“Banyak sekali baju yang harus kamu setrika. Mas bantuin, ya,” ucap Tomi menawarkan bantuan.
Mata Mala membola, dahinya mengernyit. Tomi ingin membantu pekerjaannya. Apa Mala tidak salah dengar? Atau … matahari terbit dari barat.“Kenapa? Ada yang salah,” ucap Tomi karena raut wajah istrinya tampak bingung.Bukannya menjawab Mala justru meletakkan punggung tangannya di kening Tomi. “Kamu nggak sedang sakit kan, Mas?”Tomi memegang tangan Mala lalu menciumnya dan berucap, “Mas sehat, kok.”Mala dibuat terpesona dengan senyuman Tomi yang merekah, entah kapan terakhir kali Mala melihatnya. Saking lamanya Mala sampai terlupa. Ekonomi yang memburuk berpengaruh besar pada rumah tangga Mala. Pertengkaran terjadi hampir setiap hari.“Kenapa bengong?” Tomi menangkup wajah ayu istrinya kemudian mencium puncak kepala Mala dengan lembut.Rona merah terlihat jelas di pipi Mala meskipun hampir lima tahun menikah. Perlakuan manis Tomi selalu membuat Mala tersipu.Apa Mala mencintai Tomi? Entahlah, Mala sendiri tidak tahu. Sejatinya pernikahan mereka terjadi karena sebuah peristiwa kelam di masa lalu.“Mas.” Mala mendorong dada suaminya lembut. “Malu.”“Kenapa malu. Mas, kan, suamimu.” Tomi terkekeh.“Ish, nanti kalau Danis lihat gimana coba?” Bibir Mala mengerucut.Saat Mala hendak melanjutkan menggosok baju, tangan Tomi menghentikan Mala. “Biar Mas yang lanjutkan kamu mandikan Danis setelah itu kamu juga mandi. Mas mau ajak kalian jalan-jalan.”“Jalan-jalan?” Kedua alis Mala bertaut.“Iya, sudah lama kita tidak jalan-jalan, ‘kan.”“Mas punya uang?”“Tadi Mas dapat rejeki lebih. Ada pelanggan yang ngasih tip lumayan besar.”“Tapi … bukannya sebaiknya uangnya buat nyicil utang.” Mala memelankan suaranya, takut Tomi kembali murka karena Mala kembali mengungkit perihal utang.Bagi Mala jalan-jalan bisa kapan saja. Namun, soal utang tidak bisa. Mala takut dua pria kemarin kembali datang untuk menagih. Apa lagi, saat mengingat salah satu dari mereka berani menyentuh dagu Mala. Perbuatan yang membuat Mala kembali mengingat peristiwa kelam yang dia alami lima tahun silam.Tomi meraup wajahnya kasar, susah sekali meyakinkan Mala untuk keluar rumah padahal sedari tadi dia sudah bersikap sangat lembut. Namun, dia tidak menyerah, dia akan terus berusaha meyakinkan Mala agar mau ikut bersamanya. Kalau tidak, bisa gagal rencananya. Jangan sampai uang yang dia pinjam menjadi sia-sia.“Mas sudah bilang, Mas sudah punya solusi untuk masalah itu. Lagi pula apa kamu nggak kasihan sama Danis, setiap sore dia hanya bisa duduk di teras mengamati teman-temannya yang dibonceng orang tua mereka, diajak jalan-jalan.”Sudut bibir Tomi terangkat, berhasil. Wajah Mala berubah sendu mendengar Tomi menyebut nama Danis. Pria jangkung itu tahu kelemahan terbesar Mala adalah Danis.Mala goyah setelah nama putranya disebut. “Baiklah Mas.” Mala bangkit dari duduknya berniat menyusul Danis ke dapur.Melihat tumpukan baju di depannya, Tomi menghembuskan nafas berulang kali. Banyak sekali cucian yang Mala ambil.