Share

Udang dibalik bakwan

“Banyak sekali baju yang harus kamu setrika. Mas bantuin, ya,” ucap Tomi menawarkan bantuan.

Mata Mala membola, dahinya mengernyit. Tomi ingin membantu pekerjaannya. Apa Mala tidak salah dengar? Atau … matahari terbit dari barat.

“Kenapa? Ada yang salah,” ucap Tomi karena raut wajah istrinya tampak bingung.

Bukannya menjawab Mala justru meletakkan punggung tangannya di kening Tomi. “Kamu nggak sedang sakit kan, Mas?”

Tomi memegang tangan Mala lalu menciumnya dan berucap, “Mas sehat, kok.”

Mala dibuat terpesona dengan senyuman Tomi yang merekah, entah kapan terakhir kali Mala melihatnya. Saking lamanya Mala sampai terlupa. Ekonomi yang memburuk berpengaruh besar pada rumah tangga Mala. Pertengkaran terjadi hampir setiap hari.

“Kenapa bengong?” Tomi menangkup wajah ayu istrinya kemudian mencium puncak kepala Mala dengan lembut.

Rona merah terlihat jelas di pipi Mala meskipun hampir lima tahun menikah. Perlakuan manis Tomi selalu membuat Mala tersipu.

Apa Mala mencintai Tomi? Entahlah, Mala sendiri tidak tahu. Sejatinya pernikahan mereka terjadi karena sebuah peristiwa kelam di masa lalu.

“Mas.” Mala mendorong dada suaminya lembut. “Malu.”

“Kenapa malu. Mas, kan, suamimu.” Tomi terkekeh.

“Ish, nanti kalau Danis lihat gimana coba?” Bibir Mala mengerucut.

Saat Mala hendak melanjutkan menggosok baju, tangan Tomi menghentikan Mala. “Biar Mas yang lanjutkan kamu mandikan Danis setelah itu kamu juga mandi. Mas mau ajak kalian jalan-jalan.”

“Jalan-jalan?” Kedua alis Mala bertaut.

“Iya, sudah lama kita tidak jalan-jalan, ‘kan.”

“Mas punya uang?”

“Tadi Mas dapat rejeki lebih. Ada pelanggan yang ngasih tip lumayan besar.”

“Tapi … bukannya sebaiknya uangnya buat nyicil utang.” Mala memelankan suaranya, takut Tomi kembali murka karena Mala kembali mengungkit perihal utang.

Bagi Mala jalan-jalan bisa kapan saja. Namun, soal utang tidak bisa. Mala takut dua pria kemarin kembali datang untuk menagih. Apa lagi, saat mengingat salah satu dari mereka berani menyentuh dagu Mala. Perbuatan yang membuat Mala kembali mengingat peristiwa kelam yang dia alami lima tahun silam.

Tomi meraup wajahnya kasar, susah sekali meyakinkan Mala untuk keluar rumah padahal sedari tadi dia sudah bersikap sangat lembut. Namun, dia tidak menyerah, dia akan terus berusaha meyakinkan Mala agar mau ikut bersamanya. Kalau tidak, bisa gagal rencananya. Jangan sampai uang yang dia pinjam menjadi sia-sia.

“Mas sudah bilang, Mas sudah punya solusi untuk masalah itu. Lagi pula apa kamu nggak kasihan sama Danis, setiap sore dia hanya bisa duduk di teras mengamati teman-temannya yang dibonceng orang tua mereka, diajak jalan-jalan.”

Sudut bibir Tomi terangkat, berhasil. Wajah Mala berubah sendu mendengar Tomi menyebut nama Danis. Pria jangkung itu tahu kelemahan terbesar Mala adalah Danis.

Mala goyah setelah nama putranya disebut. “Baiklah Mas.” Mala bangkit dari duduknya berniat menyusul Danis ke dapur.

Melihat tumpukan baju di depannya, Tomi menghembuskan nafas berulang kali. Banyak sekali cucian yang Mala ambil.

“Siap-siap pegel, nih tangan. Tapi tidak masalah yang penting Mala mau pergi.”

Baru juga sekali membantu Mala menggosok baju, Tomi sudah mengeluh. Itupun karena Tomi punya maksud terselubung. Alias udang dibalik bakwan. Apa kabar dengan Mala yang setiap hari melakukannya belum lagi ditambah pekerjaan rumah yang menumpuk dan Danis yang terkadang rewel.

Bila Tomi terus menggerutu berbanding terbalik dengan Mala yang merasa sangat senang. Setelah sekian tahun berumah tangga, hari ini Tomi menunjukkan perangai yang baik.

Mala segera memandikan Danis, setelah anaknya siap giliran Mala yang mandi dan bersiap-siap.

Peluh di dahi Tomi bercucuran, ternyata bukan hanya tenaga yang terkuras saat menggosok baju, peluhnya juga ikut mengalir terkena uap panas dari setrikaan.

