POV Author. [Pada saat aku melihat sudut tipis dan ornamen mutiara yang terpenting di sepatu, seluruh tubuhnya gemetar. Selama bisa memakai sepatu itu, jangankan memotong kaki tanduk dia bahkan bisa memotong daging kakinya sendiri] Begitulah isi dalam salah satu bab di novel online dengan melampirkan foto sepatu hitam bermerek yang diduga milik orang yang telah membunuh Denis. Detektif Toni menarik napas kasar sambil memijat keningnya. Dia teringat saat pulang larut, istrinya sedang berhadapan dengan laptop dalam ruang tamu yang gelap. “Astaga.. ngagetin aja! Kamu ngapain disitu, sengaja mau menakuti aku?” tuduh Toni kesal. Istrinya itu tak menjawab, hanya menoleh sebentar dengan tatapan datar. Wajahnya tersorot cahaya laptop di dalam kegelapan, membuat suasana menjadi menyeramkan. “Apakah kamu menambahkan gula lagi pada novel online-mu itu?” sambung Toni masih dengan posisi berdiri. “Aku mengandalkan plot horor untuk menambah efektivitas pertempuran,” jawab Mita pada. Lalu per
Aku pulang ke rumah setelah selesai bekerja dengan perasaan begitu marah pada Elena karena selama ini terus dipermainkan. Kemunculan Jessica membuatku seperti orang gila yang begitu bodohnya menjadi korban kebohongan istriku yang mempermainkanku seenaknya hanya demi agar aku tidak menceraikannya.“Elenaaaa!!!” aku berteriak penuh emosi. Dadaku seakan bergemuruh ingin sekali kumengumpat padanya saat ini.“Keluar kamu! Apa lagi kali ini? kamu mau merencakan apa lagi kali ini?!” aku terus berteriak seperti orang gila.Lantas, mataku tertuju pada secarik kertas yang teronggok diatas meja makan. Segera kuambil dan kubaca, aku merasakan hal ini serupa pada saat pertama kali Elena menghilang seolah sedang diculik.[Aku menculik istrimu, berikan uang 10 miliar itu! kalau kamu melapor polisi, istrimu akan mati!]Aku tertawa terbaha-bahak, benar-benar cara yang basi untuk menipuku lagi.“Kali ini aku tidak akan tertipu, Elena!” ucapku sambil meremas kertas itu dan membuangnya asal.“Kamu menden
“Apakah kamu tidak khawatir padanya?” tanya Raffi lagi.Aku menghembuskan napas jengah, “baiklah! Apa yang dia kirimkan padamu?”“Dia mengirim sesuatu dan bilang dia sudah berakhir. Seharusnya ini barang yang paling berharga baginya..”Aku tertawa mengejek, “uang?” tebakku.Raffi terdengar mendengkus kesal, “aku seharusnya tidak berharap padamu.”“Jangan bertele-tele, katakan intinya saja!” desakku. “Selain itu, siapa kamu sebenarnya? Atas dasar apa kamu berharap atau tidak berharap terhadapku? Apakah kamu juga guru lesku?” ujarku kesal.“Bastian! Kamu sudah gagal,” desisnya.“Gagal apanya? Halo..” ternyata dia mematikan telepon tanpa memberiku penjelasan yang akurat.Aku menggerutu kesal, kemana sekarang aku harus pergi, apa yang harus kulakukan? Berlarian menyelamatkan istri? Atau membiarkannya saja mati?Akhirnya aku memutuskan untuk pergi menemui Raffi ke Bar miliknya. Dengan napas tersengal, aku masuk ke dalam.“Aku sedang menunggumu,” ucap Raffi sambil tersenyum tipis.Aku mengh
“Dia seharusnya sejak awal sudah merasakan adanya bahaya. Dia bersedia menghadapi bahaya dan menghadapi kematian. Maka Bastian.. kamu juga harus melindungi istrimu!” pria di hadapanku berintonasi tegas sambil menunjukku dengan jarinya.Aku terdiam sambil berpikir, langkah apa yang akan kulakukan selanjutnya. Suasana hening sejenak, Raffi membiarkanku larut dalam lamunan. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menyelamatkan Elena. Aku benar tidak tega membiarkannya begini, lagi pula Elena banyak melakukan kebaikan untukku juga untuk keluargaku.“Aku akan pergi mencari Elena..” ujarku seraya berdiri dan bergegas keluar tanpa mempedulikan Raffi yang tampak bingung melihat sikapku.Aku mengirim pesan pada Melisa, karena aku tahu saat ini mereka masih bertahan menyekap Elena.[Tunjukkan padaku bahwa Elena baik-baik saja. Jika tidak ada jawaban dalam tiga menit, aku akan lapor polisi]Aku masih berdiri di tengah kota dengan perasaan bingung dan gelisah. Melisa membalas pesanku dengan mengirim
