Sebuah kolam dengan aneka jenis ikan berkejaran di sekitar air mancur menjadi pemandangan yang begitu melegakan setelah kami lalui saat-saat menegangkan. Warna-warni bunga krisan terlihat begitu memesona. Namun sayangnya, masih kalah oleh pesona lelaki di depan ini, yang dengan percaya diri telah berhasil meluluhkan hati Ayah dan Ibu untuk memberikan restu.
Dia yang mencintaiku bukan dengan kata-kata, namun berupa langkah nyata. Dia yang tak pernah menawarkan harapan apapun, namun tiba-tiba menaut jari manisku dengan sebuah cincin di depan Ayah. Dia yang tak pernah sekalipun berucap cinta, namun kini kutahu lewat tingkah dan tatapannya itulah wujud cinta yang sebenarnya.
Kami duduk pada gazebo di halaman belakang rumah orang tuaku. Minggu depan, lamaran resmi akan digelar sekaligus juga menentukan tanggal pernikahan. Selaksa puji syukur tak henti terucap dari bibir yang penuh dosa. Tuhan masih menyayangiku, bahkan saat gunung-gunung dosa ini tak lagi dapat terhitung ju
Ada yang lebih menarik daripada mengingat kemarau musim lalu ketika hujan mulai menghampiri. Ada yang lebih penting daripada menyesali masa lalu, sementara masa depan menawarkan kehidupan yang lebih baik.Biarkan musim berlalu begitu saja sesuai porsi dan waktunya. Biarkan masa lalu menguap, hilang, terlupakan dan berganti dengan cerita masa depan.________Sebulan setelah acara lamaran resmi, pernikahan kami digelar cukup megah dengan prosesi adat jawa. Terlihat beberapa kali Ayah menempelkan ibu jari dan telunjuk di kedua sudut matanya.Ayah ... maafkan putrimu seandainya nanti membuat layu rangkaian melati di sanggul ini.Konon, jika pengantin wanita sudah kehilangan kesucian, rangkaian melati yang ia pakai pada prosesi pernikan akan menjadi cepat layu dan hilang wanginya.Hidup dalam keluarga yang masih menjunjung tinggi adat istiadat, membuatku sedikit takut. Bagaimana seandainya melati ini benar-benar layu sebelum pesta berakhir. Keluarga
Tiga hari setelah hari pernikahan kami, Mas Ichsan memboyongku ke rumahnya. Sementara acara ater manten dan ngunduh mantu baru akan dilaksanakan bulan depan. Mengingat, banyak saudara Mas Ichsan yang tinggal di luar Jawa sehingga perlu persiapan lebih lama untuk mengadakan sebuah pesta. Dia memang bukan keturunan Jawa asli, ada darah Melayu yang ia warisi dari Mama.Deru mesin kendaraan terhenti setelah memasuki halaman sebuah rumah modern minimalis berpagar putih dengan cat luar berwarna ungu. Dia menoleh ke arahku yang sedang sibuk mengamati bangunan di hadapan."Jangan bengong, Rin, dah sampai. Mau turun atau kita balik lagi ke rumah kamu?" godanya dengan satu elusan di kepala.Aku tak menjawab, namun menuruti perintahnya. Langkahku terhenti saat menyadari keberadaan beberapa pot bunga krisan dan lavender tertata rapi di pojok teras. Cantik sekali.Mas Ichsan merangkul dan membawaku ke depan pintu."Rumah kamu," lirihnya seraya memasukkan anak k
