Suara decit dua lempeng besi yang bergesekan membuat mata terbuka. Sebenarnya diri ini sudah bangun sejak tadi, namun hanya pura-pura terpejam agar tak perlu bercakap dengan Pak Afnan. Kulirik sekitar, masih belum sampai stasiun tujuan. Ada desir tak biasa di hati ini. Pernah di suatu ketika, Sekitar dua tahun lalu. perjalanan ke kota ini menjadi begitu menakutkan. Takut pada kenyataan.
Ingatan tentang mas-masa menyedihkan itu kembali hadir. Saat di mana Mas Ichsan sempat kami titipkan di Rumah Sakit Jiwa selama tiga bulan. Dia sempat relaps, mudah tersulut emosi, berusaha menyakiti diri sendiri dan sering tidak bisa kooperatif saat kontrol di poli kesehatan jiwa RSUD. Atas rekomendasi dokter, akhirnya dengan berat hati kami mengantarnya untuk rehabilitasi setelah beberapa bulan ini menjalani pemeriksaan dan rawat jalan.
Jangan tanya bagaimana perasaanku kala itu. Sedih, takut, tak tega. Tapi yang lebih berat adalah, malu. Malu memiliki suami gila dan harus di rawat di rumah sakit jiwa! Apa jadinya jika tetangga, saudara, rekan kerja, dan teman-teman tahu kalau suamiku gila?
Sempat terlintas pikiran untuk pergi bekerja ke tempat yang jauh, meninggalkannya bersama keluarga. Toh, dia tak akan terlantar, ada Mama yang akan merawatnya. Tapi ... bukankah sebagai istri, akulah orang pertama yang wajib merawatnya? Lalu atas persetujuan keluarga, akhirnya dengan berat hati kami mengantarnya ke rumah sakit jiwa.
~ndaa~
Bangunan dengan cat kuning cerah berdiri kokoh menantang awan. Kebanyakan orang, berpikir bahwa rumah sakit jiwa begitu menakutkan. Jangan membayangkan kalau RSJ itu visualisasinya seperti di sinetron-sinetron ikan terbang. Dengan pasien aneka rupa berkeliaran menari-nari, tertawa dan suka mengganggu pengunjung. Tidak salah, tapi tak sepenuhnya benar. Itu hanyalah gambaran dari salah satu bagian RSJ, yaitu ruang rawat inap. Ruang rawat inap pun terbagi menjadi beberapa jenis, tergantung kondisi pasien.
Ruang Merak VIP III, sebuah papan nama tergantung teoat di atas pintu bercat putih. Usai mengurus administrasi lanjutan, suster mengantar kami ke ruangan ini. Sementara untuk rujukan dan prosedur lainnya telah diurus oleh Papa terlebih dahulu.
Sebuah kamar dengan ranjang besi berukuran single. Ada satu meja, dua kursi, juga sebuah lemari kayu bercat cokelat tua. Di pojok dinding, tergantung TV kecil berukuran 14 inch. Aku dan Mama merapihkan barang-barang Mas Ichsan di lemari. Sementara Papa, duduk di kursi menemani putra kesayangannya. Kebanggaan keluarga.
Kami berempat mengobrol santai. Bercanda. Tak ubahnya sedang di rumah sendiri. Kemudian, Mama Papa keluar meninggalkan kami berdua.
Detik-detik berikutnya menjadi hening. Selama berbelas menit kemudian, suamiku sibuk memandangi ruang baru ini. Memeriksa lemari, mengintip ke luar dari jendela, lalu kembali duduk pada ranjang berseprei putih.
Helaan napas ini terasa begitu berat. Antara tega dan tidak, antara sanggup dan menolak. Namun tujuan kami membawanya ke sini harus segera disampaikan. Bukan sekadar periksa atau mengambil obat, kali ini ia akan tinggal lebih lama lagi, mungkin dua atau tiga bulan.
