Masih terbayang di benak apa yang dikirim oleh Kaff pagi tadi. Ia berhasil meretas blog milik Mas Ichsan, menelusurinya, lalu mengirimkan beberapa puisi dan curhatan yang tersimpan dalam draft yang tersembunyi di sana.
Suamiku memang suka menulis, kutahu itu sejak dulu. Namun yang ia tulis hanya tips-tips seputar dunia IT. Hobi mereview beberapa produk yang berkaitan dengan bidang keahliannya, baik digital maupun non digital.
Kenyataan yang terjadi berkata lain, Mas Ichsan yang kupikir jauh dari kata melankolis, ternyata sebaliknya. Puisi-puisi miliknya begitu syahdu dan romantis.
Ah, Mas ... padahal sebaris pun tak pernah kau buatkan puisi untukku, istrimu.
Dayu ... Ida Ayu Ambarukmi. Seseorang yang masih menempati posisi khusus di hati suamiku saat ia menulis puisi itu. Lalu, di mana posisiku sebagai istri? Hanya pelarian semata? Lagi-lagi ujung mataku basah. Kutepis semua ingatan. Ini kesalahan karena mencari tahu tentang sesuatu yang bukan porsiku. Seperti ia yang tak pernah mempermasalahkan masa laluku, seharusnya aku pun begitu.
Curiga dan prasangka hanya akan menjadi duri dalam daging. Menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menghancurkan rumah tangga kami. Menghancurkan mimpi yang telah kami bangun di atas puing-puing kenangan masing-masing.
Apa yang akan kudapat ketika berusaha mengorek lebih dalam tentang masa lalunya. Bahagia? lega? Salah jika berpikir bahwa mengetahuinya bisa membuat lega, nyatanya malah menambah luka yang kutoreh sendiri dengan belati yang bernama, penasaran.
Sudah, Rin! Anggap saja impas.
*
Kulirik kanan kiri, ruangan sudah kosong. Memang sudah waktunya istirahat kantor. Tadi, Mayang sempat mengajak makan siang bersama, tapi kutolak. Bekal di dalam tas lebih menggiurkan dibanding makanan apapun di luar sana. Plecing kangkung hasil tanaman sendiri, tahu walik crispy dan kakap goreng tepung. Semuanya hasil masakan suami. Maka nikmat manakah yang bisa kau dustakan wahai istri yang gak bisa masak? Hi hi hi.
Aku terkekeh geli. Bagaimana bisa Mas Ichsan lebih pandai memasak daripada istrinya. Akhir-akhir ini dia memang sering memasak, persis seperti dulu, saat belum mengidap penyakit itu.
Memfoto kotak bekal dan mempostingnya di akun F* asli. Arinda Prasetya. Beberapa tanggapan dari teman berhasil membuatku tertawa, tak ada yang percaya saat kubilang kalau itu masakanku. Lalu, seseakun memberikan react love pada postingan itu.
Ichsan Prasetya.
Sejak kapan ia kembali aktif di sosial media?
***
"Assalamualaikuuum." Salamku seraya membuka pintu yang tak terkunci.
Sunyi, tak ada jawaban. Segera kucari keberadaan suamiku. Apa jangan-jangan ....
Sekuat hati menepis prasangka dan menelusuri semua sudut rumah, tapi tak kutemukan Mas Ichsan di manapun.
Kulirik jam dinding, sudah hampir isya'. Tadi sepulang kantor, Mayang mengajakku ke acara pembukaan salon milik kakaknya. Atas seizin Mas Ichsan, kuterima ajakan Mayang.
Menarik napas dalam-dalam, mengempaskan diri di sofa depan tivi. Tenang, Rin, tenang! Mungkin suamimu sedang jalan-jalan sebentar.
"Assalamualaikuuum."
Terdengar suara lirih suamiku. Aku menghambur keluar."Waalaikum ... salam," jawabku terbata saat melihat kondiasi lelakiku.