“Siap-siap pegel, nih tangan. Tapi tidak masalah yang penting Mala mau pergi.”Baru juga sekali membantu Mala menggosok baju, Tomi sudah mengeluh. Itupun karena Tomi punya maksud terselubung. Alias udang dibalik bakwan. Apa kabar dengan Mala yang setiap hari melakukannya belum lagi ditambah pekerjaan rumah yang menumpuk dan Danis yang terkadang rewel.Bila Tomi terus menggerutu berbanding terbalik dengan Mala yang merasa sangat senang. Setelah sekian tahun berumah tangga, hari ini Tomi menunjukkan perangai yang baik.Mala segera memandikan Danis, setelah anaknya siap giliran Mala yang mandi dan bersiap-siap.Peluh di dahi Tomi bercucuran, ternyata bukan hanya tenaga yang terkuras saat menggosok baju, peluhnya juga ikut mengalir terkena uap panas dari setrikaan.“Ayah kami sudah siap!” teriak Danis yang membuat Tomi menoleh ke asal suara. Celana pendek hitam dan kaos bergambar spon laut membuat Danis terlihat sangat lucu.Mala terlihat cantik meski tanpa makeup. Kaos polos berwarna hitam yang kedodoran dipadukan celana jeans biru, hanya itu pakaian yang Mala rasa masih layak untuk dikenakan. Rambutnya yang bergelombang diikat sederhana.“Kamu begitu saja cantik, La. Apalagi setelah kubawa ke salon nanti. Semua pria pasti akan mengira kamu masih gadis,” batin Tomi.Netra Tomi terus menatap dalam pada sang istri. Gamang, apa keputusannya sudah benar. Apa dia rela? Tapi, itu jalan satu-satunya yang bisa Tomi tempuh. Berbagai pertanyaan berlarian di benak Tomi.Tidak … dia tidak boleh gamang. Keputusannya sudah tepat. Dia tidak akan mundur.“Ayo kita berangkat!” ucap Tomi.“Lho, Mas sudah selesai gosok bajunya?”“Sudah, dong, La.”Mala berjongkok memeriksa pekerjaan Tomi. Bukan apa-apa, dia takut pekerjaan Tomi tidak serapi dirinya. Jangan sampai Mala kena komplain dan kehilangan pelanggan. “Rapi,” gumam Mala. Mala bernafas lega karena ternyata pekerjaan Tomi rapi juga.Mereka bertiga berboncengan bertiga. Mala meminta Tomi untuk mengantarnya ke rumah para pelanggannya terlebih dulu sebelum jalan-jalan.“Kita mau ngapain Mas, kesini?” tanya Mala saat Tomi memarkir sepeda motor mereka di sebuah pusat perbelanjaan.“Jalan-jalan,” jawab Tomi enteng.“Hore … hore, kita jalan-jalan di mall.” Saking riangnya, Danis berteriak hingga meloncat-loncat.Hawa sejuk langsung menyambut mereka kala masuk ke pusat perbelanjaan tersebut.Tomi menggandeng tangan kecil Danis, bocah itu terus berceloteh tiada henti. Maklum ini pertama kalinya bagi Danis pergi ke mall.Melihat sang putra yang sangat bahagia, bulir bening menetes di pipi Mala. Dia hanya mengamati interaksi Danis dan Tomi dari belakang.“Ayo, Bunda. Jangan di belakang terus!” teriak Danis antusias.Danis yang berbalik dan menatap ke arahnya, membuat Mala buru-buru menghapus jejak airmata di pipi. Dia juga berlari kecil menyusul langkah dua pria kesayangannya.Langkah Tomi terhenti di depan salon kecantikan. Mala menyipitkan mata. Tomi menggandeng Mala memasuki salon tersebut.“Mas?!” Mala menahan langkah Tomi dengan meremas tangan suaminya.“Ayo, jangan khawatir. Mas bawa uang, kok,” bisik Tomi di telinga istrinya.“Tapi Mas ….” Tidak peduli dengan penolakan Mala, Tomi justru menuntun Mala masuk lebih dalam lalu mendudukkannya di depan sebuah cermin besar.Seorang pegawai salon menghampiri keduanya. “Ada yang bisa saya bantu, Mas … Mbak?”