"Selamat datang kembali, Ibu Arinda," sambut Mayang saat aku memasuki ruangan yang masih lengang.
Gadis itu akhir-akhir ini memang selalu datang lebih awal.
"Halah, kek yang dari mana aja!" Aku tertawa, menaruh tas dan duduk manis mengeluarkan handphone. Sepertinya tadi ada panggilan masuk, tapi kubiarkan saja karena masih di jalan.
"Kan calon manager!" Mayang mengedipkan satu mata.
"Jare sopo? Sotoyyy!" sangkalku sambil mendorong pipi mulusnya dengan telunjuk.
Pandanganku kembali tertuju pada gawai di tangan. Astagaaa, Pak Afnan. Kira-kira ada apa ya? Apa kutelepon balik aja? Eh, tapi nanti Mayang curiga. Aku mendongak menatap Mayang. Takut dia mengintip. Ah, amaan.
"Beritanya dah nyebar seantero kantor, lho, Mbak!" ujar Mayang dengan nada menggoda.
"Berita apa?" tanyaku khawatir. Jangan-jangan gosip antara aku dan Pak Afnan.
"Berita Mbak dan Pak Afnan," jawab Mayang setengah berbisik.
"Haaah?!" Aku terhenyak, lalu kemudian tersadar kalau di ruangan ini sudah banyak karyawan berdatangan.
"Nggak usah sekaget itu kali, Mbak! Ha ha ha kayak yang lagi ketahuan selingkuh aja," Mayang menepuk bahuku pelan. "Gosip Mbak Arin yang mau gantiin Pak Afnan itu, lho!" terangnya lagi.
Hummfff ternyata. Kukira gosip yang bukan-bukan.
"Yeee! Itu kan belum pasti benar, May. Kan cuma gosip," sanggahku.
Mayang terkikik. "Iya juga sih. Eh, Mbak! Pak Afnan beneran mo pindah pa nggak, sih?" tanyanya kemudian.
"Lha yo Mbuh, May! Tanya sama orangnya!" jawabku pura-pura tak tahu. Padahal Afnan sudah memberitahuku malam itu, sebelum kejadian .... Hushhh! Pikiranmu, Rin! Lupakan lupakan lupakaaan!
Tak lama kemudian, jam kantor sudah dimulai. Kami tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Soal Pak Afnan, biar dia menghubungi lagi jika memang ada keperluan. Syukurlah, tugasku hari ini tak terlalu banyak. Hanya memeriksa beberapa laporan dari staff marketing dan memberikan resumenya pada Pak Afnan.
Ooo eem jii ... kudu siap-siap oleng lagi nih pastinya.
Sesekali masih sempat melirik handphone dan mencari hiburan di dunia maya. Kata Mayang, biar nggak spaneng dan bikin awet muda! Ya misalnya ... ngepoin seseauthor pemes yang jadi idola para mamah muda, uppss! Tar para pembaca penasaran siapa dia. Hi hi hi.
***
Aku duduk menyamping dengan lengan memeluk pinggang hingga perut Mas Ichsan. Semilir angin sore membelai rambut yang biasanya tak pernah kubiarkan melewati tengkuk, tapi kali ini hampir menyentuh bahu. Permintaan khusus dari suami. Entahlah kenapa tiba-tiba dia peduli pada gaya rambutku. Aku memang tak suka rambut panjang. Selain ribet, juga mengingatkanku pada kejadian beberapa tahun silam.
Mas Ichsan menjemputku dari kantor, lalu mengajakku sejenak berkeliling kota. Sebenarnya aku masih khawatir, tapi kurasa kondisinya sudah cukup baik untuk mengajarinya kembali ke kehidupan nyata.
"Pingin kemana, Rin?" tanya Mas Ichsan. Kurasakan tangan kirinya mengelus punggung tanganku.
"Terserah Mas aja deh, aku manut. He he he," jawabku sekenanya sambil mengelus lembut perutnya.
"Ke kuburan? Mau?" Tawanya terdengar renyah.
Kucubit pelan pinggangnya, "Hiss, yo emoh! Mo ngitungin batu nisan apa ya?" selorohku, dia hanya tertawa.
