Aku merasa menjadi perempuan paling aneh saat berharap suamiku pernah memiliki anak dengan perempuan lain di masa lalu. Sayangnya, hati ini memang berharap begitu.
Seandainya Mas Ichsan pernah memiliki anak, itu artinya azoospermia yang dideritanya benar-benar karena adanya obstruksi atau penyumbatan. Masih ada harapan untuk memiliki buah hati. Meskipun kemungkinan harus menggunakan tekhnik IVF (in vitro fertilization) atau bayi tabung. Akan tetapi, jika azoospermia yang ia derita murni karena masalah kongenital, berarti suamiku termasuk dalam satu persen laki-laki yang tak beruntung di muka bumi ini.
Kuketikkan sebuah pesan pada aplikasi WA. Dua centang abu-abu tak kunjung berubah biru.
Beberapa menit menunggu, masih tak berubah juga. Lalu menyimpan gawai di saku. Sepertinya masih terlalu pagi untuk berharap seseorang di sana membalas pesan yang kukirim berpuluh menit yang lalu.
Minggu pagi yang cerah, cicit burung gereja serasa memanjakan telinga yang s
Kadang kita menganggap bahwa sesuatu yang terjadi adalah kesialan, padahal itu sebenarnya wujud dari keberuntungan. Kadang kita menyangka bahwa apa yang terjadi adalah keburukan, padahal itulah cara Tuhan menyelamatkan._____________Setelah menimbang ulang, berpikir tentang baik buruk, menelaah tentang risiko dan keuntungan, maka segera kuhapus pesan yang gagal terkirim. Lalu mengetik ulang dengan isi yang jauh berbeda."Pingin ketemu, tapi jauh. He he he. Kalau ada waktu, saya ingin ngobrol serius. Mungkin via chat atau video call."Kupinjam handphone Mas Ichsan, lalu mengaktifkan teatering hotspot.Pesan terkirim.Dua centang abu-abu segera berubah biru. Muncul balasan dari seberang."Hehehe iya, jauh. Oke, nanti saya kabari, ya? Ini masih mau antar Zara les."Alhamdulillah ... hampir saja kecerobohanku merusak segalanya.Andai niatku membawa Mas Ichsan untuk bertemu dengan Dayu terlaksana, siapa yang bisa menjami
"Rin.""Ya?""Kamu bahagia?" tanya Afnan tiba-tiba.Hishhh, si duda, ngapain juga tanya-tanya. Tar akunya jadi baper, gimana?"Menurut kamu?" Aku balik bertanya sembari menampilkan senyum dan wajah ceria."Bisa jadi, tapi matamu bicara lain," tebak Afnan.Sotoy!"Enak ya kalau mata bisa bicara?" Aku terkekeh. "Nggak perlu repot ngeluarin suara," candaku, namun wajah Afnan terlihat sedang serius."Kadang, mulut sama mata ataupun mulut sama hati itu nggak sinkron. Tapi, hati dan mata selalu di pihak yang sama," jelas Afnan. Dia tersenyum kecut. Tapi bagiku senyumnya tetap manis.Eaaa eaaa!"Jadi ... inti pembicaraan ini sebenarnya apa?" Aku merubah intonasi menjadi serius juga.Afnan tertawa lirih."Kamu, ya ... dari dulu nggak pernah berubah. To the point!""Naaah itu paham," ketusku, pura-pura. Padahal untuk menyembunyikan dag dig dug di dalam dada. Hi hi hi.Lelaki berwajah memesona it
"Saya mboten usah sayur, trus bawangnya banyakin, Pak," ujarku pada Kang Bakwan yang biasa mangkal di kampus."Beresss. Mau gajih, Mbak?" tanya si Bapak."Nggih, Pak, pokok gratis," kelakarku. Kami pun tertawa. Beliau memang penjual bakwan langganan. Hampir tiap hari bakwan lezatnya menjadi menu makan siangku. Dan hampir setiap hari pula beliau memberi bonus gajih-lemak daging berwarna putih.Setelah membayar, seperti biasa menaruh tas pada bangku kayu di bawah pohon kersen dekat parkiran dan menikmatinya di sana. Sendirian. Suasana kali ini cukup sepi, mungkin karena sebagian mahasiswa sedang mengunjungi bazar kewirausahaan di aula fakultas.Aku tak punya banyak teman dekat. Memang sengaja membatasi diri agar tak terlalu akrab. Kehidupan yang hitam legam membuatku kehilangan kepercayaan terhadap siapapun.Bagiku, hidup hanya tentang butuh dan tak butuh. Datanglah jika butuh padaku, dan pergilah jika tak butuh. Begitupun aku. Tak perlu ada urusan l
