Kui banyon, uduk ngompol, Nduk, (Itu pecah ketuban, bukan ngompol)" ujar Mak Nini sembari mencari baju ganti dan beberapa kain untuk melapisi alas dudukku.
Segera kutelepon Mas Ichsan. Lama, tak kunjung terjawab. Mencoba meneleponnya lagi, masih tak ada jawaban.
Kemana sih, dia! Ingin rasanya menangis. Kenapa malah susah dihubungi di saat-saat seperti ini.
Memutuskan untuk mengirim pesan padanya, "Mas, aku mau lahiran. Ini mau berangkat ke klinik." Kemudian berangkat ke Klinik Kesehatan Ibu dan Anak bersama Mak Nini dan Pak Tikno.
"Maaak ... Rinda takut."
"Insha allah lancar, Nduk. Tenang," ujar Mak Nini menguatkan.
Ada perasaan seperti ... ah, entahlah. Semacam ketakutan tak beralasan. Seperti merasa tak nyaman, atau mungkin tak enak hati. Ya Tuhan ... semoga ini bukan firasat apa-apa.
Setelah sampai di klinik, dokter pun memeriksaku. Masih pembukaan tiga. Sakit di pinggang semakin tak tertahanvditambah sakit luar biasa pada pe
Perlahan menghirup napas dalam-dalam demi menguatkan hati dan mendapat sedikit lagi kesabaran.Tenang, Rinda ... kamu harus kuat apapun kenyataannya."Bu ...."Ibu beranjak duduk di tepi ranjang."Tolong ... Rinda mau dengar cerita Ibu.""Nanti ya, nunggu jahitanmu kering. Kowe nangisan, sih, Nduk! Mengko jahitanmu ndak sembuh-sembuh.""Bu ... Rinda malah tambah stres kalau kepikiran terus, nanti kena baby blues syndrom kayak di tivi-tivi. Ngeri kan? Tuh sampai ada yang jahat sama bayinya."Ibu menatapku dengan dahi mengernyit. Mungkin sedang berpikir."Sebenernya Mas Ichsan kenapa, Bu? Terakhir sebelum ketiduran, Rinda inget kalau ada yang nelepon dari polsek. Katanya suruh jemput di rumah ... nggak taulah rumah siapa."Helaan napas Ibu terlihat cukup berat."Nduk ...."Kutatap Ibu lekat-lekat."Janji yo, kudu kuat?"Aku mengangguk."Suamimu ... jatuh dari jembatan.""Jatuh? Jat
HUJAN SENDUOleh: Pesona SenjaAda bilur serupa gores kenanganPada tetes-tetes hujan soreLagi dan lagi tetes menetes pada netraBilur membilur dalam dadaMendung mengundang hujanHujan merayu pendar cahaya jadi pelangiTentu saja bisa!Tapi tak selalu, rintik hujan berbuah pelangiHarap tekat padamu juga padakuSekuat batuTak goyah tak gentar risau beraduPasti, di ujung hujan ada pelangiPasti! Itu katamu juga katakuLagi-lagi penguasa takdir menyentilMenaruh kabut pada hujan sore senduKau tahu?Hujan tak selalu menuai pelangiJuga rindu tak selalu berakhir temu____________"Mas ... pulang ya? Rinda kangen," ujarku sambil menatapnya di layar handphone.Dia hanya bergeming."Rinda nggak ada temennya, cuma sama Mak Nini di sini. Pak Tikno nganterin Ayah Ibu ke Banyuwangi."Mas Ichsan hanya menggeleng, lalu menatapku dengan sendu. Ada kaca-kac
"Assalamualaikum," lirihku saat memasuki kamar Mas Ichsan.Lelaki kesayanganku masih tertidur pulas dengan napas teratur. Kaca-kaca menggenang di pelupuk mata tanpa disadari, trenyuh.Wajah putih pucat dengan kantung mata yang sangat kentara. Perlahan menyingkirkan rambut yang menutupi dahi pucat tersebut, sudah panjang dan tak beraturan. Membentuk dua gradasi warna, hitam di pangkal dan cokelat di ujungnya.Aku meraih tangan kanannya, mengecupnya perlahan dengan air mata bercucuran.Astagaaa, Rinda ... kenapa jadi secengeng ini, sih!Dia lelaki yang hanya bisa kusentuh lewat doa pada puluhan malam terakhir ini. Lelaki yang padanya telah kutambatkan seluruh hati. Lelaki yang padanya terbebankan semua dosa dan khilaf diri ini. Dia yang selama lima tahun terakhir menanggung dosa-dosaku sebagai istri. Meskipun belum tahu pasti, dalam kondisi setengah sadar, masihkah Tuhan membebankan tanggung jawab itu padanya.Isak senggukku yang tak tertahan
Perjalanan kali ini terasa begitu melegakan. Ada Mas Ichsan bersama kami. Kami sedang dalam perjalan kembali ke rumah setelah lebih dahulu mengantarkan Mama dan Papa.Masih teringat wajah sedih Mama saat melepas kami pergi. Bukan karena tak ingin berpisah dengan putranya, namunvkarena beliau khawatir dan tak tega jika aku harus mengurus seorang bayi dan juga suamiku yang sedang tak stabil. Akan tetapi, membiarkannya tinggal jauh dariku, malah berpotensi memperburuk keadaannya. Lagi pula ... aku juga tak tega jika harus berpisah lagi dengannya.Mobil melaju membelah jalanan pantura. Mas Ichsan mengobrol dengan Pak Tikno sementara Mak Nini tertidur di sampingku. Kudekap Nohan yang tengah tertidur dengan satu tangan, lalu bermain dengan gawai di tangan kanan.Bucin Cinta Tanpa PamrihRaung-raung memuj
38. Aku Cuma Cinta KamuDering panggilan pada handphone Mas Ichsan mengagetkan Nohan yang hampir saja terlelap. Bayi enam bulan tersebut menggigit sumber asinya kuat-kuat, membuatku terpekik kesakitan."Sayang ... mimik bunda jadi sakit kalau digigit. Nih jadi merah. Disayang aja, ya?" ujarku pada bayi dengan satu gigi tersebut. Dia sedang berada pada fase oral, senang menggigit apapun, terlebih ketika sedang kaget atau marah.Bayi mungilku seolah menjawab dengan ocehannya. Sejak masih dalam kandungan, aku memang sering melatihnya berkomunikasi. Menurut penjelasan dokter, kesehatan mental dan kecerdasan bayi bisa dibentuk sejak sebelum ia lahir. Salah satu cara ialah dengan mengajaknya berkomunikasi secara rutin.Nohan memandangku sambil mengucek matanya, sepertinya ia sangat mengantuk.Samar-samar terdengar Mas Ichsan berbicara serius dengan lawan bicaranya di seberang telepon. Tentang ... Zara. Jantungku berdebar tak karuan saat mendengar nada bi
39. Kenang LukaLaptop di hadapan menampilkan jejak tindih jemari yang tertuang dari ungkapan rindu di dalam dada. Berpuluh menit memindai rasa menjadi sebuah tulisan yang selama ini selalu berhasil mengobat resah. Menulis adalah caraku berbicara tentang segala hal yang tak mungkin terungkap sempurna di dunia nyata.KENANGOleh: Arinda PrasetyaSisa-sisa senyummu masih tercecer pada tiap sudut ruangan. Aroma tubuh, deru napas juga kelabat bayang masih memenuhi ruang pikiran.Setiap kata, tingkah laku, gaya bicara khas jiwamu yang begitu lembut, dan tiap tatapan mesra dari netra teduhmu itu, menjadi candu yang lagi dan lagi selalu kurindu.Kunikmati masa-masa sakit saat kehilanganmu. Kunikmati haru biru tangis menanti kepulanganmu, berharap kenyataan hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir ketika azan subuh. Kunikmati tiap jengkal harapan semu. Kunikmati perih sepi yang menyusup pada setiap inchi pori-pori.Merindumu yang tak lagi terjan
Hujan deras yang mengguyur kota Banyuwangi pagi itu seakan menambah pilu yang menguasai seluruh sendi kehidupanku. Terdengar tangisan Nohan timbul tenggelam. Ingin sekali membawanya dalam gendongan dan memberikannya ASI, namun tubuh sialan ini berkhianat padaku. Bahkan untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.Rumah ini terasa sedikit gaduh, diikuti suara-suara orang mengaji beriring isak tangis beberapa perempuan. Cahaya di pelupuk mata seakan mengecil, redup, semakin buram, lalu ... segalanya tertutup kegelapan.***Perlahan membuka mata, memindai setiap sudut ruangan bernuansa ungu muda dengan aneka rupa boneka tertata rapi di salah satu sudutnya. Sepertinya tidurku terlalu lama sehingga tubuh ini terasa begitu lemah.Menoleh ke samping dan mendapati senyuman Ibu, sementara Ayah menatap dengan netra sendu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengusap puncak kepalaku sesaat sebelum keluar dari ruangan."Haus, Nak?" Suara Ibu terasa begitu l
Setelah beberapa menit memindai dari atas ke bawah, kembali lagi menelisik wajah yang rasanya tak terlalu asing bagiku. Andai cambang lebat tak ada di sana dan menutupi ... lesung pipi itu.Astagaaa! Ternyata benar-benar dia."Bukannya kamu masih di pulau seberang?" tanyaku pada lelaki tersebut."Iya, ini iseng aja mampir ke mari.""Berenang?""Naik sampan."Ayah turut tertawa menanggapi candaan kami. Sejak dulu dia memang sering berkelakar dengan menyebut Australia sebagai pulau seberang, karena memang letaknya hanya terpisah samudera dengan bagian timur Pulau Jawa.Ia lantas duduk kembali berhadapan dengan Ayah, sementara aku memilih tempat di samping Ayah sehingga posisi kami berseberangan.Mata berbingkai bulu lentik tersebut menatap lekat-lekat ke arahku, memindai penampilan seperti yang tadi kulakukan padanya. Sementara aku, setengah menunduk, namun ekor mata sipit milikku tentu masih bisa meliriknya dengan leluasa.