"Mas, kamu di sini dulu, ya? Nanti kalo libur kerja, aku jenguk ke sini," ujarku setenang mungkin.
"Gak! Aku mau pulang!" tolaknya dengan wajah memelas.
Ayolah, Rin! Pikirkan pikirkan pikirkan alasan lainnya.
"Ehmm ...."
Dia hanya diam, masih menatapku.
"Ehmm ... rumah kita ... masih mau direnovasi. Jadi sementara, Mas di sini dulu, ya?" ucapku beralasan.
"Tapi kamu di sini juga, kan?" tanyanya polos.
"Aku ... pulang dulu," jawabku dengan usapan lembut di pipinya. "Mau izin cuti," imbuhku lagi. Ya Tuhaaan, kenapa susah sekali untuk berkata bohong padanya.
"Kenapa harus izin?"
"Ya ... takut kena denda kalau tiba-tiba bolos kerja tanpa izin."
"Yaudah, kamu tetep kerja, tapi kamu tinggalnya di sini?!" tawarnya.
"Kejauhan, Mas. Nanti aku bisa tua di jalan!" Aku tertawa palsu.
Lelaki kesayanganku masih bernegosiasi. "Kenapa kita gak tinggal di rumah Mama atau Bunda aja?"
"Lhaaa, tetep aja jauh. Lagipula aku kan mau bikin surprise. Nanti tiba-tiba kalau mereka datang, rumah kita udah baru. Ya, kan?"
Mas Ikhsan bergeming.
"Gimana? Setuju, kan?"
"Iya deh."
Alhamdulillah, aku tersenyum lega.
"Rin!"
"Hmm?"
"Tapi nanti kalau ada zombie, gimana?"
Hampir saja aku tertawa. Memang, sosok zombie, monster, pocong, dan beberapa jenis hantu lainnya sering hadir dalam halusinasinya.
"Di sini aman. Nggak ada zombie karena ada pawang hantu dan pawang siluman. Pokoknya aman. Kalau Mas ngerasa ada yang aneh-aneh, langsung panggil mereka yang baju putih-putih itu, ya?" ujarku sambil menunjuk beberapa perawat yang berlalu lalang. Mungkin hendak istirahat makan siang.
"Itu pawang hantu?" tanyanya takhjub.
"Iya lah!" Aku meyakinkan.
Alisnya mengernyit. "Bukan suster?"
"Ya semacam suster," jawabku, "Tapi mereka ini sudah dilatih khusus untuk menghadapi hantu," imbuhku lagi.
"Oh iya dah!" ujarnya mantap.
Tatapan pada mata coklat tua di hadapanku ini tak lagi sejernih dulu. Mata yang dulu begitu teduh, menenangkan. Selalu memancarkan harapan baru bagiku yang kala itu berada pada fase keterpurukan.
"Bentar, Mas. Aku kebelet pipis, udah gak tahan!" pamitku dengan bibir bergetar.
Setengah berlari menuju toilet. Sesak di dada tak dapat lagi tertahan. Sakit sekali rasanya. Sakit!
Membohonginya, mengarang berbagai alasan untuk meninggalkannya di sini. Tapi semua ini kulakukan demi kesembuhannya. Dia harus sembuh. Aku harus kuat. Kami pasti kuat. Pasti! Bukankah di masa lalu, sudah berbagai rupa kesakitan telah kulalui. Kamu kuat, Rin! Pasti!
Setelah merapihkan wajah, aku menghampiri Mama dan Papa di ruang tunggu.
"Ma, gimana kalau Rinda sendiri aja yang pamitan? Biar Mas Ichsan nggak berubah pikiran," ujarku hati-hati.
"Mama pingin lihat dia dulu." Bibir Mama sudah bergetar menahan tangis.
"Wis, Ma. Kita lihat aja dari jauh, ya? Rinda bener. Biar Ican nggak berubah pikiran." Papa menimpali.
