“Bos,” lirih Mala. Dia begitu terkejut karena Bara memeluknya secara tiba-tiba. Bahkan pelukan pria itu begitu erat. “Maaf … Mala … Maaf.” Bara melepaskan pelukannya pada Mala. “Aku begitu bahagia.” Nampak Bara menyentuh sudut netranya. “Sekarang dimana ibumu?” Bara mengedarkan pandangannya.“Ibu saya, Bos?” Mala keheranan. Kenapa Bara mencari ibunya.“Iya Ibumu dimana, dia?” Meski Bara meneteskan air mata, tapi terlihat binar bahagia di wajahnya.“Ibu saya sudah meninggal.” “Apa?” Bara nampak terkejut, bahkan pria itu sampai terduduk di lantai. “Tidak mungkin adikku Naima sudah tiada,” raung Bara.“Maksud Bos apa?” Mala berjongkok, mensejajarkan diri dengan Bara.“Ibumu adikku Mala.”Lalu Bara menceritakan tentang kisahnya dan ibu Mala. Keduanya yatim piatu sejak kecil mereka terpaksa hidup di jalanan dan berpindah-pindah. Tidak tega, Bara mengirim Naima ke panti asuhan
Bibir Mala terkembang melihat Niko berlari ke arahnya. Sore ini Niko, Danis, dan Mala jalan-jalan ke taman kota.“Danis aktif sekali.” Niko mendaratkan tubuhnya di samping Mala. Mereka duduk di rerumputan yang ada di taman. “Aku sampai kewalahan menemaninya.” Napas Niko terdengar naik-turun setelah menemani Danis bermain.“Terima kasih sudah menyayangi Danis, Nik.” Mala menatap pria di sampingnya dengan sangat dalam.Memberanikan diri, Niko menggenggam tangan Mala. Ditatapnya mata wanita yang bertahta di hatinya itu dengan sangat dalam. Lengkungan yang indah terbit di bibir tebal Niko.“Ya, siapa tau setelah melihat ketulusanku menyayangi putranya, Bundanya akan luluh. Dan mau menerima keberadaanku di hidupnya.” Niko mencoba berkelakar. Meskipun dia tahu mungkin jawabannya akan sama. Namun, dia bertekad sebanyak Mala menolaknya, sebanyak itu dia akan menyatakan cintanya.Mala mengalihkan pandanganny
Sore yang indah untuk menikmati secangkir teh hangat dan dan cemilan. Seperti halnya yang dilakukan Anan saat ini. “Duduk sini! Papa mau bicara.” Anan menepuk kursi rotan disampingnya. Menyuruh istrinya duduk setelah menghidangkan secangkir teh dan sepiring biskuit.“Mau bahas soal Niko,” sarkas Anggi. Dia sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan suaminya.Namun, Anan belum menanggapi. Pria itu menyeruput teh buatan istrinya. “Teh buatan Mama memang paling nikmat,” puji Anan.Anggi melipat tangannya, wajahnya semakin ditekuk. “Langsung pada intinya saja, Pa.”Anan meletakkan kembali tehnya. “Apa tidak berniat mencari tau dulu tentang calon Niko?”“Untuk apa cari tau. Mama sudah tau dia wanita nggak bener,” sarkas Anggi. “Papa heran, Mama tau dari siapa, sih soal Mala?” “Dari Eve.”Anan tertawa terbahak. “Dari Evelyn mantan Niko itu.”
Danis, bocah laki-laki berusia empat tahun sedari tadi terus merintih. Panas, hal pertama yang Mala rasakan saat punggung tangan wanita berkulit putih itu bersentuhan dengan dahi putranya. “Astaga, Nak. Badanmu panas sekali.” Cemas sudah pasti Mala rasakan. Apalagi Tomi, suami Mala belum juga pulang, padahal waktu sudah menunjukkan jam 11 malam. Akhir-akhir ini Tomi memang sering keluar malam. Entah apa yang dia lakukan di luaran sana?“Angkat, dong, Mas. Kamu dimana, sih, sebenarnya?” Mala terus mencoba menghubungi ponsel milik suaminya, tapi sia-sia tidak ada jawaban dari seberang sana. Mengompres Danis dengan air hangat, hanya itu yang bisa Mala lakukan untuk memberi pertolongan pertama. Dia terus saja merutuki diri karena lupa bila stok Paracetamol-nya habis. Seharusnya sebagai seorang Ibu, dia hafal betul putranya terkadang demam di malam hari. “Bunda …,” rengek Danis, “kepala Danis pusing.” Bocah empat tahun itu terus memegangi kepalanya.“Sabar, ya, Sayang. Ini lagi dikompre
