“Wow, Bunda sangat cantik,” puji Danis. Pria kecil itu sengaja mengedipkan sebelah matanya, seolah dia adalah pria dewasa yang sedang menggoda lawan jenis.
Lengkungan sempurna tercetak di bibir Mala karena godaan dari pria kecilnya. Teramat gemas perempuan berkulit putih itu mencubit pipi gembul Danis, kemudian mengangkat putranya ke dalam gendongan. Ciuman bertubi-tubi mendarat berkali-kali di pipi Danis dari Mala. “Geli, Bunda.” Danis sedikit mendorong wajah ibunya menjauh.“Ini hukuman karena menggoda Bunda,” sahut Mala yang kembali mencium pipi gembul putranya.Hanyut sepersekian detik oleh pemandangan indah di depannya, Tomi tanpa sadar tersenyum tipis. Namun tidak lama kesadarannya kembali, buru-buru Tomi meraih Danis dari gendongan Mala.“Sini, biar Ayah gendong. Kasian Bunda pasti capek gendong kamu yang gemoy.” Tomi mengulurkan tangannya pada Danis.“Nggak apa-apa, Mas, kan, sudah biasa Mala gendong Danis setiap hari.”“Hari ini spesial. Kamu akan Mas jadikan ratu sehari,” ucap Tomi.Seharusnya Mala senang dengan perlakuan Tomi padanya, tapi entah mengapa perasaan Mala sangat buruk. Perasaan ini pernah Mala rasakan sebelumnya, tepatnya lima tahun lalu. Saat kejadian kelam menimpanya.“Ayo!” Tomi menggandeng tangan Mala, mengajaknya kembali mengelilingi pusat perbelanjaan.Lagi-lagi Mala dibuat bertanya-tanya. Mereka berhenti di depan sebuah toko baju. “Sekarang kita beli baju untuk Bunda.”Di dalam toko, bukan Mala yang sibuk memilih baju melainkan Tomi. Dia sibuk memilih beberapa dress untuk istrinya. “Cobalah!” Tomi menyerahkan beberapa dress pada Mala.“Ini tidak salah, Mas?!” alis Mala bertaut. Dress yang dipilihkan Tomi untuknya terlalu minim menurut Mala.“Tidak. Kamu pasti akan sangat cantik bila memakainya,” ujar Tomi. Pria itu mendorong istrinya memasuki ruang ganti.Melihat penampilannya di depan cermin, Mala merasa risih. Dress sebatas paha dengan tali spaghetti melekat sempurna di tubuhnya. Kulit putihnya kontras dengan dress hitam itu, belum lagi lekuk tubuhnya yang tercetak sempurna.Apa-apaan Tomi memilih dress ini? Mala menarik napas, menghembuskan perlahan untuk menenangkan diri. Sebisa mungkin dia berpikir positif. Mungkin saja Tomi ingin Mala mengenakannya di malam hari.Ketukan dari luar membuat Mala tersentak.“La, sudah belum?” Suara Tomi terdengar.“Su … sudah Mas.”“Cepetan keluar kalau sudah. Mas ingin lihat penampilanmu.” Suara Tomi kembali terdengar.Ragu-ragu Mala membuka pintu. Dia melongokkan kepalanya terlebih dulu. Mala merasa malu untuk keluar dengan baju seminim ini.Melihat istrinya yang hanya mengeluarkan sebagian anggota tubuhnya. Tomi terlihat gemas. Kesabaran Tomi yang hanya setipis tisu membuat pria itu menarik tangan Mala hingga tubuh istrinya terlihat secara keseluruhan. “Mas!” pekik Mala.Bola mata Tomi seakan ingin keluar, mulutnya menganga sangat lebar, beruntung saat ini mereka tengah berada di pusat perbelanjaan. Seandainya mereka berada di pasar, sudah pasti puluhan lalat akan masuk ke mulut Tomi. Tatapan Tomi membuat Mala rikuh. Ya, meskipun Tomi suaminya tetap saja tatapan Tomi membuatnya salah tingkah. Mala merasa tatapan suaminya sedikit liar.Dress sepaha yang ketat memaksa Mala menariknya ke bawah agar menutupi paha. Namun, percuma. Dress itu memang sangat pendek. Belum lagi pundak putih yang terekspos. Mala ingin bersembunyi saja rasanya. Dia sangat malu.Sudut bibir Tomi terangkat. “Kamu memang cantik, La,” batin Tomi.“Gila cantik banget tu cewek,” celetuk seorang pengunjung pria.Sontak saja celetukan pria itu membuat Tomi menoleh. Ada rasa yang berdenyut di hatinya. Dia pria biasa yang pasti cemburu bila pasangannya dikagumi oleh pria lain. Pria tadi terus saja menatap ke arah Mala tanpa berkedip. Pesona Mala seolah menariknya ke dalam jurang yang sangat dalam. “Kamu liatin apa, sih, Yang?” Suara kekasih si pria membuatnya gelagapan. Mata gadis itu menelisik arah pandangan prianya. “Dasar pria genit,” rajuk si gadis yang kemudian berlalu meninggalkan si pria yang ternyata sedang memandang wanita dengan dress hitam sepaha. Bukannya mengejar si gadis, si pria masih saja memandang Mala. Hingga ….“Mas, ditinggal Mbak-nya, tuh,” dengkus Tomi.“Eh, Sayang tunggu!” Si pria berlalu mengejar kekasihnya.Tomi mendekati istrinya. “Sekarang ganti bajumu!”Mala merasa lega. Akhirnya, dia terbebas dari baju yang sangat minim ini.“Kamu dan Danis tunggu di depan, ya! Aku mau bayar dulu.”“Iya, Mas.” Mala menggandeng tangan Danis. “Ayo, Sayang kita tunggu Ayah diluar,” ajak Mala pada Danis. Setelah selesai membayar baju yang dibeli, Tomi memijat pelipisnya. Bagaimana tidak, Mala yang duduk bersama Danis di sebuah bangku panjang berhasil membuat para pria yang berjalan di sekitarnya mengalihkan pandangan. Padahal, istrinya memakai kaos over zise yang menyembunyikan keindahan yang dimiliki. Darah Tomi seakan mendidih melihat para pria terus memandangi istrinya. Baru dipandangi saja darah Tomi sudah mendidih. Apalagi nanti saat para pria bisa ….Ah, Tomi tidak bisa membayangkannya, tapi itulah resiko yang harus ditanggung. Sudah sejauh ini. Dia tidak akan mundur lagi. Usianya dan Mala memang terpaut cukup jauh. Mala baru berusia 22 tahun sekarang, sedangkan Tomi sudah 30 tahun. Mala sama sekali tidak terlihat seperti perempuan yang sudah menikah, apalagi selepas perawatan dari salon. Mala persis seperti seorang gadis.“Adiknya lucu, Mbak,” tutur seorang pemuda yang dengan tidak tahu malunya duduk di samping Danis.Senyum Mala terukir. “Dia anak saya, Mas.” Mala langsung mendekap Danis.Pemuda itu menggaruk tengkuknya. “Maaf, saya kira adiknya. Soalnya, Mbak terlihat masih sangat muda,” imbuh si pemuda.Mala hanya diam, enggan menanggapi ucapan si pemuda.“Ayo, Sayang. Mas sudah selesai.” Tomi langsung meraih tangan Mala meninggalkan pemuda tadi.Tatapan permusuhan sengaja Tomi layangkan ke arah si pemuda. Berani-beraninya dia menggoda sang istri.Tidak ingin terlalu lama di pusat perbelanjaan, setelah membeli sepatu dan alat kecantikan untuk Mala. Tomi segera mengajak istri dan putranya pulang.Sampai di rumah, mereka bertiga di sambut seorang wanita paruh baya yang bersedekap dada di teras. “Darimana saja kalian?” ketusnya.“Buk.” Tomi mencium punggung tangan ibunya. “Sudah lama?”“Lumayan.”Mala meraih tangan mertuanya, berniat untuk mencium takzim. Bu Farida justru memalingkan wajah, lalu menghempaskan tangan Mala. Sejak dulu Bu Farida memang tidak pernah setuju Tomi menikah dengan Mala. Tidak heran jika sikapnya selalu ketus dan kasar pada menantunya.Sikap mertua yang seperti itu membuat Mala enggan diajak tinggal di rumah Tomi. Beruntung suaminya menurut diajak tinggal di rumah peninggalan orang tua Mala. Namun, hal itu justru membuat Bu Farida semakin membenci menantunya.Perhatian Bu Farida tertuju pada paper bag yang ada di tangan Mala. “Kalian habis belanja? Dapat uang darimana?” cecar Bu Farida.Mala hanya diam, enggan menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Mala memasukkan kunci kemudian memutarnya, pintu pun terbuka. “Silakan masuk, Bu!”Bu Farida nyelonong masuk ke dalam. Duduk di sofa dengan menyilangkan kaki. “Kalian belum menjawab pertanyaan, Ibu.”“Tomi tadi dapat sedikit rejeki, Bu.” jawab Tomi sambil menggendong Danis yang tertidur.Setelah menidurkan Danis di kamar, Tomi kembali duduk di samping ibunya. “Kamu itu jangan terlalu memanjakan istrimu. Daripada untuk belanja yang tidak perlu mendingan uangnya ditabung.” Bu Farida memberikan nasihat pada putranya.“Iya, Bu.” Tomi tidak berniat menyanggah ucapan ibunya. Dia tahu betul sifat ibunya, semakin disanggah maka ocehannya semakin kemana-mana. Mala datang dari arah dapur membawa dua gelas teh. “Silakan diminum, Bu.”“Kamu itu sebagai seorang istri harus hemat Mala. Jangan boros-boros, minta ini … minta itu. Kalau suami punya uang, lebih baik ditabung.” Kini giliran Mala yang kena omel.“Maafkan Mala, Bu.” Tidak ibu … tidak anak sama saja. Selalu menyebutnya boros, Mala membatin. Tidak tahu saja putranya pelit setengah mati. “Itu kemauan Tomi, Bu. Bukan Mala,” sahut Tomi.“Kamu itu beruntung Mala punya suami seperti anakku. Anakku ini pria yang sangat baik,” puji Bu Farida.“Mala ke belakang dulu, Bu.” Mala memilih meninggalkan ibu dan anak yang memiliki sifat serupa. Tomi yang membelanya di depan Farida membuat Mala semakin curiga. Tidak biasanya Tomi bersikap demikian.Mala berdiri di balik kelambu kamar, mencuri dengar pembicaraan antara Tomi dan ibunya.“Bu, nanti malam nitip Danis, ya!”“Memangnya kalian mau kemana?”“Kami ada urusan penting.”“Urusan penting.” Mala membeo. Urusan penting apa? Seingat Mala sedari siang Tomi tidak membicarakan apapun padanya.“Urusan penting apa memangnya?” Farida berbicara sambil menikmati teh buatan Mala.“Em … pokoknya penting, Bu. Ayolah Bu semalam saja nitip Danis.” Pandangan Tomi yang memelas membuat Farida luluh. “Iya, iya.”“Terima kasih. Ibu memang terbaik.” Dua jempol Tomi terangkat.“Sip, rencana berjalan mulus,” batin Tomi.“Ibu mau pulang dulu. Tadi Ibu ke sini niatnya mau ketemu Danis. Eh, dianya tidur ternyata.” Meski Farida tidak menyukai Mala, tetapi dia sangat menyayangi Danis cucunya. “Kalau kalian mau keluar, antarkan saja Danis ke rumah Ibu,” imbuh Farida.“Iya, Bu,” ucap Tomi. Mala duduk di tepi ranjang memandang putranya yang tertidur lelap. Diusapnya rambut Danis perlahan-lahan. “Kenapa perasaan Bunda tidak enak, ya, Nak?”Usapan lembut sang bunda membuat Danis menggeliat. Ada seulas senyum yang terukir di bibirnya. Mala menunduk lalu mencium pucuk kepala Danis. Waktu menunjukkan jam delapan malam. Mala dan Tomi makan malam bersama. “La, nanti Mas mau ajak kamu ke suatu tempat.”
Bab 8 Janda BersuamiSenjata andalan Tomi selain Danis tentu saja rahasia masa lalu Mala. Hanya dia dan Mala yang tahu mengenai peristiwa kelam lima tahun lalu. Lima tahun lalu, di suatu malam. Mala yang tinggal sendirian di rumah selepas orang tuanya meninggal terbangun di tengah malam. Dia yang tengah tertidur lelap merasa kesulitan untuk bernafas. Saat netra berwarna coklat milik Mala terbuka, sosok pria dengan penutup wajah tengah berkuasa atas tubuhnya. Sebelum sempat berteriak, pria itu terlebih dulu membekap Mala. Malam itu, malam terkelam di hidup Mala. Seorang gadis yatim piatu harus hancur di usia tujuh belas tahun. Setelah puas menghancurkan Mala, pria itu pergi begitu saja. Mala terus menangis di sudut kamar, tangannya menggenggam erat sebuah benda. Kalung emas —berliontin jangkar— milik si pria yang tanpa sengaja Mala tarik saat melakukan perlawanan. “Dek … Dek!” Suara panggilan diikuti ketukan dari luar mengejutkan Mala.Dengan tertatih Mala keluar dari kamar. Kea
“Kita tidak akan melakukan hal itu,” ucap Nina.Ada kelegaan di hati Mala saat mendengar ucapan Nina.“Di sini kita hanya menemani mereka bernyanyi tidak lebih. Bos Bara tidak menyediakan jasa ‘seperti itu’. Bahkan, pria tua itu akan memberi sanksi tegas pada LC-nya bila ketahuan berbuat ‘seperti itu' di sini. Kalau diluar, ya, silakan,” imbuh Nina. “Atau kalau kamu ingin …?” Goda Nina sambil menaik-turunkan alisnya.“Tidak … tidak. Aku tidak ingin,” sanggah Mala cepat. Bekerja di tempat ini saja sudah suatu bencana baginya. Apalagi sampai ….Ah, hal itu jauh dari pikirannya.“Sudah siap?”Nina dan Mala menoleh ke arah sumber suara. Bara sudah berdiri di ambang pintu.“Sudah, Bos,” jawab Nina. Bara mendekat ke arah mereka. “Untuk beberapa hari kedepan. Dia ikut kamu dulu, Nin. Ajari dia apa yang harus dilakukan di sini,” tutur Bara pada Nina. Mata yang selalu menatap tajam pada lawan bicaranya itu meredup saat menatap Mala. Ada hal yang terus menggelitik di hati, yang dia sendiri tid
Niko terus memperhatikan wanita yang berada di sisi kanannya. Parfum beraroma jasmine menggelitik indera penciuman pria berhidung mancung itu. Mata Niko bahkan sampai terpejam, saat menghirup aroma parfum yang beterbangan di udara. Rasanya dia ingin terlelap di dalam aroma sang wanita.Entah tidak tahu atau … memang wanita yang duduk di sampingnya terlalu abai dengan sekitar. Sampai-sampai melirik ke arah Niko saja tidak. Menertawakan diri sendiri, ternyata ada wanita yang abai dengan pesonanya. Padahal mereka hanya bersekat sebuah kursi.“Maaf, Bu. Bolehkah saya titip Danis sebentar. Sepertinya saya akan sedikit terlambat menjemputnya. Terima kasih.”Siapa Danis? Pertanyaan muncul ketika Niko mencuri dengar pembicaraan si wanita dengan seseorang melalui ponsel.Niko bersedekap dada, memejamkan mata, tapi menajamkan pendengarannya. Ponsel si wanita berkulit putih berdering.Akan tetapi, suara si wanita tidak selembut tadi. Kali ini, suaranya terdengar sedikit ketus di telinga Niko.
Ditempat lain Niko tengah pegal hati, sedari tadi Andi terus saja mengoceh ke sana ke mari tidak jelas. Mereka duduk bersandar di ranjang milik Niko. Kedatangan Andi menggagalkan rencana Niko untuk tidur lebih awal.“Aku sakit hati, Nik. Sakit.” Andi berkata dengan menunjuk dada sebelah kirinya. “Aku kurang apa coba? Teganya si Rani selingkuh dariku,” keluh Andi pada sahabatnya.“Kurang kaya, kurang ganteng, pokoknya banyak lah kurangmu,” jawab Niko tak acuh. Tangannya terus memainkan ponsel. “Aduh!” pekik Niko saat sebuah bantal mendarat tepat di wajah tampannya. “Rese, Lo.” Niko mengembalikan bantal yang dilemparkan Andi.“Eits! Nggak kena,” ejek Andi saat dia berhasil mengelak lemparan Niko. “Aku ini lagi sedih, Nik.” Pria bertubuh tinggi itu beralih tempat duduk ke samping Niko. Tangannya bergelayut manja di lengan Niko.“Ish, apaan, sih. Jijik aku.” Niko melepas tangan Andi yang bergelayut padanya. Hal yang membuatnya bergidik.“Lah, aku lagi sedih. Kamu malah gitu,” rengek Andi
Andi sudah tertidur lelap di mobil. Sementara yang duduk di kursi kemudi masih awas memandang pintu keluar ‘Happy Karaoke'. Entah sudah berapa banyak batang nikotin yang telah ia hirup.Hanya seorang pemandu lagu, tapi kenapa membuat Niko begitu penasaran hingga rela menunggunya di sini hingga berjam-jam. Berulang kali dia meremas rambutnya. Logikanya bilang, dia harus pergi. Namun, hatinya ingin tetap di sini menunggu Mala. Suara lembutnya, wangi tubuhnya membuat Niko kehilangan akal. “Sial,” umpatan tidak berhenti keluar dari mulut Niko, merutuki diri sendiri yang tenggelam dalam pesona Mala.Jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan menunjukkan hampir jam tiga dini hari. Namun, yang Niko tunggu belum juga keluar. Padahal sudah sejak tadi, satu persatu pengunjung keluar dari dalam sana. Lampu yang menyala terang juga sudah padam. Dahi Niko mengernyit saat tidak mendapati satu pun pemandu lagu keluar dari pintu depan. Tidak mungkin, ‘kan, para pl menginap di dalam sana.
Airmata Mala terus mengalir, tenaganya hampir habis karena terus melakukan perlawanan pada Oji. Netranya sudah tertutup sempurna. “Ya Tuhan jangan biarkan aku kembali merasakan hal buruk yang sama untuk kedua kalinya.” Mala terus meminta pertolongan pada Sang Pencipta. Bila hal itu kembali terulang Mala tidak akan sanggup menanggungnya.Cukuplah pekerjaannya yang kotor, jangan kehormatannya juga ikut kotor. Saat hampir menyerah Mala merasakan tubuh Oji menjauh dari tubuhnya. Netra yang sedari tadi terpejam, terbuka dengan sempurna. Seseorang bertubuh tegap tengah berkuasa di atas tubuh Oji, pukulan bertubi-tubi membuat si lintah darat tidak berdaya. “Dasar pria brengsek.” Umpatan mengiringi pukulan si pria. “Tidak bermoral.”Melihat perkelahian keduanya, Mala menangis sejadi-jadinya. Dia selamat dari Oji. Bajunya sudah berantakan tak berbentuk. Wanita berambut pendek itu terus mendekap tubuhnya. Airmata yang mengalir membuat wajahnya berubah kuyu.Awalnya Niko ingin ke kamar mandi, m
Lama sekali batin Niko. Suara pintu mobil yang berdentam menyentak Niko. “Lho, kemana dia?” Pertanyaan muncul saat mendapati Mala sudah tidak ada ditempatnya. “Sial.” Rupanya wanita itu sudah berjalan cukup jauh. Niko turun dari mobil lalu mengejarnya.Ekspektasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Bayangan iya-iya, ternyata hanya angan Niko. Hanya karena ingin mengejar Mala, Niko sampai tidak menyadari bila dia hanya mengenakan boxer saja.“Tunggu.” Niko mencekal lengan Mala.“Apa?!” Mala mendelik.“Bukankah tadi kamu bertanya. Bagaimana caranya membalas kebaikanku?”Helaan napas keluar dari hidung Mala. “Maaf saya lupa. Sekarang katakan! Apa yang harus saya lakukan, Tuan?” Mala sempat berpikir pria di depannya ini menolongnya dengan tulus. Ternyata Mala salah. Dia tidak berbeda dari Tomi, memiliki pamrih. “Berikan ponselmu!”Oh, pria ini menginginkan ponselnya sebagai imbalan. Tanpa berpikir dua kali, Mala memberikan ponsel miliknya. “Ini!”“Polanya?”Mala menepuk jidatnya, kalau p