Dengan senyum terkembang, aku memasuki kamar baru Mas Ichsan. "Mas, aku pulang dulu. Ya?" pamitku sambil mengelus pipi pucatnya.
"Hati-hati," jawabnya singkat. Kuulurkan sekotak besar permen Str*pcil padanya. Dia suka sekali permen itu, meskipun sedang tak mengalami gangguan tenggorokan.
"Kok banyak?" tanyanya polos.
"Di sini jauh dari minimarket," jawabku.
"Ooo ...." Bibir tebal itu terlihat lucu sekali kalau sedang begitu.
Dia membuka kotak permennya.
"Mas."
"Hmm?" Dia mendongak.
"Nanti ... kalau dikasih vitamin, habiskan, ya?"
Dia mengangguk, sibuk menghitung permen di tangannya.
"Janji?" tanyaku dengan mengacungkan jari kelingking.
Ditautkannya jari putih pucat itu pada jariku. "Iya, aku janji," ujarnya mantab.
Aku memeluknya, menciumi kedua pipi, kening, lalu mengecup pelan bibirnya.
"Assalamualaikuuum," ucapku seraya mencium punggung tangannya cukup lama, lalu melangkahkan kaki yang terasa begitu berat sebab terbebani oleh sesak di dalam dada.
~ndaa~"Rin! Rin!"
"Ehh," Suara Pak Afnan membuyarkan lamunanku.
"Dah sampai."
Kuperhatikan sekitar. Ini Stasiun Malang. Aku bergegas mengambil tas, memeriksa barang bawaan takut ada yang tertinggal. Lalu antre keluar di pintu kereta. Ada tempat duduk kosong di pojok peron. Tempat favorit. Pak Afnan bilang, dia sudah memesan jemputan untuk kami. Syukurlah.
Kuambil gawai, mengetikkan sebuah pesan untuk Mas Ichsan. "Mas, aku udah sampai." Send.
Menit berikutnya kukirim satu lagi. "Mas, udah minum vitamin?"
Belum juga ada jawaban. Lalu mencoba mengirimkan pesan untuk Mama. "Assalamualaikum, Ma. Rinda sudah sampai. Mas Ichsan sudah minum obat?" Hanya centang satu. Mungkin Mama sedang mengisi daya batrainya.
Kulirik Pak Afnan, dia sedang sibuk dengan gawainya. Aku pun mengetik beberapa bait puisi untuk membunuh waktu, daripada keolenganku kambuh.
RANJAU
Tuhan
Bila hati salah melangkahTunjukkan arahBila rasa adalah dosaHapus segeraDialah gelora
Pada cita yang tersitaPada cinta hampir ternodaJejak lalu memintal luka berbungaHadirmu ranjau lapis permata
Sedang padaku bunga api terarahLedakkan saja!Biar sempurna kupeluk derita.Tuhan
Kapan tiba masanyaMengejawantah rupa kejoraTak terhitung tempias lukaTuhan
Kumohon tetes bahagia________________________Kota dingin beraroma apelKuposting pada akun F* milikku. Beberapa menit kemudian, muncul sebuah notifikasi messenger F*.
"Lagi di Malang?"
Astaga, harus kubalas apa ini.
Lama kupikirkan balasan."Iya."
"Gak ngasi kabar," balas seseakun di sana.
"Baru sampai, masi di Stasiun."
"Sama keluarga?"
"Urusan kerjaan."
"Kalau senggang. Kita meet up." Tidak ada tanda tanya di akhir kalimatnya. Sebagai sesama akun literasi, kami sama-sama tau apa artinya.
"Lihat ntaran."
"Ok."
Dasar Rinda! Ngapa juga tadi titimangsanya ditulis jelas begitu. Kalau sudah begini kan jadi serba salah. Tanpa sadar, aku mengentakkan kaki cukup keras ke lantai. Kebiasaan kalau sedang kesal. Ehh....
