29. Masih Sayang Dia
Dingin udara pagi berhasil membangunkan tidur nyenyakku. Mendongak ke arah jam dinding, waktu subuh hampir tiba. Tadi malam, sengaja meneguk secangkir besar teh hitam kental dengan tambahan susu kental manis yang cukup banyak. Sependek pengalamanku, resep itu selalu berhasil membuatku tidur lebih awal di saat sedang banyak pikiran.
Mas Ichsan terlelap di sisiku dengan tangan menimpa perut. Entah jam berapa dia pulang. Tadi malam sengaja kukunci pintu dan mencabutnya, agar kalau dia datang, bisa menggunakan kunci cadangan.
"Mas, bangun, bangun!"
Dia masih bergeming.
"Mas, bangun! Bangun!" Kali ini kubangunkan sambil mengguncang tubuhnya cukup keras.
Dia membuka mata. Aku segera berwudhu dan shalat subuh sebelum waktunya habis, tanpa mengajaknya bicara. Ada rasa kesal yang kali ini tak dapat lagi tertahan.
Hari minggu yang dingin, memilih sejenak berjalan-jalan di taman dekat komplek, sekalian mencari sarapan atau c
30. Kehamilan Tak DiinginkanKamu ... hamil?" tanya Mas Ichsan dengan wajah terkejut, sama sekali tak ada raut bahagia di sana.Aku mengangguk dengan senyum serupa kuncup bunga yang tiba-tiba layu, padahal baru saja mekar."Anakku?"Tanya itu menghadirkan ribuan jarum aneka bentuk menusuk-nusuk di dalam sini. Perih, pedih, kali ini bukan hanya melukai hati, tapi ... harga diri.Harga diri seorang perempuan yang harus merangkak untuk menjaga kesetian. Perempuan yang harus meredam segala gejolak demi menjadi istri yang sesuai harapan.Aku memang kotor, nakal dan ... jalang. Tapi itu dulu, sebelum tangan dan kakiku terikat pernikahan.Astagfirullahalladzim ... astagfirullahalladzim ... astagfirullahalladzim.Aku bersandar di lemari dengan perasaan tak menentu. Antara bahagia dan terluka. Antara bersyukur dan hancur. Antara haru dan pilu. Sementara lelaki kesayanganku duduk pada ranjang, meremas rambut."Kenapa Mas tanya kay
Beberapa bulan terakhir, kondisi rumah tangga kami benar-benar begitu dingin. Aku tak sudi lagi menerima segala perhatiannya. Setiap kali ia bersikap manis, alam bawah sadar selalu menolak dengan menghadirkan ingatan-ingatan tentang kesalahan yang ia lakukan.Memang bukan kesalahan fatal, tapi cukup membuatku kesal. Bau parfum itu, beberapa foto bersama Dayu dengan wajah semringah juga beberapa chat mereka sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka masih saling mencintai.Aku sanggup menerima seperti apapun masalalu juga konsekuensi yang mengikutinya. Tapi konsekuensi seperti apa dulu? Jika itu hanya tentang Zara, aku pasti menerima. Bahkan andaikata suatu saat nanti Zara meminta hak waris penuh atas aset Ayahnya, aku akan mengalah.Akan tetapi, kalau ini menyangkut tentang rasa, aku tak mau lagi berpura-pura menutup telinga."Rin, tetep di sini, ya ..." pinta Mas Ichsan malam itu."Aku cuma mau pulang ke rumah Ibu, Mas," ujarku dingin sambil memasukka
REDAMOleh: Pesona SenjaAku pernah menggenggam api, perlahan membakar diri sendiriAku pernah menggenggam air, lupa bahwa tak mungkinAku pernah melukis bayang, makin kecil lalu hilangAku pernah tulus mencinta, tanpa tau arah menyerahApa kau peduli? Tidak!Kamu pernah menggapi bulan, untuk pintakuKamu pernah menangkup angin, bagi mimpikuKamu pernah memeluk bara, lalu panas menjalar dadaMarah buncah kamu menyerahApa aku peduli? Tentu!Cintamu palsuTerukir semu bayang kelabuRindu redam kecamuk menghimpunKelak sesal tiada ampunCintaku kasta muliaTerangkai doa sepanjang usiaKelak cintaku redup berlumur tanah basahJika Tuhan menutup mata selamanya_______________Klik! Terkirim pada wall pribadi. Iseng, kubuka profil milik seseakun nun jauh di sana. Titik hijaunya menyala.Kuhitung mundur dari angka tiga belas, angka favoritnya. Tepat di hitungan ke
Kui banyon, uduk ngompol, Nduk, (Itu pecah ketuban, bukan ngompol)" ujar Mak Nini sembari mencari baju ganti dan beberapa kain untuk melapisi alas dudukku.Segera kutelepon Mas Ichsan. Lama, tak kunjung terjawab. Mencoba meneleponnya lagi, masih tak ada jawaban.Kemana sih, dia! Ingin rasanya menangis. Kenapa malah susah dihubungi di saat-saat seperti ini.Memutuskan untuk mengirim pesan padanya, "Mas, aku mau lahiran. Ini mau berangkat ke klinik." Kemudian berangkat ke Klinik Kesehatan Ibu dan Anak bersama Mak Nini dan Pak Tikno."Maaak ... Rinda takut.""Insha allah lancar, Nduk. Tenang," ujar Mak Nini menguatkan.Ada perasaan seperti ... ah, entahlah. Semacam ketakutan tak beralasan. Seperti merasa tak nyaman, atau mungkin tak enak hati. Ya Tuhan ... semoga ini bukan firasat apa-apa.Setelah sampai di klinik, dokter pun memeriksaku. Masih pembukaan tiga. Sakit di pinggang semakin tak tertahanvditambah sakit luar biasa pada pe
Perlahan menghirup napas dalam-dalam demi menguatkan hati dan mendapat sedikit lagi kesabaran.Tenang, Rinda ... kamu harus kuat apapun kenyataannya."Bu ...."Ibu beranjak duduk di tepi ranjang."Tolong ... Rinda mau dengar cerita Ibu.""Nanti ya, nunggu jahitanmu kering. Kowe nangisan, sih, Nduk! Mengko jahitanmu ndak sembuh-sembuh.""Bu ... Rinda malah tambah stres kalau kepikiran terus, nanti kena baby blues syndrom kayak di tivi-tivi. Ngeri kan? Tuh sampai ada yang jahat sama bayinya."Ibu menatapku dengan dahi mengernyit. Mungkin sedang berpikir."Sebenernya Mas Ichsan kenapa, Bu? Terakhir sebelum ketiduran, Rinda inget kalau ada yang nelepon dari polsek. Katanya suruh jemput di rumah ... nggak taulah rumah siapa."Helaan napas Ibu terlihat cukup berat."Nduk ...."Kutatap Ibu lekat-lekat."Janji yo, kudu kuat?"Aku mengangguk."Suamimu ... jatuh dari jembatan.""Jatuh? Jat
HUJAN SENDUOleh: Pesona SenjaAda bilur serupa gores kenanganPada tetes-tetes hujan soreLagi dan lagi tetes menetes pada netraBilur membilur dalam dadaMendung mengundang hujanHujan merayu pendar cahaya jadi pelangiTentu saja bisa!Tapi tak selalu, rintik hujan berbuah pelangiHarap tekat padamu juga padakuSekuat batuTak goyah tak gentar risau beraduPasti, di ujung hujan ada pelangiPasti! Itu katamu juga katakuLagi-lagi penguasa takdir menyentilMenaruh kabut pada hujan sore senduKau tahu?Hujan tak selalu menuai pelangiJuga rindu tak selalu berakhir temu____________"Mas ... pulang ya? Rinda kangen," ujarku sambil menatapnya di layar handphone.Dia hanya bergeming."Rinda nggak ada temennya, cuma sama Mak Nini di sini. Pak Tikno nganterin Ayah Ibu ke Banyuwangi."Mas Ichsan hanya menggeleng, lalu menatapku dengan sendu. Ada kaca-kac
"Assalamualaikum," lirihku saat memasuki kamar Mas Ichsan.Lelaki kesayanganku masih tertidur pulas dengan napas teratur. Kaca-kaca menggenang di pelupuk mata tanpa disadari, trenyuh.Wajah putih pucat dengan kantung mata yang sangat kentara. Perlahan menyingkirkan rambut yang menutupi dahi pucat tersebut, sudah panjang dan tak beraturan. Membentuk dua gradasi warna, hitam di pangkal dan cokelat di ujungnya.Aku meraih tangan kanannya, mengecupnya perlahan dengan air mata bercucuran.Astagaaa, Rinda ... kenapa jadi secengeng ini, sih!Dia lelaki yang hanya bisa kusentuh lewat doa pada puluhan malam terakhir ini. Lelaki yang padanya telah kutambatkan seluruh hati. Lelaki yang padanya terbebankan semua dosa dan khilaf diri ini. Dia yang selama lima tahun terakhir menanggung dosa-dosaku sebagai istri. Meskipun belum tahu pasti, dalam kondisi setengah sadar, masihkah Tuhan membebankan tanggung jawab itu padanya.Isak senggukku yang tak tertahan
Perjalanan kali ini terasa begitu melegakan. Ada Mas Ichsan bersama kami. Kami sedang dalam perjalan kembali ke rumah setelah lebih dahulu mengantarkan Mama dan Papa.Masih teringat wajah sedih Mama saat melepas kami pergi. Bukan karena tak ingin berpisah dengan putranya, namunvkarena beliau khawatir dan tak tega jika aku harus mengurus seorang bayi dan juga suamiku yang sedang tak stabil. Akan tetapi, membiarkannya tinggal jauh dariku, malah berpotensi memperburuk keadaannya. Lagi pula ... aku juga tak tega jika harus berpisah lagi dengannya.Mobil melaju membelah jalanan pantura. Mas Ichsan mengobrol dengan Pak Tikno sementara Mak Nini tertidur di sampingku. Kudekap Nohan yang tengah tertidur dengan satu tangan, lalu bermain dengan gawai di tangan kanan.Bucin Cinta Tanpa PamrihRaung-raung memuj