Pernikahan adalah proses belajar seumur hidup. Menerima apapun kondisi pasangan. Susah senang, salah benar, bangga maupun kecewa.
-------------
Aroma masakan menguar menggelitik indera. Jam setengah enam pagi. Aku bangkit dari ranjang, membersihkan diri, lalu segera ke dapur untuk memastikan.
Tampak punggung lelaki kesayangan dengan kaus biru muda favoritnya. Rambut cokelat gelap itu terlihat masih basah.
Kulit putih dengan mata tajam dan alis tebal menghias tubuh menjulang tinggi. Ya ... meskipun terlihat sedikit kurus menurutku. Dengan penampilan seperti ini, siapa yang akan mengira kalau dia sedang sakit dan bukan penyakit biasa.
"Mas, masak?"
"Iya, goreng nasi pakai telur mata kuda," jawabnya sambil mengaduk nasi yang warnanya agak kecoklatan.
Tumben dia masak nasi goreng pakai kecap, biasanya resep jawa berbumbu bawang merah, terasi bakar, garam dan penyedap.
"Pakai kecap?" tanyaku kepo.
"Bumbunya gosong, apinya kebesaran."
"Oohh." Aku tertawa lirih, teringat dulu saat pertama kali memasak untuknya.
Telur mata sapi yg kuning telurnya melebar karena kesalahan waktu memecah. Dia bilang memang lebih enak yang bentuknya seperti itu, namanya telur mata kuda, karena matanya lebih besar. Rasanya lebih gurih. Padahal kutahu kalau dia hanya sedang menghargai usaha wanitanya ini.
"Sana mandi dulu, trus sarapan!"
"Nggak ah, mandi habis sarapan aja.
"Kemprus!" ejeknya dalam bahasa jawa yang artinya jorok.
"Biarin, uda gosok gigi, kok," sangkalku sambil menjulurkan lidah.
Aku bersandar di kulkas, mengamatinya membuat telur mata kuda.
"Mas kok masak sendiri, sih? Kenapa gak bangunin aku?" tanyaku.
"Kasian, kamu capek kan kerja terus. Disuruh berenti juga gak mau! Kan harusnya aku yang kerja, kamu diem aja di rumah! Nyantai ..."
Aku mendekatinya, berjinjit, lalu ... cuuup! Harus segera dibungkam sebelum bibir itu melantur macam-macam.
Mas Ichsan memandang tajam, lalu tersenyum. Sedang aku, dengan santai menarik kursi dan menyelipkan tubuhku di sana. Pura-pura tak melakukan apa-apa.
Kalau mengomel seperti itu, artinya Mas Ichsan sedang dalam kondisi normal. Ingat tentang tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kalau begitu, bisa-bisa dia melarangku berangkat kerja hari ini.
Kadang, aku malu ketika harus bertindak agresif padanya. Memeluk atau menciumnya lebih dulu. Tapi jujur, di suatu waktu, aku memang merindukan kemesraan kami dahulu.
Lembur tadi malam ditambah kejadian di rumah yang cukup menguras emosi, membuat tubuh terasa letih. Kebetulan sedang libur salat, meringkuk di dalam selimut sambil memeluk guling adalah cara paling ampuh untuk mengembalikan semangat di pagi ini. Dan hasilnya, istri pemalas ini sukses bangun kesiangan.
"Hmmm enak nih baunya, aku jadi laper!" pekikku saat sepiring nasi goreng dengan telur mata kuda di atasnya terhidang di meja.
"Lho, kok cuma sepiring? Punya Mas, mana?"
"Aku kenyang, dah makan brownies tadi."
Astagaaa! Pagi tadi aku lupa mengecek sisa nasi.
Biarlah, nanti kupesankan sarapan untuknya. Mengajaknya makan sepiring berdua, jelas akan ditolak. Yang ada malah dikiranya aku tak suka masakannya.~ndaaa~
Usai bersiap kerja, kutemui Mas Ichsan di ruang TV untuk berpamitan.
"Dah mau berangkat?"
"Iya." Tangan kanan terulur hendak bersalaman.
"Aku anter!" ujarnya lalu bergegas mengambil kunci mobil di kamar.
Aku masih kaget, entah mimpi apa semalam, sehingga suamiku berinisiatif mengantarkan. Sedangkan beberapa bulan ini, aku lah yang selalu menyetir untuknya. Semenjak ia mengalami kecelakaan karena hilang fokus ketika mengemudi.
"Ayo! Selak (keburu) telat!" sergahnya membuyarkan lamunan.
"Eh ... ohh, emmm pake motor aja, Mas!" Aku menimpali.
"Kenapa?"
"Biar segeeer, sejuk banget udara pagi ini!"