Menoleh ke samping, lalu meringis canggung.Rindaaa! Jaim jaim jaiiiim! Dasar konyol. Di usia yang tak lagi muda, tingkahku masih sering tak terkontrol.
"Lama ya? sebentar lagi datang, kok," Pak Afnan melirik jam tangan.
Aku hanya mengangguk. Mungkin dia pikir, aku kesal karena kang jemputnya lama. Padahal, ini karena sedang dilema.
_______
Meskipun hanya letupan-letupan kecil, tapi jika terus kau usik lalu tersulut, suatu saat ia akan berkobar menjadi letusan besar. Lebih besar. Sangat besar. Dan kau tak lagi punya kendali untuk memadamkan."_____________Jemputan datang. Aku memilih duduk di depan bersama driver. Kubilang kalau sedang pusing dan berharap melihat pemandangan jalanan bisa meredakannya. Aroma bunga hutan menguar dari pengharum mobil. Serasa menghidu bau embun di hutan pinus. Sejuk menenangkan, tapi untuk menikmatinya ada perjalanan panjang yang harus kau tempuh.Begitupun perjalanan hidup, ada jalan panjang menuju damai dan ketenangan. Menikmatinya adalah salah satu cara untuk bersyukur. Menerima dengan dada terbuka, belajar ikhlas dan bersabar sepanjang mata masih terbuka."Kalau pusing, itu ada minyak kayu putih, Mbak!" ujar Mas driver."Oh iya, makasih ... sudah mending kok."Dari suaranya, sepertinya dia masih muda. Driver jaman sekarang memang tak bisa diremehk
(Bukan) SelingkuhJam empat sore, training usai dilakukan. Istirahat sejenak di kursi panjang depan ruangan. Berharap sedikit mengobat rasa letih akibat duduk delapan jam di suatu ruangan dan mendengarkan ceramah materi orang. Lebih enak di kantor, meskipun mumet mikir duit orang, tapi masih bisa bergosip dan becanda. Apalagi ... ada Bapak yang seger itu, yang selalu digosipkan oleh Mayang.Ah, gadis itu, sedang apa ya dia sekarang. Jangan-jangan sedang bergosip tentangku.Satu persatu peserta diklat berlalu meninggalkan gedung. Mungkin seru kalau jalan-jalan sebentar, eh tapi aku ada janji menemani Mas Ichsan main gitar. Ah biarlah, toh sore begini dia pasti sibuk dengan tanamannya. Kutelepon suamiku, namun tak ada jawaban. Kutelepon lagi, lamaaa sekali baru ada suara dari seberang."Assalamualaikum," salamnya."Waalaikum salam, Mas lagi nyiram sayur, ya?" timpalku."Iya.""Udah minum vitamin?""Udah.""Aku mau jalan-ja
Perempuan. Siapapun dia, berapapun usianya, bagaimanapun sifat dan apapun status sosialnya. Entah sadar atau tidak. Mengakui atau mengingkari. Pasti pernah luluh oleh satu hal yang bernama ... pujian.Pujian. Darimanapun ia datang, siapapun dan dengan cara apapun disampaikan. Jangankan dari orang yang menarik baginya, dari orang yang ia benci sekalipun, pasti akan terasa juga dampaknya.___________________Sebuah lagu mengalun sendu dari panggung minimalis di pojok cafe. Kaff duduk di sana dengan gitar dalam petikan.~~~~Kau yang pernah singgah di siniDan cerita yang dulu kau ingatkan kembaliTak mampu untukku mengenal lagiMengenal dirimu di awal duluTak ada waktu kembaliUntuk mengulang lagiMengenal dirimu di awal duluKutahu dirimu duluHanya meluangkan waktuSekedar melepas rasa sedihmuMencintai dalam sepi dan rasa sabar mana lagiYang harus kupendam dalam mengagumi dirimuMelih
Azan isya' baru saja berkumandang saat aku tiba di terminal. Tak sabar rasanya ingin segera kembali ke rumah. Setelah memastikan tak ada barang bawaan yang tertinggal, aku bergegas turun dan menghubungi Mas Ichsan. Tadi siang, dia bilang akan menjemputku di sini bersama Mama. Jarak rumah kami tak terlalu jauh dari sini. Oleh karena itu kusetujui tawarannya meskipun dengan berat hati.Mengetik sebuah pesan pada Mas Ichsan, beberapa detik kemudian terkirim tapi tanda centang tak berubah biru. Ohh, mungkin masih salat, pikirku. Kutunggu hingga beberapa menit, belum juga dibaca. Lalu mencoba menelepon Mas Ichsan, namun masih tak ada jawaban. Kuulang hingga beberapa kali, masih juga tak ada jawaban.Istrimu ini sudah tak sabar ingin pulang, Mas, badan terasa amat letih, ingin segera mandi dan beristirahat. Lalu beralih menelepon Mama.Syukurlah, panggilan diterima."Hallo Asslamualaikum, Nduk," sapa Mama."Waalaikumsalam. Mas Ichsan mana, Ma?"