“Saya ingin Mbak memberikan perawatan wajah, rambut dan kuku pada istri saya.”Mendengar instruksi Tomi pada pegawai salon, bola mata Mala seakan ingin keluar dari tempatnya. Tomi pikir biaya perawatan di salon itu murah.“Mas!”“Selamat menikmati perawatan, ya, sayang. Mas mau jalan-jalan sama Danis sambil nunggu kamu perawatan.” Tomi mengacak rambut Mala.“Ayo, Sayang kita jalan-jalan keliling mall.” Tomi berlalu bersama Danis meninggalkan Mala.“Wah, Mbak beruntung, ya, memiliki suami seperti Mas-nya. Sudah ganteng perhatian lagi sama istri. Pasti Mbak bahagia,” ucap pegawai salon.Mala tersenyum getir. “Iya Mbak … alhamdulillah.” Seandainya pegawai salon itu tahu sifat Tomi yang sebenarnya, masihkah terlontar pujian. Sudah pasti tidak justru membuat mungkin cacian yang terlontar.Penampilan Mala berubah seratus delapan puluh derajat setelah melakukan perawatan. Tomi sampai menganga melihat penampilan istrinya.Tomi seperti dejavu. Mala yang memiliki wajah putih dengan pipi bersemu merah, rambut yang tergerai indah, kulit seputih susu persis seperti lima tahun silam. Kecantikan yang di elu-elukan para pemuda kampung tidak terkecuali dirinya.Kecantikan yang membuat Tomi nekat mendapatkan Mala dengan cara yang … ah, hanya Tomi yang tahu rahasia itu. Rahasia yang masih tertutup rapat hingga detik ini.“Wow, Bunda sangat cantik,” puji Danis. Pria kecil itu sengaja mengedipkan sebelah matanya, seolah dia adalah pria dewasa yang sedang menggoda lawan jenis. Lengkungan sempurna tercetak di bibir Mala karena godaan dari pria kecilnya. Teramat gemas perempuan berkulit putih itu mencubit pipi gembul Danis, kemudian mengangkat putranya ke dalam gendongan. Ciuman bertubi-tubi mendarat berkali-kali di pipi Danis dari Mala. “Geli, Bunda.” Danis sedikit mendorong wajah ibunya menjauh.“Ini hukuman karena menggoda Bunda,” sahut Mala yang kembali mencium pipi gembul putranya.Hanyut sepersekian detik oleh pemandangan indah di depannya, Tomi tanpa sadar tersenyum tipis. Namun tidak lama kesadarannya kembali, buru-buru Tomi meraih Danis dari gendongan Mala.“Sini, biar Ayah gendong. Kasian Bunda pasti capek gendong kamu yang gemoy.” Tomi mengulurkan tangannya pada Danis.“Nggak apa-apa, Mas, kan, sudah biasa Mala gendong Danis setiap hari.”“Hari ini spesial. Kamu akan Mas jadikan ratu sehari,”
“Urusan penting apa memangnya?” Farida berbicara sambil menikmati teh buatan Mala.“Em … pokoknya penting, Bu. Ayolah Bu semalam saja nitip Danis.” Pandangan Tomi yang memelas membuat Farida luluh. “Iya, iya.”“Terima kasih. Ibu memang terbaik.” Dua jempol Tomi terangkat.“Sip, rencana berjalan mulus,” batin Tomi.“Ibu mau pulang dulu. Tadi Ibu ke sini niatnya mau ketemu Danis. Eh, dianya tidur ternyata.” Meski Farida tidak menyukai Mala, tetapi dia sangat menyayangi Danis cucunya. “Kalau kalian mau keluar, antarkan saja Danis ke rumah Ibu,” imbuh Farida.“Iya, Bu,” ucap Tomi. Mala duduk di tepi ranjang memandang putranya yang tertidur lelap. Diusapnya rambut Danis perlahan-lahan. “Kenapa perasaan Bunda tidak enak, ya, Nak?”Usapan lembut sang bunda membuat Danis menggeliat. Ada seulas senyum yang terukir di bibirnya. Mala menunduk lalu mencium pucuk kepala Danis. Waktu menunjukkan jam delapan malam. Mala dan Tomi makan malam bersama. “La, nanti Mas mau ajak kamu ke suatu tempat.”
