Kondisi kantor cukup sepi saat aku tiba di sana. Hanya ada Pak Ali dan beberapa anak FL yang sedang merapihkan penampilan. Masih ada beberapa puluh menit untuk bersantai sebelum jam kantor dimulai.
"Mbak Rin, Mbak Rin!"
"Hmm." Aku masih sibuk dengan gawai di tangan.
"Tau, nggak?" tanya Mayang.
"Enggak!" Kujawab acuh.
"Hiiihhh, kaah!. Dengerin lah, Mbak. Pasti sibuk nge-bucin popcorn dumay, nih!"
"Sembarangaaan, iki lagi edit naskah!"
Padahal sih memang iya. Belum afdol rasanya mengawali hari tanpa mengintip aktivitas author-author pemes dunia maya. Hi hi hi
Kubelokkan kursi, menghadap si pemilik bibir tipis yang hobi bergosip. Baik di dunia nyata maupun maya.
"Piye piye piye?" tanyaku dengan bahasa Jawa yang artinya bagaimana.
"Pak Afnan itu ternyata duda, Mbak. Istrinya meninggal dua tahun lalu waktu melahirkan anak mereka."
"Ooo... terus hubungane karo aku, opo?"
"Hishh, ya kan ini berita bahagia. Semua fans harus tahu. He he he.""Lambe turah! Tapi aku bukan fans nya. Wekss!" ujarku sambil menjulurkan lidah.
Mayang mengerucutkan bibir. Ada binar-binar bahagia di matanya ketika membicarakan Pak Afnan, kutahu dia memiliki rasa yang tak biasa. Lebih dari sekadar kagum dan terpesona.
Gadis ini sebenarnya sangat cantik, hidung bangir, bibir tipis dengan dua mata bola berbulu lentik. Usianya baru dua puluh tiga tahun. Tapi sampai detik ini masih saja jomlo, ya mungkin gegara kelewat cerewet. Suara cemprengnya selalu berhasil memekakkan telinga.
"Mbak Arin nggak seru, ah!"
"Ha ha ha, lha aku udah punya yang halal di rumah. Ngapa juga peduli sama yang di luaran. Sanah deh, gebet aja!"
"Ciyeee, caya deeh yang suaminya cakep!"
"Iya donk!", Lalu kupelankan suara seperti berbisik. "Dan memuaskan."
Tawa kami berdua pecah seketika. Tawa miris menertawakan diri sendiri. Mayang memang belum tahu jika suamiku sedang dalam fase tak biasa.
Tiba-tiba Mayang terdiam dengan senyum kaku di bibirnya.
"Beeeh, kesambet nih kek nya." Mayang hanya diam.
Detik berikutnya kudengar suara deheman tepat di belakangku. Kuputar kursi."Eh, Bapak," sapaku lalu berdiri. Pak afnan berdiri di dekat pintu.
"Ke ruangan saya! perintahnya." Aku mengekor di belakangnya.
Di ruangan yang sama, dengan parfum sama. Bisa-bisa otakku kembali oleng. Apa jangan-jangan aku ini keturunan alien. Mirip Chai Xio Xi di film My Girl Friend is Alien. Dia selalu kehilangan kendali ketika mencium aroma hormon pria bumi. Hi hi hi itu dracin favorit. Kumat deh kehaluanku.
"Apa sudah kamu pertimbangkan?"
"Hah? Eh, iya, sudah Pak!" Hadeeh, kumat konsletmu, Rin!
"Siap?"
"Insha allah, Pak!" jawabku mantab.
"Oke, kamu hubungi Hani untuk memastikan jadwal dan tiketnya."
~ndaa~
Jumat pagi yang sendu. Rintik hujan menghadirkan irama gemercik konstan di atas genteng. Aku masih meringkuk di dalam selimut ketika kudengar ketukan di pintu.
"Nduk ... wes pagi. Nanti telat ke stasiun."
Kulirik HP, jam enam lima belas. Mas Ichsan masih lelap di sampingku. Setelah subuh tadi, aku berhasil menggodanya.
