Hujan deras yang mengguyur kota Banyuwangi pagi itu seakan menambah pilu yang menguasai seluruh sendi kehidupanku. Terdengar tangisan Nohan timbul tenggelam. Ingin sekali membawanya dalam gendongan dan memberikannya ASI, namun tubuh sialan ini berkhianat padaku. Bahkan untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.
Rumah ini terasa sedikit gaduh, diikuti suara-suara orang mengaji beriring isak tangis beberapa perempuan. Cahaya di pelupuk mata seakan mengecil, redup, semakin buram, lalu ... segalanya tertutup kegelapan.
***
Perlahan membuka mata, memindai setiap sudut ruangan bernuansa ungu muda dengan aneka rupa boneka tertata rapi di salah satu sudutnya. Sepertinya tidurku terlalu lama sehingga tubuh ini terasa begitu lemah.
Menoleh ke samping dan mendapati senyuman Ibu, sementara Ayah menatap dengan netra sendu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengusap puncak kepalaku sesaat sebelum keluar dari ruangan.
"Haus, Nak?" Suara Ibu terasa begitu l
Setelah beberapa menit memindai dari atas ke bawah, kembali lagi menelisik wajah yang rasanya tak terlalu asing bagiku. Andai cambang lebat tak ada di sana dan menutupi ... lesung pipi itu.Astagaaa! Ternyata benar-benar dia."Bukannya kamu masih di pulau seberang?" tanyaku pada lelaki tersebut."Iya, ini iseng aja mampir ke mari.""Berenang?""Naik sampan."Ayah turut tertawa menanggapi candaan kami. Sejak dulu dia memang sering berkelakar dengan menyebut Australia sebagai pulau seberang, karena memang letaknya hanya terpisah samudera dengan bagian timur Pulau Jawa.Ia lantas duduk kembali berhadapan dengan Ayah, sementara aku memilih tempat di samping Ayah sehingga posisi kami berseberangan.Mata berbingkai bulu lentik tersebut menatap lekat-lekat ke arahku, memindai penampilan seperti yang tadi kulakukan padanya. Sementara aku, setengah menunduk, namun ekor mata sipit milikku tentu masih bisa meliriknya dengan leluasa.
Bulan ketiga di ibukota, Nohan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kami, begitupun aku. Mak Nini dan Pak Tikno turut menemaniku ke kota ini. Setidaknya, sampai aku memiliki pendamping lagi, begitulah perjanjian tak tertulisku dengan Ayah sebelum beliau mengizinkanku pindah.Sebulan terakhir, aku menjalani aktivitas di tempat kerja yang baru. Menjadi staf pengajar pada sekolah tinggi manajemen industri di kota ini. Memilih mengikuti jejak Ayah sebagai seorang pendidik, berharap dengan pekerjaan yang tak terlalu menyita waktu ini akan ada lebih banyak waktu untuk membersamai tumbuh kembang Nohan dan mempelajari pola asuh terbaik untuknya.Kembali memulai karir dari nol, kembali memulai hidup yang baru setelah sebelumnya berusaha membebaskan hati dan pikiran dari kenangan masa lalu. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk merelakan dan menerima setiap takdir yang sudah digariskan.Melupakan Mas Ichsan adalah salah satu hal yang mustahil kulakukan. Bagaiman
Aku berdiri seraya merapikan kebaya yang terasa cukup sempit di tubuh ini. Berat badanku masih bertahan di angka empat puluh tiga, tak pernah berubah sejak masa gadis. Namun bentuk tubuh gadis-meskipun bukan perawan-tentu akan berbeda dengan seseorang yang sudah pernah melahirkan, apalagi setelah usia kepala tiga. Perubahan ukuran lingkar lengan atas dan bagian dada membuat kebaya terasa agak sesak.Berjalan pelan menuju pelaminan putih berhias bunga warna senada dengan dedaunan hijau menjuntai indah. Sederhana, namun nampak elegan. Lalu mataku tertuju pada sepasang merpati putih yang terkurung di dalam sangkar keemasan. Setelah acara usai nanti, pengantin akan melepaskan merpati tersebut sebagai simbol bahwa mereka sudah siap menempuh hidup yang baru.Ah, kenapa hal ini malah mengingatkan pada prosesi dalam pernikahanku dengan Mas Ichsan dahulu.Di depan sana, seorang laki-laki berdiri tegap dengan senyum santunnya. Wajah itu semakin memesona dalam balutan baju
Tak biasanya wifi portabel milikku ini bermasalah. Aku segera membawa laptop menuju balkon, lalu menggantinya dengan jaringan internet hotel dan kembali berselancar di akun youtube milik Arbian Herdi.Gerak jemariku terhenti tatkala terpampang sebuah video dengan gambar pemuda yang sedang mencoba berinteraksi dengan seorang ODGJ di suatu emperan toko.Dadaku berdesir melihatnya. Segera menekan tombol play dan kuperhatikan dengan seksama. Dari tanggal yang tertera, video tersebut diunggah beberapa hari yang lalu.Menit-menit berlalu tanpa terasa. Jiwaku seolah melayang di suatu tempat antahberantah, rasanya itu semua tak mungkin. Aku ... masih belum percaya. Lebih tepatnya aku menolak percaya terhadap apa yang baru saja kusaksikan.Video milik seorang aktivis tersebut sukses membuat hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan aku tak bisa lagi menerjemahkan apa yang kini terasa.Antara sadar atau tidak. Antara mimpi atau nyata. Antara ilusi atau fakta. Ak
45. PulangPULANG"Kamu kurusan, Nduk," ujar Ibu saat menungguiku bersiap-siap.Aku hanya tersenyum ke arahnya. Memang benar, beberapa bulan terakhir, aku tak selera makan. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati makanan, sementara seluruh pikiran hanya tertuju pada Mas Ichsan."Jaga kesehatan, Nduk. Setelah ini, kamu harus dua kali lebih kuat. Karena yang akan kamu jaga bukan cuma Nohan.""Nggih, Bu. Rinda dah nyiapin semuanya," jawabku untuk membesarkan hati Ibu. Padahal kenyataannya, masih ada keraguan menyelimuti hati.Bagaimana jika nanti Mas Ichsan kambuh dan berulah?Bagaimana perasaan Nohan jika tahu kondisi ayahnya yang sebenarnya?Bagaimana bila nanti ... ah, biarlah apa kata nanti. Terpenting, aku sudah berusaha.Sebenaranya hal itulah yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran dan membuat hidupku tidak tenang.Jujur, kembalinya Mas Ichsan tak hanya membawa kebahagiaan bagiku, ada suatu perasaan lain yang
"Assalamualaikum, Mas ... aku pulaaang!" seruku lantang dengan senyum terkembang. Meskipun tubuh dan pikiran teramat lelah karena pekerjaan, kuusahakan selalu menampakkan wajah ceria ketika tiba di rumah.Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh ketika kulangkahkan kaki menaiki teras rumah. Pintu depan sudah tertutup, namun tak terkunci. Mungkin Mas Ichsan sedang menunggu sambil menonton TV di ruang tengah.Di tanganku ada sekotak brownies pandan kesukaannya. Semoga dia tak marah padaku karena lembur kali ini cukup memakan waktu.Hening tak ada suara televisi. Mas Ichsan tak ada di ruang tengah. Kucari di kamar, juga tak ada. Lalu kuperiksa kamar tamu, barangkali ia tidur di sana. Tak ada juga.Oh ... mungkin dia di kamar mandi belakang.Melangkahkan kaki bersama degup jantung yang mengencang. Berbagai prasangka buruk memenuhi pikiran. Kuperiksa dapur, kamar mandi, juga halaman belakang tempat menjemur pakaian, namun tak menemukannya di sana.
Pernikahan adalah proses belajar seumur hidup. Menerima apapun kondisi pasangan. Susah senang, salah benar, bangga maupun kecewa.-------------Aroma masakan menguar menggelitik indera. Jam setengah enam pagi. Aku bangkit dari ranjang, membersihkan diri, lalu segera ke dapur untuk memastikan.Tampak punggung lelaki kesayangan dengan kaus biru muda favoritnya. Rambut cokelat gelap itu terlihat masih basah.Kulit putih dengan mata tajam dan alis tebal menghias tubuh menjulang tinggi. Ya ... meskipun terlihat sedikit kurus menurutku. Dengan penampilan seperti ini, siapa yang akan mengira kalau dia sedang sakit dan bukan penyakit biasa."Mas, masak?""Iya, goreng nasi pakai telur mata kuda," jawabnya sambil mengaduk nasi yang warnanya agak kecoklatan.Tumben dia masak nasi goreng pakai kecap, biasanya resep jawa berbumbu bawang merah, terasi bakar, garam dan penyedap."Pakai kecap?" tanyaku kepo."Bumbunya gosong, apinya keb
Aku melangkah pelan memasuki kantor yang hanya berupa ruko dua lantai dengan lahan parkir tak terlalu luas. Ruanganku di lantai dua. Sesekali membalas senyum beberapa anak magang dan frontliner. Lalu mempercepat langkah saat menyadari bahwa di ujung tangga sana, seorang laki-laki sedang berdiri.Laki-laki dengan kemeja tosca itu menaiki tangga. Tak lama kemudian, aku menyusul di belakangnya.Humff! Mungkin hanya perasaanku saja. Mana mungkin dia menatapku. Ge Er banget kamu, Rin!Dia? Harusnya kan beliau, itu lebih sopan untuk menyebut atasan. Hi hi hi biarin ajalah, lha wong usia kami hampir sebaya.Di lantai dua, hanya ada tiga ruangan. Ruang rapat, ruang back office yang terbagi dengan beberapa sekat dan satu ruang untuk Manager. Kutaruh tas, lalu menyalakan komputer. Ada laporan yang harus kuperiksa sebelum rapat bulanan siang nanti."Mbak Rinda!""Nggih, Pak?""Diutus ke ruangan Pak Afnan.""Oh, nggih, Pak. Matur nuwun."