Berkali-kali Afnan mengelus dan mencium puncak kepalaku. Rambutnya sedikit basah, sepertinya dia sudah terbangun dan sudah ygmandi sedari tadi."Rin, maaf. Aku gak sadar. Aku minta maaf, Rin," lirihnya. Masih dalam posisi mendekapku.Aku mendorong tubuhnya. Merasa risih saat selimut yang menutup dada melorot ke bawah. Lalu menarik lagi selimut itu hingga ke leher.Afnan membingkai wajah ini dengan telapak dinginnya. Entah bagaimana rupaku kali ini, rasanya teramat letih dan mengantuk."Kamu nggak perlu takut, aku pasti tanggung jawab," kata Afnan, kulihat sorot ketulusan pada mata tajam itu.Entah harus menjawab apa. Antara masih mengantuk, dan bingung mencerna maksud kata-katanya.Kurapatkan selimut di badan, dingin. Udara kota ini memang terlalu dingin untuk pecinta kehangatan seperti diriku."Mandi, ya?" ujar Afnan.Aku menggeleng. Masih kurang siang untuk mandi, bisa-bisa nanti masuk angin. Apalagi, di dataran tinggi
Tetes-tetes embun bergelayut manja pada batang-batang buah naga. Meliuk-liuk turun, melewati duri-duri, beberapa sempat tersangkut, lalu jatuh mencapai tanah.Persis hatimu, Rin!Perjalanan panjang ini menguras segala daya. Berpuluh-puluh purnama menahan segala ego, menaruh kebahagiaan diri jauh pada urutan terbawah. Mengabdikan seluruh jiwa raga untuk seseorang yang hingga detik ini pun masih tersebut dalam doa. Tapi apa yang kudapat? luka!"Pulang yuk, Nduk!""Nggih, Bu. Sebentar lagi," jawabku di sela menghidu sebanyak-banyaknya segar udara.Menikmati aroma embun adalah cara yang kupilih untuk mengawali hari-hari.Setelah puas menghirup udara di sini. Aku bergegas mengikuti langkah perempuan yang masih cantik di usia setengah abad itu."Ati-ati, Mbak Arin ...." ujar salah seorang Bapak yang bekerja di kebun buah naga milik keluarga kami saat aku melewati saluran irigasi di antara dua pematang sawah."Nggih, Pak," sahutku sambil ters
Tanpa berpikir panjang, segera kujawab telepon dari Mama."Assalamualaikum, Mah.""Waalaikum salam! Nduk, Ichsan kambuh." Tersirat kepanikan dalam nada bicara Mama."Lho, kok bisa, Mah?""Bangun tidur, langsung ndak ngerespon. Diajak ngomong diem aja. Mama bingung harus gimana.""Sejak kapan Mas Ichsan di sana, Ma?""Sudah dua hari," jawab Mama lirih. Pasti saat ini beliau sedang begitu sedih."Nggak papa, Ma. Mungkin sedang nggak stabil. Selama dia tenang dan nggak bertindak arogan, biarin aja."Aku menghela napas, lalu mengusap perut yang sepertinya tak henti bergerak. Mungkin si kecil juga khawatir mendengar kabar tentang Ayahnya.Ayah yang masih meragukan keberadaannya.Setahun terakhir kondisi Mas Ichsan sudah stabil. Kami sepakat menggunakan obat berupa suntikan setiap tiga bulan sekali. Menurut dokter yang menangani, selama masih mendapat suntikan tersebut secara rutin, suamiku tetap dalam kondisi stabi
Ada yang perlahan meranggas di sini, tapi bukan daun jati. Harapan akan datangnya bahagia bagi diri. Ada yang perlahan meleleh di sini, tapi bukan air mata. Rasa bersalah.___________Sepeninggal Dayu, kuajak Mas Ichsan berbicara dari hati ke hati. Tanpa emosi, sejenak menepis segala prasangka juga curiga. Jangan sampai masalah ini berlarut-larut tanpa kejelasan dan menjadi bomerang bagi diri sendiri."Sekarang kan sudah jelas soal Zara, trus, apa yang akan Mas lakuin?" tanyaku serius namun dengan nada rendah.Mas Ichsan memandang ke arah halaman, dengan posisi yang masih sama. Aku mendekat, memeluk dari samping dan menyandarkan kepala pada bahu kirinya.Tangan dingin itu mengelus rambutku ragu."Menurutmu ... gimana?" lirihnya."Ya ... Mas nikah aja sama Dayu," ujarku santai, meski sudut mata ini terasa agak basah."Konyol! Saran macam apa, itu!" Mas Ichsan terkekeh sambil mengacak rambutku. Sementara aku masih betah bergelayut me
29. Masih Sayang DiaDingin udara pagi berhasil membangunkan tidur nyenyakku. Mendongak ke arah jam dinding, waktu subuh hampir tiba. Tadi malam, sengaja meneguk secangkir besar teh hitam kental dengan tambahan susu kental manis yang cukup banyak. Sependek pengalamanku, resep itu selalu berhasil membuatku tidur lebih awal di saat sedang banyak pikiran.Mas Ichsan terlelap di sisiku dengan tangan menimpa perut. Entah jam berapa dia pulang. Tadi malam sengaja kukunci pintu dan mencabutnya, agar kalau dia datang, bisa menggunakan kunci cadangan."Mas, bangun, bangun!"Dia masih bergeming."Mas, bangun! Bangun!" Kali ini kubangunkan sambil mengguncang tubuhnya cukup keras.Dia membuka mata. Aku segera berwudhu dan shalat subuh sebelum waktunya habis, tanpa mengajaknya bicara. Ada rasa kesal yang kali ini tak dapat lagi tertahan.Hari minggu yang dingin, memilih sejenak berjalan-jalan di taman dekat komplek, sekalian mencari sarapan atau c