Bab 8 Janda Bersuami
Senjata andalan Tomi selain Danis tentu saja rahasia masa lalu Mala. Hanya dia dan Mala yang tahu mengenai peristiwa kelam lima tahun lalu. Lima tahun lalu, di suatu malam. Mala yang tinggal sendirian di rumah selepas orang tuanya meninggal terbangun di tengah malam. Dia yang tengah tertidur lelap merasa kesulitan untuk bernafas. Saat netra berwarna coklat milik Mala terbuka, sosok pria dengan penutup wajah tengah berkuasa atas tubuhnya. Sebelum sempat berteriak, pria itu terlebih dulu membekap Mala. Malam itu, malam terkelam di hidup Mala. Seorang gadis yatim piatu harus hancur di usia tujuh belas tahun. Setelah puas menghancurkan Mala, pria itu pergi begitu saja. Mala terus menangis di sudut kamar, tangannya menggenggam erat sebuah benda. Kalung emas —berliontin jangkar— milik si pria yang tanpa sengaja Mala tarik saat melakukan perlawanan. “Dek … Dek!” Suara panggilan diikuti ketukan dari luar mengejutkan Mala.Dengan tertatih Mala keluar dari kamar. Keadaan Mala sangat kacau malam itu. Namun, sebelum keluar Mala terlebih dulu menyimpan kalung milik lelaki biadab yang telah tega menghancurkannya.“Astagfirullah, Dek!” pekik pria yang berada di ambang pintu. Pria itu terkejut saat mendapati Mala dalam keadaan berantakan.“To … long,” ucap Mala terbata. Sedetik kemudian pandangan Mala mulai gelap.Aroma minyak kayu putih membuat Mala terbangun. Dia memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Mengingat kejadian pilu yang baru saja dialaminya, Mala menangis.“Sebenarnya apa yang terjadi, Dek. Kenapa pintu rumah dibiarkan terbuka. Itu sangat berbahaya. Apalagi kamu perempuan. Tinggal sendirian, lagi,” cerca Tomi.Tenggorokan Mala tercekat, air matanya kembali luruh. “Tadi ada ….” Mala tidak kuasa melanjutkan ucapannya.“Mala … Mala mau mati saja.” Mala menekuk kedua lututnya, lalu membenamkan wajah.“Memangnya apa yang terjadi? Cerita sama Mas Tomi.” Tomi mengusap punggung Mala. “Siapa tahu, Mas bisa bantu,” imbuh pemuda dua puluh lima tahun itu.“Pria itu. Di … dia. Mala kotor Mas.” Karena kalut Mala berhambur memeluk Tomi.Memaknai arti ‘kotor’ yang diucapkan Mala, Tomi paham. Akhirnya, Tomi menawarkan bantuan untuk Mala. Pria itu akan menemani Mala hingga pagi menjelang. Selang beberapa hari setelah kejadian. Tomi menawarkan sesuatu kepada Mala. Dia ingin menikahi Mala dengan alasan untuk menutupi aib gadis malang itu. Pun sebagai penjaga untuk si gadis agar kejadian yang sama tidak terulang.Tentu tawaran itu disambut dengan tangan terbuka oleh Mala. Apalagi saat Tomi berjanji akan merahasiakan kejadian tempo hari dari semua orang.Bukan hal mudah bagi Tomi meyakinkan ibunya untuk menerima Mala. Namun, kasih sayang Bu Farida yang begitu besar terhadap Tomi, membuat wanita itu mau tidak mau harus menerima Mala sebagai menantu.Entah sihir apa yang digunakan Mala pada putra tunggalnya. Tomi begitu tergila-gila pada Mala selama bertahun-tahun. Padahal, banyak wanita mapan dan dari keluarga terpandang menginginkan Tomi sebagai suami. Eh, putranya justru berkeras menginginkan Mala –anak yatim piatu— dari keluarga sederhana.Ingatan masa lalu Mala berakhir saat Tomi membuka resleting jaket yang Mala kenakan. Tatapan Mala kosong, dia bagai manekin hidup saat suaminya melepas jaket dan rok panjang yang dikenakan. Air matanya berhenti mengalir, meski hatinya begitu sakit.Wanita mana yang tidak sakit hati. Suami yang seharusnya menjadi pelindung dan penjaga marwahnya justru melemparkannya ke dalam lumpur hitam pekat.Tubuh indah Mala terlihat sempurna. Tangan Tomi lihai menata kembali rambut Mala yang berantakan menggunakan jarinya. “Cantik sekali istriku,” puji Tomi. Senyum kemenangan terbit di bibir tebalnya.Mala memalingkan wajahnya, rasanya tidak sudi menatap wajah suaminya.Tahu istrinya sedang marah, Tomi menangkup wajah ayu yang terlihat kuyu karena terus menangis. “Ingat! di sini kamu sepupu jauhku. Dan … statusmu adalah janda beranak satu,” ucap Tomi.Netra Mala membeliak lebar. Ucapan Tomi bagai petir di tengah badai bagi Mala. Bukannya menangis, sudut bibir Mala justru terangkat. Janda … kata suaminya tadi. Lalu, siapa pria yang berdiri di depannya ini. Makhluk astral yang berstatus sebagai suami. Kalau dipikir-pikir lebih baik Mala bersuamikan makhluk astral daripada iblis berwujud manusia seperti Tomi.Pria yang Mala anggap pahlawan lima tahun lalu, nyatanya adalah petaka yang dia biarkan masuk dalam hidupnya.“Janda beranak satu. Baiklah, Mala akan selalu mengingatnya.” Mala berbalik, langkahnya tertuju pada ruangan yang beberapa menit lalu ia tinggalkan.Dengan penuh keyakinan Mala mendorong pintu di depannya. Bara yang duduk dengan bersilang kaki tersenyum, melihat kehadiran Mala. “Kapan saya bisa mulai bekerja, Bos?” ucap Mala.Bara menekan ujung puntung nikotin yang berada ditangannya. Dia bangkit dari duduknya lalu menghampiri Mala. Memindai tubuh wanita dengan dress warna hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Benar yang dikatakan sepupumu. Kamu memang grade A,” tutur Bara. Dia yakin tidak butuh waktu lama bagi Mala untuk menjadi primadona di “Happy Karaoke”.Puluhan tahun pria berusia setengah abad itu terjun ke dunia malam, dia tahu betul selera pasar. Ada sesuatu yang menggelitik hati Bara, netra sayu berwarna coklat. Mengingatkannya pada seseorang, tapi itu tidak mungkin. Dia sudah lama pergi. Bahkan hingga sekarang Bara tidak bisa menemukannya.“Jo, panggil Nina ke sini.” Pria bertubuh gempal yang sedari tadi di samping Bara beranjak dari posisinya. “Baik, Bos.”Tomi memberanikan diri masuk ke dalam bersamaan dengan pria yang dipanggil Jo alias Paijo tadi keluar. “Adikmu sudah setuju bekerja di sini. Sekarang pulanglah!” Ucapan Bara membuat langkah Tomi terhenti. “Pulang, Bos?” Tomi mengulang ucapan Bara.“Kamu tidak tuli, ‘kan?” ketus Bara.“Tapi … Bos. Sepupu saya?”“Sepertinya dia justru merasa tidak nyaman bila kamu berada di sini.” Bara mengarahkan pandangannya pada Mala yang memalingkan wajah, enggan menatap Tomi. “Biar nanti dia menghubungimu setelah selesai bekerja,” imbuh Bara.“Saya tidak bawa ponsel,” ucap Mala cepat.Bara memijat pelipisnya, di jaman seperti ini masih ada orang yang meninggalkan ponsel mereka di rumah. Apalagi seorang wanita. “Baiklah, aku yang nanti akan menghubungimu Tom. Sekarang pergilah.” Bara mengusir Tomi dengan gerakan tangan.Tidak ada pilihan lain, Tomi menurut. Dia meninggalkan istrinya di sini, sendiri. Ini hari pertama istrinya bekerja di tempat yang ….Tomi menjambak rambutnya, dia memilih menunggu Mala di tempat parkir. Tidak tega meninggalkan Mala sendirian.Sementara di ruangan Bara. Lelaki bertubuh tegap meski tidak muda lagi itu terus memperhatikan gerak-gerik Mala. Perempuan muda di depannya terus meremas kedua tangannya. Wajahnya kuyu, matanya masih merah. Namun, sedikit pun tidak melunturkan kecantikannya. Wanita bergaun merah sebatas paha dengan belahan dada rendah menghampiri Bara. “Barang baru, Bos?”“Hem, benahi polesan wajahnya. Ajari dia melayani tamu.”Mala yang sedari tadi menunduk, seketika mengangkat wajahnya. Mendengar kalimat “Melayani tamu?!” beo Mala.“Ayo ikut aku!” Wanita ber-dress merah meraih tangan Mala membawanya keluar dari ruangan Bara.“Kenalkan, aku Nina,” ucap wanita yang kini tengah memoles wajah Mala.“Aku Mala,” jawab Mala dengan suara sedikit serak.“Nama yang cantik, secantik orangnya.” Nina meraih dagu Mala lalu tersenyum melihat hasil polesannya yang membuat kecantikan Mala bertambah berkali-kali lipat.“Bolehkah, aku bertanya sesuatu Nina?”“Tentu.” Nina merapikan alat rias yang baru saja digunakan.“Apa kita juga harus bermalam dengan tamu?”Pertanyaan Mala membuat Nina menghentikan gerakan tangannya. Nina berbalik kemudian menatap Mala dengan seulas senyum.“Kita ….”“Kita tidak akan melakukan hal itu,” ucap Nina.Ada kelegaan di hati Mala saat mendengar ucapan Nina.“Di sini kita hanya menemani mereka bernyanyi tidak lebih. Bos Bara tidak menyediakan jasa ‘seperti itu’. Bahkan, pria tua itu akan memberi sanksi tegas pada LC-nya bila ketahuan berbuat ‘seperti itu' di sini. Kalau diluar, ya, silakan,” imbuh Nina. “Atau kalau kamu ingin …?” Goda Nina sambil menaik-turunkan alisnya.“Tidak … tidak. Aku tidak ingin,” sanggah Mala cepat. Bekerja di tempat ini saja sudah suatu bencana baginya. Apalagi sampai ….Ah, hal itu jauh dari pikirannya.“Sudah siap?”Nina dan Mala menoleh ke arah sumber suara. Bara sudah berdiri di ambang pintu.“Sudah, Bos,” jawab Nina. Bara mendekat ke arah mereka. “Untuk beberapa hari kedepan. Dia ikut kamu dulu, Nin. Ajari dia apa yang harus dilakukan di sini,” tutur Bara pada Nina. Mata yang selalu menatap tajam pada lawan bicaranya itu meredup saat menatap Mala. Ada hal yang terus menggelitik di hati, yang dia sendiri tid
Niko terus memperhatikan wanita yang berada di sisi kanannya. Parfum beraroma jasmine menggelitik indera penciuman pria berhidung mancung itu. Mata Niko bahkan sampai terpejam, saat menghirup aroma parfum yang beterbangan di udara. Rasanya dia ingin terlelap di dalam aroma sang wanita.Entah tidak tahu atau … memang wanita yang duduk di sampingnya terlalu abai dengan sekitar. Sampai-sampai melirik ke arah Niko saja tidak. Menertawakan diri sendiri, ternyata ada wanita yang abai dengan pesonanya. Padahal mereka hanya bersekat sebuah kursi.“Maaf, Bu. Bolehkah saya titip Danis sebentar. Sepertinya saya akan sedikit terlambat menjemputnya. Terima kasih.”Siapa Danis? Pertanyaan muncul ketika Niko mencuri dengar pembicaraan si wanita dengan seseorang melalui ponsel.Niko bersedekap dada, memejamkan mata, tapi menajamkan pendengarannya. Ponsel si wanita berkulit putih berdering.Akan tetapi, suara si wanita tidak selembut tadi. Kali ini, suaranya terdengar sedikit ketus di telinga Niko.