Bab 8 Janda BersuamiSenjata andalan Tomi selain Danis tentu saja rahasia masa lalu Mala. Hanya dia dan Mala yang tahu mengenai peristiwa kelam lima tahun lalu. Lima tahun lalu, di suatu malam. Mala yang tinggal sendirian di rumah selepas orang tuanya meninggal terbangun di tengah malam. Dia yang tengah tertidur lelap merasa kesulitan untuk bernafas. Saat netra berwarna coklat milik Mala terbuka, sosok pria dengan penutup wajah tengah berkuasa atas tubuhnya. Sebelum sempat berteriak, pria itu terlebih dulu membekap Mala. Malam itu, malam terkelam di hidup Mala. Seorang gadis yatim piatu harus hancur di usia tujuh belas tahun. Setelah puas menghancurkan Mala, pria itu pergi begitu saja. Mala terus menangis di sudut kamar, tangannya menggenggam erat sebuah benda. Kalung emas —berliontin jangkar— milik si pria yang tanpa sengaja Mala tarik saat melakukan perlawanan. “Dek … Dek!” Suara panggilan diikuti ketukan dari luar mengejutkan Mala.Dengan tertatih Mala keluar dari kamar. Kea
“Kita tidak akan melakukan hal itu,” ucap Nina.Ada kelegaan di hati Mala saat mendengar ucapan Nina.“Di sini kita hanya menemani mereka bernyanyi tidak lebih. Bos Bara tidak menyediakan jasa ‘seperti itu’. Bahkan, pria tua itu akan memberi sanksi tegas pada LC-nya bila ketahuan berbuat ‘seperti itu' di sini. Kalau diluar, ya, silakan,” imbuh Nina. “Atau kalau kamu ingin …?” Goda Nina sambil menaik-turunkan alisnya.“Tidak … tidak. Aku tidak ingin,” sanggah Mala cepat. Bekerja di tempat ini saja sudah suatu bencana baginya. Apalagi sampai ….Ah, hal itu jauh dari pikirannya.“Sudah siap?”Nina dan Mala menoleh ke arah sumber suara. Bara sudah berdiri di ambang pintu.“Sudah, Bos,” jawab Nina. Bara mendekat ke arah mereka. “Untuk beberapa hari kedepan. Dia ikut kamu dulu, Nin. Ajari dia apa yang harus dilakukan di sini,” tutur Bara pada Nina. Mata yang selalu menatap tajam pada lawan bicaranya itu meredup saat menatap Mala. Ada hal yang terus menggelitik di hati, yang dia sendiri tid
Niko terus memperhatikan wanita yang berada di sisi kanannya. Parfum beraroma jasmine menggelitik indera penciuman pria berhidung mancung itu. Mata Niko bahkan sampai terpejam, saat menghirup aroma parfum yang beterbangan di udara. Rasanya dia ingin terlelap di dalam aroma sang wanita.Entah tidak tahu atau … memang wanita yang duduk di sampingnya terlalu abai dengan sekitar. Sampai-sampai melirik ke arah Niko saja tidak. Menertawakan diri sendiri, ternyata ada wanita yang abai dengan pesonanya. Padahal mereka hanya bersekat sebuah kursi.“Maaf, Bu. Bolehkah saya titip Danis sebentar. Sepertinya saya akan sedikit terlambat menjemputnya. Terima kasih.”Siapa Danis? Pertanyaan muncul ketika Niko mencuri dengar pembicaraan si wanita dengan seseorang melalui ponsel.Niko bersedekap dada, memejamkan mata, tapi menajamkan pendengarannya. Ponsel si wanita berkulit putih berdering.Akan tetapi, suara si wanita tidak selembut tadi. Kali ini, suaranya terdengar sedikit ketus di telinga Niko.
Ditempat lain Niko tengah pegal hati, sedari tadi Andi terus saja mengoceh ke sana ke mari tidak jelas. Mereka duduk bersandar di ranjang milik Niko. Kedatangan Andi menggagalkan rencana Niko untuk tidur lebih awal.“Aku sakit hati, Nik. Sakit.” Andi berkata dengan menunjuk dada sebelah kirinya. “Aku kurang apa coba? Teganya si Rani selingkuh dariku,” keluh Andi pada sahabatnya.“Kurang kaya, kurang ganteng, pokoknya banyak lah kurangmu,” jawab Niko tak acuh. Tangannya terus memainkan ponsel. “Aduh!” pekik Niko saat sebuah bantal mendarat tepat di wajah tampannya. “Rese, Lo.” Niko mengembalikan bantal yang dilemparkan Andi.“Eits! Nggak kena,” ejek Andi saat dia berhasil mengelak lemparan Niko. “Aku ini lagi sedih, Nik.” Pria bertubuh tinggi itu beralih tempat duduk ke samping Niko. Tangannya bergelayut manja di lengan Niko.“Ish, apaan, sih. Jijik aku.” Niko melepas tangan Andi yang bergelayut padanya. Hal yang membuatnya bergidik.“Lah, aku lagi sedih. Kamu malah gitu,” rengek Andi
Andi sudah tertidur lelap di mobil. Sementara yang duduk di kursi kemudi masih awas memandang pintu keluar ‘Happy Karaoke'. Entah sudah berapa banyak batang nikotin yang telah ia hirup.Hanya seorang pemandu lagu, tapi kenapa membuat Niko begitu penasaran hingga rela menunggunya di sini hingga berjam-jam. Berulang kali dia meremas rambutnya. Logikanya bilang, dia harus pergi. Namun, hatinya ingin tetap di sini menunggu Mala. Suara lembutnya, wangi tubuhnya membuat Niko kehilangan akal. “Sial,” umpatan tidak berhenti keluar dari mulut Niko, merutuki diri sendiri yang tenggelam dalam pesona Mala.Jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan menunjukkan hampir jam tiga dini hari. Namun, yang Niko tunggu belum juga keluar. Padahal sudah sejak tadi, satu persatu pengunjung keluar dari dalam sana. Lampu yang menyala terang juga sudah padam. Dahi Niko mengernyit saat tidak mendapati satu pun pemandu lagu keluar dari pintu depan. Tidak mungkin, ‘kan, para pl menginap di dalam sana.
