POV Bastian.Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak, sementara Elena terlihat biasa saja. Dia bisa tidur mendengkur dengan keras. Namun karena tubuhku yang begitu lelah, akhirnya aku bisa memejamkan mata ketika sinar matahari mulai mengintip dari sela-sela jendela kamar.“Aaarrgghhh…” aku menjerit, ketika baru saja memasuki alam mimpi.Di dalam mimpiku itu, Jessica tidur disebelahku dengan mata melotot dan mulut dipenuhi darah. Saat aku menoleh ke belakang, tempat tidur Elena sudah rapi. Kuatur napas yang sedang tersengal akibat mimpi buruk.Mataku tertuju pada cincin pernikahan yang terletak di dalam kotak yang sedang terbuka. Entah apa maksud Elena, aku segera bangkit dan bersiap untuk pergi ke restoran bersama Elena.Dengan gaun berwarna fanta, Elena terlihat semakin anggun. Kami duduk berhadapan, sarapan pagi ini seperti biasa, bubur buatan Elena.Elena menyuruhku memakai cincin pernikahan kami yang sudah kulepas kemarin agar para karyawan tidak curiga. Pagi ini, kegelisan terus m
POV Elena.“Maaf ya, Bang. Soal kemarin. Sebenarnya.. ada yang ingin kutanyakan sama Abang,” ujarku tanpa basa basi saat baru saja duduk di sofa lusuh dalam kantor usang milik Bang Rozi ini.Bang Rozi menatapku penasaran, lalu kutunjukkan kertas ancaman dari A31 yang tadi pagi aku temukan di kotak surat.Bang Rozi mendekat lalu membacanya, seketika matanya melotot dan beralih kepadaku, aku balas memelototinya. Dia menunjuk dirinya dengan ibu jari. Aku mengangguk, membenarkan maksudnya. Ya, aku menuduhnya yang telah mengirimkan ancaman ini padaku.“Hahahaha.. itu bukan gue! Coba lo ingat lagi bagaimana gue menyelamatkan Sheza. Gak mungkin gue nekat ngelakuin hal itu,” ucapnya tak terima.“Benar juga, maafin aku kalau gitu.” Aku kembali menyimpan surat itu ke dalam tas.“Kayaknya terjadi sesuatu lagi sama kalian ya? Lo gak membunuh selingkuhan suamimu itu, kan?” pria berbaju lusuh itu bertanya memastikan. “Balas dendamnya cepat banget,” sambungnya.“Meskipun Bastian pikir dia yang membu
POV Bastian.“Bos.. sudah sembuh?” Risti menyapaku.Tapi aku malah gugup dan mengabaikan pertanyaan Risti dengan menyapa pelanggan yang akan pergi, “terima kasih, apakah kamu senang? Semoga kembali lagi lain waktu.”“Bos.. wajah anda seperti tidak sedang baik-baik saja,” ujar Arman sambil memperhatikan wajahku dengan ekspresi datarnya.“Hah? Enggak kok, aku baik-baik aja,” jawabku masih dengan kegugupan lalu bergegas menuju lantai dua ke kantorku.“Manager Jessica kenapa gak masuk?” pria dingin itu tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang sedari tadi ku khawatirkan. Membuatku menghentikan langkah dan menoleh kembali ke belakang.“Dia juga tidak bisa dihubungi,” sambungnya.“Oh, itu.. dia menghubungiku secara pribadi. Dia mengatakan akan istirahat di rumah orang tuanya untuk sementara waktu,” jelasku. Namun, aku sadar bahwa ucapanku begitu tegang. Jantungku pun berdetak tak biasa, cepat sekali.“Mendadak banget, Bos?” sambung yang lainnya.“Apakah terjadi sesuatu?” Risti malah melontarkan
“Kenapa istrimu melakukan ini?”Mataku melirik padanya tanpa menoleh.“Kamu masih belum tau? Benar-benar sangat disayangkan..” sambungnya sambil menyeringai.Raffi menceritakan bahwa malam itu, dia mengikuti Elena ke ladang ilalang itu dan menyaksikannya menggali lubang untuk mengubur mayat Jessica. Lalu, sebagian rekaman suara itu juga dihapus dari alat perekam ini.“Sepertinya sampah tidak disortir dengan benar, bukan?” ucapnya seraya menyerahkan kantong plastik bening berisi potongan sekop yang pada malam itu kami musnahkan dan juga sepasang sepatu bermerek yang selama ini dicari oleh Pak Toni dan timnya. Ternyata pria ini mengambilnya dan menyimpannya sebagai barang bukti.“Apakah ini untuk mencegahku menelepon polisi sehingga kamu menyembunyikanku?” aku menuduh Raffi bahwa dia masih bersekongkol dengan Elena.Yang aku pikirkan adalah, pria ini ingin melindungi Elena dari tuduhan pembunuhan yang kami lakukan sehingga mengambil potongan sampah yang akan menjadi barang bukti ini.“A
“Kemarin dia bilang ingin menjelaskan padaku dan meminta hubungan kami untuk putus. Lalu aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan mati saja. Aku sengaja mematikan ponsel karena ingin melihat dia mengkhawatirkanku. Tapi tidak disangka dia ternyata begitu menghawatirkanku..”Aku masih terngangah, sementara kedua detektif itu terlihat bingung dan sesekali memelototiku karena merasa telah dibohongi.“Sudahlah! Aku baik-baik saja, kenapa aku harus mati? Aku tidak akan melakukannya meskipun patah hati,” ucap Jessica sambil mendekatiku dan menarik tanganku yang masih lemas gemetar.Kami semua masih menatapnya dengan keheranan.“Kamu meneleponku untuk mengetahui apakah aku masih hidup?” tanya Jessica lagi, matanya beralih pada kedua detetktif itu. Dia pasti berakting, mengira aku sedang melaporkan kematiannya pada polisi karena dirinya tak kunjung bisa dihubungi.“Sudah dipastikan bahwa kamu masih hidup. Sudah datang juga kesini, mari kita periksa yang lain. Katanya malam itu kamu, Bastian dan