Suara azan subuh berkumandang. Aku duduk terpekur dengan ujung mata yang masih basah. Semalam penuh mata ini tak bisa terpejam. Mas Ichsan masih nyaman di dalam selimut kami. Mungkin ia kelelahan setelah semalam berpacu menuntaskan denyar rindu yang sempat tertunda. Lagi-lagi tetes bening mengalir tanpa henti. Ada yang perih di dalam sini saat mengingat kejadian tadi. Sebongkah daging yang bernama hati. Bagaimana tidak, di puncak kenikmatan yang tengah kami arungi, bukan namaku yang ia sebut. Tetapi ... Dayu.Dayu? Entah kebenaran macam apalagi yang harus kucecap kali ini. Apakah Ida Ayu Ambarukmi yang dia maksud? Siapapun itu, pasti dia perempuan yang penting bagi suamiku.Pelan-pelan membangunkan Mas Ichsan dengan satu kecupan di pipi. Sementara bendungan di ujung mata hampir saja lepas kendali."Mas, dah subuh. Ayo bangun!" ujarku lembut, meski dengan suara sedikit bergetar."Mas ... Mas ... dah subuh, ayo bangun," ulangku sambil mengusap bahunya berka
"Selamat datang kembali, Ibu Arinda," sambut Mayang saat aku memasuki ruangan yang masih lengang.Gadis itu akhir-akhir ini memang selalu datang lebih awal."Halah, kek yang dari mana aja!" Aku tertawa, menaruh tas dan duduk manis mengeluarkan handphone. Sepertinya tadi ada panggilan masuk, tapi kubiarkan saja karena masih di jalan."Kan calon manager!" Mayang mengedipkan satu mata."Jare sopo? Sotoyyy!" sangkalku sambil mendorong pipi mulusnya dengan telunjuk.Pandanganku kembali tertuju pada gawai di tangan. Astagaaa, Pak Afnan. Kira-kira ada apa ya? Apa kutelepon balik aja? Eh, tapi nanti Mayang curiga. Aku mendongak menatap Mayang. Takut dia mengintip. Ah, amaan."Beritanya dah nyebar seantero kantor, lho, Mbak!" ujar Mayang dengan nada menggoda."Berita apa?" tanyaku khawatir. Jangan-jangan gosip antara aku dan Pak Afnan."Berita Mbak dan Pak Afnan," jawab Mayang setengah berbisik."Haaah?!" Aku terhenyak, lalu kemu
Masih terbayang di benak apa yang dikirim oleh Kaff pagi tadi. Ia berhasil meretas blog milik Mas Ichsan, menelusurinya, lalu mengirimkan beberapa puisi dan curhatan yang tersimpan dalam draft yang tersembunyi di sana.Suamiku memang suka menulis, kutahu itu sejak dulu. Namun yang ia tulis hanya tips-tips seputar dunia IT. Hobi mereview beberapa produk yang berkaitan dengan bidang keahliannya, baik digital maupun non digital.Kenyataan yang terjadi berkata lain, Mas Ichsan yang kupikir jauh dari kata melankolis, ternyata sebaliknya. Puisi-puisi miliknya begitu syahdu dan romantis.Ah, Mas ... padahal sebaris pun tak pernah kau buatkan puisi untukku, istrimu.Dayu ... Ida Ayu Ambarukmi. Seseorang yang masih menempati posisi khusus di hati suamiku saat ia menulis puisi itu. Lalu, di mana posisiku sebagai istri? Hanya pelarian semata? Lagi-lagi ujung mataku basah. Kutepis semua ingatan. Ini kesalahan karena mencari tahu tentang sesuatu yang bukan porsi
Menghadapi cahaya, walau menyilaukan, lebih baik daripada berjalan dalam kegelapan. Sebab dalam kesilauan dirimu masih bisa melihat sekitar, meski matamu terasa sakit." Kaffah Ar RayyanAku tersenyum membaca quotes yang sengaja dibuat khusus untukku.Sudah tengah malam, Mas Ichsan terlelap dengan satu lengan memelukku dari belakang. Dapat kutebak dari napasnya yang teratur.Jariku bergerak lincah menyentuh beberapa icon, lalu membaca screen shoot yang tadi siang dikirim oleh Kaff. Dia kirimkan hanya tulisan yang berisi info penting semehingga aku tak perlu lagi memilahnya. Mungkin dengan cara ini bisa kuketahui apa yang sebenarnya telah terjadi.Bismillah ... apapun kenyataanya, semoga tak pernah mengubah rasa cintaku
45. PulangPULANG"Kamu kurusan, Nduk," ujar Ibu saat menungguiku bersiap-siap.Aku hanya tersenyum ke arahnya. Memang benar, beberapa bulan terakhir, aku tak selera makan. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati makanan, sementara seluruh pikiran hanya tertuju pada Mas Ichsan."Jaga kesehatan, Nduk. Setelah ini, kamu harus dua kali lebih kuat. Karena yang akan kamu jaga bukan cuma Nohan.""Nggih, Bu. Rinda dah nyiapin semuanya," jawabku untuk membesarkan hati Ibu. Padahal kenyataannya, masih ada keraguan menyelimuti hati.Bagaimana jika nanti Mas Ichsan kambuh dan berulah?Bagaimana perasaan Nohan jika tahu kondisi ayahnya yang sebenarnya?Bagaimana bila nanti ... ah, biarlah apa kata nanti. Terpenting, aku sudah berusaha.Sebenaranya hal itulah yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran dan membuat hidupku tidak tenang.Jujur, kembalinya Mas Ichsan tak hanya membawa kebahagiaan bagiku, ada suatu perasaan lain yang
Tak biasanya wifi portabel milikku ini bermasalah. Aku segera membawa laptop menuju balkon, lalu menggantinya dengan jaringan internet hotel dan kembali berselancar di akun youtube milik Arbian Herdi.Gerak jemariku terhenti tatkala terpampang sebuah video dengan gambar pemuda yang sedang mencoba berinteraksi dengan seorang ODGJ di suatu emperan toko.Dadaku berdesir melihatnya. Segera menekan tombol play dan kuperhatikan dengan seksama. Dari tanggal yang tertera, video tersebut diunggah beberapa hari yang lalu.Menit-menit berlalu tanpa terasa. Jiwaku seolah melayang di suatu tempat antahberantah, rasanya itu semua tak mungkin. Aku ... masih belum percaya. Lebih tepatnya aku menolak percaya terhadap apa yang baru saja kusaksikan.Video milik seorang aktivis tersebut sukses membuat hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan aku tak bisa lagi menerjemahkan apa yang kini terasa.Antara sadar atau tidak. Antara mimpi atau nyata. Antara ilusi atau fakta. Ak