POV Author.Di kantor polisi.Detektif Toni membaca kembali novel yang menceritakan kisah mirip kasus Elena Bastian.“Jadi senior ngikutin novel ‘Istri’ itu?” Rian datang mengejutkan Toni yang sedang serius membaca.“Aku hanya memeriksa apakah ada pembaruan bab. Siapa tau bab barunya akan menyebutkan apakah sebenarnya selingkuhannya masih hidup atau tidak.”Rian hanya mengangguk sambil sibuk dengan komputernya.“Apakah itu kamu?” Toni tiba-tiba mengalihkan tatapan curiganya pada Rian.“Hah?” Rian terlihat bingung.“Bukannya kamu selalu menebak alur ceritanya?”“Wah.. ini fitnah. Setiap kali berspekulasi, kamu selalu mengguruo dan mengembalikan ke posisi awal. Aku tidak semoat untuk memikirkannya baik-baik.” Rian membela diri.“Ah benarkah? Kalau begitu, kali ini aku tidak akan melakukan apa pun, kamu yang menspekulasikannya. Siapa penulis ceritanya? Satu.. dua… tiga! Pergi!”Toni semakin kesal dengan juniornya yang terus protes.“Senior! Mari kita tangkap penulisnya itu!” Rian tiba-ti
Malam ini Jessica mendatangi restoran, membawa koper berisikan uang 10 milyar yang dia dambakan. Memasak pasta kesukaannya, lalu menyantap makanan itu seorang diri sambil tersenyum menatap koper berwarna pink berkali-kali.Dia merasa kemenangan berpihak padanya. Elena, wanita itu benar-benar menepati janji meskipun dia sempat ragu dan sangsi untuk mempercayainya bahwa uang dan restoran ini akan menjadi miliknya.“Jika kamu benar membatuku, aku akan sungguh-sungguh memberikanmu uang 10 miliar itu padamu.”Jessica terbayang kembali perjanjian antara dirinya dan Elena untuk melakukan kerja sama membuat sandiwara.“Kenapa kamu sampai melakukan hal seperti ini?” Jessica bertanya heran.“Aku hanya ingin bersama suamiku,” jawab Elena. “Meskipun hubungan kami sudah retak, tapi aku tidak akan menyerah. Aku yakin hubungan kami akan membaik.” Elena berujar dengan yakin.Tawa meremehkan terbit di wajah Jessica, “apakah hanya demi hal itu kamu melakukan kegilaan ini?” ucap Jessica tak percaya.“Da
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti
Elena memindai sekitar rumahnya. Matanya menyapu seluruh sudut, mengingat kenangan di tempat ini sebelum Melisa menjatuhkan korek apinya.'Sebenarnya kesalahannya mulai dari mana? Akhirnya, janji di depan A31 tetap tidak bisa ditepati. Aku berharap suamiku masih ingat dengan A31. Janji kita bersama A31, tidak terpenuhi.' Elena bergumam dalam hati.Hatinya hancur. Terutama ketika mengingat pertama kali menjalankan misi sandiwara penculikan, saat itu Bastian menelepon polisi setelah membaca pesan ancaman dari sang penculik A31.Bagaimana bisa dia langsung menelepon polisi dan tersenyum saat mengetahui jika hal itu dilakukan akan membuat nyawa Elena terancam. Kecewa dan marah Elena rasakan, namun tak bisa dilampiaskan pada Bastian. Dia memilih memaafkan karena dia membutuhkan seorang suami."Aku berharap suamiku tidak tersesat, dan segera melihat petunjuk yang kuberikan," ujar Elena saat bersembunyi di suatu tempat dan pura-pura diculik.A31 adalah petunjuk, namun Bastian sama sekali tid
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya