintu kamar mandi Mala ketuk dari luar.Di dalam kamar mandi, Farida bingung. Kalau dia membiarkan Mala masuk, nanti menantunya itu tanya-tanya tentang keberadaan Tomi pada Danis. Namun, kalau dia tidak membuka pintu bisa-bisa Mala curiga.Tidak ada pilihan lain, Farida memegang bahu cucunya. “Nenek mau minta tolong sama Danis.”“Minta tolong apa, Nek?” tanya Danis polos.“Nanti kalau Bunda tanya-tanya soal Ayah. Danis bilang saja Ayah ke pasar, seperti yang Nenek bilang tadi.” Instruksi Farida.“Tapi kan Ayah dari semalam tidak pulang, Nek,” ucap Danis apa adanya.“Sstt.” Farida menutup bibir mungil Danis dengan telunjuk, kepalanya menoleh ke arah pintu. Takut Mala mendengar percakapan mereka. “Jangan keras-keras! Danis, kan, anak yang penu
Mala tersenyum sinis memandangi Tomi yang tertidur sangat lelap. Di aplikasi hijau semua bukti terpampang nyata. Bukan hanya ada chat mesra, tapi juga banyak foto tidak senonoh yang Tina kirim pada Tomi.Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Mala memotret dan memvideokan semua bukti perselingkuhan suaminya. “Anggap saja ini jalan dari Tuhan untuk lepas dari suamimu Mala,” lirih Mala.Saat akan mengembalikan ponsel milik Tomi, tatapan Mala tertuju pada kemeja Tomi yang sedidik tersingkap di bagian dada. Ada sebuah tanda yang Mala paham betul, tanda apa itu.“Oh, jadi si perempuan ini sengaja meninggalkan jejak rupanya.” Mala berdecak pelan.Mala mondar-mandir di ruang tamu, dia sudah punya bukti. Namun, dia tidak boleh gegabah. Dia harus memikirkan sebuah cara untuk membongkar perselingkuhan Tomi. Perselingkuhan Tomi juga semakin meyakinkan Mala untuk berpisah. Meski dia harus menanggung konsekuens