"Ya ... kali aja pingin yang antimainstream," jawabnya sambil melirikku dari kaca spion.
"Eh, Mas!" Tiba-tiba aku mendapatkan ide.
"Hmm?" sahutnya.
"Ke toko aja, yuk?" ajakku. Semoga dia mau.
"Toko siapa?" tanyanya.
"Toko kita, yang dekat toko brownies," jelasku.
"Ohh ... iya deh. Lama ya gak ke sana," ujarnya.
Beberapa hari yang lalu, aku sempat mengajaknya ke toko. Mengingatkannya kembali pada satu persatu bagian dari kehidupan nyata. Berharap dengan ini ia bisa kembali seperti sedia kala. Menjadi seorang lelaki tangguh dan pekerja keras yang memilih hidup mandiri sejak masih kuliah dan merintis usaha sendiri tanpa bantuan orang tua.
Beruntung, kami memiliki beberapa karyawan yang setia dan bisa dipercaya. Kesibukanku di kantor juga kesibukan mengurus Mas Ichsan membuatku tak punya banyak waktu untuk mengelolanya. Mbak Firo --kasir kami-- akan melaporkan hasil penjualan harian melalui WA. Begitupun Andi dan Rudi, merekalah yang selama ini telah berjuang membuat toko kami tetap berdiri.
***
Malam kembali datang membawa bayang-bayang kecurigaan. Mas Ichsan telah lelap di bawah selimut tebal yang membungkus tubuh polosnya. Aku bangkit, memakai kembali baju yang berserak dan beranjak ke kamar sebelah. Harus segera kutuntaskan rasa penasaran jika tak mau terus tersiksa.
Kaff pasti bisa membantuku. Dibanding aku, dia tahu lebih banyak tentang puisi serta tokoh-tokoh penulisnya, tapi menghubunginya lebih dulu tentu bukan gayaku. Nanti malah dikira kangen atau lebih parahnya ... ganjen! Astagaaa ... bisa mencoreng reputasi. Lagipula, sejak pertemuan kami tempo hari, Kaff belum menghubungiku lagi secara pribadi.
Kulihat titik hijau milik Kaff menyala. Aku menulis sebuah puisi di wall pribadi. Kuyakin, nanti dia pasti membacanya.
CARAKU MENCINTAIMU
Oleh: Pesona SenjaCaraku mencintaimu ialah tetap menjaga hatimu
Bahkan saat kau buat marah juga kecewaAku tak punya cara lampiaskan amarahJangankan mengumpat, sedikit kasarpun tak kuatItu alasan kenapa aku sering menghilangTiap kau buat marah, pun kecewaDiam-diam kutekan dada, biar tak nampak detak amarah
Diam-diam kukatup bibir, biar samar getar terindraDiam-diam kubendung empat sudut mata, biar tak banjir alir beningnyaDiam-diam kutarik napas sedalam-dalamnya, selega-seleganyaLalu dengan senyum kucurah keluh
Dengan kata yang kupikir masakDengan nada yang kau dengar enakTapi ketika telah kukabarkan baik-baik
Tetap saja kau tak mengertiKuputuskan sejenak menepiDiam-diam ke tempat sunyiLalu, kutumpah tangis sendiriTanpa rasa benci terhadapmu
Sekadar meretas pedihSekadar legakan hatiSekadar ini
Kali iniCaraku mencintaimu ialah tetap menjaga hatimu
Bahkan saat hatiku sendiri tak lagi utuh_______________________________________Tak butuh belasan menit, notif pesan dari Kaff muncul di pintasan. Nahh kan, apa kubilang! Pasti dia baca. Hi hi hi"Itu puisi?" tulis Kaff dalam pesannya.
"Iyalah, masa' cerpen!" Kuketik cepat-cepat.
"Tumben kek ular tangga," ejeknya.
Aku tersenyum, Kaff memang sangat tahu ciri khasku.
"Iseng aja," balasku singkat.
"Harusnya kalau mo curhat, bikin senandika aja," balasnya lagi.
Aku terkikik. Tuuh kan, Kaff pasti bisa menebaknya. Kemudian kami larut dalam obrolan mengenai kecurigaanku terhadap Dayu, atau mungkin Ida Ayu. Ah entahlah siapa itu.
Kukirim foto puisi di blog suamiku pada Kaff dan memintanya menelusuri nama perempuan yang ada di sana. Selama ini, ia memang selalu bisa diandalkan untuk hal-hal seperti itu.Tak lama kemudian.
"Ada banyak akun dengan nama itu," lapor Kaff.
"Ya, aku tahu. Kemarin uda kucari juga," balasku.
"Keknya bukan penulis deh," simpulnya.
"Jadi kecil kemungkinan kalau itu teman kolab suamiku atau penulis favoritnya?" tebakku.
"Yapss," jawab Kaff singkat.
"Menurutmu, apa dia bagian dari masalalu?" tanyaku meminta pendapatnya.
"Yaa bisa jadi!" balas Kaff.
Lagi-lagi ujung mataku berembun. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa timbul lagi masalah saat ujian sebelumnya hampir saja kuselesaikan. Kubalas pesan Kaff dengan stiker sedih.
"Apa nama blognya?" Kaff membalas beberapa menit kemudian.
"Buat apa?" Aku balik bertanya.
"Kirim aja," perintahnya.
Aku menurut, mencari beberapa foto lalu mengirimkannya pada Kaff. Titik hijau milik Kaff berubah abu-abu setelah dia menyuruhku berangkat tidur dan menyerahkan semua rasa penasaran ini padanya. Kutebak hal yang mungkin ia lakukan pada blog suamiku. Meretasnya!
Next
Masih terbayang di benak apa yang dikirim oleh Kaff pagi tadi. Ia berhasil meretas blog milik Mas Ichsan, menelusurinya, lalu mengirimkan beberapa puisi dan curhatan yang tersimpan dalam draft yang tersembunyi di sana.Suamiku memang suka menulis, kutahu itu sejak dulu. Namun yang ia tulis hanya tips-tips seputar dunia IT. Hobi mereview beberapa produk yang berkaitan dengan bidang keahliannya, baik digital maupun non digital.Kenyataan yang terjadi berkata lain, Mas Ichsan yang kupikir jauh dari kata melankolis, ternyata sebaliknya. Puisi-puisi miliknya begitu syahdu dan romantis.Ah, Mas ... padahal sebaris pun tak pernah kau buatkan puisi untukku, istrimu.Dayu ... Ida Ayu Ambarukmi. Seseorang yang masih menempati posisi khusus di hati suamiku saat ia menulis puisi itu. Lalu, di mana posisiku sebagai istri? Hanya pelarian semata? Lagi-lagi ujung mataku basah. Kutepis semua ingatan. Ini kesalahan karena mencari tahu tentang sesuatu yang bukan porsi
Menghadapi cahaya, walau menyilaukan, lebih baik daripada berjalan dalam kegelapan. Sebab dalam kesilauan dirimu masih bisa melihat sekitar, meski matamu terasa sakit." Kaffah Ar RayyanAku tersenyum membaca quotes yang sengaja dibuat khusus untukku.Sudah tengah malam, Mas Ichsan terlelap dengan satu lengan memelukku dari belakang. Dapat kutebak dari napasnya yang teratur.Jariku bergerak lincah menyentuh beberapa icon, lalu membaca screen shoot yang tadi siang dikirim oleh Kaff. Dia kirimkan hanya tulisan yang berisi info penting semehingga aku tak perlu lagi memilahnya. Mungkin dengan cara ini bisa kuketahui apa yang sebenarnya telah terjadi.Bismillah ... apapun kenyataanya, semoga tak pernah mengubah rasa cintaku
'Mlumah, mengkurep, modot, mlebu, metu.'Mo Li Mo, Sebuah nasihat yang kudengar dari ceramah penghulu usai prosesi ijab kabul kami dahulu. Mungkin terkesan saru jika diartikan sebagai bagian aktivitas hubungan suami istri. Namun ternyata, begitu banyak pesan yang tersirat di baliknya.Dalam bahasa jawa, mlumah artinya telentang. Pasangan suami istri harus saling terbuka mengenai hal apapun, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Keduanya harus saling percaya untuk berbagi masalah dan mencari penyelesaiannnya.Mengkurep berarti tengkurap. Maksudnya yaitu, pasangan suami istri harus bersifat tertutup mengenai urusan rumah tangga. Bahkan kepada orang tua atau mertua. Simpan rapat-rapat semua hal yang terjadi dalam rumah tangga, jangan sampai ada orang yang tahu.Modod dalam bahasa jawa bisa diartikan elastis. Bisa memanjang dan memendek sesuai kebutuhan. Diharapkan pasangan suami istri bisa bersikap demikian, menjalani kehidupan rumah tangga dengan fleksibel.
"Saya terima nikah dan kawinnya Danastri Pusvarinda Sumiradjaya binti Raden Haryadi Sumiradjaya dengan mas kawin tersebut, tuunaai!""Sah?""Saaah ...."Teriring doa juga selaksa nasihat dari para orang bijak. Dua orang manusia telah resmi menjadi partner dalam segala hal. Bersiap melalui perjalanan panjang dengan bahtera baru yang bernama pernikahan.Air mata haru mengalir tak tertahan saat lelaki di sampingku dengan lembut mengecup kening. Mulai detik ini telah resmi ia ambil alih semua tanggung jawab atasku dari tangan Ayah.Masih terekam jelas di dalam benak, rangkaian prosesi ijab kabul kami dahulu.Mengingatnya selalu berhasil menghadirkan embun bening di sudut mata. Bukan sedih, tapi bahagia.Ada saat di mana biduk pernikahan sedang diuji. Oleng ke kanan, oleng ke kiri, menabrak tebing, bahkan nyaris karam terhempas badai.Jika hal itu terjadi, maka kembalilah pada kenangan masa lalu. Untuk sekadar mengin
Deru mesin mobil terdengar sedang mendekat. Aku mengintip dari celah jendela untuk memastikan ke mana mobil tersebut bergerak. Saat roda itu mengarah memasuki pagar, dapat kupastikan jika itu memang tamu Mas Ichsan."Mas, tuh kayaknya ada tamu. Trus aku gimana?" ujarku kebingungan."Nggak papa, tetep aja di situ," jawab Mas Ichsan santai. Sepertinya dia memang sudah tahu kalau akan kedatangan tamu."Aku pulang aja ya? Nggak enak, masa aku di sini?"Mas Ichsan tak menanggapi. Ia berdiri dan berjalan menuju teras."Assalamualaikum ....""Waalaikum salam ...." jawabku lirih.Dua orang wanita berjilbab memasuki rumah.Aku berdiri, menampilkan senyum sesopan mungkin. Mencium tangan si wanita setengah baya dan berjabat tangan dengan wanita lainnya yang menurutku masih muda.Kata Ibu, etika ketika bersalaman dengan orang yang lebih tua adalah dengan mencium tangannya. Tak peduli siapapun itu, entah kenal atau tidak. Pria maupun w
Sebuah kolam dengan aneka jenis ikan berkejaran di sekitar air mancur menjadi pemandangan yang begitu melegakan setelah kami lalui saat-saat menegangkan. Warna-warni bunga krisan terlihat begitu memesona. Namun sayangnya, masih kalah oleh pesona lelaki di depan ini, yang dengan percaya diri telah berhasil meluluhkan hati Ayah dan Ibu untuk memberikan restu.Dia yang mencintaiku bukan dengan kata-kata, namun berupa langkah nyata. Dia yang tak pernah menawarkan harapan apapun, namun tiba-tiba menaut jari manisku dengan sebuah cincin di depan Ayah. Dia yang tak pernah sekalipun berucap cinta, namun kini kutahu lewat tingkah dan tatapannya itulah wujud cinta yang sebenarnya.Kami duduk pada gazebo di halaman belakang rumah orang tuaku. Minggu depan, lamaran resmi akan digelar sekaligus juga menentukan tanggal pernikahan. Selaksa puji syukur tak henti terucap dari bibir yang penuh dosa. Tuhan masih menyayangiku, bahkan saat gunung-gunung dosa ini tak lagi dapat terhitung ju
Ada yang lebih menarik daripada mengingat kemarau musim lalu ketika hujan mulai menghampiri. Ada yang lebih penting daripada menyesali masa lalu, sementara masa depan menawarkan kehidupan yang lebih baik.Biarkan musim berlalu begitu saja sesuai porsi dan waktunya. Biarkan masa lalu menguap, hilang, terlupakan dan berganti dengan cerita masa depan.________Sebulan setelah acara lamaran resmi, pernikahan kami digelar cukup megah dengan prosesi adat jawa. Terlihat beberapa kali Ayah menempelkan ibu jari dan telunjuk di kedua sudut matanya.Ayah ... maafkan putrimu seandainya nanti membuat layu rangkaian melati di sanggul ini.Konon, jika pengantin wanita sudah kehilangan kesucian, rangkaian melati yang ia pakai pada prosesi pernikan akan menjadi cepat layu dan hilang wanginya.Hidup dalam keluarga yang masih menjunjung tinggi adat istiadat, membuatku sedikit takut. Bagaimana seandainya melati ini benar-benar layu sebelum pesta berakhir. Keluarga
Tiga hari setelah hari pernikahan kami, Mas Ichsan memboyongku ke rumahnya. Sementara acara ater manten dan ngunduh mantu baru akan dilaksanakan bulan depan. Mengingat, banyak saudara Mas Ichsan yang tinggal di luar Jawa sehingga perlu persiapan lebih lama untuk mengadakan sebuah pesta. Dia memang bukan keturunan Jawa asli, ada darah Melayu yang ia warisi dari Mama.Deru mesin kendaraan terhenti setelah memasuki halaman sebuah rumah modern minimalis berpagar putih dengan cat luar berwarna ungu. Dia menoleh ke arahku yang sedang sibuk mengamati bangunan di hadapan."Jangan bengong, Rin, dah sampai. Mau turun atau kita balik lagi ke rumah kamu?" godanya dengan satu elusan di kepala.Aku tak menjawab, namun menuruti perintahnya. Langkahku terhenti saat menyadari keberadaan beberapa pot bunga krisan dan lavender tertata rapi di pojok teras. Cantik sekali.Mas Ichsan merangkul dan membawaku ke depan pintu."Rumah kamu," lirihnya seraya memasukkan anak k
45. PulangPULANG"Kamu kurusan, Nduk," ujar Ibu saat menungguiku bersiap-siap.Aku hanya tersenyum ke arahnya. Memang benar, beberapa bulan terakhir, aku tak selera makan. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati makanan, sementara seluruh pikiran hanya tertuju pada Mas Ichsan."Jaga kesehatan, Nduk. Setelah ini, kamu harus dua kali lebih kuat. Karena yang akan kamu jaga bukan cuma Nohan.""Nggih, Bu. Rinda dah nyiapin semuanya," jawabku untuk membesarkan hati Ibu. Padahal kenyataannya, masih ada keraguan menyelimuti hati.Bagaimana jika nanti Mas Ichsan kambuh dan berulah?Bagaimana perasaan Nohan jika tahu kondisi ayahnya yang sebenarnya?Bagaimana bila nanti ... ah, biarlah apa kata nanti. Terpenting, aku sudah berusaha.Sebenaranya hal itulah yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran dan membuat hidupku tidak tenang.Jujur, kembalinya Mas Ichsan tak hanya membawa kebahagiaan bagiku, ada suatu perasaan lain yang
Tak biasanya wifi portabel milikku ini bermasalah. Aku segera membawa laptop menuju balkon, lalu menggantinya dengan jaringan internet hotel dan kembali berselancar di akun youtube milik Arbian Herdi.Gerak jemariku terhenti tatkala terpampang sebuah video dengan gambar pemuda yang sedang mencoba berinteraksi dengan seorang ODGJ di suatu emperan toko.Dadaku berdesir melihatnya. Segera menekan tombol play dan kuperhatikan dengan seksama. Dari tanggal yang tertera, video tersebut diunggah beberapa hari yang lalu.Menit-menit berlalu tanpa terasa. Jiwaku seolah melayang di suatu tempat antahberantah, rasanya itu semua tak mungkin. Aku ... masih belum percaya. Lebih tepatnya aku menolak percaya terhadap apa yang baru saja kusaksikan.Video milik seorang aktivis tersebut sukses membuat hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan aku tak bisa lagi menerjemahkan apa yang kini terasa.Antara sadar atau tidak. Antara mimpi atau nyata. Antara ilusi atau fakta. Ak
Aku berdiri seraya merapikan kebaya yang terasa cukup sempit di tubuh ini. Berat badanku masih bertahan di angka empat puluh tiga, tak pernah berubah sejak masa gadis. Namun bentuk tubuh gadis-meskipun bukan perawan-tentu akan berbeda dengan seseorang yang sudah pernah melahirkan, apalagi setelah usia kepala tiga. Perubahan ukuran lingkar lengan atas dan bagian dada membuat kebaya terasa agak sesak.Berjalan pelan menuju pelaminan putih berhias bunga warna senada dengan dedaunan hijau menjuntai indah. Sederhana, namun nampak elegan. Lalu mataku tertuju pada sepasang merpati putih yang terkurung di dalam sangkar keemasan. Setelah acara usai nanti, pengantin akan melepaskan merpati tersebut sebagai simbol bahwa mereka sudah siap menempuh hidup yang baru.Ah, kenapa hal ini malah mengingatkan pada prosesi dalam pernikahanku dengan Mas Ichsan dahulu.Di depan sana, seorang laki-laki berdiri tegap dengan senyum santunnya. Wajah itu semakin memesona dalam balutan baju
Bulan ketiga di ibukota, Nohan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kami, begitupun aku. Mak Nini dan Pak Tikno turut menemaniku ke kota ini. Setidaknya, sampai aku memiliki pendamping lagi, begitulah perjanjian tak tertulisku dengan Ayah sebelum beliau mengizinkanku pindah.Sebulan terakhir, aku menjalani aktivitas di tempat kerja yang baru. Menjadi staf pengajar pada sekolah tinggi manajemen industri di kota ini. Memilih mengikuti jejak Ayah sebagai seorang pendidik, berharap dengan pekerjaan yang tak terlalu menyita waktu ini akan ada lebih banyak waktu untuk membersamai tumbuh kembang Nohan dan mempelajari pola asuh terbaik untuknya.Kembali memulai karir dari nol, kembali memulai hidup yang baru setelah sebelumnya berusaha membebaskan hati dan pikiran dari kenangan masa lalu. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk merelakan dan menerima setiap takdir yang sudah digariskan.Melupakan Mas Ichsan adalah salah satu hal yang mustahil kulakukan. Bagaiman
Setelah beberapa menit memindai dari atas ke bawah, kembali lagi menelisik wajah yang rasanya tak terlalu asing bagiku. Andai cambang lebat tak ada di sana dan menutupi ... lesung pipi itu.Astagaaa! Ternyata benar-benar dia."Bukannya kamu masih di pulau seberang?" tanyaku pada lelaki tersebut."Iya, ini iseng aja mampir ke mari.""Berenang?""Naik sampan."Ayah turut tertawa menanggapi candaan kami. Sejak dulu dia memang sering berkelakar dengan menyebut Australia sebagai pulau seberang, karena memang letaknya hanya terpisah samudera dengan bagian timur Pulau Jawa.Ia lantas duduk kembali berhadapan dengan Ayah, sementara aku memilih tempat di samping Ayah sehingga posisi kami berseberangan.Mata berbingkai bulu lentik tersebut menatap lekat-lekat ke arahku, memindai penampilan seperti yang tadi kulakukan padanya. Sementara aku, setengah menunduk, namun ekor mata sipit milikku tentu masih bisa meliriknya dengan leluasa.