Airmata Mala terus mengalir, tenaganya hampir habis karena terus melakukan perlawanan pada Oji. Netranya sudah tertutup sempurna. “Ya Tuhan jangan biarkan aku kembali merasakan hal buruk yang sama untuk kedua kalinya.” Mala terus meminta pertolongan pada Sang Pencipta. Bila hal itu kembali terulang Mala tidak akan sanggup menanggungnya.Cukuplah pekerjaannya yang kotor, jangan kehormatannya juga ikut kotor. Saat hampir menyerah Mala merasakan tubuh Oji menjauh dari tubuhnya. Netra yang sedari tadi terpejam, terbuka dengan sempurna. Seseorang bertubuh tegap tengah berkuasa di atas tubuh Oji, pukulan bertubi-tubi membuat si lintah darat tidak berdaya. “Dasar pria brengsek.” Umpatan mengiringi pukulan si pria. “Tidak bermoral.”Melihat perkelahian keduanya, Mala menangis sejadi-jadinya. Dia selamat dari Oji. Bajunya sudah berantakan tak berbentuk. Wanita berambut pendek itu terus mendekap tubuhnya. Airmata yang mengalir membuat wajahnya berubah kuyu.Awalnya Niko ingin ke kamar mandi, m
Sore yang indah untuk menikmati secangkir teh hangat dan dan cemilan. Seperti halnya yang dilakukan Anan saat ini. “Duduk sini! Papa mau bicara.” Anan menepuk kursi rotan disampingnya. Menyuruh istrinya duduk setelah menghidangkan secangkir teh dan sepiring biskuit.“Mau bahas soal Niko,” sarkas Anggi. Dia sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan suaminya.Namun, Anan belum menanggapi. Pria itu menyeruput teh buatan istrinya. “Teh buatan Mama memang paling nikmat,” puji Anan.Anggi melipat tangannya, wajahnya semakin ditekuk. “Langsung pada intinya saja, Pa.”Anan meletakkan kembali tehnya. “Apa tidak berniat mencari tau dulu tentang calon Niko?”“Untuk apa cari tau. Mama sudah tau dia wanita nggak bener,” sarkas Anggi. “Papa heran, Mama tau dari siapa, sih soal Mala?” “Dari Eve.”Anan tertawa terbahak. “Dari Evelyn mantan Niko itu.”
