Perempuan. Siapapun dia, berapapun usianya, bagaimanapun sifat dan apapun status sosialnya. Entah sadar atau tidak. Mengakui atau mengingkari. Pasti pernah luluh oleh satu hal yang bernama ... pujian.
Pujian. Darimanapun ia datang, siapapun dan dengan cara apapun disampaikan. Jangankan dari orang yang menarik baginya, dari orang yang ia benci sekalipun, pasti akan terasa juga dampaknya.
___________________Sebuah lagu mengalun sendu dari panggung minimalis di pojok cafe. Kaff duduk di sana dengan gitar dalam petikan.
~~~~
Kau yang pernah singgah di siniDan cerita yang dulu kau ingatkan kembaliTak mampu untukku mengenal lagiMengenal dirimu di awal duluTak ada waktu kembali
Untuk mengulang lagiMengenal dirimu di awal duluKutahu dirimu dulu
Hanya meluangkan waktuSekedar melepas rasa sedihmuMencintai dalam sepi dan rasa sabar mana lagi
Yang harus kupendam dalam mengagumi dirimuMelihatmu genggam tangannya Nyaman di dalam pelukannyaYang mampu membuatkuTersadar dan sedikit menepiTak ada waktu kembali
Untuk mengulang lagiMengenal dirimu di awal duluKutau dirimu dulu
Hanya meluangkan waktuSekedar melepas kisah sedihmuMencintai dalam sepi dan rasa sabar mana lagi
Yang harus ku pendam dalam mengagumi dirimuMelihatmu genggam tangannya
Nyaman di dalam pelukannya Yang mampu membuatkuTersadar dan sedikit menepi (Mencintai Dalam Sepi- Waton)Aku cukup menikmatinya. Itu salah satu lagu favorit, apalagi saat Tri Suaka menyanyikannya dengan sangat manis, auto oleng seketika.
Kaff menyelesaikan lagunya, lalu memandang ke arahku. Tepukan lirih dari tangan di depan dada kalah oleh tepukan beberapa pasang tangan di ruang ini. Entah bagaimana caranya, Kaff bisa ada di sana.
Kaffah Ar Rayyan. Ia nyaris sempurna sebagai seorang lelaki. Wajah menarik, pintar, romantis, dan dari cerita tentang kehidupan sehari-harinya, kusimpulkan kalau dia sudah cukup mandiri secara finansial. Di kota ini, Kaffah memiliki sebuah studio foto yang cukup dikenal. Di samping puisi, musik dan fotografi adalah hal yang paling ia sukai. Akan tetapi satu hal yang membuat nilai minus untuknya, yaitu kebiasaannya berpetualang. Dari satu hati ke hati lainnya, dari satu pelabuhan hasrat ke pelabuhan lainnya.
Bagiku, Kaff tak hanya seorang kawan dunia maya. Bukan hanya kekasih halu, teman bucin atau popcorn kriuk cemilan di waktu senggang. Dia sudah kuanggap adik kedua, sebagai pengobat rindu pada adik kandungku yang telah pergi jauh ke surga.
Perihal hobi petualangnya, aku cukup maklum karena dahulu sempat berada di posisi serupa. Terjerumus dosa berantai yang tak temu pangkal ujungnya. Lepas dari satu dosa ke dosa lainnya karena pernah merasakan teramat sakitnya kecewa.
"Suka lagunya?" Kaff kembali duduk di hadapanku.
"Apa'an, suaranya falls!" ujarku sambil menjulurkan lidah. Tentu saja aku bercanda, suara Kaff sesungguhnya begitu merdu di telinga.
"Tuh idungnya jadi panjang!"
Refleks tangan meraba hidungku sendiri. Lalu Kaff tertawa. Sial! Dia pikir aku pinokio yang hidungnya berubah kalau berbohong.
"Nggak lucu!" desisku.
"Jan jutek gitu lah, Na. Asli, kagak cocok buat muka sendu kek gitu!" katanya.
"Aku kan emang kek gini kalau di dunia nyata," jawabku ketus.
"Tapi kalau di maya, lembut dan bucinnya maksimal, ya?" Kaff menggodaku.
"Terserahlah, aku mo balik. Dah malam. Tar dikira selingkuh sama brondong! Gak level!"
"Trus kalau bukan brondong, mau?"
"Ogah, lah! Aku kan setia!" jawabku sambil menjulurkan lidah.
Kamipun tertawa bersama. Tentu dia sudah tau bagaimana sifat, kisah hidup dan rumahtanggaku. Kecuali satu hal, masa laluku.