Jadi, menurut ceramah salah satu ustadzah, seorang istri yang lebih dulu menggoda atau mengajak suaminya untuk berhubungan intim, pahalanya akan jauh lebih besar. Nah, sebagai istri salehah, aku harus melakukannya. Hi hi hi dasar omes, kamu, Rin! Jitak jitak jitak!
Sehabis mandi, aku keluar kamar. Masih dengan piyama panjang, tapi berbalut jaket.
"Lho, kok belum siap-siap?" Kulihat mama sedang membersihkan meja ruang TV. Sisa ngemilku tadi malam. Maafkan menantumu yang malas ini, Ma. Hi hi hi
"Niatnya mau beli sarapan dulu, Ma." ujarku.
"Mama wes masak, sana dah kamu siap-siap."
See? Betapa enaknya kalau ada ibu mertua di rumah. Bangun tidur, sarapan sudah tersedia. Untuk tiga hari ke depan, beliau yang akan menemani Mas Ichsan selama aku ke luar kota.
Usai sarapan dan berkemas, aku menuju stasiun yang jaraknya lumayan jauh. Kereta akan berangkat jam sepuluh nanti. Mas Ichsan berniat mengantarku, tapi kubilang, ada rekan kantor yang sudah menunggu untuk berangkat bersama. Padahal, itu hanya alasan. Mana mungkin aku membiarkannya menyetir sejauh itu, meskipun ada Mama yang akan mendampinginya.
Kota kami tak lagi dilalui jalur kereta api. Semua stasiun sudah ditutup dan berubah menjadi museum mini. Jadi, jika ingin menggunakan kereta api, kami menuju kota sebelah yang jaraknya sekitar empat puluh kilometer dengan jarak tempuh sekitar satu jam dengan bus kota.
Kuhela napas, lalu melangkahkan kaki menuju counter cek in di Stasiun Jember. Masih ada waktu beberapa puluh menit hingga kereta tiba. Aku mengambil tempat di pojokan, menggambil gawai untuk menghubungi Mas ichsan. Klik klik! Beberapa foto terkirim padanya.
"Aku dah sampai, Mas," ketikku.
"Stasiun?"
"Iya."
"Kayaknya aku pernah ke sana." Aku terkikik membaca pesannya. Bukan lagi pernah, tapi seriiing.
"Iya, dulu. Mas sama mama sekarang lagi apa?"
"Mau siram-siram, Mama lagi nyapu."
"Lho, ini kan masih pagi. Nyiramnya cukup sore aja, Mas!" cegahku. Tak ada balasan. Mungkin ia sibuk dengan sayur dan bunganya.
Dulu hampir setiap akhir pekan, kami sering travelling dengan kereta. Tak harus jauh, cukup menyusuri beberapa kota di Jawa Timur. Singgah di hotel untuk menikmati suasana dan 'gaya' baru, berjalan-jalan menikmati kuliner di sekitarnya, lalu kembali lagi ke kota kami. Itu ... sudah cukup membahagiakan bagiku yang sejak gadis memang hobi Berpetualang. Dari satu kota ke kota lainnya. Menjelajah gunung lewati lembah. Sungai mengalir indah ke samudra.
Wk wk wk Tolooong, tiba-tiba saja otakku kumat konsletnya.
Ah jangan-jangan ... Aku menoleh kanan kiri, depan belakang, atas bawah, mencari jejak keberadaan seseorang. Dasar oleng! Ngapa juga kudu ngadep atas bawah, mana ada di stasiun ini, orang yang nongkrong di plavon atau ndlosor di lantai.
Kehela napas panjang saat kereta hampir tiba. Mengetik sebuah pesan pada suamiku untuk berpamitan, lalu menyimpan HP di saku.
Kereta pun tiba. Setelah para penumpang turun, aku bergegas mencari kursiku. Ketemu! Alhamdulillah di dekat jendela. Tempat favorit sejak dulu.