Bibir Mala terkembang melihat Niko berlari ke arahnya. Sore ini Niko, Danis, dan Mala jalan-jalan ke taman kota.“Danis aktif sekali.” Niko mendaratkan tubuhnya di samping Mala. Mereka duduk di rerumputan yang ada di taman. “Aku sampai kewalahan menemaninya.” Napas Niko terdengar naik-turun setelah menemani Danis bermain.“Terima kasih sudah menyayangi Danis, Nik.” Mala menatap pria di sampingnya dengan sangat dalam.Memberanikan diri, Niko menggenggam tangan Mala. Ditatapnya mata wanita yang bertahta di hatinya itu dengan sangat dalam. Lengkungan yang indah terbit di bibir tebal Niko.“Ya, siapa tau setelah melihat ketulusanku menyayangi putranya, Bundanya akan luluh. Dan mau menerima keberadaanku di hidupnya.” Niko mencoba berkelakar. Meskipun dia tahu mungkin jawabannya akan sama. Namun, dia bertekad sebanyak Mala menolaknya, sebanyak itu dia akan menyatakan cintanya.Mala mengalihkan pandanganny
“Bos,” lirih Mala. Dia begitu terkejut karena Bara memeluknya secara tiba-tiba. Bahkan pelukan pria itu begitu erat. “Maaf … Mala … Maaf.” Bara melepaskan pelukannya pada Mala. “Aku begitu bahagia.” Nampak Bara menyentuh sudut netranya. “Sekarang dimana ibumu?” Bara mengedarkan pandangannya.“Ibu saya, Bos?” Mala keheranan. Kenapa Bara mencari ibunya.“Iya Ibumu dimana, dia?” Meski Bara meneteskan air mata, tapi terlihat binar bahagia di wajahnya.“Ibu saya sudah meninggal.” “Apa?” Bara nampak terkejut, bahkan pria itu sampai terduduk di lantai. “Tidak mungkin adikku Naima sudah tiada,” raung Bara.“Maksud Bos apa?” Mala berjongkok, mensejajarkan diri dengan Bara.“Ibumu adikku Mala.”Lalu Bara menceritakan tentang kisahnya dan ibu Mala. Keduanya yatim piatu sejak kecil mereka terpaksa hidup di jalanan dan berpindah-pindah. Tidak tega, Bara mengirim Naima ke panti asuhan
Niko mengajak Aksa menemui Mala sore ini. Karena sepupunya itu harus menghadiri beberapa sidang hari ini. Mobil melaju membelah padatnya lalu lintas hingga mereka sampai di sebuah rumah kontrakan. Di teras kontrakan, seorang gadis dengan cenala jeans belel dan kaos crop top terlihat bangkit dari duduknya. Menyambut kedatangan keduanya.“Kita sudah sampai,” kata Niko setelah mematikan mesin mobil.Aksa tersenyum samar. “Oke juga selera Niko.” Pandangannya tertuju pada Nina.“Lama banget, sih.” Nina mencebik kesal.“Dia masih banyak urusan.” Niko melirik Aksa. “Oh.” Nina memperhatikan penampilan Aksa. “Dia yang mau bantuin Mala?”“He em. Oh, ya, kenalkan dia Aksa sepupuku.” Niko memperkenalkan Nina dengan Aksa.“Hallo Pak Aksa kenalkan saya Nina.” Gadis cantik itu mengulurkan tangannya, dengan senyuman indah yang membingkai di wajahnya.“Aksa.” Aksa merasakan sesuatu yang berbeda saat bersalaman dengan Nina. “Mau duduk di sini atau di dalam.” Nina memberi opsi.“Di sini saja,” sahut
Perkataan Tomi tentu membuat ayah Tina murka. Pria yang rambutnya mulai memutih itu bahkan sampai menggebrak meja. “Kurang ajar kamu Tomi!” hardik ayah Tina. “Setelah kamu menggagahi anak saya, kamu mau lepas tanggung jawab?”“Dia sendiri yang menawarkan tubuhnya pada saya,” ucap Tomi diikuti tatapan benci pada Tina.“Jaga ucapmu!” Ayah Tina menunjuk wajah Tomi, Ayah mana yang rela anaknya dihina. Ibu Tina mencoba menenangkan suaminya, dia mengusap lengan suaminya selembut mungkin. “Sabar Pak … sabar.”Sementara Tina hanya bisa tersenyum getir. Serendah itukah dia di mata Tomi.“Sabar Pak … ini bisa dibicarakan baik-baik. Jangan emosi dulu.” Farida mencoba menengahi.“Terserah kamu mau bilang apa Mas yang pasti … kamu harus menikahiku. Karena sekarang aku sedang mengandung anakmu.”Perkataan Tina jelas semakin memperkeruh suasana. Terutama Tomi. Kepala seakan hampir meledak. Masalah Mala belum selesai, masalah baru muncul. Berbeda dengan putranya, Farida justru bahagia mendengar pe