Mas Ichsan berbalik ,mengambil kunci motor.
Kutatap punggung itu, dua titik bening lolos dari ujung mata. Antara haru juga bahagia. Teringat semasa dia masih baik-baik saja. Mengantar bekerja setiap hari, dan mengajak jalan-jalan atau berlibur di akhir pekan.
Motor melaju pelan membelah jalanan yang masih agak sepi. Aku bersyukur hidup di kota kecil seperti ini, jarang macet dan suasana pun cukup asri.
Dilingkarkannya lengan kanananku pada pinggangnya, menggenggam jemariku sejenak lalu melirik lewat kaca spion. Sungguh, debar-debar aneh itu kembali hadir di dalam dada.
"Kayak orang pacaran, kita, ya?" ujarnya tiba-tiba.
"Kan emang pacaran?" Kujawab sekenanya, sementara debar di dada belum terarah.
"Lho, bukannya dah nikah?" tanyanya polos.
Aku tertawa sampai bahu terguncang. Sepertinya kesadarannya mulai goyah.
"Iya laaah, kalo cuma pacaran mana boleh tinggal serumah!" jelasku sambil mencubit perutnya. Moment olengnya memang selalu berhasil membuat gemas.
Setitik bahagia menelusup di hati bersama secercah harapan akan datangnya keajaiban. Semoga suatu saat nanti kehidupan kami kembali normal, meskipun aku paham, bahwa kemungkinan seumur hidupnya akan bergantung kepada obat.
Mungkin sebagian orang mengira bahwa hidupku nyaris sempurna. Karir cukup bagus, keluarga harmonis dan kondisi ekonomi cukup baik. Nyatanya, tiap sepertiga malam harus bersimpuh memeras air mata, bukan hanya memohon kesembuhan, terlebih keteguhan dan kelapangan dalam menerima apa pun ujian, juga meminta stok kesabaran yang takkan pernah ada habisnya untuk bisa tetap bersamanya.
Suamiku memang bukan orang biasa. Butuh cinta luar biasa untuknya yang di luar biasa.Selalu kupegang teguh nasihat leluhur Jawa yang sering kutulis dalam narasi beberapa karya fiksiku.
'Biraten susahmu, tatagna atimu, adephana apa kang dumadhi sarana dadha kang ngeblak.'
'Perempuan diuji ketika roda kehidupan berada di titik terbawah, sedang ujian laki-laki ketika roda itu berada pada puncaknya.'
Kini ... ujianku telah tiba. Semoga saja bisa kulalui meski ini tak mudah.
"Berenti di depan sana, Mas! Aku mau beli-beli," pintaku.
Ia menepikan motor dan tetap tinggal di atasnya. Sementara aku membeli beberapa kue, lauk dan seporsi lontong sayur. Tadi sudah kusempatkan memasak nasi di rumah. Biasanya tak hanya nasi, lengkap dengan lauknya. Atau jika tak sempat, kupesankan melalui aplikasi.
Dua puluh menit kemudian, kami pun tiba.
Aku berdiri di depannya. Lelak terbaik yang pernah kutemui semasa hudupku. Kutampilkan senyum termanis, lalu mencium punggung tangan yang masih selembut dulu. Ketika menciumnya di depan penghulu dan puluhan tamu."Aku balik! Assalamualaikum."
"Waalaikum salam. Hati-hati, Mas! Pelan-pelan," pintaku.
"Iya."
"Itu motornya lama nggak diservis, pelan-pelan aja ya," kataku berkilah. Padahal hanya tak ingin terjadi sesuatu yang buruk padanya.
"Sekalian kuservis aja, ya?"
"Nggak! nggak usah! Sudah janjian sama bengkel deket rumah, kok!" ujarku beralasan. Padahal, takut dia membongkar motor itu seperti yang ia lakukan pada laptopku. Bisa geger dunia keuangan!
Punggung itu pun segera menjauh, lalu menghilang dari pandangan. Tak jauh di belakangnya, seorang pengendara motor berjaket hijau muda mengikuti.
Aku mminta bantuan Amir untuk mengantar Mas Ichsan pulang. Ojol langganan yang biasanya mengantar jemput ke kantor jika aku sedang malas menyetir. Tentu saja secara diam-diam. Bukan karena takut suamiku macam-macam, hanya saja ... dia sering lupa jalan.
Untung saja tadi berhasil kularang membawa mobil. Jika tidak, pasti akan lebih sulit mengawasinya, dan lagi dia sering menyetir sesuka hati jika tak ada aku yang memperingatkan.
Mas ... semoga Allah melindungimu, semoga selamat sampai rumah.
______
Terimakasih sudah berkenan membaca ;)
Aku melangkah pelan memasuki kantor yang hanya berupa ruko dua lantai dengan lahan parkir tak terlalu luas. Ruanganku di lantai dua. Sesekali membalas senyum beberapa anak magang dan frontliner. Lalu mempercepat langkah saat menyadari bahwa di ujung tangga sana, seorang laki-laki sedang berdiri.Laki-laki dengan kemeja tosca itu menaiki tangga. Tak lama kemudian, aku menyusul di belakangnya.Humff! Mungkin hanya perasaanku saja. Mana mungkin dia menatapku. Ge Er banget kamu, Rin!Dia? Harusnya kan beliau, itu lebih sopan untuk menyebut atasan. Hi hi hi biarin ajalah, lha wong usia kami hampir sebaya.Di lantai dua, hanya ada tiga ruangan. Ruang rapat, ruang back office yang terbagi dengan beberapa sekat dan satu ruang untuk Manager. Kutaruh tas, lalu menyalakan komputer. Ada laporan yang harus kuperiksa sebelum rapat bulanan siang nanti."Mbak Rinda!""Nggih, Pak?""Diutus ke ruangan Pak Afnan.""Oh, nggih, Pak. Matur nuwun."
Jam empat sore, aku tiba di rumah ketika Mas Ichsan sedang menyiram bunga di halaman. Beberapa bulan terakhir ia memang gemar berkebun. Kubelikan beberapa bibit bunga dan sayur hidroponik untuk menunjang hobinya tersebut."Assalamualaikuuum!""Waalaikum salam. Kok udah pulang? Padahal aku mau jemput."Aku mencium tangannya. "Iya, pulang cepat hari ini," bohongku.Biar ia tak merasa bersalah. Padahal memang tiap hari begini, kecuali jika ada lemburan. Kulepaskan sepatu dan mengamatinya dari kursi teras. Ia masih asik dengan aktifitasnya.Mas Ichsan bersikap layaknya orang normal, hanya saja sering kehilangan fokus ketika sedang mengobrol. Meski kerap kali ketika halusinasinya kambuh, ia akan melakukan hal-hal tak wajar karena adanya bisikan-bisikan yang ia dengar.Dua bulan terakhir, ia tak pernah menolak ketika minum obat. Pun tak pernah lagi bertindak kasar. Emosinya sudah cukup stabil.Bagaimana mungkin bisa dengan egois kutin
Kondisi kantor cukup sepi saat aku tiba di sana. Hanya ada Pak Ali dan beberapa anak FL yang sedang merapihkan penampilan. Masih ada beberapa puluh menit untuk bersantai sebelum jam kantor dimulai."Mbak Rin, Mbak Rin!""Hmm." Aku masih sibuk dengan gawai di tangan."Tau, nggak?" tanya Mayang."Enggak!" Kujawab acuh."Hiiihhh, kaah!. Dengerin lah, Mbak. Pasti sibuk nge-bucin popcorn dumay, nih!""Sembarangaaan, iki lagi edit naskah!"Padahal sih memang iya. Belum afdol rasanya mengawali hari tanpa mengintip aktivitas author-author pemes dunia maya. Hi hi hiKubelokkan kursi, menghadap si pemilik bibir tipis yang hobi bergosip. Baik di dunia nyata maupun maya."Piye piye piye?" tanyaku dengan bahasa Jawa yang artinya bagaimana."Pak Afnan itu ternyata duda, Mbak. Istrinya meninggal dua tahun lalu waktu melahirkan anak mereka.""Ooo... terus hubungane karo aku, opo?""Hishh, ya kan ini berita bahagia. Se
Suara decit dua lempeng besi yang bergesekan membuat mata terbuka. Sebenarnya diri ini sudah bangun sejak tadi, namun hanya pura-pura terpejam agar tak perlu bercakap dengan Pak Afnan. Kulirik sekitar, masih belum sampai stasiun tujuan. Ada desir tak biasa di hati ini. Pernah di suatu ketika, Sekitar dua tahun lalu. perjalanan ke kota ini menjadi begitu menakutkan. Takut pada kenyataan.Ingatan tentang mas-masa menyedihkan itu kembali hadir. Saat di mana Mas Ichsan sempat kami titipkan di Rumah Sakit Jiwa selama tiga bulan. Dia sempat relaps, mudah tersulut emosi, berusaha menyakiti diri sendiri dan sering tidak bisa kooperatif saat kontrol di poli kesehatan jiwa RSUD. Atas rekomendasi dokter, akhirnya dengan berat hati kami mengantarnya untuk rehabilitasi setelah beberapa bulan ini menjalani pemeriksaan dan rawat jalan.Jangan tanya bagaimana perasaanku kala itu. Sedih, takut, tak tega. Tapi yang lebih berat adalah, malu. Malu memiliki suami gila dan harus di rawat di