Syukurlah, pertemuan kali ini terjadi sesuai rencana, rencanaku. Akhirnya lunas sudah hutang pada si bocah manis itu.
Aku pernah bertaruh dengan Kaff dalam sebuah kompetisi Puisi. Jika dia menang, aku harus menuruti satu permintaannya, apapun itu, entah dunia nyata ataupun maya. Dan jika sebaliknya, maka dia akan menuruti apapun permintaanku. Apapun itu. Tentu dengan rambu-rambu norma dan logika. Kaff memenangkan kompetisi. Sebagai gantinya, aku harus mendengarkannya bernyanyi secara live jika kami memiliki kesempatan untuk bertemu.
Suatu ketika kami pernah bersitegang, saling mengunggulkan suara. Lalu bertukar voice record. Di situ, suaraku lebih bagus. Tentu saja, kuedit dengan aplikasi karaoke online. Hi hi hi. Kaff tak percaya begitu saja, lalu muncul ide konyolnya itu. Bernyanyi live di hadapanku.
***
Berada di sebuah cafe dengan seorang lelaki baru dikenal-meski sebenarnya sudah cukup kenal di dunia maya- tentu bukan hal yang bisa dibenarkan,-apalagi tanpa seizin suami.
Maafkan istrimu yang nakal ini, Mas. Hanya sekali, kok, tak akan kuulang lagi. Tadi sebenarnya ingin memonta izin, namun Mas Ichsan sempat pamit kalau hendak tidur, maka kuurungkan untuk meneleponnya. Membuatnya terbangun sama halnya membuatnya tak bisa tidur hingga esok tiba.
Selalu kuingat penjelasan dokter kala itu. Bagi ODS, tidur nyenyak adalah suatu kemewahan. Ketika telah divonis skizofrenia, maka tidur nyenyak dan teratur adalah hal yang kecil kemungkinannya bisa dinikmati seumur hidup. Untuk itu, ODS perlu mengkonsumsi obat sepanjang hidupnya. Tentu, dengan dosis yang lebih kecil, mungkin sama seperti vitamin. Namanya dosis maintenance atau dosis pemeliharaan.
Dulu, waktu Mas Ichsan baru beberapa kali berkunjung ke psikiater, dia langsung ambruk beberapa menit setelah injeksi pertama. Kami langsung panik karena mengira bahwa dia pingsan, namun ternyata hanya tertidur kelewat nyenyak. Sebelumnya, mungkin sekitar enam bulan lamanya dia hampir tak pernah tidur malam karena matanya sulit terpejam.
Salah satu tanda awal skizofrenia adalah gangguan tidur. Bisa berupa insomnia atau mungkin tidur tak nyenyak karena sering terbangun akibat mimpi buruk. Sebenarnya itu bukanlah mimpi, melainkan halusinasi. Setelah kunjungan ke psikiater kala itu, Mas Ichsan tertidur hampir dua hari. Nyenyak sekali, hampir seperti mati suri. Berbagai cara kami lakukan untuk membangunkannya, namun tak berhasil, ia tetap nyenyak dengan napas teratur.
Pihak keluarga sempat khawatir, namun setelah berkonsultasi dengan psikiater yang menangani dan juga mencari second opinion, akhirnya kami mengerti bahwa ODS perlu istirahat total ketika masa penyembuhan. Oleh karena itu, beberapa jenis obat memang menyebabkan kantuk yang mungkin tak biasa. Hari-hari berikutnya, Mas Ichsan masih bisa dibangunkan ketika waktunya makan, mandi atau buang hajat. Tentu dengan berbagai macam cara dan perlu kesabaran ekstra.
Aku harus bersyukur karena di luar sana masih banyak caregiver yang harus berjuang dan menahan kesabaran lebih banyak daripadaku. Beberapa ODS bahkan tak bisa bangun saat awal-awal pengobatan, jadi untuk urusan buang hajat, ia lakukan di tempat tidur.
Beberapa saat setelah Kaff menyelesaikan lagunya, kuputuskan untuk pamit dan membuat perjanjian untuk tak lagi bertemu di dunia nyata. Sudah kucukupkan dia hanya sebagai teman maya. Ada satu nasihat yang kupegang teguh, bahwa takkan ada persahabatan yang murni diantara dua orang berlainan jenis. Aku percaya, kebanyakan yang terjadi memang begitu. Salah satu pihak pasti ada yang terbawa perasaan. Jika gayung bersambut, akan ada ikatan lain di atas persahabatan. Tak hanya di dunia nyata, pun dunia maya. Seperti aku dan Kaff, tak ada jaminan bisa tetap patuh pada koridor ini. Menjaga jarak tanpa se-inchi pun kulit tersentuh.