Melihat kediaman Tomi, Mala semakin naik pitam. “Jawab Tomi … jangan diam saja!” Teriakan Mala semakin memekakkan telinga. Bahkan urat-urat leher wanita itu sampai terlihat jelas. Air mata juga terus mengalir deras di pipinya. Hancur, marah, sedih, dan kecewa menjadi satu. Bukan tanpa sebab, kotak kecil yang ditemukan Farida berisi sebuah kalung emas berliontin jangkar. Kalung itu satu-satunya bukti yang Mala miliki.Bukti yang ditinggalkan oleh pria biadab yang lima tahun lalu merenggut mahkotanya. Menghancurkan hidupnya. Membuatnya terjebak dalam pernikahan toxic. Tomi semakin meraung, merengkuh kaki Mala. “Ampuni aku Mala!” Tomi tidak bisa berkelit. “Aku mohon. Aku terpaksa … aku … aku terlalu mencintaimu.”Mala membungkuk, melepaskan rengkuhan Tomi dari kakinya hingga Tomi terdorong ke belakang. Tamparan pun Mala layangkan pada Tomi.“Biadab kamu Tomi. Brengsek … bajingan ….” Segala sumpah serapah Mala ucapkan.“Hey …!” Farida yang melihat perlakuan Mala pada putranya berteri
Melihat Mala yang terus menangis, Nina ikut menangis. “Sudah, La, jangan nangis! Lelaki kayak gitu tidak pantas kamu tangisi.” Nina mendekap Mala sangat erat.Awalnya Mala pikir, dia tidak akan sedih dan terluka saat mendapati Tomi selingkuh. Nyatanya, tidak. Hatinya tetap saja merasa sesak, seperti dihimpit bongkahan batu.Air mata yang sekian lama mampu dia tahan, tumpah juga. “Kupikir aku akan baik-baik saja, Nin. Ternyata disini.” Tunjuk Mala pada dada sebelah kanan. “Rasanya sakit sekali.” Suara Mala begitu parau dan memilukan.Nina mengelus surai Mala, mencoba menenangkan sahabatnya. Tubuh Mala terus berguncang hebat. “Apa salahku, Nin. Hingga Mas Tomi selalu menyakitiku.”“Kamu tidak salah La tapi, Tomi saja yang brengsek,” geram Nina. Matanya juga memerah karena ikut menangis.“Kita jemput Danis, Nin.”“Ya, kita memang harus menjemput Danis. Kita ke alamat yang tadi, Pak.”
Mala tersenyum sinis memandangi Tomi yang tertidur sangat lelap. Di aplikasi hijau semua bukti terpampang nyata. Bukan hanya ada chat mesra, tapi juga banyak foto tidak senonoh yang Tina kirim pada Tomi.Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Mala memotret dan memvideokan semua bukti perselingkuhan suaminya. “Anggap saja ini jalan dari Tuhan untuk lepas dari suamimu Mala,” lirih Mala.Saat akan mengembalikan ponsel milik Tomi, tatapan Mala tertuju pada kemeja Tomi yang sedidik tersingkap di bagian dada. Ada sebuah tanda yang Mala paham betul, tanda apa itu.“Oh, jadi si perempuan ini sengaja meninggalkan jejak rupanya.” Mala berdecak pelan.Mala mondar-mandir di ruang tamu, dia sudah punya bukti. Namun, dia tidak boleh gegabah. Dia harus memikirkan sebuah cara untuk membongkar perselingkuhan Tomi. Perselingkuhan Tomi juga semakin meyakinkan Mala untuk berpisah. Meski dia harus menanggung konsekuens
Mala mengekor langkah ibu mertuanya, tapi ternyata Danis dan ibu mertuanya sudah masuk ke kamar mandi.“Buk, biar Mala saja yang memandikan Danis.” Pintu kamar mandi Mala ketuk dari luar.Di dalam kamar mandi, Farida bingung. Kalau dia membiarkan Mala masuk, nanti menantunya itu tanya-tanya tentang keberadaan Tomi pada Danis. Namun, kalau dia tidak membuka pintu bisa-bisa Mala curiga.Tidak ada pilihan lain, Farida memegang bahu cucunya. “Nenek mau minta tolong sama Danis.”“Minta tolong apa, Nek?” tanya Danis polos.“Nanti kalau Bunda tanya-tanya soal Ayah. Danis bilang saja Ayah ke pasar, seperti yang Nenek bilang tadi.” Instruksi Farida.“Tapi kan Ayah dari semalam tidak pulang, Nek,” ucap Danis apa adanya.“Sstt.” Farida menutup bibir mungil Danis dengan telunjuk, kepalanya menoleh ke arah pintu. Takut Mala mendengar percakapan mereka. “Jangan keras-keras! Danis, kan, anak yang penu