“Dimana Tomi?” cerca dua pria yang berdiri di depan pintu.Tatapan keduanya membuat Mala risih. Pasalnya, mata mereka terus memindai tubuh Mala dari ujung kaki hingga kepala.“Mas Tomi tidak ada di rumah. Dia sedang bekerja.” Meski takut karena melihat penampilan dua pria berbadan besar dengan tangan penuh tato, Mala harus bersikap tenang. “Bohong!” bentak salah satu pria, teriakannya membuat Mala berjingkat. “Kami sudah ke tempat kerja Tomi, tapi dia tidak ada di sana,” imbuh pria berbadan besar itu.“Memangnya kalian berdua ini siapa? Dan … ada urusan apa dengan Mas Tomi?” tanya Mala penasaran.“Baca ini!” Salah satu pria melempar map biru ke wajah Mala.Jantung Mala seakan berhenti berdetak, napasnya memburu setelah membaca secarik kertas di dalam map. Perjanjian utang-piutang. Lima puluh juta, jumlah yang sangat banyak bagi Mala. Mata Mala membola saat tahu sertifikat rumah milik mendiang orangtuanya yang menjadi jaminan. Tubuh Mala terhuyung ke belakang hingga membentur pintu,
Mala memejamkan mata, pasrah dengan apa yang akan dilakukan Tomi. Cengkraman di dagunya juga terasa sangat sakit.Melihat istrinya memejamkan mata, tangan Tomi yang sudah melayang ke udara tiba-tiba melandai. Tercetak jelas di netra Tomi, wajah ayu serta bulu mata lentik milik istrinya, hal yang membuat Tomi jatuh cinta pada Mala bertahun-tahun lalu. Perlahan cengkraman di dagu Mala mengendur, pria dengan tinggi 170 cm itu menyatukan keningnya dengan kening sang istri. “Maaf,” lirih Tomi saat menyadari hampir saja dia melakukan kekerasan pada Mala, wanita yang dulu pernah membuatnya tergila-gila.Akan tetapi, Mala malah meronta saat suaminya ingin memeluk tubuhnya. Bahkan, Tomi dibuat mundur beberapa langkah karena dorongan Mala. “Kamu benar-benar keterlaluan, Mas.” Air mata sudah mengalir deras di pipi yang masih mulus meski tak pernah tersentuh perawatan sama sekali.“Maaf Mala aku khilaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu.” Tomi memajukan langkah, berusaha mengikis jarak. Selama ini
Perkataan Tomi yang ingin meminjam uang padanya, membuat wedang jeruk yang Didit minum untuk meredakan rasa pengar dari pengaruh alkohol semalam, menyembur membasahi lantai. "Buat apa?""Kan, udah gua bilang buat modal usaha," jawab Tomi.“Usaha apa?” tanya Didit dengan kedua alis menyatu. “Lo jangan aneh-aneh, ya, Tom. Udahlah, sekarang, kan Lo kerja di bengkel gue. Meski bayarannya nggak besar, gua rasa cukup untuk nafkahin Mala dan Danis.”“Ayolah, Dit. Satu juta … aja!” Tomi memelas.“Lo mau ikut trading abal-abal lagi, ya?” tebak Didit. “Mending nggak usah, utang Lo sama Bang Oji udah membengkak kayak gajah. Lo nggak kapok,” tutur Didit.“Justru itu. Gua mau usaha biar utang gua cepet lunas. Jadi, pinjamin modal dulu, ya. Lo bisa potong dari gaji gua, dah,” rayu Tomi.“Beneran, ya, potong gaji,” ucap Didit.“Suer.” Tangan Tomi membentuk huruf V.“Bukannya apa-apa. Lo tau ndiri, kan ini uang bengkel.”“Iya, gua tau. Maka dari itu, Lo bisa potong dari gaji gua nanti,” tutur Tomi.“
“Banyak sekali baju yang harus kamu setrika. Mas bantuin, ya,” ucap Tomi menawarkan bantuan.Mata Mala membola, dahinya mengernyit. Tomi ingin membantu pekerjaannya. Apa Mala tidak salah dengar? Atau … matahari terbit dari barat.“Kenapa? Ada yang salah,” ucap Tomi karena raut wajah istrinya tampak bingung.Bukannya menjawab Mala justru meletakkan punggung tangannya di kening Tomi. “Kamu nggak sedang sakit kan, Mas?”Tomi memegang tangan Mala lalu menciumnya dan berucap, “Mas sehat, kok.” Mala dibuat terpesona dengan senyuman Tomi yang merekah, entah kapan terakhir kali Mala melihatnya. Saking lamanya Mala sampai terlupa. Ekonomi yang memburuk berpengaruh besar pada rumah tangga Mala. Pertengkaran terjadi hampir setiap hari.“Kenapa bengong?” Tomi menangkup wajah ayu istrinya kemudian mencium puncak kepala Mala dengan lembut. Rona merah terlihat jelas di pipi Mala meskipun hampir lima tahun menikah. Perlakuan manis Tomi selalu membuat Mala tersipu. Apa Mala mencintai Tomi? Entahlah