POV Elena.Setelah aku mengetahui letak alat penyadap itu, aku mondar mandir di depannya menggunakan sepatu berhak tinggi sehingga menimbulkan suara bising. Orang yang sedang mendengarkan ini pasti sangat frustasi. Aku terkekeh dalam hati. Mulutku terus berdendang sambil memikirkan cara apa lagi agar bisa mengelabui Si Penyadap.Namun aku sudah menduga siapa orangnya. Aku pun pura-pura menelepon seseorang setelah mendapatkan ide cemerlang untuk membuat Si Penyadap keluar.“Halo, bagaimana? Sudah mendapatkan 10 miliarnya? Bagus! Sekarang kamu kirimkan padaku melalui kurir! Tidak apa-apa, itu akan lebih aman.” Aku mengoceh sambil sesekali tertawa tanpa suara.“Sebaiknya kamu kirimkan sekarang, maka akan tiba dalam waktu sekitar setengah jam. Jangan khawatir, akan kuterima sendiri,” sambungku lagi.Orang itu pasti sudah bersiap tiga puluh menit dari sekarang untuk keluar lebih dulu dan bergegas merampas paket yang akan datang.Tiga puluh menit kemudian, mobil kurir pun datang. Aku mengin
“Aku yang membunuhnya.” Tatapan kak Raffi menyorotkan keputusasaan.Kemudian Kak Raffi menceritakan saat kejadian meninggalnya Denis. Ketika itu, dia mengintai dari jauh, bahwa Melisa telah mengincar Denis untuk mendapatkan uang 10 miliar itu. Kak Raffi sengaja menaruh pisau di kamar Denis untuk sesuatu yang mungkin akan terjadi. Dia pun menyewa kamar di sebelah Denis untuk mendengarkan apa yang terjadi. Dan pintu apartemen Denis sengaja diganjal dengan batu kecil agar tidak tertutup supaya Melisa bisa masuk ke dalamnya.Sesuai dugaan, terjadi perdebatan diantara keduanya ketika Denis memergoki Melisa tengah berada di kamarnya, sampai akhirnya Denis terjatuh karena di dorong oleh Melisa yang tengah panik, demi menyelamatkan lukisan wajahku.“Apa artinya ini? apakah itu kecelakaan?” tanyaku pada Kak Raffi.“Bukan.. aku melakukannya dengan sengaja.” Aku terngangah mendengar pengakuan Kak Raffi, ternyata dia benar-benar ingin melenyapkan Denis karena dianggap perusak rencana akibat serin
“Apakah kalian sudah menguping sejak tadi malam?” tanyaku lagi semakin kudekatkan wajahku padanya. “Siapa yang memasang alat penyadap? Hah?” sentakku. Melisa mengerjapkan mata beberapa kali. Dia pasti tak menyangka aku akan terus terang memergokinya. “Ah, sebentar! Sebenarnya kapan kalian datang kesini untuk berpura-pura? Tidak mungkin akan berjalan begitu saja, kan?” Melisa menyeringai, sepertinya dia akan melawanku. “Apa yang kamu bicarakan?” ucapnya dengan ekspresi berubah sangar. “Asal kamu tau! Faktanya, aku yang meminta Jessica untuk berpura-pura mati di depan suamiku. Dia sebenarnya masih hidup. Tidak ada yang terjadi ahahaha,” aku terkekeh sambil merobek kertas ancaman itu. “Oww.. ini membuatku tidak bisa berkata-kata,” ucapku menggila, lalu kembali ke tempat dudukku. “Ini semua.. bukan kami yang melakukannya..” Melisa berujar tidak mengaku. Aku mendesah berat. Seketika membayangkan kejadian saat ini di kantor polisi. Bastian pasti terkejut melihat Jessica muncul disan
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti
Elena memindai sekitar rumahnya. Matanya menyapu seluruh sudut, mengingat kenangan di tempat ini sebelum Melisa menjatuhkan korek apinya.'Sebenarnya kesalahannya mulai dari mana? Akhirnya, janji di depan A31 tetap tidak bisa ditepati. Aku berharap suamiku masih ingat dengan A31. Janji kita bersama A31, tidak terpenuhi.' Elena bergumam dalam hati.Hatinya hancur. Terutama ketika mengingat pertama kali menjalankan misi sandiwara penculikan, saat itu Bastian menelepon polisi setelah membaca pesan ancaman dari sang penculik A31.Bagaimana bisa dia langsung menelepon polisi dan tersenyum saat mengetahui jika hal itu dilakukan akan membuat nyawa Elena terancam. Kecewa dan marah Elena rasakan, namun tak bisa dilampiaskan pada Bastian. Dia memilih memaafkan karena dia membutuhkan seorang suami."Aku berharap suamiku tidak tersesat, dan segera melihat petunjuk yang kuberikan," ujar Elena saat bersembunyi di suatu tempat dan pura-pura diculik.A31 adalah petunjuk, namun Bastian sama sekali tid
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya