Aku bukan orang cengeng.Dengar?Entah ini sudah hari yang keberapa.Semuanya terjadi makin rumit dan membuat kepalaku makin pusing.Sepertinya si bocah Pete itu benar. Otakku cuma bisa memikirkan hal sesimpel makan dan tidur.Tapi, hei, sisi baiknya, itu yang bikin aku selamat sampai sekarang.Peristiwa di Moonrise benar-benar tak terduga. Memang sebelumnya ada perselisihan internal, tapi apa yang terjadi selanjutnya enggak ada yang menyangka.Begitu aku dan yang tersisa berhasil menyelamatkan diri, kami mendnegar berita simpang-siur.Tentang Pangeran yang membelot. Pangeran dibunuh. Raja diracuni. Negara sudah dikuasai oleh otoritas asing.Pada akhirnya itu tak penting.Pada akhirnya, kami juga yang merasakan akibatnya.“Kudengar, salah satu dari mereka ini dulu bosmu.”Aku mendengkus. Itu pernyataan menjengkelkan.Kejadian akhir-akhir ini seakan menyadarkanku kalau kadang kenyataan jauh lebih konyol daripada yang kita bayangkan.“Terus kenapa?” Aku tak pernah suka Sir Taylor Wilder
Dingin!Banget.Gila, emang.Dengar, ya, aku ini bukan sejenis orang kampungan ignorant yang anti sama suasana baru.Aku juga pernah rasain musim dingin, meski bukan betulan.Rinjani, Semeru, Bromo.Toh, ketika kudaki dulu, semuanya juga bersalju.Jadi, seharusya sama aja, ‘kan? Aku bisa menahannya, ‘kan?Enggak.Baru kali ini, secara terbuka, aku menyatakan kalau pendapat itu salah.Bayangin aja, kalau gak salah ini udah pukul sepuluh siang; dibalut mantel wol tebal; duduk diam di ruangan yang ada pemanasnya; tapi sensasi bekunya masih nyaris bikin aku gila.Belum lagi gejolak sering dari keadaan sekitar yang bikin aku bolak-balik kamar mandi, mengeluarkan kembali isi perut.Huft …Ketika kutanya orang, katanya ini baru dua belas jam, tapi rasanya sudah beratus-ratus tahun.Padahal, dari yang kudengar, Moonrise dan Ibukota itu enggak terlalu jauh.“Kita akan segera berlabuh, Nona, Tuan. Yang Mulia berharap anda berdua bisa ketika saatnya tiba.”Nah, itu baru berita bagus.Penderita
“Tuan Dylan, Yang Mulia memberimu kesempatan sekali lagi, apakah ada yang ingin kau katakan?”Dylan nampak begitu tua. Rambutnya penuh uban, pipinya tumbuh jerawat bercampur bilu, kelopaknya berlapis kantung mata.Sepertinya, mau di mana pun, penjara selalu jadi tempat yang buruk.Aku heran, gimana bisa setelah semua itu beberapa orang masih bisa bertindak keras kepala.Bahkan setelah berhadap-hadapan dengan algojo dan senjata eksekutor yang siap memenggalnya kapan saja. Disaksikan lusinan musuh. Dylan hanya meludah. “Tuan Devon. Tidakkah anda sadar? Ini benar-benar bukan anda. Apa yang anda pikirkan ketika di sana? Kursi itu milik Tuan Zack, anda seharusnya membantu melindunginya, bukan malah mengambilnya sendiri.”“Yang Mulia, boleh saya beri sedikit pelajaran untuk mulutnya yang kurang ajar?”Devon cuma berdiri di gelangga istana, bungkam cukup lama, sebelum akhirnya berdeham. “Tidak.” Dia menelisik ke segala arah. Seakan mencoba mengungkap setiap sikap buruk yang orang-orang picik
Kadang aku sempat kepikiran, gimana jadinya kalau kecoak juga diberkahi kesadaran sekompleks manusia?Apakah dia bakal sadar diri sebagai serangga enggak penting yang sebaiknya dibasmi? Atau situasiya malah seperti sekarang?Heran, ya. Apa ketika mengajukan pertanyaan itu, dia enggak mikir?Setelah tindak-tanduknya yang ambigu dan seakan mengarah pada satu simpulan?Mana mau aku dinikahi sama lelaki homo macam dia.Aku yakin, anak-anaknya itu dari adopsi. Atau hasil dari semacam ritual gelap yang sebaiknya enggak kuketahui.Lagiaan posisi Duchess bukan tujuan utamaku.Meski enggak dapet sepertiga dari Duchy of Dawn, sebagai bangsawan yang ‘setia’ mengabdi pada Kerajaan, kami juga kecipratan hadiah.Dua county kecil perbatasan milik klan Carrington dan Jennings.Jadi, bisa dibilang, kini Dawver sama berpengaruhnya dengan Duke mana pun.Tapi, hanya itu.Aku enggak tahu apa rencana selanjutnya Devon, tapi kayaknya dia berusaha ngebatasin aku.Semuanya sangat jelas.Memerintahkan sendiri