Aku merasa menjadi perempuan paling aneh saat berharap suamiku pernah memiliki anak dengan perempuan lain di masa lalu. Sayangnya, hati ini memang berharap begitu.Seandainya Mas Ichsan pernah memiliki anak, itu artinya azoospermia yang dideritanya benar-benar karena adanya obstruksi atau penyumbatan. Masih ada harapan untuk memiliki buah hati. Meskipun kemungkinan harus menggunakan tekhnik IVF (in vitro fertilization) atau bayi tabung. Akan tetapi, jika azoospermia yang ia derita murni karena masalah kongenital, berarti suamiku termasuk dalam satu persen laki-laki yang tak beruntung di muka bumi ini.Kuketikkan sebuah pesan pada aplikasi WA. Dua centang abu-abu tak kunjung berubah biru.Beberapa menit menunggu, masih tak berubah juga. Lalu menyimpan gawai di saku. Sepertinya masih terlalu pagi untuk berharap seseorang di sana membalas pesan yang kukirim berpuluh menit yang lalu.Minggu pagi yang cerah, cicit burung gereja serasa memanjakan telinga yang s
Kadang kita menganggap bahwa sesuatu yang terjadi adalah kesialan, padahal itu sebenarnya wujud dari keberuntungan. Kadang kita menyangka bahwa apa yang terjadi adalah keburukan, padahal itulah cara Tuhan menyelamatkan._____________Setelah menimbang ulang, berpikir tentang baik buruk, menelaah tentang risiko dan keuntungan, maka segera kuhapus pesan yang gagal terkirim. Lalu mengetik ulang dengan isi yang jauh berbeda."Pingin ketemu, tapi jauh. He he he. Kalau ada waktu, saya ingin ngobrol serius. Mungkin via chat atau video call."Kupinjam handphone Mas Ichsan, lalu mengaktifkan teatering hotspot.Pesan terkirim.Dua centang abu-abu segera berubah biru. Muncul balasan dari seberang."Hehehe iya, jauh. Oke, nanti saya kabari, ya? Ini masih mau antar Zara les."Alhamdulillah ... hampir saja kecerobohanku merusak segalanya.Andai niatku membawa Mas Ichsan untuk bertemu dengan Dayu terlaksana, siapa yang bisa menjami
"Rin.""Ya?""Kamu bahagia?" tanya Afnan tiba-tiba.Hishhh, si duda, ngapain juga tanya-tanya. Tar akunya jadi baper, gimana?"Menurut kamu?" Aku balik bertanya sembari menampilkan senyum dan wajah ceria."Bisa jadi, tapi matamu bicara lain," tebak Afnan.Sotoy!"Enak ya kalau mata bisa bicara?" Aku terkekeh. "Nggak perlu repot ngeluarin suara," candaku, namun wajah Afnan terlihat sedang serius."Kadang, mulut sama mata ataupun mulut sama hati itu nggak sinkron. Tapi, hati dan mata selalu di pihak yang sama," jelas Afnan. Dia tersenyum kecut. Tapi bagiku senyumnya tetap manis.Eaaa eaaa!"Jadi ... inti pembicaraan ini sebenarnya apa?" Aku merubah intonasi menjadi serius juga.Afnan tertawa lirih."Kamu, ya ... dari dulu nggak pernah berubah. To the point!""Naaah itu paham," ketusku, pura-pura. Padahal untuk menyembunyikan dag dig dug di dalam dada. Hi hi hi.Lelaki berwajah memesona it
"Saya mboten usah sayur, trus bawangnya banyakin, Pak," ujarku pada Kang Bakwan yang biasa mangkal di kampus."Beresss. Mau gajih, Mbak?" tanya si Bapak."Nggih, Pak, pokok gratis," kelakarku. Kami pun tertawa. Beliau memang penjual bakwan langganan. Hampir tiap hari bakwan lezatnya menjadi menu makan siangku. Dan hampir setiap hari pula beliau memberi bonus gajih-lemak daging berwarna putih.Setelah membayar, seperti biasa menaruh tas pada bangku kayu di bawah pohon kersen dekat parkiran dan menikmatinya di sana. Sendirian. Suasana kali ini cukup sepi, mungkin karena sebagian mahasiswa sedang mengunjungi bazar kewirausahaan di aula fakultas.Aku tak punya banyak teman dekat. Memang sengaja membatasi diri agar tak terlalu akrab. Kehidupan yang hitam legam membuatku kehilangan kepercayaan terhadap siapapun.Bagiku, hidup hanya tentang butuh dan tak butuh. Datanglah jika butuh padaku, dan pergilah jika tak butuh. Begitupun aku. Tak perlu ada urusan l
Berkali-kali Afnan mengelus dan mencium puncak kepalaku. Rambutnya sedikit basah, sepertinya dia sudah terbangun dan sudah ygmandi sedari tadi."Rin, maaf. Aku gak sadar. Aku minta maaf, Rin," lirihnya. Masih dalam posisi mendekapku.Aku mendorong tubuhnya. Merasa risih saat selimut yang menutup dada melorot ke bawah. Lalu menarik lagi selimut itu hingga ke leher.Afnan membingkai wajah ini dengan telapak dinginnya. Entah bagaimana rupaku kali ini, rasanya teramat letih dan mengantuk."Kamu nggak perlu takut, aku pasti tanggung jawab," kata Afnan, kulihat sorot ketulusan pada mata tajam itu.Entah harus menjawab apa. Antara masih mengantuk, dan bingung mencerna maksud kata-katanya.Kurapatkan selimut di badan, dingin. Udara kota ini memang terlalu dingin untuk pecinta kehangatan seperti diriku."Mandi, ya?" ujar Afnan.Aku menggeleng. Masih kurang siang untuk mandi, bisa-bisa nanti masuk angin. Apalagi, di dataran tinggi
Tetes-tetes embun bergelayut manja pada batang-batang buah naga. Meliuk-liuk turun, melewati duri-duri, beberapa sempat tersangkut, lalu jatuh mencapai tanah.Persis hatimu, Rin!Perjalanan panjang ini menguras segala daya. Berpuluh-puluh purnama menahan segala ego, menaruh kebahagiaan diri jauh pada urutan terbawah. Mengabdikan seluruh jiwa raga untuk seseorang yang hingga detik ini pun masih tersebut dalam doa. Tapi apa yang kudapat? luka!"Pulang yuk, Nduk!""Nggih, Bu. Sebentar lagi," jawabku di sela menghidu sebanyak-banyaknya segar udara.Menikmati aroma embun adalah cara yang kupilih untuk mengawali hari-hari.Setelah puas menghirup udara di sini. Aku bergegas mengikuti langkah perempuan yang masih cantik di usia setengah abad itu."Ati-ati, Mbak Arin ...." ujar salah seorang Bapak yang bekerja di kebun buah naga milik keluarga kami saat aku melewati saluran irigasi di antara dua pematang sawah."Nggih, Pak," sahutku sambil ters
45. PulangPULANG"Kamu kurusan, Nduk," ujar Ibu saat menungguiku bersiap-siap.Aku hanya tersenyum ke arahnya. Memang benar, beberapa bulan terakhir, aku tak selera makan. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati makanan, sementara seluruh pikiran hanya tertuju pada Mas Ichsan."Jaga kesehatan, Nduk. Setelah ini, kamu harus dua kali lebih kuat. Karena yang akan kamu jaga bukan cuma Nohan.""Nggih, Bu. Rinda dah nyiapin semuanya," jawabku untuk membesarkan hati Ibu. Padahal kenyataannya, masih ada keraguan menyelimuti hati.Bagaimana jika nanti Mas Ichsan kambuh dan berulah?Bagaimana perasaan Nohan jika tahu kondisi ayahnya yang sebenarnya?Bagaimana bila nanti ... ah, biarlah apa kata nanti. Terpenting, aku sudah berusaha.Sebenaranya hal itulah yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran dan membuat hidupku tidak tenang.Jujur, kembalinya Mas Ichsan tak hanya membawa kebahagiaan bagiku, ada suatu perasaan lain yang
Tak biasanya wifi portabel milikku ini bermasalah. Aku segera membawa laptop menuju balkon, lalu menggantinya dengan jaringan internet hotel dan kembali berselancar di akun youtube milik Arbian Herdi.Gerak jemariku terhenti tatkala terpampang sebuah video dengan gambar pemuda yang sedang mencoba berinteraksi dengan seorang ODGJ di suatu emperan toko.Dadaku berdesir melihatnya. Segera menekan tombol play dan kuperhatikan dengan seksama. Dari tanggal yang tertera, video tersebut diunggah beberapa hari yang lalu.Menit-menit berlalu tanpa terasa. Jiwaku seolah melayang di suatu tempat antahberantah, rasanya itu semua tak mungkin. Aku ... masih belum percaya. Lebih tepatnya aku menolak percaya terhadap apa yang baru saja kusaksikan.Video milik seorang aktivis tersebut sukses membuat hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan aku tak bisa lagi menerjemahkan apa yang kini terasa.Antara sadar atau tidak. Antara mimpi atau nyata. Antara ilusi atau fakta. Ak
