Tetes-tetes embun bergelayut manja pada batang-batang buah naga. Meliuk-liuk turun, melewati duri-duri, beberapa sempat tersangkut, lalu jatuh mencapai tanah.
Persis hatimu, Rin!
Perjalanan panjang ini menguras segala daya. Berpuluh-puluh purnama menahan segala ego, menaruh kebahagiaan diri jauh pada urutan terbawah. Mengabdikan seluruh jiwa raga untuk seseorang yang hingga detik ini pun masih tersebut dalam doa. Tapi apa yang kudapat? luka!
"Pulang yuk, Nduk!"
"Nggih, Bu. Sebentar lagi," jawabku di sela menghidu sebanyak-banyaknya segar udara.Menikmati aroma embun adalah cara yang kupilih untuk mengawali hari-hari.
Setelah puas menghirup udara di sini. Aku bergegas mengikuti langkah perempuan yang masih cantik di usia setengah abad itu.
"Ati-ati, Mbak Arin ...." ujar salah seorang Bapak yang bekerja di kebun buah naga milik keluarga kami saat aku melewati saluran irigasi di antara dua pematang sawah.
"Nggih, Pak," sahutku sambil ters
Tanpa berpikir panjang, segera kujawab telepon dari Mama."Assalamualaikum, Mah.""Waalaikum salam! Nduk, Ichsan kambuh." Tersirat kepanikan dalam nada bicara Mama."Lho, kok bisa, Mah?""Bangun tidur, langsung ndak ngerespon. Diajak ngomong diem aja. Mama bingung harus gimana.""Sejak kapan Mas Ichsan di sana, Ma?""Sudah dua hari," jawab Mama lirih. Pasti saat ini beliau sedang begitu sedih."Nggak papa, Ma. Mungkin sedang nggak stabil. Selama dia tenang dan nggak bertindak arogan, biarin aja."Aku menghela napas, lalu mengusap perut yang sepertinya tak henti bergerak. Mungkin si kecil juga khawatir mendengar kabar tentang Ayahnya.Ayah yang masih meragukan keberadaannya.Setahun terakhir kondisi Mas Ichsan sudah stabil. Kami sepakat menggunakan obat berupa suntikan setiap tiga bulan sekali. Menurut dokter yang menangani, selama masih mendapat suntikan tersebut secara rutin, suamiku tetap dalam kondisi stabi
Ada yang perlahan meranggas di sini, tapi bukan daun jati. Harapan akan datangnya bahagia bagi diri. Ada yang perlahan meleleh di sini, tapi bukan air mata. Rasa bersalah.___________Sepeninggal Dayu, kuajak Mas Ichsan berbicara dari hati ke hati. Tanpa emosi, sejenak menepis segala prasangka juga curiga. Jangan sampai masalah ini berlarut-larut tanpa kejelasan dan menjadi bomerang bagi diri sendiri."Sekarang kan sudah jelas soal Zara, trus, apa yang akan Mas lakuin?" tanyaku serius namun dengan nada rendah.Mas Ichsan memandang ke arah halaman, dengan posisi yang masih sama. Aku mendekat, memeluk dari samping dan menyandarkan kepala pada bahu kirinya.Tangan dingin itu mengelus rambutku ragu."Menurutmu ... gimana?" lirihnya."Ya ... Mas nikah aja sama Dayu," ujarku santai, meski sudut mata ini terasa agak basah."Konyol! Saran macam apa, itu!" Mas Ichsan terkekeh sambil mengacak rambutku. Sementara aku masih betah bergelayut me
29. Masih Sayang DiaDingin udara pagi berhasil membangunkan tidur nyenyakku. Mendongak ke arah jam dinding, waktu subuh hampir tiba. Tadi malam, sengaja meneguk secangkir besar teh hitam kental dengan tambahan susu kental manis yang cukup banyak. Sependek pengalamanku, resep itu selalu berhasil membuatku tidur lebih awal di saat sedang banyak pikiran.Mas Ichsan terlelap di sisiku dengan tangan menimpa perut. Entah jam berapa dia pulang. Tadi malam sengaja kukunci pintu dan mencabutnya, agar kalau dia datang, bisa menggunakan kunci cadangan."Mas, bangun, bangun!"Dia masih bergeming."Mas, bangun! Bangun!" Kali ini kubangunkan sambil mengguncang tubuhnya cukup keras.Dia membuka mata. Aku segera berwudhu dan shalat subuh sebelum waktunya habis, tanpa mengajaknya bicara. Ada rasa kesal yang kali ini tak dapat lagi tertahan.Hari minggu yang dingin, memilih sejenak berjalan-jalan di taman dekat komplek, sekalian mencari sarapan atau c