***
Training hari kedua berjalan sesuai harapan. Banyak pengetahuan baru yang kuperoleh di sini.
Setelah acara usai, bergegas kembali ke kamar dan berkutat dengan gawai untuk memeriksa notifikasi yang sedari tadi kuabaikan. Beberapa pesan dari Bunda, satu dari Mayang, satu dari Kaff dan sebuah panggilan video dari nomor tak dikenal.Siapa lagi ini?Sebuah panggilan suara masuk, saat aku sedang bergosip via chat dengan Mayang. Dari nomor tak dikenal dan tanpa foto. Siapa lagi sih, ini?!
Setelah mengamati sejenak, ternyata nomor itu yang tadi meminta video call. Karena penasaran, akhirnya kujawab saja. Nanti kalau ternyata orang iseng, langsung saja blokir, beresss, kan?
"Hallo!" Sengaja kukeraskan suara.
"Hallooo," jawab orang di seberang sana. Suaranya aneh, agak sengau. Tapi kuyakin kalau ini lelaki.
"Siapa sih, ni?!" ketusku.
"Hayoo ... siapa? Coba tebak!" Orang di seberang sana malah balik bertanya.
"Siapa? Saya matikan, nih, kalau gaje!" ancamku.
"Oke oke oke, ini aku," jawabnya. Masih terdengar sengau.
"Sapa? Kaff?" tebakku. Biasanya memang Kaff yang sering gaje begini.
"Kaff siapa?" Suara di seberang terdengar jelas dan aku hapal betul itu milik siapa.
Astagaaa, mampus kau, Rin!
"Hoalaaah ... he he he. Kirain sapa. Mas pake nomer siapa sih, ini?" Aku tertawa berusaha mengalihkan pembicaraan. Sengaja mengulur waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaannya.
Salah satu gejala yang dialami oleh pengidap Skizofrenia Paranoid adalah waham curiga yang berlebihan. Maka membiarkan berlarut dalam kecurigaan sangat tak baik untuk kesehatan jiwanya.
"Kaff ... siapa?" cecarnya.
"Kaffana, temen baru di sini," jelasku. Lalu menggigit bibir yang telah sedikit berbohong. Hanya dua huruf saja kan bohongnya. Hi hi hi.
"Laki-laki?" selidik Mas Ichsan. Sepertinya dia penasaran.
"Bukan gitu. Suaranya kalo di telepon agak sengau, mirip Mas barusan itu dah," elakku. Berusaha memainkan kata supaya tak harus menjawab jenis kelaminnya. See? Sekali kamu berbohong, maka harus ada lagi kebohongan-kebohongan lain untuk menutupi kebohongan pertama. Dosa, kamu, Rinda! Dosaaa.
Astagfirullah ....
"Mas kok pakai nomor baru?"
"Punya Mama, jarang dipakai," jawabnya.
"Kok bisa pakai dua WA?" tanyaku penasaran.
"Pakai HP lain," terangnya. Lalu terdengar suara aktivitas keypad di ujung sana. Pasti Mas Ichsan sedang mengutak-atik handphonenya.
"Hape Mama?" selidikku.
"Bukan, dapet nemu waktu bersih-bersih kemarin," jelasnya sambil tetap memencet keypad di seberang sana.
"Oalaaah, yang warna putih, ya?" tebakku.
"He'em, di sini banyak foto-foto. Mulai zaman sekolah sampe kuliah dulu. Gak taulah sapa aja," jawab Mas Ichsan.
"Nanti kalau aku pulang, kita lihat sama-sama ya," tawarku. Mungkin dengan begitu ia bisa sepenuhnya kembali ke kehidupan nyata dan beraktifitas normal seperti sebelumnya.
Sejak sakit, beberapa barang elektronik miliknya memang kusimpan di dalam kardus dan terbungkus rapi. Takut ia tak sengaja merusakkannya dengan dalih sedang memperbaiki. Satu unit komputer beserta seperangkat asesoris dan sebuah handphone yang sudah jarang ia pakai. Tersimpan di kamar belakang yang kufungsikan sebagai ruang kerja dan ruang begadang.
"Rin!" panggil Mas Ichsan.
"Ya, Mas?" jawabku
"Kapan pulang?" lirihnya.