Kusimpan tas di bagasi, dan selanjutnya duduk manja dengan gawai di tangan. Siap-siap berselancaaar. Hi hi hi. Sudah beberapa hari ini tak ada waktu untuk bercanda ria dengan teman dunia maya. Sejak peristiwa di karpet tempo hari, aku selalu tidur lebih awal. Tak lagi kuat begadang. Kalau pun harus begadang, tentu bukan untuk sekadar menulis dan berselancar. Ada kesibukan baru yang lebih menyenangkan.
Satu pergerakan di kursi samping berhasil membuyarkan khayalanku. Aku menoleh ke arah itu. Lalu menatap gawai di tangan. Menoleh lagi. Lalu beralih menatap jendela. Aku menoleh lagi untuk ketiga kalinya, dan ternyata ini bukan halusinasi.
Pak Afnan duduk santai di sampingku. Dengan kaus hitam dan celana jeans abu-abu. Ya Tuhan, tolong beri aku kekuatan agar tetap bisa bersikap normal selama beberapa jam ke depan.
"Pak!" Kusapa dia dengan anggukan dan senyum sopan. Dia hanya tersenyum singkat. Detik kemudian sibuk dengan gawainya. Hih dasar songong! Aku kembali memandang ke arah jendela. Sampai sebuah ide terlintas di kepala. Aha! Kuambil sebutir obat anti mabuk dan air minum slip bag. Untung saja tadi Mama menyiapkannya untukku. Kata beliau, buat jaga-jaga kalau mabuk melanda. Hi hi hi. Thanks, Mom. Ini sangat berguna.
Bismillah, kutelan si mungil berwarna pink itu. Semoga kantuk cepat menghampiriku, sehingga tak perlu canggung pada orang di sampingku.
"Sering mabuk?" Pak Afnan bertanya.
Aku menoleh. "Iya, eh tidak, Pak!"
"Kok minum obat?" tanyanya lagi.
"Buat jaga-jaga," ujarku sambil meringis.
Berkali-kali mengantuk dan kepala belakang terasa semakin berat. Aku menyandar, memasang masker, lalu memejamkan mata. Jaga-jaga, takut mulut terbuka ketika tidur. Bisa rusak reputasiku di depan Pak Afnan. Halah! Reputasi opo lah, Rin.
Menit-menit berikutnya, kesadaran sudah timbul tenggelam. Lalu tak lagi kurasakan aroma parfum menusuk penciuman.
___________
Terima kasih sudah membaca ;)
Suara decit dua lempeng besi yang bergesekan membuat mata terbuka. Sebenarnya diri ini sudah bangun sejak tadi, namun hanya pura-pura terpejam agar tak perlu bercakap dengan Pak Afnan. Kulirik sekitar, masih belum sampai stasiun tujuan. Ada desir tak biasa di hati ini. Pernah di suatu ketika, Sekitar dua tahun lalu. perjalanan ke kota ini menjadi begitu menakutkan. Takut pada kenyataan.Ingatan tentang mas-masa menyedihkan itu kembali hadir. Saat di mana Mas Ichsan sempat kami titipkan di Rumah Sakit Jiwa selama tiga bulan. Dia sempat relaps, mudah tersulut emosi, berusaha menyakiti diri sendiri dan sering tidak bisa kooperatif saat kontrol di poli kesehatan jiwa RSUD. Atas rekomendasi dokter, akhirnya dengan berat hati kami mengantarnya untuk rehabilitasi setelah beberapa bulan ini menjalani pemeriksaan dan rawat jalan.Jangan tanya bagaimana perasaanku kala itu. Sedih, takut, tak tega. Tapi yang lebih berat adalah, malu. Malu memiliki suami gila dan harus di rawat di
Meskipun hanya letupan-letupan kecil, tapi jika terus kau usik lalu tersulut, suatu saat ia akan berkobar menjadi letusan besar. Lebih besar. Sangat besar. Dan kau tak lagi punya kendali untuk memadamkan."_____________Jemputan datang. Aku memilih duduk di depan bersama driver. Kubilang kalau sedang pusing dan berharap melihat pemandangan jalanan bisa meredakannya. Aroma bunga hutan menguar dari pengharum mobil. Serasa menghidu bau embun di hutan pinus. Sejuk menenangkan, tapi untuk menikmatinya ada perjalanan panjang yang harus kau tempuh.Begitupun perjalanan hidup, ada jalan panjang menuju damai dan ketenangan. Menikmatinya adalah salah satu cara untuk bersyukur. Menerima dengan dada terbuka, belajar ikhlas dan bersabar sepanjang mata masih terbuka."Kalau pusing, itu ada minyak kayu putih, Mbak!" ujar Mas driver."Oh iya, makasih ... sudah mending kok."Dari suaranya, sepertinya dia masih muda. Driver jaman sekarang memang tak bisa diremehk
(Bukan) SelingkuhJam empat sore, training usai dilakukan. Istirahat sejenak di kursi panjang depan ruangan. Berharap sedikit mengobat rasa letih akibat duduk delapan jam di suatu ruangan dan mendengarkan ceramah materi orang. Lebih enak di kantor, meskipun mumet mikir duit orang, tapi masih bisa bergosip dan becanda. Apalagi ... ada Bapak yang seger itu, yang selalu digosipkan oleh Mayang.Ah, gadis itu, sedang apa ya dia sekarang. Jangan-jangan sedang bergosip tentangku.Satu persatu peserta diklat berlalu meninggalkan gedung. Mungkin seru kalau jalan-jalan sebentar, eh tapi aku ada janji menemani Mas Ichsan main gitar. Ah biarlah, toh sore begini dia pasti sibuk dengan tanamannya. Kutelepon suamiku, namun tak ada jawaban. Kutelepon lagi, lamaaa sekali baru ada suara dari seberang."Assalamualaikum," salamnya."Waalaikum salam, Mas lagi nyiram sayur, ya?" timpalku."Iya.""Udah minum vitamin?""Udah.""Aku mau jalan-ja
Perempuan. Siapapun dia, berapapun usianya, bagaimanapun sifat dan apapun status sosialnya. Entah sadar atau tidak. Mengakui atau mengingkari. Pasti pernah luluh oleh satu hal yang bernama ... pujian.Pujian. Darimanapun ia datang, siapapun dan dengan cara apapun disampaikan. Jangankan dari orang yang menarik baginya, dari orang yang ia benci sekalipun, pasti akan terasa juga dampaknya.___________________Sebuah lagu mengalun sendu dari panggung minimalis di pojok cafe. Kaff duduk di sana dengan gitar dalam petikan.~~~~Kau yang pernah singgah di siniDan cerita yang dulu kau ingatkan kembaliTak mampu untukku mengenal lagiMengenal dirimu di awal duluTak ada waktu kembaliUntuk mengulang lagiMengenal dirimu di awal duluKutahu dirimu duluHanya meluangkan waktuSekedar melepas rasa sedihmuMencintai dalam sepi dan rasa sabar mana lagiYang harus kupendam dalam mengagumi dirimuMelih
Azan isya' baru saja berkumandang saat aku tiba di terminal. Tak sabar rasanya ingin segera kembali ke rumah. Setelah memastikan tak ada barang bawaan yang tertinggal, aku bergegas turun dan menghubungi Mas Ichsan. Tadi siang, dia bilang akan menjemputku di sini bersama Mama. Jarak rumah kami tak terlalu jauh dari sini. Oleh karena itu kusetujui tawarannya meskipun dengan berat hati.Mengetik sebuah pesan pada Mas Ichsan, beberapa detik kemudian terkirim tapi tanda centang tak berubah biru. Ohh, mungkin masih salat, pikirku. Kutunggu hingga beberapa menit, belum juga dibaca. Lalu mencoba menelepon Mas Ichsan, namun masih tak ada jawaban. Kuulang hingga beberapa kali, masih juga tak ada jawaban.Istrimu ini sudah tak sabar ingin pulang, Mas, badan terasa amat letih, ingin segera mandi dan beristirahat. Lalu beralih menelepon Mama.Syukurlah, panggilan diterima."Hallo Asslamualaikum, Nduk," sapa Mama."Waalaikumsalam. Mas Ichsan mana, Ma?"
Suara azan subuh berkumandang. Aku duduk terpekur dengan ujung mata yang masih basah. Semalam penuh mata ini tak bisa terpejam. Mas Ichsan masih nyaman di dalam selimut kami. Mungkin ia kelelahan setelah semalam berpacu menuntaskan denyar rindu yang sempat tertunda. Lagi-lagi tetes bening mengalir tanpa henti. Ada yang perih di dalam sini saat mengingat kejadian tadi. Sebongkah daging yang bernama hati. Bagaimana tidak, di puncak kenikmatan yang tengah kami arungi, bukan namaku yang ia sebut. Tetapi ... Dayu.Dayu? Entah kebenaran macam apalagi yang harus kucecap kali ini. Apakah Ida Ayu Ambarukmi yang dia maksud? Siapapun itu, pasti dia perempuan yang penting bagi suamiku.Pelan-pelan membangunkan Mas Ichsan dengan satu kecupan di pipi. Sementara bendungan di ujung mata hampir saja lepas kendali."Mas, dah subuh. Ayo bangun!" ujarku lembut, meski dengan suara sedikit bergetar."Mas ... Mas ... dah subuh, ayo bangun," ulangku sambil mengusap bahunya berka
"Selamat datang kembali, Ibu Arinda," sambut Mayang saat aku memasuki ruangan yang masih lengang.Gadis itu akhir-akhir ini memang selalu datang lebih awal."Halah, kek yang dari mana aja!" Aku tertawa, menaruh tas dan duduk manis mengeluarkan handphone. Sepertinya tadi ada panggilan masuk, tapi kubiarkan saja karena masih di jalan."Kan calon manager!" Mayang mengedipkan satu mata."Jare sopo? Sotoyyy!" sangkalku sambil mendorong pipi mulusnya dengan telunjuk.Pandanganku kembali tertuju pada gawai di tangan. Astagaaa, Pak Afnan. Kira-kira ada apa ya? Apa kutelepon balik aja? Eh, tapi nanti Mayang curiga. Aku mendongak menatap Mayang. Takut dia mengintip. Ah, amaan."Beritanya dah nyebar seantero kantor, lho, Mbak!" ujar Mayang dengan nada menggoda."Berita apa?" tanyaku khawatir. Jangan-jangan gosip antara aku dan Pak Afnan."Berita Mbak dan Pak Afnan," jawab Mayang setengah berbisik."Haaah?!" Aku terhenyak, lalu kemu
Masih terbayang di benak apa yang dikirim oleh Kaff pagi tadi. Ia berhasil meretas blog milik Mas Ichsan, menelusurinya, lalu mengirimkan beberapa puisi dan curhatan yang tersimpan dalam draft yang tersembunyi di sana.Suamiku memang suka menulis, kutahu itu sejak dulu. Namun yang ia tulis hanya tips-tips seputar dunia IT. Hobi mereview beberapa produk yang berkaitan dengan bidang keahliannya, baik digital maupun non digital.Kenyataan yang terjadi berkata lain, Mas Ichsan yang kupikir jauh dari kata melankolis, ternyata sebaliknya. Puisi-puisi miliknya begitu syahdu dan romantis.Ah, Mas ... padahal sebaris pun tak pernah kau buatkan puisi untukku, istrimu.Dayu ... Ida Ayu Ambarukmi. Seseorang yang masih menempati posisi khusus di hati suamiku saat ia menulis puisi itu. Lalu, di mana posisiku sebagai istri? Hanya pelarian semata? Lagi-lagi ujung mataku basah. Kutepis semua ingatan. Ini kesalahan karena mencari tahu tentang sesuatu yang bukan porsi