“Kenapa istrimu melakukan ini?”Mataku melirik padanya tanpa menoleh.“Kamu masih belum tau? Benar-benar sangat disayangkan..” sambungnya sambil menyeringai.Raffi menceritakan bahwa malam itu, dia mengikuti Elena ke ladang ilalang itu dan menyaksikannya menggali lubang untuk mengubur mayat Jessica. Lalu, sebagian rekaman suara itu juga dihapus dari alat perekam ini.“Sepertinya sampah tidak disortir dengan benar, bukan?” ucapnya seraya menyerahkan kantong plastik bening berisi potongan sekop yang pada malam itu kami musnahkan dan juga sepasang sepatu bermerek yang selama ini dicari oleh Pak Toni dan timnya. Ternyata pria ini mengambilnya dan menyimpannya sebagai barang bukti.“Apakah ini untuk mencegahku menelepon polisi sehingga kamu menyembunyikanku?” aku menuduh Raffi bahwa dia masih bersekongkol dengan Elena.Yang aku pikirkan adalah, pria ini ingin melindungi Elena dari tuduhan pembunuhan yang kami lakukan sehingga mengambil potongan sampah yang akan menjadi barang bukti ini.“A
“Kemarin dia bilang ingin menjelaskan padaku dan meminta hubungan kami untuk putus. Lalu aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan mati saja. Aku sengaja mematikan ponsel karena ingin melihat dia mengkhawatirkanku. Tapi tidak disangka dia ternyata begitu menghawatirkanku..”Aku masih terngangah, sementara kedua detektif itu terlihat bingung dan sesekali memelototiku karena merasa telah dibohongi.“Sudahlah! Aku baik-baik saja, kenapa aku harus mati? Aku tidak akan melakukannya meskipun patah hati,” ucap Jessica sambil mendekatiku dan menarik tanganku yang masih lemas gemetar.Kami semua masih menatapnya dengan keheranan.“Kamu meneleponku untuk mengetahui apakah aku masih hidup?” tanya Jessica lagi, matanya beralih pada kedua detetktif itu. Dia pasti berakting, mengira aku sedang melaporkan kematiannya pada polisi karena dirinya tak kunjung bisa dihubungi.“Sudah dipastikan bahwa kamu masih hidup. Sudah datang juga kesini, mari kita periksa yang lain. Katanya malam itu kamu, Bastian dan
POV Elena.Setelah aku mengetahui letak alat penyadap itu, aku mondar mandir di depannya menggunakan sepatu berhak tinggi sehingga menimbulkan suara bising. Orang yang sedang mendengarkan ini pasti sangat frustasi. Aku terkekeh dalam hati. Mulutku terus berdendang sambil memikirkan cara apa lagi agar bisa mengelabui Si Penyadap.Namun aku sudah menduga siapa orangnya. Aku pun pura-pura menelepon seseorang setelah mendapatkan ide cemerlang untuk membuat Si Penyadap keluar.“Halo, bagaimana? Sudah mendapatkan 10 miliarnya? Bagus! Sekarang kamu kirimkan padaku melalui kurir! Tidak apa-apa, itu akan lebih aman.” Aku mengoceh sambil sesekali tertawa tanpa suara.“Sebaiknya kamu kirimkan sekarang, maka akan tiba dalam waktu sekitar setengah jam. Jangan khawatir, akan kuterima sendiri,” sambungku lagi.Orang itu pasti sudah bersiap tiga puluh menit dari sekarang untuk keluar lebih dulu dan bergegas merampas paket yang akan datang.Tiga puluh menit kemudian, mobil kurir pun datang. Aku mengin
“Aku yang membunuhnya.” Tatapan kak Raffi menyorotkan keputusasaan.Kemudian Kak Raffi menceritakan saat kejadian meninggalnya Denis. Ketika itu, dia mengintai dari jauh, bahwa Melisa telah mengincar Denis untuk mendapatkan uang 10 miliar itu. Kak Raffi sengaja menaruh pisau di kamar Denis untuk sesuatu yang mungkin akan terjadi. Dia pun menyewa kamar di sebelah Denis untuk mendengarkan apa yang terjadi. Dan pintu apartemen Denis sengaja diganjal dengan batu kecil agar tidak tertutup supaya Melisa bisa masuk ke dalamnya.Sesuai dugaan, terjadi perdebatan diantara keduanya ketika Denis memergoki Melisa tengah berada di kamarnya, sampai akhirnya Denis terjatuh karena di dorong oleh Melisa yang tengah panik, demi menyelamatkan lukisan wajahku.“Apa artinya ini? apakah itu kecelakaan?” tanyaku pada Kak Raffi.“Bukan.. aku melakukannya dengan sengaja.” Aku terngangah mendengar pengakuan Kak Raffi, ternyata dia benar-benar ingin melenyapkan Denis karena dianggap perusak rencana akibat serin
“Apakah kalian sudah menguping sejak tadi malam?” tanyaku lagi semakin kudekatkan wajahku padanya. “Siapa yang memasang alat penyadap? Hah?” sentakku. Melisa mengerjapkan mata beberapa kali. Dia pasti tak menyangka aku akan terus terang memergokinya. “Ah, sebentar! Sebenarnya kapan kalian datang kesini untuk berpura-pura? Tidak mungkin akan berjalan begitu saja, kan?” Melisa menyeringai, sepertinya dia akan melawanku. “Apa yang kamu bicarakan?” ucapnya dengan ekspresi berubah sangar. “Asal kamu tau! Faktanya, aku yang meminta Jessica untuk berpura-pura mati di depan suamiku. Dia sebenarnya masih hidup. Tidak ada yang terjadi ahahaha,” aku terkekeh sambil merobek kertas ancaman itu. “Oww.. ini membuatku tidak bisa berkata-kata,” ucapku menggila, lalu kembali ke tempat dudukku. “Ini semua.. bukan kami yang melakukannya..” Melisa berujar tidak mengaku. Aku mendesah berat. Seketika membayangkan kejadian saat ini di kantor polisi. Bastian pasti terkejut melihat Jessica muncul disan
POV Author. [Pada saat aku melihat sudut tipis dan ornamen mutiara yang terpenting di sepatu, seluruh tubuhnya gemetar. Selama bisa memakai sepatu itu, jangankan memotong kaki tanduk dia bahkan bisa memotong daging kakinya sendiri] Begitulah isi dalam salah satu bab di novel online dengan melampirkan foto sepatu hitam bermerek yang diduga milik orang yang telah membunuh Denis. Detektif Toni menarik napas kasar sambil memijat keningnya. Dia teringat saat pulang larut, istrinya sedang berhadapan dengan laptop dalam ruang tamu yang gelap. “Astaga.. ngagetin aja! Kamu ngapain disitu, sengaja mau menakuti aku?” tuduh Toni kesal. Istrinya itu tak menjawab, hanya menoleh sebentar dengan tatapan datar. Wajahnya tersorot cahaya laptop di dalam kegelapan, membuat suasana menjadi menyeramkan. “Apakah kamu menambahkan gula lagi pada novel online-mu itu?” sambung Toni masih dengan posisi berdiri. “Aku mengandalkan plot horor untuk menambah efektivitas pertempuran,” jawab Mita pada. Lalu per
Aku pulang ke rumah setelah selesai bekerja dengan perasaan begitu marah pada Elena karena selama ini terus dipermainkan. Kemunculan Jessica membuatku seperti orang gila yang begitu bodohnya menjadi korban kebohongan istriku yang mempermainkanku seenaknya hanya demi agar aku tidak menceraikannya.“Elenaaaa!!!” aku berteriak penuh emosi. Dadaku seakan bergemuruh ingin sekali kumengumpat padanya saat ini.“Keluar kamu! Apa lagi kali ini? kamu mau merencakan apa lagi kali ini?!” aku terus berteriak seperti orang gila.Lantas, mataku tertuju pada secarik kertas yang teronggok diatas meja makan. Segera kuambil dan kubaca, aku merasakan hal ini serupa pada saat pertama kali Elena menghilang seolah sedang diculik.[Aku menculik istrimu, berikan uang 10 miliar itu! kalau kamu melapor polisi, istrimu akan mati!]Aku tertawa terbaha-bahak, benar-benar cara yang basi untuk menipuku lagi.“Kali ini aku tidak akan tertipu, Elena!” ucapku sambil meremas kertas itu dan membuangnya asal.“Kamu menden
“Apakah kamu tidak khawatir padanya?” tanya Raffi lagi.Aku menghembuskan napas jengah, “baiklah! Apa yang dia kirimkan padamu?”“Dia mengirim sesuatu dan bilang dia sudah berakhir. Seharusnya ini barang yang paling berharga baginya..”Aku tertawa mengejek, “uang?” tebakku.Raffi terdengar mendengkus kesal, “aku seharusnya tidak berharap padamu.”“Jangan bertele-tele, katakan intinya saja!” desakku. “Selain itu, siapa kamu sebenarnya? Atas dasar apa kamu berharap atau tidak berharap terhadapku? Apakah kamu juga guru lesku?” ujarku kesal.“Bastian! Kamu sudah gagal,” desisnya.“Gagal apanya? Halo..” ternyata dia mematikan telepon tanpa memberiku penjelasan yang akurat.Aku menggerutu kesal, kemana sekarang aku harus pergi, apa yang harus kulakukan? Berlarian menyelamatkan istri? Atau membiarkannya saja mati?Akhirnya aku memutuskan untuk pergi menemui Raffi ke Bar miliknya. Dengan napas tersengal, aku masuk ke dalam.“Aku sedang menunggumu,” ucap Raffi sambil tersenyum tipis.Aku mengh