Mas Ichsan duduk di kursi teras dengan kaki kotor dan telanjang. Wajah kuyu, rambut acak-acakan dengan keringat membasahi seluruh badan yang terbalut baju dan celana pendek rumahan. Suamiku pasti tak sadar ketika pergi dari rumah, buktinya ia tak mengganti bajunya lebih dulu.
Mas Ichsan adalah pribadi yang rapi. Cenderung metroseksual. Hidupnya pun disiplin dan teratur. Dalam kondisi stabil, mana mungkin dia keluar rumah dengan baju seperti ini.
Astagfirullahalladzim ... astagfirullahalladzim .... Menghirup napas dalam-dalam.
"Aku baru aja pulang, Mas," kucium tangannya sambil tersenyum.
Dia bergeming, napasnya memburu karena kelelahan. Segera kuambil segelas air putih untuknya.
"Nih, Mas. Minum dulu," ujarku.
Mas Ichsan menenggak segelas air itu sampai tandas. Aku duduk di sampingnya dengan mimik wajah yang dengan sekuat tenaga kuusahakan tetap ceria. Dia menoleh ke arahku, ada kabut tipis di kedua matanya.
"Untung bisa pulang," lirihnya.
Aku tersenyum dan mengelus bahunya. "Pasti bisa, Mas, kan dah janji nggak akan ninggal aku."
"Tadi hampir nyasar," ujarnya sambil menunduk.
"Nggak kira nyasar, Mas kan hapal di mana rumah kita," ujarku menguatkan.
"Tadi ... aku lupa."
"Cuma lupa sebentar, habis tu ingat lagi, kan?"
Mas Ichsan hanya mengangguk.
Kuremas ujung kemeja, mencari sedikit lagi kekuatan untuk tetap tegar.
Ya Tuhaaan, kupikir segalanya telah kembali seperti semula. Nyatanya aku salah. Perjuanganmu belum berakhir, Rin!
"Mas ...." Kusentuh bahunya, kemudian dia menoleh. "Masuk yuk! Di sini banyak nyamuk, nih kakiku gatel semua," bujukku dengan memperlihatkan betis yang memerah.
Mas Ichsan berdiri. Segera kugandeng dan membawanya ke meja makan.
"Aku beli sate ayam. Mas mau makan dulu, atau mandi dulu?"
Dia bergeming. Aku menarik napas, lalu merubah pertanyaan.
"Aku lapeeer ... pingin maem sate ayam sama Mas. Tapi, Mas harus mandi dulu, ya?"
Mas Ichsan menatapku, tersenyum, lalu berangkat mandi.
Ketika ODS sedang berada dalam fase tak stabil, memang tidak semua kalimat bisa ia mengerti. Oleh karena itu, perlu kalimat khusus untuk membuatnya paham tentang apa yang sedang kami bicarakan.
Usai mandi, kami makan sambil berbincang. Kuceritakan kegiatanku di kantor juga di salon bersama Mayang, dia mendengarkan dengan antusias. Lalu ganti bercerita kegiatannya seharian ini di rumah. Kami tertawa ketika ada hal-hal lucu saat bercerita. Sampai kemudian, ia bercerita tentang hal yang sedari tadi membuatku penasaran.
Mas Ichsan menaruh sendoknya. "Rin," ujarnya.
"Hmm?" Aku melakukan hal yang sama, menjeda suapan.
"Tadi aku denger orang manggil aku."
"Terus?" Aku mendengarkannya baik-baik.
"Suara perempuan. Kayak lagi naik mobil."
Mendengar ceritanya, seperti ada yang perih di dalam sini. Aku diam sejenak, berusaha menguatkan hati.
"Terus ... Mas ngejar mobil itu?" tebakku.
"Iya, aku penasaran itu siapa. Kayak suaranya ...."
Mas Ichsan tak melanjutkannya. Seperti sedang berpikir. Melihat mimik wajahnya, aku pun tak berani bertanya lebih jauh tentang hal itu."Trus Mas ngejarnya sampai mana?" tanyaku mengalihkan obrolan.
"Jauuh, aku gak tau itu di mana. Pas mau pulang, aku lupa jalannya."