Meskipun hanya letupan-letupan kecil, tapi jika terus kau usik lalu tersulut, suatu saat ia akan berkobar menjadi letusan besar. Lebih besar. Sangat besar. Dan kau tak lagi punya kendali untuk memadamkan."_____________Jemputan datang. Aku memilih duduk di depan bersama driver. Kubilang kalau sedang pusing dan berharap melihat pemandangan jalanan bisa meredakannya. Aroma bunga hutan menguar dari pengharum mobil. Serasa menghidu bau embun di hutan pinus. Sejuk menenangkan, tapi untuk menikmatinya ada perjalanan panjang yang harus kau tempuh.Begitupun perjalanan hidup, ada jalan panjang menuju damai dan ketenangan. Menikmatinya adalah salah satu cara untuk bersyukur. Menerima dengan dada terbuka, belajar ikhlas dan bersabar sepanjang mata masih terbuka."Kalau pusing, itu ada minyak kayu putih, Mbak!" ujar Mas driver."Oh iya, makasih ... sudah mending kok."Dari suaranya, sepertinya dia masih muda. Driver jaman sekarang memang tak bisa diremehk
(Bukan) SelingkuhJam empat sore, training usai dilakukan. Istirahat sejenak di kursi panjang depan ruangan. Berharap sedikit mengobat rasa letih akibat duduk delapan jam di suatu ruangan dan mendengarkan ceramah materi orang. Lebih enak di kantor, meskipun mumet mikir duit orang, tapi masih bisa bergosip dan becanda. Apalagi ... ada Bapak yang seger itu, yang selalu digosipkan oleh Mayang.Ah, gadis itu, sedang apa ya dia sekarang. Jangan-jangan sedang bergosip tentangku.Satu persatu peserta diklat berlalu meninggalkan gedung. Mungkin seru kalau jalan-jalan sebentar, eh tapi aku ada janji menemani Mas Ichsan main gitar. Ah biarlah, toh sore begini dia pasti sibuk dengan tanamannya. Kutelepon suamiku, namun tak ada jawaban. Kutelepon lagi, lamaaa sekali baru ada suara dari seberang."Assalamualaikum," salamnya."Waalaikum salam, Mas lagi nyiram sayur, ya?" timpalku."Iya.""Udah minum vitamin?""Udah.""Aku mau jalan-ja
Perempuan. Siapapun dia, berapapun usianya, bagaimanapun sifat dan apapun status sosialnya. Entah sadar atau tidak. Mengakui atau mengingkari. Pasti pernah luluh oleh satu hal yang bernama ... pujian.Pujian. Darimanapun ia datang, siapapun dan dengan cara apapun disampaikan. Jangankan dari orang yang menarik baginya, dari orang yang ia benci sekalipun, pasti akan terasa juga dampaknya.___________________Sebuah lagu mengalun sendu dari panggung minimalis di pojok cafe. Kaff duduk di sana dengan gitar dalam petikan.~~~~Kau yang pernah singgah di siniDan cerita yang dulu kau ingatkan kembaliTak mampu untukku mengenal lagiMengenal dirimu di awal duluTak ada waktu kembaliUntuk mengulang lagiMengenal dirimu di awal duluKutahu dirimu duluHanya meluangkan waktuSekedar melepas rasa sedihmuMencintai dalam sepi dan rasa sabar mana lagiYang harus kupendam dalam mengagumi dirimuMelih
Azan isya' baru saja berkumandang saat aku tiba di terminal. Tak sabar rasanya ingin segera kembali ke rumah. Setelah memastikan tak ada barang bawaan yang tertinggal, aku bergegas turun dan menghubungi Mas Ichsan. Tadi siang, dia bilang akan menjemputku di sini bersama Mama. Jarak rumah kami tak terlalu jauh dari sini. Oleh karena itu kusetujui tawarannya meskipun dengan berat hati.Mengetik sebuah pesan pada Mas Ichsan, beberapa detik kemudian terkirim tapi tanda centang tak berubah biru. Ohh, mungkin masih salat, pikirku. Kutunggu hingga beberapa menit, belum juga dibaca. Lalu mencoba menelepon Mas Ichsan, namun masih tak ada jawaban. Kuulang hingga beberapa kali, masih juga tak ada jawaban.Istrimu ini sudah tak sabar ingin pulang, Mas, badan terasa amat letih, ingin segera mandi dan beristirahat. Lalu beralih menelepon Mama.Syukurlah, panggilan diterima."Hallo Asslamualaikum, Nduk," sapa Mama."Waalaikumsalam. Mas Ichsan mana, Ma?"