"Besok penutupan acaranya jam dua belas, habis tu aku langsung pulang," jelasku.
"Ohh ... yaudah kalau gitu."
"Uda kangen, ya? Hi hi hi." Godaku sambil tertawa.
"Kamu enggak?" Mas Ichsan balas bertanya.
"Nggak laah!" Aku terkikik sendiri. "Nggak kuat nahan kangennya," jawabku sambil tertawa. Kudengar di seberang sana ia juga tertawa.
"Kirain dah nemu yang lain di sana," gumanya lirih, namun masih terdengar jelas olehku.
"Kenapa, Mas?" tanyaku memastikan.
"Nggak, nggak papa," elaknya.
Tak terasa setetes bening menetes dari ujung mata. Maafkan aku, Mas. Tak pernah sedikitpun ada niat menghianatimu.
***
Perjalanan pulang yang kulalui terasa begitu panjang. Kali ini menggunakan jasa bus kota, meskipun sebenarnya ada sedikit takut dan ragu. Bepergian seorang diri dengan kereta memang lebih terjamin keamanannya ketimbang dengan bus. Akan tetapi rindu yang berkecamuk membuatku tak sabar ingin cepat sampai di rumah. Memasang headphone, lalu memutar beberapa lagu di playlist. Beberapa lagu favoritku dan Mas Ichsan ada di sana. Dulu saat semua masih berjalan normal, kami sering berbagi earphone di malam hari dan duduk di dekat jendela. Mendengar beberapa lagu favorit sambil melihat langit malam. Bagiku ... itu romantis dan membahagiakan.
Ketika tengah asik menikmati lagu-lagu favorit, sebuah rekaman suara bekas salah satu lomba baca puisi nyasar di playlist, mengganggu lamunan yang sedang melankolis. Karena malas mengambil handphone di dalam tas, kubiarkan saja suara itu mengalun tenang.
KENANG LUKA
Oleh: Pesona Senja________Kaukah yang bersembunyi sewindu penuhMenyaru bayang terasa canduLaksana api berkobar tanpa membakarSenyap padam terhempas keputusasaanLagi-lagi rasaku tumbuh
Serupa pucuk kentang di musim hujanLeleh meleleh bulir beningKenang rindu tanpa berujung temuKaukah anila sepoi penggetar jiwa
Padamu ... pernah kugantung cita cintaBerharap takdir menulis lembar buku garudaKhayal tinggal angan lumur jelagaPadamu ... restu bagaikan simalakama
Kau rengkuh atma, lepas permata jiwaMerengkuh ia relakan cintaTolong ... jangan kau pilih jalan durhakaMengapa takdir sebercanda ini
Memberi pilih serupa jarum jeramiAntara badai atau kilat menyambarAntara banjir atau longsor bukitanAntara kobar api atau bumi bergetarAntara meremas wanita yang padanya kau taruh cintaAtau meretas ia yang susunya terbalas tubaJangan lagi memilih!
Cintaku tak sekadar manjaKasih tak sebatas peluk mesraPada doaku muara rasaAku memilih pergi
Sendiri memeluk lukaDaripada seumur hidup rasa bersalahAndai durhakamu karena cinta__________________Ah puisi ini, membuat moodku berubah seketika.Puisi tentang seseorang yang pernah memberi warna pada hidupku di masa lalu.Next
Azan isya' baru saja berkumandang saat aku tiba di terminal. Tak sabar rasanya ingin segera kembali ke rumah. Setelah memastikan tak ada barang bawaan yang tertinggal, aku bergegas turun dan menghubungi Mas Ichsan. Tadi siang, dia bilang akan menjemputku di sini bersama Mama. Jarak rumah kami tak terlalu jauh dari sini. Oleh karena itu kusetujui tawarannya meskipun dengan berat hati.Mengetik sebuah pesan pada Mas Ichsan, beberapa detik kemudian terkirim tapi tanda centang tak berubah biru. Ohh, mungkin masih salat, pikirku. Kutunggu hingga beberapa menit, belum juga dibaca. Lalu mencoba menelepon Mas Ichsan, namun masih tak ada jawaban. Kuulang hingga beberapa kali, masih juga tak ada jawaban.Istrimu ini sudah tak sabar ingin pulang, Mas, badan terasa amat letih, ingin segera mandi dan beristirahat. Lalu beralih menelepon Mama.Syukurlah, panggilan diterima."Hallo Asslamualaikum, Nduk," sapa Mama."Waalaikumsalam. Mas Ichsan mana, Ma?"
Suara azan subuh berkumandang. Aku duduk terpekur dengan ujung mata yang masih basah. Semalam penuh mata ini tak bisa terpejam. Mas Ichsan masih nyaman di dalam selimut kami. Mungkin ia kelelahan setelah semalam berpacu menuntaskan denyar rindu yang sempat tertunda. Lagi-lagi tetes bening mengalir tanpa henti. Ada yang perih di dalam sini saat mengingat kejadian tadi. Sebongkah daging yang bernama hati. Bagaimana tidak, di puncak kenikmatan yang tengah kami arungi, bukan namaku yang ia sebut. Tetapi ... Dayu.Dayu? Entah kebenaran macam apalagi yang harus kucecap kali ini. Apakah Ida Ayu Ambarukmi yang dia maksud? Siapapun itu, pasti dia perempuan yang penting bagi suamiku.Pelan-pelan membangunkan Mas Ichsan dengan satu kecupan di pipi. Sementara bendungan di ujung mata hampir saja lepas kendali."Mas, dah subuh. Ayo bangun!" ujarku lembut, meski dengan suara sedikit bergetar."Mas ... Mas ... dah subuh, ayo bangun," ulangku sambil mengusap bahunya berka
"Selamat datang kembali, Ibu Arinda," sambut Mayang saat aku memasuki ruangan yang masih lengang.Gadis itu akhir-akhir ini memang selalu datang lebih awal."Halah, kek yang dari mana aja!" Aku tertawa, menaruh tas dan duduk manis mengeluarkan handphone. Sepertinya tadi ada panggilan masuk, tapi kubiarkan saja karena masih di jalan."Kan calon manager!" Mayang mengedipkan satu mata."Jare sopo? Sotoyyy!" sangkalku sambil mendorong pipi mulusnya dengan telunjuk.Pandanganku kembali tertuju pada gawai di tangan. Astagaaa, Pak Afnan. Kira-kira ada apa ya? Apa kutelepon balik aja? Eh, tapi nanti Mayang curiga. Aku mendongak menatap Mayang. Takut dia mengintip. Ah, amaan."Beritanya dah nyebar seantero kantor, lho, Mbak!" ujar Mayang dengan nada menggoda."Berita apa?" tanyaku khawatir. Jangan-jangan gosip antara aku dan Pak Afnan."Berita Mbak dan Pak Afnan," jawab Mayang setengah berbisik."Haaah?!" Aku terhenyak, lalu kemu
Masih terbayang di benak apa yang dikirim oleh Kaff pagi tadi. Ia berhasil meretas blog milik Mas Ichsan, menelusurinya, lalu mengirimkan beberapa puisi dan curhatan yang tersimpan dalam draft yang tersembunyi di sana.Suamiku memang suka menulis, kutahu itu sejak dulu. Namun yang ia tulis hanya tips-tips seputar dunia IT. Hobi mereview beberapa produk yang berkaitan dengan bidang keahliannya, baik digital maupun non digital.Kenyataan yang terjadi berkata lain, Mas Ichsan yang kupikir jauh dari kata melankolis, ternyata sebaliknya. Puisi-puisi miliknya begitu syahdu dan romantis.Ah, Mas ... padahal sebaris pun tak pernah kau buatkan puisi untukku, istrimu.Dayu ... Ida Ayu Ambarukmi. Seseorang yang masih menempati posisi khusus di hati suamiku saat ia menulis puisi itu. Lalu, di mana posisiku sebagai istri? Hanya pelarian semata? Lagi-lagi ujung mataku basah. Kutepis semua ingatan. Ini kesalahan karena mencari tahu tentang sesuatu yang bukan porsi
Menghadapi cahaya, walau menyilaukan, lebih baik daripada berjalan dalam kegelapan. Sebab dalam kesilauan dirimu masih bisa melihat sekitar, meski matamu terasa sakit." Kaffah Ar RayyanAku tersenyum membaca quotes yang sengaja dibuat khusus untukku.Sudah tengah malam, Mas Ichsan terlelap dengan satu lengan memelukku dari belakang. Dapat kutebak dari napasnya yang teratur.Jariku bergerak lincah menyentuh beberapa icon, lalu membaca screen shoot yang tadi siang dikirim oleh Kaff. Dia kirimkan hanya tulisan yang berisi info penting semehingga aku tak perlu lagi memilahnya. Mungkin dengan cara ini bisa kuketahui apa yang sebenarnya telah terjadi.Bismillah ... apapun kenyataanya, semoga tak pernah mengubah rasa cintaku
'Mlumah, mengkurep, modot, mlebu, metu.'Mo Li Mo, Sebuah nasihat yang kudengar dari ceramah penghulu usai prosesi ijab kabul kami dahulu. Mungkin terkesan saru jika diartikan sebagai bagian aktivitas hubungan suami istri. Namun ternyata, begitu banyak pesan yang tersirat di baliknya.Dalam bahasa jawa, mlumah artinya telentang. Pasangan suami istri harus saling terbuka mengenai hal apapun, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Keduanya harus saling percaya untuk berbagi masalah dan mencari penyelesaiannnya.Mengkurep berarti tengkurap. Maksudnya yaitu, pasangan suami istri harus bersifat tertutup mengenai urusan rumah tangga. Bahkan kepada orang tua atau mertua. Simpan rapat-rapat semua hal yang terjadi dalam rumah tangga, jangan sampai ada orang yang tahu.Modod dalam bahasa jawa bisa diartikan elastis. Bisa memanjang dan memendek sesuai kebutuhan. Diharapkan pasangan suami istri bisa bersikap demikian, menjalani kehidupan rumah tangga dengan fleksibel.
"Saya terima nikah dan kawinnya Danastri Pusvarinda Sumiradjaya binti Raden Haryadi Sumiradjaya dengan mas kawin tersebut, tuunaai!""Sah?""Saaah ...."Teriring doa juga selaksa nasihat dari para orang bijak. Dua orang manusia telah resmi menjadi partner dalam segala hal. Bersiap melalui perjalanan panjang dengan bahtera baru yang bernama pernikahan.Air mata haru mengalir tak tertahan saat lelaki di sampingku dengan lembut mengecup kening. Mulai detik ini telah resmi ia ambil alih semua tanggung jawab atasku dari tangan Ayah.Masih terekam jelas di dalam benak, rangkaian prosesi ijab kabul kami dahulu.Mengingatnya selalu berhasil menghadirkan embun bening di sudut mata. Bukan sedih, tapi bahagia.Ada saat di mana biduk pernikahan sedang diuji. Oleng ke kanan, oleng ke kiri, menabrak tebing, bahkan nyaris karam terhempas badai.Jika hal itu terjadi, maka kembalilah pada kenangan masa lalu. Untuk sekadar mengin
Deru mesin mobil terdengar sedang mendekat. Aku mengintip dari celah jendela untuk memastikan ke mana mobil tersebut bergerak. Saat roda itu mengarah memasuki pagar, dapat kupastikan jika itu memang tamu Mas Ichsan."Mas, tuh kayaknya ada tamu. Trus aku gimana?" ujarku kebingungan."Nggak papa, tetep aja di situ," jawab Mas Ichsan santai. Sepertinya dia memang sudah tahu kalau akan kedatangan tamu."Aku pulang aja ya? Nggak enak, masa aku di sini?"Mas Ichsan tak menanggapi. Ia berdiri dan berjalan menuju teras."Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...." jawabku lirih.Dua orang wanita berjilbab memasuki rumah.Aku berdiri, menampilkan senyum sesopan mungkin. Mencium tangan si wanita setengah baya dan berjabat tangan dengan wanita lainnya yang menurutku masih muda.Kata Ibu, etika ketika bersalaman dengan orang yang lebih tua adalah dengan mencium tangannya. Tak peduli siapapun itu, entah kenal atau tidak. Pria maupun w
45. PulangPULANG"Kamu kurusan, Nduk," ujar Ibu saat menungguiku bersiap-siap.Aku hanya tersenyum ke arahnya. Memang benar, beberapa bulan terakhir, aku tak selera makan. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati makanan, sementara seluruh pikiran hanya tertuju pada Mas Ichsan."Jaga kesehatan, Nduk. Setelah ini, kamu harus dua kali lebih kuat. Karena yang akan kamu jaga bukan cuma Nohan.""Nggih, Bu. Rinda dah nyiapin semuanya," jawabku untuk membesarkan hati Ibu. Padahal kenyataannya, masih ada keraguan menyelimuti hati.Bagaimana jika nanti Mas Ichsan kambuh dan berulah?Bagaimana perasaan Nohan jika tahu kondisi ayahnya yang sebenarnya?Bagaimana bila nanti ... ah, biarlah apa kata nanti. Terpenting, aku sudah berusaha.Sebenaranya hal itulah yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran dan membuat hidupku tidak tenang.Jujur, kembalinya Mas Ichsan tak hanya membawa kebahagiaan bagiku, ada suatu perasaan lain yang
Tak biasanya wifi portabel milikku ini bermasalah. Aku segera membawa laptop menuju balkon, lalu menggantinya dengan jaringan internet hotel dan kembali berselancar di akun youtube milik Arbian Herdi.Gerak jemariku terhenti tatkala terpampang sebuah video dengan gambar pemuda yang sedang mencoba berinteraksi dengan seorang ODGJ di suatu emperan toko.Dadaku berdesir melihatnya. Segera menekan tombol play dan kuperhatikan dengan seksama. Dari tanggal yang tertera, video tersebut diunggah beberapa hari yang lalu.Menit-menit berlalu tanpa terasa. Jiwaku seolah melayang di suatu tempat antahberantah, rasanya itu semua tak mungkin. Aku ... masih belum percaya. Lebih tepatnya aku menolak percaya terhadap apa yang baru saja kusaksikan.Video milik seorang aktivis tersebut sukses membuat hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan aku tak bisa lagi menerjemahkan apa yang kini terasa.Antara sadar atau tidak. Antara mimpi atau nyata. Antara ilusi atau fakta. Ak