Ditempat lain Niko tengah pegal hati, sedari tadi Andi terus saja mengoceh ke sana ke mari tidak jelas. Mereka duduk bersandar di ranjang milik Niko. Kedatangan Andi menggagalkan rencana Niko untuk tidur lebih awal.“Aku sakit hati, Nik. Sakit.” Andi berkata dengan menunjuk dada sebelah kirinya. “Aku kurang apa coba? Teganya si Rani selingkuh dariku,” keluh Andi pada sahabatnya.“Kurang kaya, kurang ganteng, pokoknya banyak lah kurangmu,” jawab Niko tak acuh. Tangannya terus memainkan ponsel. “Aduh!” pekik Niko saat sebuah bantal mendarat tepat di wajah tampannya. “Rese, Lo.” Niko mengembalikan bantal yang dilemparkan Andi.“Eits! Nggak kena,” ejek Andi saat dia berhasil mengelak lemparan Niko. “Aku ini lagi sedih, Nik.” Pria bertubuh tinggi itu beralih tempat duduk ke samping Niko. Tangannya bergelayut manja di lengan Niko.“Ish, apaan, sih. Jijik aku.” Niko melepas tangan Andi yang bergelayut padanya. Hal yang membuatnya bergidik.“Lah, aku lagi sedih. Kamu malah gitu,” rengek Andi
Andi sudah tertidur lelap di mobil. Sementara yang duduk di kursi kemudi masih awas memandang pintu keluar ‘Happy Karaoke'. Entah sudah berapa banyak batang nikotin yang telah ia hirup.Hanya seorang pemandu lagu, tapi kenapa membuat Niko begitu penasaran hingga rela menunggunya di sini hingga berjam-jam. Berulang kali dia meremas rambutnya. Logikanya bilang, dia harus pergi. Namun, hatinya ingin tetap di sini menunggu Mala. Suara lembutnya, wangi tubuhnya membuat Niko kehilangan akal. “Sial,” umpatan tidak berhenti keluar dari mulut Niko, merutuki diri sendiri yang tenggelam dalam pesona Mala.Jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan menunjukkan hampir jam tiga dini hari. Namun, yang Niko tunggu belum juga keluar. Padahal sudah sejak tadi, satu persatu pengunjung keluar dari dalam sana. Lampu yang menyala terang juga sudah padam. Dahi Niko mengernyit saat tidak mendapati satu pun pemandu lagu keluar dari pintu depan. Tidak mungkin, ‘kan, para pl menginap di dalam sana.
Airmata Mala terus mengalir, tenaganya hampir habis karena terus melakukan perlawanan pada Oji. Netranya sudah tertutup sempurna. “Ya Tuhan jangan biarkan aku kembali merasakan hal buruk yang sama untuk kedua kalinya.” Mala terus meminta pertolongan pada Sang Pencipta. Bila hal itu kembali terulang Mala tidak akan sanggup menanggungnya.Cukuplah pekerjaannya yang kotor, jangan kehormatannya juga ikut kotor. Saat hampir menyerah Mala merasakan tubuh Oji menjauh dari tubuhnya. Netra yang sedari tadi terpejam, terbuka dengan sempurna. Seseorang bertubuh tegap tengah berkuasa di atas tubuh Oji, pukulan bertubi-tubi membuat si lintah darat tidak berdaya. “Dasar pria brengsek.” Umpatan mengiringi pukulan si pria. “Tidak bermoral.”Melihat perkelahian keduanya, Mala menangis sejadi-jadinya. Dia selamat dari Oji. Bajunya sudah berantakan tak berbentuk. Wanita berambut pendek itu terus mendekap tubuhnya. Airmata yang mengalir membuat wajahnya berubah kuyu.Awalnya Niko ingin ke kamar mandi, m