"Mas nggak tanya ke orang-orang?"
"Iya, aku tanya. Kamu bilang, kalau lupa kan harus tanya ke orang," ujarnya polos.
Aku tersenyum. "Trus, Mas jalan kaki?"
"Iya, mau naik angkot nggak bawa uang. Mau nelpon kamu nggak bawa hape."
Aku tertawa lirih. "Nggak papa, olahraga sore!"
"Iya, sampe keringetan."
Melirik ke wajah Mas Ichsan yang mimiknya sudah berubah santai. Berhenti sejenak, menimbang lebih dulu apakah pertanyaanku tepat untuk saat ini.
"Emmm ... dulu nih, ya. Mas kan pernah tuh lupa jalan. Ingat?"
"Kapan?"
"Dulu, yang aku jemput di masjid malam-malam."
Lelaki di hadapku tampak berpikir.
"Ooh iya ya ingat, yang kamu nangis trus peluk aku kenceng-kenceng di depan banyak orang?"
Aku tertawa. "Iya bener. Adegan memalukan ituh. Mas masih inget?"
"Ingetlah ... aku kan gak amnesia!"gerutuannya terdengar ketus. Namun kutahu ia hanya bercanda.
Aku tertawa.
"Waktu itu, Mas pergi karena ada suara kayak gitu juga?"
"Iya, sering aku denger suara itu," jelasnya.
"Kalau tidur sering mimpi juga?"
"Emmm ... kadang iya."
Kulirik mimik wajahnya sebelum melanjutkan pertanyaan. Masih terlihat santai.
"Mas inget, nggak? Suara itu ... mirip punya siapa?" tanyaku hati-hati.
"Bukan mirip. Itu memang suara Dayu."
"Dayu?" Ternyata benar dugaanku!"Iya, namanya Ida Ayu Ambarukmi, tapi aku panggilnya Dayu," jawabnya santai. Seolah sedang bicara dengan teman curhatnya.
"Ohh ...." Hanya kata itu yg keluar lirih dari bibirku.
Di dalam sini, rasanya seperti sedang menjerang air dan hampir mendidih."Di mana ya sekarang ..." lirih Mas Ichsan.
Refleks aku menyahut, "Siapa? Dayu?" Kusadari nada bicara mulai meninggi. Padahal sudah kutahan sekuat hati.
Mas Ichsan mengangguk, matanya terlihat sayu.
Astagfirullahalladzim ... astagfirullahalladzim. Sudah basah, mandi saja sekalian, Rin! Kepalang tanggung. Daripada tersiksa rasa penasaran, lebih baik tuntaskan. Kalaupun akhirnya teramat sakit, kau tahu ke mana harus mencari pertolongan. Kuhela napas, lalu berdeham untuk menormalkan suara.
"Lagi kangen Dayu, ya, Mas?" tanyaku santai- setelah berhasil mengontrol emosi- seolah-olah ini bukan masalah pelik.
"Enggak," jawabnya.
Aku tersenyum, kali ini bukan pura-pura.
"Eh, Rin ..."
"Hmm?"
"Kalau sering mimpi anak kecil, artinya apa ya?" tanyanya polos.
Aku mengernyit heran, tapi wajah polos suamiku selalu berhasil mengundang tawa.
"Anak kecil? Bayi? Biasanya mau dapat rejeki.""Enggak, udah agak gede. Segini," jelasnya menggambarkan tinggi badan dengan menjarak antara lantai dengan tangannya.
Sekitar umur tujuh atau delapan tahun."Mas pingin punya anak, kali!" Aku terkekeh, menjawab sekenanya.
Astagaaa!
Detik berikutnya, amat kusesali apa yang baru saja terucap. Membicarakan tentang anak di hadapannya sama halnya dengan membuka luka. Kuamati reaksi suamiku, syukurlah dia tak terganggu. Mungkin sedang tak fokus mendengarku, sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Aku dulu ... hampir punya anak, tapi nggak jadi," ujarnya lirih.