Aku berdiri seraya merapikan kebaya yang terasa cukup sempit di tubuh ini. Berat badanku masih bertahan di angka empat puluh tiga, tak pernah berubah sejak masa gadis. Namun bentuk tubuh gadis-meskipun bukan perawan-tentu akan berbeda dengan seseorang yang sudah pernah melahirkan, apalagi setelah usia kepala tiga. Perubahan ukuran lingkar lengan atas dan bagian dada membuat kebaya terasa agak sesak.Berjalan pelan menuju pelaminan putih berhias bunga warna senada dengan dedaunan hijau menjuntai indah. Sederhana, namun nampak elegan. Lalu mataku tertuju pada sepasang merpati putih yang terkurung di dalam sangkar keemasan. Setelah acara usai nanti, pengantin akan melepaskan merpati tersebut sebagai simbol bahwa mereka sudah siap menempuh hidup yang baru.Ah, kenapa hal ini malah mengingatkan pada prosesi dalam pernikahanku dengan Mas Ichsan dahulu.Di depan sana, seorang laki-laki berdiri tegap dengan senyum santunnya. Wajah itu semakin memesona dalam balutan baju
Bulan ketiga di ibukota, Nohan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kami, begitupun aku. Mak Nini dan Pak Tikno turut menemaniku ke kota ini. Setidaknya, sampai aku memiliki pendamping lagi, begitulah perjanjian tak tertulisku dengan Ayah sebelum beliau mengizinkanku pindah.Sebulan terakhir, aku menjalani aktivitas di tempat kerja yang baru. Menjadi staf pengajar pada sekolah tinggi manajemen industri di kota ini. Memilih mengikuti jejak Ayah sebagai seorang pendidik, berharap dengan pekerjaan yang tak terlalu menyita waktu ini akan ada lebih banyak waktu untuk membersamai tumbuh kembang Nohan dan mempelajari pola asuh terbaik untuknya.Kembali memulai karir dari nol, kembali memulai hidup yang baru setelah sebelumnya berusaha membebaskan hati dan pikiran dari kenangan masa lalu. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk merelakan dan menerima setiap takdir yang sudah digariskan.Melupakan Mas Ichsan adalah salah satu hal yang mustahil kulakukan. Bagaiman
Setelah beberapa menit memindai dari atas ke bawah, kembali lagi menelisik wajah yang rasanya tak terlalu asing bagiku. Andai cambang lebat tak ada di sana dan menutupi ... lesung pipi itu.Astagaaa! Ternyata benar-benar dia."Bukannya kamu masih di pulau seberang?" tanyaku pada lelaki tersebut."Iya, ini iseng aja mampir ke mari.""Berenang?""Naik sampan."Ayah turut tertawa menanggapi candaan kami. Sejak dulu dia memang sering berkelakar dengan menyebut Australia sebagai pulau seberang, karena memang letaknya hanya terpisah samudera dengan bagian timur Pulau Jawa.Ia lantas duduk kembali berhadapan dengan Ayah, sementara aku memilih tempat di samping Ayah sehingga posisi kami berseberangan.Mata berbingkai bulu lentik tersebut menatap lekat-lekat ke arahku, memindai penampilan seperti yang tadi kulakukan padanya. Sementara aku, setengah menunduk, namun ekor mata sipit milikku tentu masih bisa meliriknya dengan leluasa.
