Siulan terdengar nyaring dari bibir Tomi saat memarkir motor di teras rumah. “Darimana Mas?” tanya Mala. Perempuan itu duduk bersilang kaki di sofa ruang tamu.Pertanyaan Mala membuat Tomi yang baru memasuki rumah terjingkat. “Kerja lah, darimana lagi,” jawab Tomi.Bibir Mala terlipat. “Hem. Mala lupa kalau Mas Tomi pekerja keras.” Sindir Mala yang bangkit terus berlalu meninggalkan suaminya.“Maksud kamu apa, La?!” Tomi mencekal lengan istrinya. “Apa?” Mala menaikan kedua alisnya.“Kamu tadi ngomong aku pekerja keras. Nyindir!” “Siapa yang nyindir?” “Kamu!” Amarah Tomi tersulut.“Nyindir gimana?” Mala melepaskan cekalan tangan Tomi dari lengannya.“Bilang kalau aku pekerja keras.”“Mas ini lucu. Aku bilang pekerja keras, marah. Aku bilang pemalas juga marah.” Rahang Tomi mengeras. “Kamu jangan mancing emosiku!”
Menajamkan penglihatannya, Niko sampai mengucek mata berkali-kali. “Mas Tomi,” gumam Niko. Kenapa Tomi keluar dari rumah Mala. Dia harus mencari tahu. Namun, dia harus menahan diri, lagipula saat ini juga sudah terlalu larut. Kepala Niko serasa mau pecah, semalaman dia tidak bisa memejamkan mata. Rasa penasaran menggerogoti benaknya. Bayangan Tomi keluar dari rumah Mala terus berputar tanpa henti. Hari ini semua rasa penasarannya harus terjawab. Membawa salah satu mobil dagangannya, Niko meluncur ke bengkel tempat Tomi bekerja. Melihat sebuah mobil memasuki area bengkel, Tomi segera menyambut calon pelanggannya. Tangan Niko mencengkram stang mobil erat, dadanya bergemuruh hebat saat ingatan tentang Tomi kembali berkelebat. Tidak, dia tidak boleh terbawa suasana. “Tenang Niko. Tarik napas … hembuskan perlahan.” Interupsi Niko pada dirinya sendiri. “Tunjukkan senyum terbaikmu. Oke.” Niko memegang
“Mas Tomi,” ucap Niko dan Mala secara bersamaan. “Kalian kompak sekali,” kata Tomi dengan alis yang terangkat. “Kamu belum menjawab pertanyaanku, Niko. Kamu ngapain di sini?” selidik Tomi, setahunya rumah langganannya itu jauh dari daerah sini.“Aku lagi nyari alamat teman Mas, katanya, sih, dia tinggal di daerah sini. Kebetulan Mbak ini,” Mata Niko tertuju pada Mala, “sedang ada di depan rumah jadi aku tanya-tanya. Tapi, rupanya Mbaknya nggak kenal sama temanku,” jelas Niko. “Oh begitu. Karena orang yang kamu cari tidak ketemu. Lebih baik kamu mampir dulu ke rumahku,” Tomi masuk ke dalam pagar merangkul pundak Mala, “kenalkan dia istriku, Mala,” imbuh Tomi.Telapak tangan Mala terasa sangat dingin, jemarinya saling bertaut rapat. “Mereka saling kenal.” Mala membatin.“Istri Mas Tomi cantik.” Tatapan Niko terus tertuju pada Mala. Tawa Tomi pecah, mendengar istrinya dipuji. “Dia dulu primadona kamp
“Siapa?” tanya Nina penasaran.“Yang pasti seseorang yang kompeten dalam bidang hukum.” Seulas senyum terbit di bibir Niko.“Nik, aku boleh tanya sesuatu nggak?”“Tanya apa?”“Kamu suka, ya, sama Mala?” Nina bertanya dengan sangat hati-hati agar tidak menyinggung Niko.“Mala nggak cerita kalau dia nolak aku,” ujar Niko dengan wajah masam.“Cerita, sih.”“Kalau Mala udah cerita, kok, kamu masih nanya tentang perasaanku.”“Hanya memastikan saja.”“Memastikan apa?” potong Niko.“Kamu beneran cinta sama Mala atau sekedar terobsesi sama dia,” cerca Nina.“Kalau sekedar terobsesi nggak mungkin aku bela-belain datang ke sekolah Danis, biar anak itu kenal sama aku.” “Ha ….” Nina melongo, tidak menyangka Niko seserius itu dengan Mala sampai mendekati putra sahabatnya itu. “Serius?” lanjutnya.“Ya, kali aku bohon