Aku tersentak. Piring bekas makan di hadapan tak sengaja terdepak. Untung tak jatuh, tapi cukup membuat Mas Ichsan kaget.
Sejak kami menikah, aku tak pernah hamil apalagi keguguran. Itu artinya, ada sesuatu yang ia sembunyikan. Berbagai macam prasangka berkekelabat di kepala. Apa itu bagian dari masa lalu? Atau ... dia selingkuh?
Mata mulai memanas, sekuat hati menahan biar air beningnya gagal mengalir. Kusadari tubuh ini mematung hingga beberapa waktu kemudian. Bingung, kaget, sedih, marah, kecewa. Entah tak bisa lagi mendefinisikan apa yang terasa.
Ya Allah ... nyuwun tambahi sabar lan kekuatan. Haruskah sesakit ini ujian yang harus kutanggung untuk menjadi pribadi yang lebih baik? Seorang perempuan berlumur dosa yang telah bertekad menjadi istri terhormat. Haruskah sesulit ini? Kuatkan hati ini, Tuhan. Jangan sampai kembali ke dalam nikmatnya dosa karena tak lagi sanggup menahan coba.
"Rin." Mas Ichsan sudah berdiri di samping kursi yang kududuki.
Aku mendongak, menggigit bibir kuat-kuat agar tak terlihat bergetar.
"Aku salah ngomong, ya?" tanyanya. Sepertinya ia sudah mulai sadar situasi.
Aku tersenyum, menggeleng, masih dengan bibir terkatup rapat.
"Maaf, Rin. Tadi aku gak sengaja cerita ke kamu," sesalnya.
Kusembunyikan wajah di perut Mas Ichsan dan menuntaskan segalanya melalui air mata. Dia merengkuh kepalaku, napasnya terdengar berat, lalu disusul tubuhnya yang sedikit bergetar. Aku tahu, dia menangis. Tangis pertama yang pernah kulihat sepanjang mengenalnya.
***
Seorang perempuan berambut panjang dalam balutan kebaya biru muda berhias senteng di pinggangnya. Manis. Foto pertama yang kulihat dari puluhan foto yang dikirim oleh Kaff.
"Sekalian tuntaskan, biar nggak jadi beban," bunyi pesan Kaff, dan aku setuju dengannya.
"Aku pingin tau semuanya," balasku.
"Yakin, kuat?" tanyanya memastikan.
"Jangan ngeremehin!" Kutambahkan emot marah. Kuyakin, di sana Kaff sedang tertawa. Dia cukup tahu serapuh apa hati ini.
Berderet-deret foto terkirim padaku.
"Kalau dah nggak sanggup, kamu tau ke mana harus lari."
Dasar raja gombaaal! Aku pura-pura tak mengerti.
"Ke mana?""Masih ada satu bantal dan satu guling di sini."
Kaff mengirimkan foto ranjangnya."Buaya daraaaaaaat! Gakda ahlak," balasku.
Si Buaya hanya membalas dengan emoticon tertawa. Aku tahu, dia hanya bercanda. Kaff pernah mengakui bahwa dirinya memang buaya. Tapi seliar apapun dia menggali, takkan pernah bermain di lubang yang masih ada pemiliknya.
Mengakhiri obrolan kami, lalu memeriksa puluhan foto yang dikirim oleh Kaff. Beberapa menampilkan seorang perempuan dengan pose yang berbeda dan lainnya berupa hasil screenshoot berbagai halaman yang kuperlukan untuk menjawab semua rasa penasaran.
Bismillahirrohmanirrohim, semoga langkah yang kutempuh ini tak pernah salah. Perjalanan menyusun kepingan puzzle sudah dimulai. Dari sinilah akan terjawab semua rasa curiga. Menuntaskan keingintahuan yang menyesakkan dada.
Sebenarnya ingin bertanya langsung pada Mas Ichsan. Tapi kuurungkan. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan. Curiga dan prasangka adalah bom waktu yang suatu saat bisa meledak dan meluluhlantakkan mahligai rumah tangga. Untuk menjinakkannya, diperlukan keterbukaan dan komunikasi dari kedua belah pihak. Saling mengoreksi, jujur, memahami, dan menerima apapun yang terjadi.