“Ayahku adalah …” Apa mesti aku yang mengucapkan semua ini?Enggak!Memang mesti aku. Ayah pasti menginginkan ini. Karena … siapa lagi? ‘Ayah percaya sama kamu.’ Aku bahkan bisa ngerasain tepukan lembutnya, suaranya yang kadang bikin jengkel, tapi justru membuat suasana menjadi akrab.Ini baru beberapa hari.Tapi, kenapa dia mengkhianati janji yang kita buat bersama?Dia bersumpah bakal ada untukku seenggaknya sampai aku punya anak pertama.Bersama-sama nyaksiin kebahagiaanku. Melihat pria yang kupilih. Ngebimbing aku sebagai orangtua yang baik.Tapi, bahkan semua itu belum kejadian. “Pembohong.”Aku bisa melihat hadirin di Rumah Duka menarik napas, terkejut.Aku enggak maksud mengacaukan acara penting ini. Tapi, kalau ini saat terakhir aku menyampaikan semuanya.Saat terakhir kami bisa menyampaikan pendapat antara satu sama lain.Saat terakhir kami menyalurkan perasaan.Maka, aku akan mengungkapkan semuanya yang terlintas di pkiran. “Keras kepala. Menjengkelkan. Dan kadang terlalu ce
Aku mati.Tubuhku dicincang.Isi perutku buyar.Otakku pecah.Tapi, entah gimana, aku maih bisa bernapas.Sempat kukira akhirnya aku ngedapetin kekuatan yang paling kuinginkan—keabadian absolut.Namun, semuanya menjadi kabur; sureal; samar-samar, sebelum akhirnya sesuatu membuatku membuka mata.Langit-langit yang terhalang kelambu. Aroma mawar. Kicauan burung camar.Cuma mimpi, ya.Huh, untuk suatu ‘bunga tidur’, itu lumayan ‘gila’.Ketukan di pintu dan suara lembut pelayan beralun.Aku nyuruh dia masuk. Ngelakuin rutinitas pagi kayak biasa—basa-basi kosong, nyajiin aku hidangan, dan kemudian lanut menyerukan sesuatu yang menarik. “Nona, setelah sarapan, Yang Mulia mengharapkan kehadiran Nona di Ruang Majelis, bila berkenan.”“Kehadiranku?” Aku ngerasain semacam firasat buruk. “Aku ingin, tapi bisa Yang Mulia menunggu sebentar? Rencananya sih hari ini aku bakal pulang, jadi mungkin aku bakal sedikit berbenah dulu.”“Maaf beribu maaf, Nona. Yang Mulia agaknya kurang suka menunggu.”Huh
Biasanya, untuk situasi seperti ini, Pangeran dan Sir Wilder sudah menyiapkan protokol tersendiri.Itu mengapa kami semua mesti memiliki liontin.Bukan cuma sebagai pengingat kalau apa pun yang terjadi, masih ada yang menunggu kami kembali.Tapi, juga sebagai peringatan kepada siapa kami mengabdi dan mengapa informasi adalah partikel penting yang lebih utama dibanding nyawa.Namun, pertempuran itu begitu kacau.Tanah gonjang-ganjing.Suhu yang seharusnya rendah justru membakar.Aku ... aku udah siap mengambil seteguk racun dan merelakan semuanyaItu keputusan yang egois, aku akui.Masih ada yang menanti kepulanganku di kampung halaman.Ayah keras kepalaku. Sepupu David yang selalu bercerita kalau dia bakal jadi kesatria.Dan Natalie.Sejak awal aku bukan pria hebat. Rupawan. Atau pandai bersyair—aku payah banget soal kata-kata, sumpah.Tapi, Natalie melihat sesuatu yang enggak pernah bisa orang lain maupun diriku sendiri lihat. Nganggap aku atraktif.Dan tiba-tiba aja kami saling jatu
Apa aku kembali ke masa lalu?Apa semuanya terulang?Enggak.Bukan.Aku bukan lagi siuman di tengah ruangan penuh obat dan orang-orang menyedihkan.Bagian atasnya saja terlalu sempit, dan terbuat dari tanah.Sekujur tubuhku tak senyeri sebelumnya. Tapi gerakanku juga menjadi enggak begitu bebas.Ada suara cicitan. Dan nyamuk. Dan lalat. Serangga-serangga kecil yang terbang dan mengganggu.Aku kenal tempat ini.Borgol di tanganku udah jadi jawabannya.Aku tamat.Pintu dibuka, dan akhirnya ada sumber cahaya lain selain obor di sini yang nampak.Tapi, cahaya itu segera tertutup oleh kehadiran sesosok yang posturnya kukenal.Orang itu berkata lantang. “Kenapa kamu ngelakuin itu?”Itu pertanyaan retorik, ya.Sampai kapan dia mau berpura-pura? “Aku cuma ngelakuin apa yang setiap orang biasa lakuin: bertahan hidup.”“Dengan nyakitin orang-orang enggak bersalah? Mereka … mereka yang ngerawat kamu sampai sembuh, lho.”“Dan aku berterima kasih untuk itu.” Enggak ada yang dikatakannya lagi? Baik
Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka
Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat
`“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be
Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan
“Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per
Itu konsep yang asing: ketakutan.Apa aku pernah takut sebelumnya?Ah, ya.Nostalgia lain.Masa lalu lain.Emangnya aku semacam pecundang yang nganggur ya?Aku gak punya waktu untuk melanglangbuana ke perkara yang bahkan enggak penting.Lagian, ketakutan itu respons yang sealami rasa lapar.Bahkan orang paling berani pun bisa gentar ketika di ambang kematian.Tapi, apa yang bikini ini jadi berbeda?TOK! TOK! TOK!Aku menyahut, hamper sepelan lirihan. “Masuk.”Meski tanpa berbalik ke belakang, aku bisa menyadari tatapan iba George yang mencolok. “Ini kekejian yang enggak bisa dimaafkan. Bisa-bisanya mereka … oh, demi Yang Maha Penyaya—““Kamu dapetin anak itu?” Aku lagi enggak ingin dengar nama-Nya di saat kayak begini.Entah itu yang mereka sembah atau apa pun yang pernah menemuiku di masa lalu.Namun, George justru bungkam.Apa dia pergi diam-diiam, ya?Cih, orang-orang ini.Emang, ya. Kau diamkan sekali dan mereka pikir kau itu figur lemah yang bisa dikuasai.Ketika berbalik, aku me
Orang-orang Willvile bakal digantung, dan aku enggak ngerasain apa-apa.Dengar.Gini-gini, aku masih punya empatI. Kesenstifian hati. Dan rasa manusiawi.Tapi, apa pula yang bisa dikasihani dari para bajingan barbar itu?Enggak dulu maupun sekarang, kerjanya selalu menyusahkan.Lebih-lebih si Evelyn sialan itu yang masih bisa memasang senyum meski udah di atas dudukan. Bahkan ketika lehernyadipasang jerat dan algojo ambil ancang-ancang.Cuma bangsawan yang diberi hak untuk ngasih tahu pesan terakhirnya—seperti yang kubilang sebelum-sebelum ini: persetan sama rakyat jelataDan binatang-binatang itu punya hak yang lebih rendah lagiDigantung adalah hukuman yang terlalu ringan.Ya … meskipun ngelihat mereka menggelayut sambil menggelepar-gelepar di udara mata, melotot, dan mulut mengap-mengap karena kehilangan napas secara pelan-pelan itu lumayan muasin; tapi kebiadaban mereka belum diganjar sepenuhnya.Andai aja regulasi negeri fiktif sialan ini lebih simpel, udah kuberi mereka hukuman
“Lagi?”Percuma saja, dari sudut pandang mereka, apa pun yang kukatakan bakal menjadi geraman yang membuat bulu kuduk merinding.Bahkan meski aku tak punya niat membunuh—dan tak pernah demikian.Itu semua bukan untuk tujuan keji seperti itu.Hari itu aku kehilangan segalanya.Kebahagiaan. Harapan. Tujuan.Dan itu membuatku bertanya-tanya, untuk apa?Apakah ini pantas?Apakah aku seberdosa itu?Namun, bak belaian paling lembut, gemulai, dan menentramkan; sebentuk suara agung menyahut dari langit.Memberi pencerahan paling absud sekaligus paling masuk akal.Dewa mengambil, dewa juga memberi.Ibu, Fio, Janine, dan semua orang adalah harga mahal yang tak sepadan dengan nyawaku—awalnya, pemikiran bodoh kayak begitu entah kenapa terlintas.Tapi, kekekalan ini merupakan berkah niscaya yang datang bukan untuk disia-siakan.Neraka kosong dan para iblis ada di sini. Aku adalah titisan yang dikirim untuk membasmi mereka.Memusnahkan kekejian. Membumihanguskan kejahatan. Meluluhlantakkan segala w