Akhirnya Toni sampai di rumah karena Rian memaksa untuk mengantarnya pulang lebih awal.Terdengar dari dalam kamar mandi, Mita sedang riweh memandikan si kembar karena berkeringat sehabis main di dalam rumah. Pria berjaket coklat itu langsung memeriksa lemari sepatu mereka. Dan benar saja, diaa menemukan sepatu hitam yang dicarinya, tapi hanya sebelah saja.“Ngapain kamu jam segini di rumah?” tanya Mita yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi, membuat Toni terkesiap.“Ayah…” teriak si kembar kompak, karena selama ini, biasanya Toni pulang ke rumah setelah anak-anaknya sudah tidur, makanya si kembar sangat senang saat Ayahnya pulang lebih awal.“Waahh.. apakah ayah membelikan Ibu sepatu?”“Kenapa hanya sebelah? Apa itu sepatu cinderella?”“Ibu cepat coba!”Keduanya terus berbicara, sementara kedua orang tuanya masih terdiam dan saling bertatap.“Lupakan saja!” ujar Mita sembari pergi.“Hei.. kalian cepat masuk kamar ganti baju lalu tidur ya!” Toni menggiring anaknya untuk masuk ke kamar
Tentang hal iti, Andre juga sudah mengetahui semuanya. Pagi hari saat Melisa kembali dengan wajah panik, melepas mantel hitam dan juga sepatu hitam bermerek itu dengan asal."Lalu sekarang bagaimana dengan sepatu yang bisa menjadi barang bukti itu? Kenapa kamu biarkan saja?" Andre mulai cemas."Ini semua tidak ada hubungannya denganmu. Kenapa kamu mau melindungiku?" "Bukankah aku sudah mengatakan, aku takut mendapat masalah," ujarnya enteng."Aku akan hancur kelak, aku hanya bisa seperti ini tanpa bisa berbuat apa-apa. Agar tidak menjadi lebih buruk lagi, sebaiknya kamu bereskan barang dan pergi dari sini. Kita... sampai disini saja," ujar Melisa."Aku tidak ingin membatalkan kontrak di tengah jalan. Lagi pula kontrak akan berakhir jika kita bertahan selama empat tahun lagi." Andre tersenyum tulus. Dia tidak ingin meninggalkan Melisa begitu saja dalam masalah yang rumit ini.Melisa terisak, hatinya seperti diremas."Tapi kamu tau sendiri, aku sudah tidak punya uang lagi untuk membayar
POV Bastian.Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak, sementara Elena terlihat biasa saja. Dia bisa tidur mendengkur dengan keras. Namun karena tubuhku yang begitu lelah, akhirnya aku bisa memejamkan mata ketika sinar matahari mulai mengintip dari sela-sela jendela kamar.“Aaarrgghhh…” aku menjerit, ketika baru saja memasuki alam mimpi.Di dalam mimpiku itu, Jessica tidur disebelahku dengan mata melotot dan mulut dipenuhi darah. Saat aku menoleh ke belakang, tempat tidur Elena sudah rapi. Kuatur napas yang sedang tersengal akibat mimpi buruk.Mataku tertuju pada cincin pernikahan yang terletak di dalam kotak yang sedang terbuka. Entah apa maksud Elena, aku segera bangkit dan bersiap untuk pergi ke restoran bersama Elena.Dengan gaun berwarna fanta, Elena terlihat semakin anggun. Kami duduk berhadapan, sarapan pagi ini seperti biasa, bubur buatan Elena.Elena menyuruhku memakai cincin pernikahan kami yang sudah kulepas kemarin agar para karyawan tidak curiga. Pagi ini, kegelisan terus m
POV Elena.“Maaf ya, Bang. Soal kemarin. Sebenarnya.. ada yang ingin kutanyakan sama Abang,” ujarku tanpa basa basi saat baru saja duduk di sofa lusuh dalam kantor usang milik Bang Rozi ini.Bang Rozi menatapku penasaran, lalu kutunjukkan kertas ancaman dari A31 yang tadi pagi aku temukan di kotak surat.Bang Rozi mendekat lalu membacanya, seketika matanya melotot dan beralih kepadaku, aku balas memelototinya. Dia menunjuk dirinya dengan ibu jari. Aku mengangguk, membenarkan maksudnya. Ya, aku menuduhnya yang telah mengirimkan ancaman ini padaku.“Hahahaha.. itu bukan gue! Coba lo ingat lagi bagaimana gue menyelamatkan Sheza. Gak mungkin gue nekat ngelakuin hal itu,” ucapnya tak terima.“Benar juga, maafin aku kalau gitu.” Aku kembali menyimpan surat itu ke dalam tas.“Kayaknya terjadi sesuatu lagi sama kalian ya? Lo gak membunuh selingkuhan suamimu itu, kan?” pria berbaju lusuh itu bertanya memastikan. “Balas dendamnya cepat banget,” sambungnya.“Meskipun Bastian pikir dia yang membu