Kenyataannya, mana mungkin hal itu bisa diterapkan dalam rumah tangga yang timpang?
Berkomunikasi dan mencecar Mas Ichsan dengan pertanyaan seputar kecurigaanku pada Dayu. Bisakah? jelas tidak. Terlalu besar risiko yang kupertaruhkan.
Suamiku bukan orang biasa, dia luar biasa. Perlu cara yang luar biasa untuk menyelesaikan hal apapun dalam hidup kami berdua.
Aku terkejut saat sebuah lengan menyodorkan plastik bening berisi box makanan.
"Ehh!"
"Maaf, Mbak. Kaget ya?" Pak Ali terkekeh.
"Nggih, Pak. Saya kira siapa."
Pak Ali menaruh bungkusan plastik di meja kerjaku.
"Lho, saya nggak pesan apapun hari ini, Pak."
Istirahat makan siang kali ini, sengaja kugunakan untuk memeriksa foto-foto kiriman Kaff. Tak sabar rasanya.
"Ini memang buat Mbak, kok!" Pak Ali meyakinkan.
"Lha, tapi ini siapa yang pesan?" tanyaku penasaran.
"Udah, makan aja. Mbak Arin belum makan siang, kan?"
"Belum. Masih kenyang, Pak. Makanya saya malas makan." jawabku.
"Ambil aja, makan nanti kalau dah pulang, Mbak." Pak Ali memberi saran.
"Monggo buat Bapak aja," tawarku.
"Lha, saya sudah makan, Mbak. Menu yang sama," jawabnya.
"Oalaah. Ini dari siapa sih, Pak?" tanyaku penasaran.
"Ambil aja, inshaallah halal." Pak Ali meninggalkannya di meja.
Karena penasaran, kubuka box styrofoam tersebut. Tahu lontong tanpa toge dengan taburan bawang goreng yang cukup banyak.
Wuahhh, menggoda selera.Seulas senyum datang tanpa diundang saat mengingat seseorang yang dulu selalu protes dengan kebiasaanku makan banyak bawang. Takut kalau ciuman, mulutku bau bawang. Ha ha ha. Ada ada saja. Mungkin dia lupa kalau di dalam tas selalu tersedia permen karet rasa mint sebagai pembersih gigi darurat. Hi hi hi
Kuhentikan tawa saat menyadari seperti ada yang sedang memperhatikan. Tapi ... hanya ada aku di ruangan ini. Tiba-tiba jadi merinding.
Kuedarkan pandangan ke arah luar. Seorang laki-laki berdiri di dekat pintu dengan bibir tersenyum. Manis sekali.
Ooo eem jiii! Kuatkan aku ya Tuhan. Jangan sampai senyumku terlalu lebar. Bisa-bisa dikira ke-ge-err-an, atau lebih parahnya lagi, keganjenan!
Kulihat gerakan mulutnya tanpa suara, menyuruh makan. Aku mengangguk dengan senyum tertahan. Baru kali ini ia menyuruhku makan banyak bawang.