Hujan deras yang mengguyur kota Banyuwangi pagi itu seakan menambah pilu yang menguasai seluruh sendi kehidupanku. Terdengar tangisan Nohan timbul tenggelam. Ingin sekali membawanya dalam gendongan dan memberikannya ASI, namun tubuh sialan ini berkhianat padaku. Bahkan untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.Rumah ini terasa sedikit gaduh, diikuti suara-suara orang mengaji beriring isak tangis beberapa perempuan. Cahaya di pelupuk mata seakan mengecil, redup, semakin buram, lalu ... segalanya tertutup kegelapan.***Perlahan membuka mata, memindai setiap sudut ruangan bernuansa ungu muda dengan aneka rupa boneka tertata rapi di salah satu sudutnya. Sepertinya tidurku terlalu lama sehingga tubuh ini terasa begitu lemah.Menoleh ke samping dan mendapati senyuman Ibu, sementara Ayah menatap dengan netra sendu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengusap puncak kepalaku sesaat sebelum keluar dari ruangan."Haus, Nak?" Suara Ibu terasa begitu l
39. Kenang LukaLaptop di hadapan menampilkan jejak tindih jemari yang tertuang dari ungkapan rindu di dalam dada. Berpuluh menit memindai rasa menjadi sebuah tulisan yang selama ini selalu berhasil mengobat resah. Menulis adalah caraku berbicara tentang segala hal yang tak mungkin terungkap sempurna di dunia nyata.KENANGOleh: Arinda PrasetyaSisa-sisa senyummu masih tercecer pada tiap sudut ruangan. Aroma tubuh, deru napas juga kelabat bayang masih memenuhi ruang pikiran.Setiap kata, tingkah laku, gaya bicara khas jiwamu yang begitu lembut, dan tiap tatapan mesra dari netra teduhmu itu, menjadi candu yang lagi dan lagi selalu kurindu.Kunikmati masa-masa sakit saat kehilanganmu. Kunikmati haru biru tangis menanti kepulanganmu, berharap kenyataan hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir ketika azan subuh. Kunikmati tiap jengkal harapan semu. Kunikmati perih sepi yang menyusup pada setiap inchi pori-pori.Merindumu yang tak lagi terjan
38. Aku Cuma Cinta KamuDering panggilan pada handphone Mas Ichsan mengagetkan Nohan yang hampir saja terlelap. Bayi enam bulan tersebut menggigit sumber asinya kuat-kuat, membuatku terpekik kesakitan."Sayang ... mimik bunda jadi sakit kalau digigit. Nih jadi merah. Disayang aja, ya?" ujarku pada bayi dengan satu gigi tersebut. Dia sedang berada pada fase oral, senang menggigit apapun, terlebih ketika sedang kaget atau marah.Bayi mungilku seolah menjawab dengan ocehannya. Sejak masih dalam kandungan, aku memang sering melatihnya berkomunikasi. Menurut penjelasan dokter, kesehatan mental dan kecerdasan bayi bisa dibentuk sejak sebelum ia lahir. Salah satu cara ialah dengan mengajaknya berkomunikasi secara rutin.Nohan memandangku sambil mengucek matanya, sepertinya ia sangat mengantuk.Samar-samar terdengar Mas Ichsan berbicara serius dengan lawan bicaranya di seberang telepon. Tentang ... Zara. Jantungku berdebar tak karuan saat mendengar nada bi
Perjalanan kali ini terasa begitu melegakan. Ada Mas Ichsan bersama kami. Kami sedang dalam perjalan kembali ke rumah setelah lebih dahulu mengantarkan Mama dan Papa.Masih teringat wajah sedih Mama saat melepas kami pergi. Bukan karena tak ingin berpisah dengan putranya, namunvkarena beliau khawatir dan tak tega jika aku harus mengurus seorang bayi dan juga suamiku yang sedang tak stabil. Akan tetapi, membiarkannya tinggal jauh dariku, malah berpotensi memperburuk keadaannya. Lagi pula ... aku juga tak tega jika harus berpisah lagi dengannya.Mobil melaju membelah jalanan pantura. Mas Ichsan mengobrol dengan Pak Tikno sementara Mak Nini tertidur di sampingku. Kudekap Nohan yang tengah tertidur dengan satu tangan, lalu bermain dengan gawai di tangan kanan.Bucin Cinta Tanpa PamrihRaung-raung memuj