Mala yang mengenakan celana jeans, kaos oversize berwarna hitam yang dibalut sweater rajut masih mematung di depan pagar besi bercat biru. Ragu untuk masuk. Pasalnya dia tengah berdiri di depan sebuah showroom mobil. Dari yang terlihat, sih, begitu karena banyak berbagai jenis mobil terparkir di sana. Dan juga sebuah banner yang cukup besar ‘Pradana Dealer’.Tidak ada pilihan lain, Mala menghubungi Niko daripada salah alamat. *Niko meraba tempat tidurnya, mencoba menemukan benda yang sedari tadi terus terasa getarannya. “Hem. Siapa?”“Ini aku Mala. Sepertinya aku salah alamat,” ucap Mala di seberang sana.Mendengar suara lembut Mala, mata Niko yang semula masih terpejam membeliak seketika. “Kenapa bisa salah alamat. Bukannya kemarin alamatnya sudah kukirim via WA?” Nada suara Niko benar-benar khawatir.“Aku datang ke alamat yang kamu kirimkan, tapi kok, malah showroom mobil?!”“Kamu datang ke alamat yang benar, La,” ucap Niko lega. “Tunggu di situ, aku akan turun.”Beringsut dari
“Mas Tomi masih mengingatku ternyata.” Tina membuka masker yang menutupi wajahnya. Senyumnya masih sama, binar di matanya juga. Binar dan senyum bahagia setiap menatap pria pujaannya. Tidak pernah berubah, meski beberapa purnama telah berlalu. “Tentu saja. Siapa yang bisa melupakan gadis idola sekolah,” ucap Tomi dengan senyum yang tetap menawan di mata Tina. “Percuma jadi idola sekolah bila mendapatkanmu saja tidak bisa,” celetuk Tina. Tomi tertawa keras mencoba menghilangkan rasa canggung yang menyergap tiba-tiba. Bukan rahasia lagi bahwa Tina memang memedam rasa pada Tomi sejak SMA. Bu Farida –ibu Tomi– juga tahu dan juga secara terang-terangan memberi restu. Tina wanita sempurna dimata Farida; cantik, baik dan loyal padanya, juga dari keluarga berada. Benar-benar menantu idaman. Akan tetapi, harapan bermenantu Tina harus kandas karena Tomi justru menginginkan Mala untuk dijadikan istri. Besarnya kasih sayang Farida pada sang putra membuatnya terpaksa menerima Mala. “Ah, kam
“Dari Ibu,” jawab Tina.“Ada perlu apa, Na?”“Tidak ada, hanya memastikan saja ini benar-benar nomer kamu.” Terdengar sedikit gelak tawa dari Tina. “Kalau tidak ada keperluan penting, aku tutup, ya, aku mau beres-beres alat bengkel. Sudah waktunya tutup,” timpal Tomi, dia rasa telpon Tina memiliki maksud lain. “Eh, jangan ditutup dulu. Aku cuma bercanda. Bukan tanpa alasan aku minta nomor telpon Mas dari Ibu, kalau sewaktu-waktu mobilku mogok atau bermasalah, kan, aku bisa langsung menghubungi Mas Tomi,” bohong Tina. “Baiklah simpan nomorku kalau begitu,” pasrah Tomi.Setelah panggilan terputus, Tomi memijit pelipisnya yang berdenyut. Apa maksud ibunya, memberikan nomer ponselnya pada Tina. Padahal ibunya tahu Tina dulu pernah memendam rasa padanya karena Tomi merasa alasan yang disampaikan Tina hanya sekedar alasan.Selepas pekerjaannya selesai Tomi memutuskan akan ke rumah ibunya, agar semuanya jelas.“Danis mana, Tom?” tanya Bu Farida sambil mencari keberadaan cucunya.“Danis di
Hampir setiap malam Niko menemui Mala, meski bukan sebagai tamu. “Hai,” sapa Mala pada Niko yang seperti biasa menunggunya di parkiran kafe. Pria yang mengenakan hoodie putih itu menoleh.“Hai juga.” Seulas senyum terbit di bibir tebal Niko. “Kenapa ke sini lagi?” protes Mala. Keduanya duduk di sebuah bangku besi yang berada di sudut parkiran.Membuang puntung rokok yang dihisap lalu menginjaknya dengan sepatu Niko kembali bersuara, “Untuk menemuimu, Apalagi?” “Nik!” Mala menatap pria yang hampir sebulan ini selalu berada di sekelilingnya.“Apa?” Tatapan Mala dibalas oleh Niko bahkan Niko memandang wanita di sampingnya itu dengan sangat dalam. Udara malam yang begitu dingin membuat Mala terus menggosok bahunya. “Jangan seperti ini. Jangan datang setiap hari!”“Kenapa?” Tatapan Niko tetap begitu dalam pada Mala. “Udara malam tidak baik untuk kesehatan. Lebih baik kamu istirahat,” tutur Mala.“Bagaimana lagi?” Kedua tangan Niko bertumpu pada kursi besi, kepalanya mendongak memanda
“Danis.” Panggilan dari Mala membuat Niko dan Danis menoleh bersamaan.“Bunda ….” Danis berlari, berhambur memeluk bundanya.“Maaf, Bunda tadi ketiduran, makanya telat jemput Danis.” Mala berjongkok, memeluk putranya erat. “Nggak apa-apa Bunda, lagian Danis nggak sendiri. Ada Pak Satpam dan Om Niko. Temen Bunda.” Karena terlalu menghawatirkan Danis, Mala tidak menyadari ada Niko. “Kamu di sini, Niko?”“Tadi nggak sengaja lewat sini. Terus lihat Danis kebingungan jadi kuhampiri.”Alasan yang tidak masuk akal bagi Mala, apalagi Mala yakin belum pernah mengenalkan Niko pada Danis, jadi bagaimana mungkin Niko bisa mengenali wajah Danis. “Danis duduk di sana dulu, ya! Bunda mau bicara sebentar sama Om.” Tunjuk Mala pada bangku di samping pos Satpam.“Siap Bunda.” Bocah itu menurut.Mala bersedekap dada, tatapannya mengintimidasi Niko. “Kamu kok tau itu putraku. Seingatku aku belum pernah ngenalin kamu sama Danis.”Niko menelan salivanya, bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Mala.