POV Bastian.“Bos.. sudah sembuh?” Risti menyapaku.Tapi aku malah gugup dan mengabaikan pertanyaan Risti dengan menyapa pelanggan yang akan pergi, “terima kasih, apakah kamu senang? Semoga kembali lagi lain waktu.”“Bos.. wajah anda seperti tidak sedang baik-baik saja,” ujar Arman sambil memperhatikan wajahku dengan ekspresi datarnya.“Hah? Enggak kok, aku baik-baik aja,” jawabku masih dengan kegugupan lalu bergegas menuju lantai dua ke kantorku.“Manager Jessica kenapa gak masuk?” pria dingin itu tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang sedari tadi ku khawatirkan. Membuatku menghentikan langkah dan menoleh kembali ke belakang.“Dia juga tidak bisa dihubungi,” sambungnya.“Oh, itu.. dia menghubungiku secara pribadi. Dia mengatakan akan istirahat di rumah orang tuanya untuk sementara waktu,” jelasku. Namun, aku sadar bahwa ucapanku begitu tegang. Jantungku pun berdetak tak biasa, cepat sekali.“Mendadak banget, Bos?” sambung yang lainnya.“Apakah terjadi sesuatu?” Risti malah melontarkan
“Kenapa istrimu melakukan ini?”Mataku melirik padanya tanpa menoleh.“Kamu masih belum tau? Benar-benar sangat disayangkan..” sambungnya sambil menyeringai.Raffi menceritakan bahwa malam itu, dia mengikuti Elena ke ladang ilalang itu dan menyaksikannya menggali lubang untuk mengubur mayat Jessica. Lalu, sebagian rekaman suara itu juga dihapus dari alat perekam ini.“Sepertinya sampah tidak disortir dengan benar, bukan?” ucapnya seraya menyerahkan kantong plastik bening berisi potongan sekop yang pada malam itu kami musnahkan dan juga sepasang sepatu bermerek yang selama ini dicari oleh Pak Toni dan timnya. Ternyata pria ini mengambilnya dan menyimpannya sebagai barang bukti.“Apakah ini untuk mencegahku menelepon polisi sehingga kamu menyembunyikanku?” aku menuduh Raffi bahwa dia masih bersekongkol dengan Elena.Yang aku pikirkan adalah, pria ini ingin melindungi Elena dari tuduhan pembunuhan yang kami lakukan sehingga mengambil potongan sampah yang akan menjadi barang bukti ini.“A
“Kemarin dia bilang ingin menjelaskan padaku dan meminta hubungan kami untuk putus. Lalu aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan mati saja. Aku sengaja mematikan ponsel karena ingin melihat dia mengkhawatirkanku. Tapi tidak disangka dia ternyata begitu menghawatirkanku..”Aku masih terngangah, sementara kedua detektif itu terlihat bingung dan sesekali memelototiku karena merasa telah dibohongi.“Sudahlah! Aku baik-baik saja, kenapa aku harus mati? Aku tidak akan melakukannya meskipun patah hati,” ucap Jessica sambil mendekatiku dan menarik tanganku yang masih lemas gemetar.Kami semua masih menatapnya dengan keheranan.“Kamu meneleponku untuk mengetahui apakah aku masih hidup?” tanya Jessica lagi, matanya beralih pada kedua detetktif itu. Dia pasti berakting, mengira aku sedang melaporkan kematiannya pada polisi karena dirinya tak kunjung bisa dihubungi.“Sudah dipastikan bahwa kamu masih hidup. Sudah datang juga kesini, mari kita periksa yang lain. Katanya malam itu kamu, Bastian dan
POV Elena.Setelah aku mengetahui letak alat penyadap itu, aku mondar mandir di depannya menggunakan sepatu berhak tinggi sehingga menimbulkan suara bising. Orang yang sedang mendengarkan ini pasti sangat frustasi. Aku terkekeh dalam hati. Mulutku terus berdendang sambil memikirkan cara apa lagi agar bisa mengelabui Si Penyadap.Namun aku sudah menduga siapa orangnya. Aku pun pura-pura menelepon seseorang setelah mendapatkan ide cemerlang untuk membuat Si Penyadap keluar.“Halo, bagaimana? Sudah mendapatkan 10 miliarnya? Bagus! Sekarang kamu kirimkan padaku melalui kurir! Tidak apa-apa, itu akan lebih aman.” Aku mengoceh sambil sesekali tertawa tanpa suara.“Sebaiknya kamu kirimkan sekarang, maka akan tiba dalam waktu sekitar setengah jam. Jangan khawatir, akan kuterima sendiri,” sambungku lagi.Orang itu pasti sudah bersiap tiga puluh menit dari sekarang untuk keluar lebih dulu dan bergegas merampas paket yang akan datang.Tiga puluh menit kemudian, mobil kurir pun datang. Aku mengin