Aku berdiri seraya merapikan kebaya yang terasa cukup sempit di tubuh ini. Berat badanku masih bertahan di angka empat puluh tiga, tak pernah berubah sejak masa gadis. Namun bentuk tubuh gadis-meskipun bukan perawan-tentu akan berbeda dengan seseorang yang sudah pernah melahirkan, apalagi setelah usia kepala tiga. Perubahan ukuran lingkar lengan atas dan bagian dada membuat kebaya terasa agak sesak.Berjalan pelan menuju pelaminan putih berhias bunga warna senada dengan dedaunan hijau menjuntai indah. Sederhana, namun nampak elegan. Lalu mataku tertuju pada sepasang merpati putih yang terkurung di dalam sangkar keemasan. Setelah acara usai nanti, pengantin akan melepaskan merpati tersebut sebagai simbol bahwa mereka sudah siap menempuh hidup yang baru.Ah, kenapa hal ini malah mengingatkan pada prosesi dalam pernikahanku dengan Mas Ichsan dahulu.Di depan sana, seorang laki-laki berdiri tegap dengan senyum santunnya. Wajah itu semakin memesona dalam balutan baju
Bulan ketiga di ibukota, Nohan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kami, begitupun aku. Mak Nini dan Pak Tikno turut menemaniku ke kota ini. Setidaknya, sampai aku memiliki pendamping lagi, begitulah perjanjian tak tertulisku dengan Ayah sebelum beliau mengizinkanku pindah.Sebulan terakhir, aku menjalani aktivitas di tempat kerja yang baru. Menjadi staf pengajar pada sekolah tinggi manajemen industri di kota ini. Memilih mengikuti jejak Ayah sebagai seorang pendidik, berharap dengan pekerjaan yang tak terlalu menyita waktu ini akan ada lebih banyak waktu untuk membersamai tumbuh kembang Nohan dan mempelajari pola asuh terbaik untuknya.Kembali memulai karir dari nol, kembali memulai hidup yang baru setelah sebelumnya berusaha membebaskan hati dan pikiran dari kenangan masa lalu. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk merelakan dan menerima setiap takdir yang sudah digariskan.Melupakan Mas Ichsan adalah salah satu hal yang mustahil kulakukan. Bagaiman
Setelah beberapa menit memindai dari atas ke bawah, kembali lagi menelisik wajah yang rasanya tak terlalu asing bagiku. Andai cambang lebat tak ada di sana dan menutupi ... lesung pipi itu.Astagaaa! Ternyata benar-benar dia."Bukannya kamu masih di pulau seberang?" tanyaku pada lelaki tersebut."Iya, ini iseng aja mampir ke mari.""Berenang?""Naik sampan."Ayah turut tertawa menanggapi candaan kami. Sejak dulu dia memang sering berkelakar dengan menyebut Australia sebagai pulau seberang, karena memang letaknya hanya terpisah samudera dengan bagian timur Pulau Jawa.Ia lantas duduk kembali berhadapan dengan Ayah, sementara aku memilih tempat di samping Ayah sehingga posisi kami berseberangan.Mata berbingkai bulu lentik tersebut menatap lekat-lekat ke arahku, memindai penampilan seperti yang tadi kulakukan padanya. Sementara aku, setengah menunduk, namun ekor mata sipit milikku tentu masih bisa meliriknya dengan leluasa.