Lama sekali batin Niko. Suara pintu mobil yang berdentam menyentak Niko. “Lho, kemana dia?” Pertanyaan muncul saat mendapati Mala sudah tidak ada ditempatnya. “Sial.” Rupanya wanita itu sudah berjalan cukup jauh. Niko turun dari mobil lalu mengejarnya.Ekspektasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Bayangan iya-iya, ternyata hanya angan Niko. Hanya karena ingin mengejar Mala, Niko sampai tidak menyadari bila dia hanya mengenakan boxer saja.“Tunggu.” Niko mencekal lengan Mala.“Apa?!” Mala mendelik.“Bukankah tadi kamu bertanya. Bagaimana caranya membalas kebaikanku?”Helaan napas keluar dari hidung Mala. “Maaf saya lupa. Sekarang katakan! Apa yang harus saya lakukan, Tuan?” Mala sempat berpikir pria di depannya ini menolongnya dengan tulus. Ternyata Mala salah. Dia tidak berbeda dari Tomi, memiliki pamrih. “Berikan ponselmu!”Oh, pria ini menginginkan ponselnya sebagai imbalan. Tanpa berpikir dua kali, Mala memberikan ponsel miliknya. “Ini!”“Polanya?”Mala menepuk jidatnya, kalau p
Wajah Tomi yang semula semringah berubah pucat karena pertanyaan istrinya. Lidahnya mendadak kelu. “Sedikit lagi,” ucap Tomi. “Sedikit lagi itu berapa?” Mala memutar bola matanya. “Ya, pokoknya sedikit lagi. Aku lupa tepatnya berapa?!” Suara Tomi meninggi. “Secepatnya lunasi hutang kita pada si Oji brengsek itu. Aku muak berurusan dengannya.” Mala hendak masuk kamar, tetapi Tomi memegang tangannya.“Apa maksudmu, La?” “Lihat ini!” Mala mengibaskan tangan suaminya lalu menunjukkan bekas kebiruan di lehernya. Melihat bekas itu mata Tomi membeliak, mulutnya menganga lebar. “Itu bekas … cu-cupang?”“Ya … tebakan Mas tidak salah. Dan Oji pelakunya. Beruntung ada orang yang datang tepat waktu. Kalau tidak … istrimu ini sudah jadi bekas si lintah darat itu.” Sudut bibir Mala terangkat, saat melihat ekspresi terkejut suaminya. Tarikan napas juga keluar dari hidung wanita itu. “Aku mau tidur capek.” Wanita dengan rambut highlight itu menyusul putranya ke kamar.Tangan Tomi terkepal erat,
“Hai,” sapa seorang pria yang duduk bersilang kaki di sofa panjang room, kedua tangannya direntangkan di sandaran sofa. Siapa lagi kalau bukan Niko. “Kemarilah!” Niko menepuk ruang kosong disisinya.Terdengar desau pelan dari bibir tipis Mala. Perempuan yang malam ini mengenakan crop top tanpa lengan dan rok hitam di atas paha itu menurut. Bagaimana pun juga, Niko adalah tamunya malam ini. “Kamu cantik malam ini, La.” Niko memandang lekat wanita di sampingnya. Beruntung pencahayaan di ruangan ini remang, kalau tidak pasti Mala sangat malu bila Niko melihat semburat merah dipipinya karena pujian Niko. “Pada dasarnya semua wanita itu cantik, Niko,” sanggah Mala guna menyamarkan rasa bahagianya.“Tapi kamu berbeda, La.” Tatapan Niko begitu dalam, membuat Mala menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, salah tingkah. “Mau menyanyikan lagu apa malam ini.” Mala mencoba mengalihkan perhatian Niko.“Aku tidak ingin bernyanyi, aku hanya ingin ditemani olehmu malam ini.” Niko menyand
Sore yang indah untuk menikmati secangkir teh hangat dan dan cemilan. Seperti halnya yang dilakukan Anan saat ini. “Duduk sini! Papa mau bicara.” Anan menepuk kursi rotan disampingnya. Menyuruh istrinya duduk setelah menghidangkan secangkir teh dan sepiring biskuit.“Mau bahas soal Niko,” sarkas Anggi. Dia sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan suaminya.Namun, Anan belum menanggapi. Pria itu menyeruput teh buatan istrinya. “Teh buatan Mama memang paling nikmat,” puji Anan.Anggi melipat tangannya, wajahnya semakin ditekuk. “Langsung pada intinya saja, Pa.”Anan meletakkan kembali tehnya. “Apa tidak berniat mencari tau dulu tentang calon Niko?”“Untuk apa cari tau. Mama sudah tau dia wanita nggak bener,” sarkas Anggi. “Papa heran, Mama tau dari siapa, sih soal Mala?” “Dari Eve.”Anan tertawa terbahak. “Dari Evelyn mantan Niko itu.”