Aku berdiri seraya merapikan kebaya yang terasa cukup sempit di tubuh ini. Berat badanku masih bertahan di angka empat puluh tiga, tak pernah berubah sejak masa gadis. Namun bentuk tubuh gadis-meskipun bukan perawan-tentu akan berbeda dengan seseorang yang sudah pernah melahirkan, apalagi setelah usia kepala tiga. Perubahan ukuran lingkar lengan atas dan bagian dada membuat kebaya terasa agak sesak.Berjalan pelan menuju pelaminan putih berhias bunga warna senada dengan dedaunan hijau menjuntai indah. Sederhana, namun nampak elegan. Lalu mataku tertuju pada sepasang merpati putih yang terkurung di dalam sangkar keemasan. Setelah acara usai nanti, pengantin akan melepaskan merpati tersebut sebagai simbol bahwa mereka sudah siap menempuh hidup yang baru.Ah, kenapa hal ini malah mengingatkan pada prosesi dalam pernikahanku dengan Mas Ichsan dahulu.Di depan sana, seorang laki-laki berdiri tegap dengan senyum santunnya. Wajah itu semakin memesona dalam balutan baju
Bulan ketiga di ibukota, Nohan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kami, begitupun aku. Mak Nini dan Pak Tikno turut menemaniku ke kota ini. Setidaknya, sampai aku memiliki pendamping lagi, begitulah perjanjian tak tertulisku dengan Ayah sebelum beliau mengizinkanku pindah.Sebulan terakhir, aku menjalani aktivitas di tempat kerja yang baru. Menjadi staf pengajar pada sekolah tinggi manajemen industri di kota ini. Memilih mengikuti jejak Ayah sebagai seorang pendidik, berharap dengan pekerjaan yang tak terlalu menyita waktu ini akan ada lebih banyak waktu untuk membersamai tumbuh kembang Nohan dan mempelajari pola asuh terbaik untuknya.Kembali memulai karir dari nol, kembali memulai hidup yang baru setelah sebelumnya berusaha membebaskan hati dan pikiran dari kenangan masa lalu. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk merelakan dan menerima setiap takdir yang sudah digariskan.Melupakan Mas Ichsan adalah salah satu hal yang mustahil kulakukan. Bagaiman
Setelah beberapa menit memindai dari atas ke bawah, kembali lagi menelisik wajah yang rasanya tak terlalu asing bagiku. Andai cambang lebat tak ada di sana dan menutupi ... lesung pipi itu.Astagaaa! Ternyata benar-benar dia."Bukannya kamu masih di pulau seberang?" tanyaku pada lelaki tersebut."Iya, ini iseng aja mampir ke mari.""Berenang?""Naik sampan."Ayah turut tertawa menanggapi candaan kami. Sejak dulu dia memang sering berkelakar dengan menyebut Australia sebagai pulau seberang, karena memang letaknya hanya terpisah samudera dengan bagian timur Pulau Jawa.Ia lantas duduk kembali berhadapan dengan Ayah, sementara aku memilih tempat di samping Ayah sehingga posisi kami berseberangan.Mata berbingkai bulu lentik tersebut menatap lekat-lekat ke arahku, memindai penampilan seperti yang tadi kulakukan padanya. Sementara aku, setengah menunduk, namun ekor mata sipit milikku tentu masih bisa meliriknya dengan leluasa.
Hujan deras yang mengguyur kota Banyuwangi pagi itu seakan menambah pilu yang menguasai seluruh sendi kehidupanku. Terdengar tangisan Nohan timbul tenggelam. Ingin sekali membawanya dalam gendongan dan memberikannya ASI, namun tubuh sialan ini berkhianat padaku. Bahkan untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.Rumah ini terasa sedikit gaduh, diikuti suara-suara orang mengaji beriring isak tangis beberapa perempuan. Cahaya di pelupuk mata seakan mengecil, redup, semakin buram, lalu ... segalanya tertutup kegelapan.***Perlahan membuka mata, memindai setiap sudut ruangan bernuansa ungu muda dengan aneka rupa boneka tertata rapi di salah satu sudutnya. Sepertinya tidurku terlalu lama sehingga tubuh ini terasa begitu lemah.Menoleh ke samping dan mendapati senyuman Ibu, sementara Ayah menatap dengan netra sendu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengusap puncak kepalaku sesaat sebelum keluar dari ruangan."Haus, Nak?" Suara Ibu terasa begitu l
39. Kenang LukaLaptop di hadapan menampilkan jejak tindih jemari yang tertuang dari ungkapan rindu di dalam dada. Berpuluh menit memindai rasa menjadi sebuah tulisan yang selama ini selalu berhasil mengobat resah. Menulis adalah caraku berbicara tentang segala hal yang tak mungkin terungkap sempurna di dunia nyata.KENANGOleh: Arinda PrasetyaSisa-sisa senyummu masih tercecer pada tiap sudut ruangan. Aroma tubuh, deru napas juga kelabat bayang masih memenuhi ruang pikiran.Setiap kata, tingkah laku, gaya bicara khas jiwamu yang begitu lembut, dan tiap tatapan mesra dari netra teduhmu itu, menjadi candu yang lagi dan lagi selalu kurindu.Kunikmati masa-masa sakit saat kehilanganmu. Kunikmati haru biru tangis menanti kepulanganmu, berharap kenyataan hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir ketika azan subuh. Kunikmati tiap jengkal harapan semu. Kunikmati perih sepi yang menyusup pada setiap inchi pori-pori.Merindumu yang tak lagi terjan
38. Aku Cuma Cinta KamuDering panggilan pada handphone Mas Ichsan mengagetkan Nohan yang hampir saja terlelap. Bayi enam bulan tersebut menggigit sumber asinya kuat-kuat, membuatku terpekik kesakitan."Sayang ... mimik bunda jadi sakit kalau digigit. Nih jadi merah. Disayang aja, ya?" ujarku pada bayi dengan satu gigi tersebut. Dia sedang berada pada fase oral, senang menggigit apapun, terlebih ketika sedang kaget atau marah.Bayi mungilku seolah menjawab dengan ocehannya. Sejak masih dalam kandungan, aku memang sering melatihnya berkomunikasi. Menurut penjelasan dokter, kesehatan mental dan kecerdasan bayi bisa dibentuk sejak sebelum ia lahir. Salah satu cara ialah dengan mengajaknya berkomunikasi secara rutin.Nohan memandangku sambil mengucek matanya, sepertinya ia sangat mengantuk.Samar-samar terdengar Mas Ichsan berbicara serius dengan lawan bicaranya di seberang telepon. Tentang ... Zara. Jantungku berdebar tak karuan saat mendengar nada bi
Perjalanan kali ini terasa begitu melegakan. Ada Mas Ichsan bersama kami. Kami sedang dalam perjalan kembali ke rumah setelah lebih dahulu mengantarkan Mama dan Papa.Masih teringat wajah sedih Mama saat melepas kami pergi. Bukan karena tak ingin berpisah dengan putranya, namunvkarena beliau khawatir dan tak tega jika aku harus mengurus seorang bayi dan juga suamiku yang sedang tak stabil. Akan tetapi, membiarkannya tinggal jauh dariku, malah berpotensi memperburuk keadaannya. Lagi pula ... aku juga tak tega jika harus berpisah lagi dengannya.Mobil melaju membelah jalanan pantura. Mas Ichsan mengobrol dengan Pak Tikno sementara Mak Nini tertidur di sampingku. Kudekap Nohan yang tengah tertidur dengan satu tangan, lalu bermain dengan gawai di tangan kanan.Bucin Cinta Tanpa PamrihRaung-raung memuj