Hujan deras yang mengguyur kota Banyuwangi pagi itu seakan menambah pilu yang menguasai seluruh sendi kehidupanku. Terdengar tangisan Nohan timbul tenggelam. Ingin sekali membawanya dalam gendongan dan memberikannya ASI, namun tubuh sialan ini berkhianat padaku. Bahkan untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.Rumah ini terasa sedikit gaduh, diikuti suara-suara orang mengaji beriring isak tangis beberapa perempuan. Cahaya di pelupuk mata seakan mengecil, redup, semakin buram, lalu ... segalanya tertutup kegelapan.***Perlahan membuka mata, memindai setiap sudut ruangan bernuansa ungu muda dengan aneka rupa boneka tertata rapi di salah satu sudutnya. Sepertinya tidurku terlalu lama sehingga tubuh ini terasa begitu lemah.Menoleh ke samping dan mendapati senyuman Ibu, sementara Ayah menatap dengan netra sendu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengusap puncak kepalaku sesaat sebelum keluar dari ruangan."Haus, Nak?" Suara Ibu terasa begitu l
39. Kenang LukaLaptop di hadapan menampilkan jejak tindih jemari yang tertuang dari ungkapan rindu di dalam dada. Berpuluh menit memindai rasa menjadi sebuah tulisan yang selama ini selalu berhasil mengobat resah. Menulis adalah caraku berbicara tentang segala hal yang tak mungkin terungkap sempurna di dunia nyata.KENANGOleh: Arinda PrasetyaSisa-sisa senyummu masih tercecer pada tiap sudut ruangan. Aroma tubuh, deru napas juga kelabat bayang masih memenuhi ruang pikiran.Setiap kata, tingkah laku, gaya bicara khas jiwamu yang begitu lembut, dan tiap tatapan mesra dari netra teduhmu itu, menjadi candu yang lagi dan lagi selalu kurindu.Kunikmati masa-masa sakit saat kehilanganmu. Kunikmati haru biru tangis menanti kepulanganmu, berharap kenyataan hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir ketika azan subuh. Kunikmati tiap jengkal harapan semu. Kunikmati perih sepi yang menyusup pada setiap inchi pori-pori.Merindumu yang tak lagi terjan
38. Aku Cuma Cinta KamuDering panggilan pada handphone Mas Ichsan mengagetkan Nohan yang hampir saja terlelap. Bayi enam bulan tersebut menggigit sumber asinya kuat-kuat, membuatku terpekik kesakitan."Sayang ... mimik bunda jadi sakit kalau digigit. Nih jadi merah. Disayang aja, ya?" ujarku pada bayi dengan satu gigi tersebut. Dia sedang berada pada fase oral, senang menggigit apapun, terlebih ketika sedang kaget atau marah.Bayi mungilku seolah menjawab dengan ocehannya. Sejak masih dalam kandungan, aku memang sering melatihnya berkomunikasi. Menurut penjelasan dokter, kesehatan mental dan kecerdasan bayi bisa dibentuk sejak sebelum ia lahir. Salah satu cara ialah dengan mengajaknya berkomunikasi secara rutin.Nohan memandangku sambil mengucek matanya, sepertinya ia sangat mengantuk.Samar-samar terdengar Mas Ichsan berbicara serius dengan lawan bicaranya di seberang telepon. Tentang ... Zara. Jantungku berdebar tak karuan saat mendengar nada bi
Perjalanan kali ini terasa begitu melegakan. Ada Mas Ichsan bersama kami. Kami sedang dalam perjalan kembali ke rumah setelah lebih dahulu mengantarkan Mama dan Papa.Masih teringat wajah sedih Mama saat melepas kami pergi. Bukan karena tak ingin berpisah dengan putranya, namunvkarena beliau khawatir dan tak tega jika aku harus mengurus seorang bayi dan juga suamiku yang sedang tak stabil. Akan tetapi, membiarkannya tinggal jauh dariku, malah berpotensi memperburuk keadaannya. Lagi pula ... aku juga tak tega jika harus berpisah lagi dengannya.Mobil melaju membelah jalanan pantura. Mas Ichsan mengobrol dengan Pak Tikno sementara Mak Nini tertidur di sampingku. Kudekap Nohan yang tengah tertidur dengan satu tangan, lalu bermain dengan gawai di tangan kanan.Bucin Cinta Tanpa PamrihRaung-raung memuj