Mala mengekor langkah ibu mertuanya, tapi ternyata Danis dan ibu mertuanya sudah masuk ke kamar mandi.“Buk, biar Mala saja yang memandikan Danis.” Pintu kamar mandi Mala ketuk dari luar.Di dalam kamar mandi, Farida bingung. Kalau dia membiarkan Mala masuk, nanti menantunya itu tanya-tanya tentang keberadaan Tomi pada Danis. Namun, kalau dia tidak membuka pintu bisa-bisa Mala curiga.Tidak ada pilihan lain, Farida memegang bahu cucunya. “Nenek mau minta tolong sama Danis.”“Minta tolong apa, Nek?” tanya Danis polos.“Nanti kalau Bunda tanya-tanya soal Ayah. Danis bilang saja Ayah ke pasar, seperti yang Nenek bilang tadi.” Instruksi Farida.“Tapi kan Ayah dari semalam tidak pulang, Nek,” ucap Danis apa adanya.“Sstt.” Farida menutup bibir mungil Danis dengan telunjuk, kepalanya menoleh ke arah pintu. Takut Mala mendengar percakapan mereka. “Jangan keras-keras! Danis, kan, anak yang penu
Mala tersenyum sinis memandangi Tomi yang tertidur sangat lelap. Di aplikasi hijau semua bukti terpampang nyata. Bukan hanya ada chat mesra, tapi juga banyak foto tidak senonoh yang Tina kirim pada Tomi.Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Mala memotret dan memvideokan semua bukti perselingkuhan suaminya. “Anggap saja ini jalan dari Tuhan untuk lepas dari suamimu Mala,” lirih Mala.Saat akan mengembalikan ponsel milik Tomi, tatapan Mala tertuju pada kemeja Tomi yang sedidik tersingkap di bagian dada. Ada sebuah tanda yang Mala paham betul, tanda apa itu.“Oh, jadi si perempuan ini sengaja meninggalkan jejak rupanya.” Mala berdecak pelan.Mala mondar-mandir di ruang tamu, dia sudah punya bukti. Namun, dia tidak boleh gegabah. Dia harus memikirkan sebuah cara untuk membongkar perselingkuhan Tomi. Perselingkuhan Tomi juga semakin meyakinkan Mala untuk berpisah. Meski dia harus menanggung konsekuens
Melihat Mala yang terus menangis, Nina ikut menangis. “Sudah, La, jangan nangis! Lelaki kayak gitu tidak pantas kamu tangisi.” Nina mendekap Mala sangat erat.Awalnya Mala pikir, dia tidak akan sedih dan terluka saat mendapati Tomi selingkuh. Nyatanya, tidak. Hatinya tetap saja merasa sesak, seperti dihimpit bongkahan batu.Air mata yang sekian lama mampu dia tahan, tumpah juga. “Kupikir aku akan baik-baik saja, Nin. Ternyata disini.” Tunjuk Mala pada dada sebelah kanan. “Rasanya sakit sekali.” Suara Mala begitu parau dan memilukan.Nina mengelus surai Mala, mencoba menenangkan sahabatnya. Tubuh Mala terus berguncang hebat. “Apa salahku, Nin. Hingga Mas Tomi selalu menyakitiku.”“Kamu tidak salah La tapi, Tomi saja yang brengsek,” geram Nina. Matanya juga memerah karena ikut menangis.“Kita jemput Danis, Nin.”“Ya, kita memang harus menjemput Danis. Kita ke alamat yang tadi, Pak.”
Melihat kediaman Tomi, Mala semakin naik pitam. “Jawab Tomi … jangan diam saja!” Teriakan Mala semakin memekakkan telinga. Bahkan urat-urat leher wanita itu sampai terlihat jelas. Air mata juga terus mengalir deras di pipinya. Hancur, marah, sedih, dan kecewa menjadi satu. Bukan tanpa sebab, kotak kecil yang ditemukan Farida berisi sebuah kalung emas berliontin jangkar. Kalung itu satu-satunya bukti yang Mala miliki.Bukti yang ditinggalkan oleh pria biadab yang lima tahun lalu merenggut mahkotanya. Menghancurkan hidupnya. Membuatnya terjebak dalam pernikahan toxic. Tomi semakin meraung, merengkuh kaki Mala. “Ampuni aku Mala!” Tomi tidak bisa berkelit. “Aku mohon. Aku terpaksa … aku … aku terlalu mencintaimu.”Mala membungkuk, melepaskan rengkuhan Tomi dari kakinya hingga Tomi terdorong ke belakang. Tamparan pun Mala layangkan pada Tomi.“Biadab kamu Tomi. Brengsek … bajingan ….” Segala sumpah serapah Mala ucapkan.“Hey …!” Farida yang melihat perlakuan Mala pada putranya berteri