“Kamu tunggu di sini saja Jo!” “Baik, Bos.”Bara turun dari mobil, melepas kacamata hitamnya, memperhatikan sekeliling. Menurut informasi dari Jo, showroom ini milik dari pria yang beberapa waktu ke belakang mendekati Mala.Sesuatu mulai menggelitik keingintahuan Bara tentang Niko semenjak dia tahu, pria muda itu gencar mendekati Mala. Mulai di tempat karaoke hingga nekat mengikuti mobil Paijo yang mengantarkan Mala pulang.“Kaya juga dia.” Bibir Bara tersungging, kaki jenjangnya melangkah memasuki showroom.Kedatangannya tentu disambut hangat oleh pegawai showroom. “Selamat siang Tuan, ada yang bisa saya bantu.”“Saya ingin melihat-lihat mobil yang ada di sini. Kata salah satu rekan saya kualitas mobil yang dijual di sini lumayan bagus,” ujar Bara, netranya menelisik setiap penjuru tempat yang ia datangi guna mencari keberadaan Niko, ya, kata Paijo nama pemuda yang mendekati Mala adalah Niko.“Rekan Tuan tidak salah, meski bekas tapi mobil di showroom kami memang memiliki kualitas y
Siulan terdengar nyaring dari bibir Tomi saat memarkir motor di teras rumah. “Darimana Mas?” tanya Mala. Perempuan itu duduk bersilang kaki di sofa ruang tamu.Pertanyaan Mala membuat Tomi yang baru memasuki rumah terjingkat. “Kerja lah, darimana lagi,” jawab Tomi.Bibir Mala terlipat. “Hem. Mala lupa kalau Mas Tomi pekerja keras.” Sindir Mala yang bangkit terus berlalu meninggalkan suaminya.“Maksud kamu apa, La?!” Tomi mencekal lengan istrinya. “Apa?” Mala menaikan kedua alisnya.“Kamu tadi ngomong aku pekerja keras. Nyindir!” “Siapa yang nyindir?” “Kamu!” Amarah Tomi tersulut.“Nyindir gimana?” Mala melepaskan cekalan tangan Tomi dari lengannya.“Bilang kalau aku pekerja keras.”“Mas ini lucu. Aku bilang pekerja keras, marah. Aku bilang pemalas juga marah.” Rahang Tomi mengeras. “Kamu jangan mancing emosiku!”
Menajamkan penglihatannya, Niko sampai mengucek mata berkali-kali. “Mas Tomi,” gumam Niko. Kenapa Tomi keluar dari rumah Mala. Dia harus mencari tahu. Namun, dia harus menahan diri, lagipula saat ini juga sudah terlalu larut. Kepala Niko serasa mau pecah, semalaman dia tidak bisa memejamkan mata. Rasa penasaran menggerogoti benaknya. Bayangan Tomi keluar dari rumah Mala terus berputar tanpa henti. Hari ini semua rasa penasarannya harus terjawab. Membawa salah satu mobil dagangannya, Niko meluncur ke bengkel tempat Tomi bekerja. Melihat sebuah mobil memasuki area bengkel, Tomi segera menyambut calon pelanggannya. Tangan Niko mencengkram stang mobil erat, dadanya bergemuruh hebat saat ingatan tentang Tomi kembali berkelebat. Tidak, dia tidak boleh terbawa suasana. “Tenang Niko. Tarik napas … hembuskan perlahan.” Interupsi Niko pada dirinya sendiri. “Tunjukkan senyum terbaikmu. Oke.” Niko memegang