Menghadapi cahaya, walau menyilaukan, lebih baik daripada berjalan dalam kegelapan. Sebab dalam kesilauan dirimu masih bisa melihat sekitar, meski matamu terasa sakit." Kaffah Ar RayyanAku tersenyum membaca quotes yang sengaja dibuat khusus untukku.Sudah tengah malam, Mas Ichsan terlelap dengan satu lengan memelukku dari belakang. Dapat kutebak dari napasnya yang teratur.Jariku bergerak lincah menyentuh beberapa icon, lalu membaca screen shoot yang tadi siang dikirim oleh Kaff. Dia kirimkan hanya tulisan yang berisi info penting semehingga aku tak perlu lagi memilahnya. Mungkin dengan cara ini bisa kuketahui apa yang sebenarnya telah terjadi.Bismillah ... apapun kenyataanya, semoga tak pernah mengubah rasa cintaku
'Mlumah, mengkurep, modot, mlebu, metu.'Mo Li Mo, Sebuah nasihat yang kudengar dari ceramah penghulu usai prosesi ijab kabul kami dahulu. Mungkin terkesan saru jika diartikan sebagai bagian aktivitas hubungan suami istri. Namun ternyata, begitu banyak pesan yang tersirat di baliknya.Dalam bahasa jawa, mlumah artinya telentang. Pasangan suami istri harus saling terbuka mengenai hal apapun, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Keduanya harus saling percaya untuk berbagi masalah dan mencari penyelesaiannnya.Mengkurep berarti tengkurap. Maksudnya yaitu, pasangan suami istri harus bersifat tertutup mengenai urusan rumah tangga. Bahkan kepada orang tua atau mertua. Simpan rapat-rapat semua hal yang terjadi dalam rumah tangga, jangan sampai ada orang yang tahu.Modod dalam bahasa jawa bisa diartikan elastis. Bisa memanjang dan memendek sesuai kebutuhan. Diharapkan pasangan suami istri bisa bersikap demikian, menjalani kehidupan rumah tangga dengan fleksibel.
"Saya terima nikah dan kawinnya Danastri Pusvarinda Sumiradjaya binti Raden Haryadi Sumiradjaya dengan mas kawin tersebut, tuunaai!""Sah?""Saaah ...."Teriring doa juga selaksa nasihat dari para orang bijak. Dua orang manusia telah resmi menjadi partner dalam segala hal. Bersiap melalui perjalanan panjang dengan bahtera baru yang bernama pernikahan.Air mata haru mengalir tak tertahan saat lelaki di sampingku dengan lembut mengecup kening. Mulai detik ini telah resmi ia ambil alih semua tanggung jawab atasku dari tangan Ayah.Masih terekam jelas di dalam benak, rangkaian prosesi ijab kabul kami dahulu.Mengingatnya selalu berhasil menghadirkan embun bening di sudut mata. Bukan sedih, tapi bahagia.Ada saat di mana biduk pernikahan sedang diuji. Oleng ke kanan, oleng ke kiri, menabrak tebing, bahkan nyaris karam terhempas badai.Jika hal itu terjadi, maka kembalilah pada kenangan masa lalu. Untuk sekadar mengin
Deru mesin mobil terdengar sedang mendekat. Aku mengintip dari celah jendela untuk memastikan ke mana mobil tersebut bergerak. Saat roda itu mengarah memasuki pagar, dapat kupastikan jika itu memang tamu Mas Ichsan."Mas, tuh kayaknya ada tamu. Trus aku gimana?" ujarku kebingungan."Nggak papa, tetep aja di situ," jawab Mas Ichsan santai. Sepertinya dia memang sudah tahu kalau akan kedatangan tamu."Aku pulang aja ya? Nggak enak, masa aku di sini?"Mas Ichsan tak menanggapi. Ia berdiri dan berjalan menuju teras."Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...." jawabku lirih.Dua orang wanita berjilbab memasuki rumah.Aku berdiri, menampilkan senyum sesopan mungkin. Mencium tangan si wanita setengah baya dan berjabat tangan dengan wanita lainnya yang menurutku masih muda.Kata Ibu, etika ketika bersalaman dengan orang yang lebih tua adalah dengan mencium tangannya. Tak peduli siapapun itu, entah kenal atau tidak. Pria maupun w
Sebuah kolam dengan aneka jenis ikan berkejaran di sekitar air mancur menjadi pemandangan yang begitu melegakan setelah kami lalui saat-saat menegangkan. Warna-warni bunga krisan terlihat begitu memesona. Namun sayangnya, masih kalah oleh pesona lelaki di depan ini, yang dengan percaya diri telah berhasil meluluhkan hati Ayah dan Ibu untuk memberikan restu.Dia yang mencintaiku bukan dengan kata-kata, namun berupa langkah nyata. Dia yang tak pernah menawarkan harapan apapun, namun tiba-tiba menaut jari manisku dengan sebuah cincin di depan Ayah. Dia yang tak pernah sekalipun berucap cinta, namun kini kutahu lewat tingkah dan tatapannya itulah wujud cinta yang sebenarnya.Kami duduk pada gazebo di halaman belakang rumah orang tuaku. Minggu depan, lamaran resmi akan digelar sekaligus juga menentukan tanggal pernikahan. Selaksa puji syukur tak henti terucap dari bibir yang penuh dosa. Tuhan masih menyayangiku, bahkan saat gunung-gunung dosa ini tak lagi dapat terhitung ju
Ada yang lebih menarik daripada mengingat kemarau musim lalu ketika hujan mulai menghampiri. Ada yang lebih penting daripada menyesali masa lalu, sementara masa depan menawarkan kehidupan yang lebih baik.Biarkan musim berlalu begitu saja sesuai porsi dan waktunya. Biarkan masa lalu menguap, hilang, terlupakan dan berganti dengan cerita masa depan.________Sebulan setelah acara lamaran resmi, pernikahan kami digelar cukup megah dengan prosesi adat jawa. Terlihat beberapa kali Ayah menempelkan ibu jari dan telunjuk di kedua sudut matanya.Ayah ... maafkan putrimu seandainya nanti membuat layu rangkaian melati di sanggul ini.Konon, jika pengantin wanita sudah kehilangan kesucian, rangkaian melati yang ia pakai pada prosesi pernikan akan menjadi cepat layu dan hilang wanginya.Hidup dalam keluarga yang masih menjunjung tinggi adat istiadat, membuatku sedikit takut. Bagaimana seandainya melati ini benar-benar layu sebelum pesta berakhir. Keluarga
Tiga hari setelah hari pernikahan kami, Mas Ichsan memboyongku ke rumahnya. Sementara acara ater manten dan ngunduh mantu baru akan dilaksanakan bulan depan. Mengingat, banyak saudara Mas Ichsan yang tinggal di luar Jawa sehingga perlu persiapan lebih lama untuk mengadakan sebuah pesta. Dia memang bukan keturunan Jawa asli, ada darah Melayu yang ia warisi dari Mama.Deru mesin kendaraan terhenti setelah memasuki halaman sebuah rumah modern minimalis berpagar putih dengan cat luar berwarna ungu. Dia menoleh ke arahku yang sedang sibuk mengamati bangunan di hadapan."Jangan bengong, Rin, dah sampai. Mau turun atau kita balik lagi ke rumah kamu?" godanya dengan satu elusan di kepala.Aku tak menjawab, namun menuruti perintahnya. Langkahku terhenti saat menyadari keberadaan beberapa pot bunga krisan dan lavender tertata rapi di pojok teras. Cantik sekali.Mas Ichsan merangkul dan membawaku ke depan pintu."Rumah kamu," lirihnya seraya memasukkan anak k
Aku merasa menjadi perempuan paling aneh saat berharap suamiku pernah memiliki anak dengan perempuan lain di masa lalu. Sayangnya, hati ini memang berharap begitu.Seandainya Mas Ichsan pernah memiliki anak, itu artinya azoospermia yang dideritanya benar-benar karena adanya obstruksi atau penyumbatan. Masih ada harapan untuk memiliki buah hati. Meskipun kemungkinan harus menggunakan tekhnik IVF (in vitro fertilization) atau bayi tabung. Akan tetapi, jika azoospermia yang ia derita murni karena masalah kongenital, berarti suamiku termasuk dalam satu persen laki-laki yang tak beruntung di muka bumi ini.Kuketikkan sebuah pesan pada aplikasi WA. Dua centang abu-abu tak kunjung berubah biru.Beberapa menit menunggu, masih tak berubah juga. Lalu menyimpan gawai di saku. Sepertinya masih terlalu pagi untuk berharap seseorang di sana membalas pesan yang kukirim berpuluh menit yang lalu.Minggu pagi yang cerah, cicit burung gereja serasa memanjakan telinga yang s