Bibir Mala terkembang melihat Niko berlari ke arahnya. Sore ini Niko, Danis, dan Mala jalan-jalan ke taman kota.“Danis aktif sekali.” Niko mendaratkan tubuhnya di samping Mala. Mereka duduk di rerumputan yang ada di taman. “Aku sampai kewalahan menemaninya.” Napas Niko terdengar naik-turun setelah menemani Danis bermain.“Terima kasih sudah menyayangi Danis, Nik.” Mala menatap pria di sampingnya dengan sangat dalam.Memberanikan diri, Niko menggenggam tangan Mala. Ditatapnya mata wanita yang bertahta di hatinya itu dengan sangat dalam. Lengkungan yang indah terbit di bibir tebal Niko.“Ya, siapa tau setelah melihat ketulusanku menyayangi putranya, Bundanya akan luluh. Dan mau menerima keberadaanku di hidupnya.” Niko mencoba berkelakar. Meskipun dia tahu mungkin jawabannya akan sama. Namun, dia bertekad sebanyak Mala menolaknya, sebanyak itu dia akan menyatakan cintanya.Mala mengalihkan pandanganny
“Bos,” lirih Mala. Dia begitu terkejut karena Bara memeluknya secara tiba-tiba. Bahkan pelukan pria itu begitu erat. “Maaf … Mala … Maaf.” Bara melepaskan pelukannya pada Mala. “Aku begitu bahagia.” Nampak Bara menyentuh sudut netranya. “Sekarang dimana ibumu?” Bara mengedarkan pandangannya.“Ibu saya, Bos?” Mala keheranan. Kenapa Bara mencari ibunya.“Iya Ibumu dimana, dia?” Meski Bara meneteskan air mata, tapi terlihat binar bahagia di wajahnya.“Ibu saya sudah meninggal.” “Apa?” Bara nampak terkejut, bahkan pria itu sampai terduduk di lantai. “Tidak mungkin adikku Naima sudah tiada,” raung Bara.“Maksud Bos apa?” Mala berjongkok, mensejajarkan diri dengan Bara.“Ibumu adikku Mala.”Lalu Bara menceritakan tentang kisahnya dan ibu Mala. Keduanya yatim piatu sejak kecil mereka terpaksa hidup di jalanan dan berpindah-pindah. Tidak tega, Bara mengirim Naima ke panti asuhan
Niko mengajak Aksa menemui Mala sore ini. Karena sepupunya itu harus menghadiri beberapa sidang hari ini. Mobil melaju membelah padatnya lalu lintas hingga mereka sampai di sebuah rumah kontrakan. Di teras kontrakan, seorang gadis dengan cenala jeans belel dan kaos crop top terlihat bangkit dari duduknya. Menyambut kedatangan keduanya.“Kita sudah sampai,” kata Niko setelah mematikan mesin mobil.Aksa tersenyum samar. “Oke juga selera Niko.” Pandangannya tertuju pada Nina.“Lama banget, sih.” Nina mencebik kesal.“Dia masih banyak urusan.” Niko melirik Aksa. “Oh.” Nina memperhatikan penampilan Aksa. “Dia yang mau bantuin Mala?”“He em. Oh, ya, kenalkan dia Aksa sepupuku.” Niko memperkenalkan Nina dengan Aksa.“Hallo Pak Aksa kenalkan saya Nina.” Gadis cantik itu mengulurkan tangannya, dengan senyuman indah yang membingkai di wajahnya.“Aksa.” Aksa merasakan sesuatu yang berbeda saat bersalaman dengan Nina. “Mau duduk di sini atau di dalam.” Nina memberi opsi.“Di sini saja,” sahut
Perkataan Tomi tentu membuat ayah Tina murka. Pria yang rambutnya mulai memutih itu bahkan sampai menggebrak meja. “Kurang ajar kamu Tomi!” hardik ayah Tina. “Setelah kamu menggagahi anak saya, kamu mau lepas tanggung jawab?”“Dia sendiri yang menawarkan tubuhnya pada saya,” ucap Tomi diikuti tatapan benci pada Tina.“Jaga ucapmu!” Ayah Tina menunjuk wajah Tomi, Ayah mana yang rela anaknya dihina. Ibu Tina mencoba menenangkan suaminya, dia mengusap lengan suaminya selembut mungkin. “Sabar Pak … sabar.”Sementara Tina hanya bisa tersenyum getir. Serendah itukah dia di mata Tomi.“Sabar Pak … ini bisa dibicarakan baik-baik. Jangan emosi dulu.” Farida mencoba menengahi.“Terserah kamu mau bilang apa Mas yang pasti … kamu harus menikahiku. Karena sekarang aku sedang mengandung anakmu.”Perkataan Tina jelas semakin memperkeruh suasana. Terutama Tomi. Kepala seakan hampir meledak. Masalah Mala belum selesai, masalah baru muncul. Berbeda dengan putranya, Farida justru bahagia mendengar pe
Melihat kediaman Tomi, Mala semakin naik pitam. “Jawab Tomi … jangan diam saja!” Teriakan Mala semakin memekakkan telinga. Bahkan urat-urat leher wanita itu sampai terlihat jelas. Air mata juga terus mengalir deras di pipinya. Hancur, marah, sedih, dan kecewa menjadi satu. Bukan tanpa sebab, kotak kecil yang ditemukan Farida berisi sebuah kalung emas berliontin jangkar. Kalung itu satu-satunya bukti yang Mala miliki.Bukti yang ditinggalkan oleh pria biadab yang lima tahun lalu merenggut mahkotanya. Menghancurkan hidupnya. Membuatnya terjebak dalam pernikahan toxic. Tomi semakin meraung, merengkuh kaki Mala. “Ampuni aku Mala!” Tomi tidak bisa berkelit. “Aku mohon. Aku terpaksa … aku … aku terlalu mencintaimu.”Mala membungkuk, melepaskan rengkuhan Tomi dari kakinya hingga Tomi terdorong ke belakang. Tamparan pun Mala layangkan pada Tomi.“Biadab kamu Tomi. Brengsek … bajingan ….” Segala sumpah serapah Mala ucapkan.“Hey …!” Farida yang melihat perlakuan Mala pada putranya berteri
Melihat Mala yang terus menangis, Nina ikut menangis. “Sudah, La, jangan nangis! Lelaki kayak gitu tidak pantas kamu tangisi.” Nina mendekap Mala sangat erat.Awalnya Mala pikir, dia tidak akan sedih dan terluka saat mendapati Tomi selingkuh. Nyatanya, tidak. Hatinya tetap saja merasa sesak, seperti dihimpit bongkahan batu.Air mata yang sekian lama mampu dia tahan, tumpah juga. “Kupikir aku akan baik-baik saja, Nin. Ternyata disini.” Tunjuk Mala pada dada sebelah kanan. “Rasanya sakit sekali.” Suara Mala begitu parau dan memilukan.Nina mengelus surai Mala, mencoba menenangkan sahabatnya. Tubuh Mala terus berguncang hebat. “Apa salahku, Nin. Hingga Mas Tomi selalu menyakitiku.”“Kamu tidak salah La tapi, Tomi saja yang brengsek,” geram Nina. Matanya juga memerah karena ikut menangis.“Kita jemput Danis, Nin.”“Ya, kita memang harus menjemput Danis. Kita ke alamat yang tadi, Pak.”
Mala tersenyum sinis memandangi Tomi yang tertidur sangat lelap. Di aplikasi hijau semua bukti terpampang nyata. Bukan hanya ada chat mesra, tapi juga banyak foto tidak senonoh yang Tina kirim pada Tomi.Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Mala memotret dan memvideokan semua bukti perselingkuhan suaminya. “Anggap saja ini jalan dari Tuhan untuk lepas dari suamimu Mala,” lirih Mala.Saat akan mengembalikan ponsel milik Tomi, tatapan Mala tertuju pada kemeja Tomi yang sedidik tersingkap di bagian dada. Ada sebuah tanda yang Mala paham betul, tanda apa itu.“Oh, jadi si perempuan ini sengaja meninggalkan jejak rupanya.” Mala berdecak pelan.Mala mondar-mandir di ruang tamu, dia sudah punya bukti. Namun, dia tidak boleh gegabah. Dia harus memikirkan sebuah cara untuk membongkar perselingkuhan Tomi. Perselingkuhan Tomi juga semakin meyakinkan Mala untuk berpisah. Meski dia harus menanggung konsekuens
Mala mengekor langkah ibu mertuanya, tapi ternyata Danis dan ibu mertuanya sudah masuk ke kamar mandi.“Buk, biar Mala saja yang memandikan Danis.” Pintu kamar mandi Mala ketuk dari luar.Di dalam kamar mandi, Farida bingung. Kalau dia membiarkan Mala masuk, nanti menantunya itu tanya-tanya tentang keberadaan Tomi pada Danis. Namun, kalau dia tidak membuka pintu bisa-bisa Mala curiga.Tidak ada pilihan lain, Farida memegang bahu cucunya. “Nenek mau minta tolong sama Danis.”“Minta tolong apa, Nek?” tanya Danis polos.“Nanti kalau Bunda tanya-tanya soal Ayah. Danis bilang saja Ayah ke pasar, seperti yang Nenek bilang tadi.” Instruksi Farida.“Tapi kan Ayah dari semalam tidak pulang, Nek,” ucap Danis apa adanya.“Sstt.” Farida menutup bibir mungil Danis dengan telunjuk, kepalanya menoleh ke arah pintu. Takut Mala mendengar percakapan mereka. “Jangan keras-keras! Danis, kan, anak yang penu