30. Kehamilan Tak DiinginkanKamu ... hamil?" tanya Mas Ichsan dengan wajah terkejut, sama sekali tak ada raut bahagia di sana.Aku mengangguk dengan senyum serupa kuncup bunga yang tiba-tiba layu, padahal baru saja mekar."Anakku?"Tanya itu menghadirkan ribuan jarum aneka bentuk menusuk-nusuk di dalam sini. Perih, pedih, kali ini bukan hanya melukai hati, tapi ... harga diri.Harga diri seorang perempuan yang harus merangkak untuk menjaga kesetian. Perempuan yang harus meredam segala gejolak demi menjadi istri yang sesuai harapan.Aku memang kotor, nakal dan ... jalang. Tapi itu dulu, sebelum tangan dan kakiku terikat pernikahan.Astagfirullahalladzim ... astagfirullahalladzim ... astagfirullahalladzim.Aku bersandar di lemari dengan perasaan tak menentu. Antara bahagia dan terluka. Antara bersyukur dan hancur. Antara haru dan pilu. Sementara lelaki kesayanganku duduk pada ranjang, meremas rambut."Kenapa Mas tanya kay
Beberapa bulan terakhir, kondisi rumah tangga kami benar-benar begitu dingin. Aku tak sudi lagi menerima segala perhatiannya. Setiap kali ia bersikap manis, alam bawah sadar selalu menolak dengan menghadirkan ingatan-ingatan tentang kesalahan yang ia lakukan.Memang bukan kesalahan fatal, tapi cukup membuatku kesal. Bau parfum itu, beberapa foto bersama Dayu dengan wajah semringah juga beberapa chat mereka sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka masih saling mencintai.Aku sanggup menerima seperti apapun masalalu juga konsekuensi yang mengikutinya. Tapi konsekuensi seperti apa dulu? Jika itu hanya tentang Zara, aku pasti menerima. Bahkan andaikata suatu saat nanti Zara meminta hak waris penuh atas aset Ayahnya, aku akan mengalah.Akan tetapi, kalau ini menyangkut tentang rasa, aku tak mau lagi berpura-pura menutup telinga."Rin, tetep di sini, ya ..." pinta Mas Ichsan malam itu."Aku cuma mau pulang ke rumah Ibu, Mas," ujarku dingin sambil memasukka
REDAMOleh: Pesona SenjaAku pernah menggenggam api, perlahan membakar diri sendiriAku pernah menggenggam air, lupa bahwa tak mungkinAku pernah melukis bayang, makin kecil lalu hilangAku pernah tulus mencinta, tanpa tau arah menyerahApa kau peduli? Tidak!Kamu pernah menggapi bulan, untuk pintakuKamu pernah menangkup angin, bagi mimpikuKamu pernah memeluk bara, lalu panas menjalar dadaMarah buncah kamu menyerahApa aku peduli? Tentu!Cintamu palsuTerukir semu bayang kelabuRindu redam kecamuk menghimpunKelak sesal tiada ampunCintaku kasta muliaTerangkai doa sepanjang usiaKelak cintaku redup berlumur tanah basahJika Tuhan menutup mata selamanya_______________Klik! Terkirim pada wall pribadi. Iseng, kubuka profil milik seseakun nun jauh di sana. Titik hijaunya menyala.Kuhitung mundur dari angka tiga belas, angka favoritnya. Tepat di hitungan ke
Kui banyon, uduk ngompol, Nduk, (Itu pecah ketuban, bukan ngompol)" ujar Mak Nini sembari mencari baju ganti dan beberapa kain untuk melapisi alas dudukku.Segera kutelepon Mas Ichsan. Lama, tak kunjung terjawab. Mencoba meneleponnya lagi, masih tak ada jawaban.Kemana sih, dia! Ingin rasanya menangis. Kenapa malah susah dihubungi di saat-saat seperti ini.Memutuskan untuk mengirim pesan padanya, "Mas, aku mau lahiran. Ini mau berangkat ke klinik." Kemudian berangkat ke Klinik Kesehatan Ibu dan Anak bersama Mak Nini dan Pak Tikno."Maaak ... Rinda takut.""Insha allah lancar, Nduk. Tenang," ujar Mak Nini menguatkan.Ada perasaan seperti ... ah, entahlah. Semacam ketakutan tak beralasan. Seperti merasa tak nyaman, atau mungkin tak enak hati. Ya Tuhan ... semoga ini bukan firasat apa-apa.Setelah sampai di klinik, dokter pun memeriksaku. Masih pembukaan tiga. Sakit di pinggang semakin tak tertahanvditambah sakit luar biasa pada pe
Perlahan menghirup napas dalam-dalam demi menguatkan hati dan mendapat sedikit lagi kesabaran.Tenang, Rinda ... kamu harus kuat apapun kenyataannya."Bu ...."Ibu beranjak duduk di tepi ranjang."Tolong ... Rinda mau dengar cerita Ibu.""Nanti ya, nunggu jahitanmu kering. Kowe nangisan, sih, Nduk! Mengko jahitanmu ndak sembuh-sembuh.""Bu ... Rinda malah tambah stres kalau kepikiran terus, nanti kena baby blues syndrom kayak di tivi-tivi. Ngeri kan? Tuh sampai ada yang jahat sama bayinya."Ibu menatapku dengan dahi mengernyit. Mungkin sedang berpikir."Sebenernya Mas Ichsan kenapa, Bu? Terakhir sebelum ketiduran, Rinda inget kalau ada yang nelepon dari polsek. Katanya suruh jemput di rumah ... nggak taulah rumah siapa."Helaan napas Ibu terlihat cukup berat."Nduk ...."Kutatap Ibu lekat-lekat."Janji yo, kudu kuat?"Aku mengangguk."Suamimu ... jatuh dari jembatan.""Jatuh? Jat