Hujan deras yang mengguyur kota Banyuwangi pagi itu seakan menambah pilu yang menguasai seluruh sendi kehidupanku. Terdengar tangisan Nohan timbul tenggelam. Ingin sekali membawanya dalam gendongan dan memberikannya ASI, namun tubuh sialan ini berkhianat padaku. Bahkan untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.Rumah ini terasa sedikit gaduh, diikuti suara-suara orang mengaji beriring isak tangis beberapa perempuan. Cahaya di pelupuk mata seakan mengecil, redup, semakin buram, lalu ... segalanya tertutup kegelapan.***Perlahan membuka mata, memindai setiap sudut ruangan bernuansa ungu muda dengan aneka rupa boneka tertata rapi di salah satu sudutnya. Sepertinya tidurku terlalu lama sehingga tubuh ini terasa begitu lemah.Menoleh ke samping dan mendapati senyuman Ibu, sementara Ayah menatap dengan netra sendu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengusap puncak kepalaku sesaat sebelum keluar dari ruangan."Haus, Nak?" Suara Ibu terasa begitu l
39. Kenang LukaLaptop di hadapan menampilkan jejak tindih jemari yang tertuang dari ungkapan rindu di dalam dada. Berpuluh menit memindai rasa menjadi sebuah tulisan yang selama ini selalu berhasil mengobat resah. Menulis adalah caraku berbicara tentang segala hal yang tak mungkin terungkap sempurna di dunia nyata.KENANGOleh: Arinda PrasetyaSisa-sisa senyummu masih tercecer pada tiap sudut ruangan. Aroma tubuh, deru napas juga kelabat bayang masih memenuhi ruang pikiran.Setiap kata, tingkah laku, gaya bicara khas jiwamu yang begitu lembut, dan tiap tatapan mesra dari netra teduhmu itu, menjadi candu yang lagi dan lagi selalu kurindu.Kunikmati masa-masa sakit saat kehilanganmu. Kunikmati haru biru tangis menanti kepulanganmu, berharap kenyataan hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir ketika azan subuh. Kunikmati tiap jengkal harapan semu. Kunikmati perih sepi yang menyusup pada setiap inchi pori-pori.Merindumu yang tak lagi terjan
38. Aku Cuma Cinta KamuDering panggilan pada handphone Mas Ichsan mengagetkan Nohan yang hampir saja terlelap. Bayi enam bulan tersebut menggigit sumber asinya kuat-kuat, membuatku terpekik kesakitan."Sayang ... mimik bunda jadi sakit kalau digigit. Nih jadi merah. Disayang aja, ya?" ujarku pada bayi dengan satu gigi tersebut. Dia sedang berada pada fase oral, senang menggigit apapun, terlebih ketika sedang kaget atau marah.Bayi mungilku seolah menjawab dengan ocehannya. Sejak masih dalam kandungan, aku memang sering melatihnya berkomunikasi. Menurut penjelasan dokter, kesehatan mental dan kecerdasan bayi bisa dibentuk sejak sebelum ia lahir. Salah satu cara ialah dengan mengajaknya berkomunikasi secara rutin.Nohan memandangku sambil mengucek matanya, sepertinya ia sangat mengantuk.Samar-samar terdengar Mas Ichsan berbicara serius dengan lawan bicaranya di seberang telepon. Tentang ... Zara. Jantungku berdebar tak karuan saat mendengar nada bi
Perjalanan kali ini terasa begitu melegakan. Ada Mas Ichsan bersama kami. Kami sedang dalam perjalan kembali ke rumah setelah lebih dahulu mengantarkan Mama dan Papa.Masih teringat wajah sedih Mama saat melepas kami pergi. Bukan karena tak ingin berpisah dengan putranya, namunvkarena beliau khawatir dan tak tega jika aku harus mengurus seorang bayi dan juga suamiku yang sedang tak stabil. Akan tetapi, membiarkannya tinggal jauh dariku, malah berpotensi memperburuk keadaannya. Lagi pula ... aku juga tak tega jika harus berpisah lagi dengannya.Mobil melaju membelah jalanan pantura. Mas Ichsan mengobrol dengan Pak Tikno sementara Mak Nini tertidur di sampingku. Kudekap Nohan yang tengah tertidur dengan satu tangan, lalu bermain dengan gawai di tangan kanan.Bucin Cinta Tanpa PamrihRaung-raung memuj