“Ayah kami sudah siap!” teriak Danis yang membuat Tomi menoleh ke asal suara. Celana pendek hitam dan kaos bergambar spon laut membuat Danis terlihat sangat lucu.

Mala terlihat cantik meski tanpa makeup. Kaos polos berwarna hitam yang kedodoran dipadukan celana jeans biru, hanya itu pakaian yang Mala rasa masih layak untuk dikenakan. Rambutnya yang bergelombang diikat sederhana.

“Kamu begitu saja cantik, La. Apalagi setelah kubawa ke salon nanti. Semua pria pasti akan mengira kamu masih gadis,” batin Tomi.

Netra Tomi terus menatap dalam pada sang istri. Gamang, apa keputusannya sudah benar. Apa dia rela? Tapi, itu jalan satu-satunya yang bisa Tomi tempuh. Berbagai pertanyaan berlarian di benak Tomi.

Tidak … dia tidak boleh gamang. Keputusannya sudah tepat. Dia tidak akan mundur.

“Ayo kita berangkat!” ucap Tomi.

“Lho, Mas sudah selesai gosok bajunya?”

“Sudah, dong, La.”

Mala berjongkok memeriksa pekerjaan Tomi. Bukan apa-apa, dia takut pekerjaan Tomi tidak serapi dirinya. Jangan sampai Mala kena komplain dan kehilangan pelanggan. “Rapi,” gumam Mala. Mala bernafas lega karena ternyata pekerjaan Tomi rapi juga.

Mereka bertiga berboncengan bertiga. Mala meminta Tomi untuk mengantarnya ke rumah para pelanggannya terlebih dulu sebelum jalan-jalan.

“Kita mau ngapain Mas, kesini?” tanya Mala saat Tomi memarkir sepeda motor mereka di sebuah pusat perbelanjaan.

“Jalan-jalan,” jawab Tomi enteng.

“Hore … hore, kita jalan-jalan di mall.” Saking riangnya, Danis berteriak hingga meloncat-loncat.

Hawa sejuk langsung menyambut mereka kala masuk ke pusat perbelanjaan tersebut.

Tomi menggandeng tangan kecil Danis, bocah itu terus berceloteh tiada henti. Maklum ini pertama kalinya bagi Danis pergi ke mall.

Melihat sang putra yang sangat bahagia, bulir bening menetes di pipi Mala. Dia hanya mengamati interaksi Danis dan Tomi dari belakang.

“Ayo, Bunda. Jangan di belakang terus!” teriak Danis antusias.

Danis yang berbalik dan menatap ke arahnya, membuat Mala buru-buru menghapus jejak airmata di pipi. Dia juga berlari kecil menyusul langkah dua pria kesayangannya.

Langkah Tomi terhenti di depan salon kecantikan. Mala menyipitkan mata. Tomi menggandeng Mala memasuki salon tersebut.

“Mas?!” Mala menahan langkah Tomi dengan meremas tangan suaminya.

“Ayo, jangan khawatir. Mas bawa uang, kok,” bisik Tomi di telinga istrinya.

“Tapi Mas ….” Tidak peduli dengan penolakan Mala, Tomi justru menuntun Mala masuk lebih dalam lalu mendudukkannya di depan sebuah cermin besar.

Seorang pegawai salon menghampiri keduanya. “Ada yang bisa saya bantu, Mas … Mbak?”

“Saya ingin Mbak memberikan perawatan wajah, rambut dan kuku pada istri saya.”

Mendengar instruksi Tomi pada pegawai salon, bola mata Mala seakan ingin keluar dari tempatnya. Tomi pikir biaya perawatan di salon itu murah.

“Mas!”

“Selamat menikmati perawatan, ya, sayang. Mas mau jalan-jalan sama Danis sambil nunggu kamu perawatan.” Tomi mengacak rambut Mala.

“Ayo, Sayang kita jalan-jalan keliling mall.” Tomi berlalu bersama Danis meninggalkan Mala.

“Wah, Mbak beruntung, ya, memiliki suami seperti Mas-nya. Sudah ganteng perhatian lagi sama istri. Pasti Mbak bahagia,” ucap pegawai salon.

Mala tersenyum getir. “Iya Mbak … alhamdulillah.” Seandainya pegawai salon itu tahu sifat Tomi yang sebenarnya, masihkah terlontar pujian. Sudah pasti tidak justru membuat mungkin cacian yang terlontar.

Penampilan Mala berubah seratus delapan puluh derajat setelah melakukan perawatan. Tomi sampai menganga melihat penampilan istrinya.

Tomi seperti dejavu. Mala yang memiliki wajah putih dengan pipi bersemu merah, rambut yang tergerai indah, kulit seputih susu persis seperti lima tahun silam. Kecantikan yang di elu-elukan para pemuda kampung tidak terkecuali dirinya.

Kecantikan yang membuat Tomi nekat mendapatkan Mala dengan cara yang … ah, hanya Tomi yang tahu rahasia itu. Rahasia yang masih tertutup rapat hingga detik ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status