Aku mati.Tubuhku dicincang.Isi perutku buyar.Otakku pecah.Tapi, entah gimana, aku maih bisa bernapas.Sempat kukira akhirnya aku ngedapetin kekuatan yang paling kuinginkan—keabadian absolut.Namun, semuanya menjadi kabur; sureal; samar-samar, sebelum akhirnya sesuatu membuatku membuka mata.Langit-langit yang terhalang kelambu. Aroma mawar. Kicauan burung camar.Cuma mimpi, ya.Huh, untuk suatu ‘bunga tidur’, itu lumayan ‘gila’.Ketukan di pintu dan suara lembut pelayan beralun.Aku nyuruh dia masuk. Ngelakuin rutinitas pagi kayak biasa—basa-basi kosong, nyajiin aku hidangan, dan kemudian lanut menyerukan sesuatu yang menarik. “Nona, setelah sarapan, Yang Mulia mengharapkan kehadiran Nona di Ruang Majelis, bila berkenan.”“Kehadiranku?” Aku ngerasain semacam firasat buruk. “Aku ingin, tapi bisa Yang Mulia menunggu sebentar? Rencananya sih hari ini aku bakal pulang, jadi mungkin aku bakal sedikit berbenah dulu.”“Maaf beribu maaf, Nona. Yang Mulia agaknya kurang suka menunggu.”Huh
Biasanya, untuk situasi seperti ini, Pangeran dan Sir Wilder sudah menyiapkan protokol tersendiri.Itu mengapa kami semua mesti memiliki liontin.Bukan cuma sebagai pengingat kalau apa pun yang terjadi, masih ada yang menunggu kami kembali.Tapi, juga sebagai peringatan kepada siapa kami mengabdi dan mengapa informasi adalah partikel penting yang lebih utama dibanding nyawa.Namun, pertempuran itu begitu kacau.Tanah gonjang-ganjing.Suhu yang seharusnya rendah justru membakar.Aku ... aku udah siap mengambil seteguk racun dan merelakan semuanyaItu keputusan yang egois, aku akui.Masih ada yang menanti kepulanganku di kampung halaman.Ayah keras kepalaku. Sepupu David yang selalu bercerita kalau dia bakal jadi kesatria.Dan Natalie.Sejak awal aku bukan pria hebat. Rupawan. Atau pandai bersyair—aku payah banget soal kata-kata, sumpah.Tapi, Natalie melihat sesuatu yang enggak pernah bisa orang lain maupun diriku sendiri lihat. Nganggap aku atraktif.Dan tiba-tiba aja kami saling jatu
Apa aku kembali ke masa lalu?Apa semuanya terulang?Enggak.Bukan.Aku bukan lagi siuman di tengah ruangan penuh obat dan orang-orang menyedihkan.Bagian atasnya saja terlalu sempit, dan terbuat dari tanah.Sekujur tubuhku tak senyeri sebelumnya. Tapi gerakanku juga menjadi enggak begitu bebas.Ada suara cicitan. Dan nyamuk. Dan lalat. Serangga-serangga kecil yang terbang dan mengganggu.Aku kenal tempat ini.Borgol di tanganku udah jadi jawabannya.Aku tamat.Pintu dibuka, dan akhirnya ada sumber cahaya lain selain obor di sini yang nampak.Tapi, cahaya itu segera tertutup oleh kehadiran sesosok yang posturnya kukenal.Orang itu berkata lantang. “Kenapa kamu ngelakuin itu?”Itu pertanyaan retorik, ya.Sampai kapan dia mau berpura-pura? “Aku cuma ngelakuin apa yang setiap orang biasa lakuin: bertahan hidup.”“Dengan nyakitin orang-orang enggak bersalah? Mereka … mereka yang ngerawat kamu sampai sembuh, lho.”“Dan aku berterima kasih untuk itu.” Enggak ada yang dikatakannya lagi? Baik
Ini kisah kecil dari negeri yang jauh. Pada masa yang jauh.Tersebut seorang anak nakal bernama Folwin yang selalu membangkang akan perkataan orangtuanya. Meremehkan peringatan mereka. Dan menganggap kalau semua itu adalah olok-olok bodoh untuk menakutinya.Di tempat tinggal Folwin kecil ada hutan terlarang yang konon merupakan tempat berkeliaran setan-setan.Mereka yang masuk ke sana akan diculik ke neraka dan menghadapi nasib yang lebih buruk dari kematian.Tapi, Folwin kecil menganggap itu mitos yang dikarang. Dan benci akan fakta kalau orangtuanya menganggap bahwa dia anak kecil yang masih takut akan hal semacam itu.Maka, pada malam yang dijanjikan, Folwin kecil bersama teman-temannya, cuma bermodal nekat, memasuki hutan itu ramai-ramai.Dan benar aja, setan bermunculan.Begitu banyak. Begitu murka.Ada perjanjian yang telah ditetapkan antara penduduk tempat Folwin kecil berada dan para penghuni negeri kegelapan yang sudah berlangsung selama ribuan tahun.Folwin kecil mendapatkan
Itu berhasil.Lagi-lagi seperti yang direncanain.Nah, siapa yang tertawa sekarang, badut-badut berengsek?Emang sekarang hanya berbentuk perlawanan kecil, tapi, bukannya kebakaran hebat biasanya muncul dari percikan yang merambat-rambat secara tak terduga?Salah satunya adalah insiden yang terjadi sendiri di Ibukota.Di sisi lain, Devon dan George Dexter nganggap itu cuma pertengkaran mabuk biasa—well, itu emang pertngkaran mabuk biasa, yang newasin kisaran puluhan orang, ngebuat ratusna terluka, dan beberapa penjga cedera.Tapi , siapa juga yang peduli sama nyawa rakyat biasa? Bukan aku. Bukan kami.Alih-alih ngurusin perihal enggak penting itu, perhatian mereka lebih terfokus ke kepentingan lain yang lebih mendesak.Seperti sisa-sisa pertempuran.Surprise, perang belum berakhir, orang-orang tolol.Itu berita yang dibuat-buat agar imej Kerajaan dan para penjilat sialan ini nampak lebih baik.Tapi, bangkai akan segera tercium. Dan ketika dua kekacauan terbentur, aku agaknya penasaran
Terlalu banyak kunci yang kupegang dan semuanya berkilau. Bernilai tinggi.Tapi, satu kali salah masuk, maka pintu itu meledak dan semuanya kacau.Jadi aku mesti memikirkan lagi langkahku matang-matang mulai sekarang.Ada kekacauan dan frustrasi rakyat yang bikin ekonomi makin memburuk. Perlawanan kecil itu mungkin enggak butuh waktu lama untuk naik jadi permasalahan serius—kadang permasalahan perut membuat orang bertindak lebih nekat; lebih tanggap; lebih cepat.Kemudian Whirlpol apalah itu. Aliansi Sabana yang nyatanya belum bubar. Dan … si Noah.Orang picik itu. Untuk seukurna serigala berbulu domba, penyamarannya terlalu jelek dan maksudnya terlalu jelas, tapi bahkan aku enggak menyagka ambisinya setinggi ituProspek Noah terdengar menarik.Tapi, itu artinya mesti ada pertempuran besar lagi.Perang lagi.Musim dingin, perang, dan kelaparan adalah harmoni paling cocok untuk ngubah suatu negeri jadi reruntuhan sejarah—banyak contohnya di dunia nyata, jangan malas membaca, ya.Dan la
“Aku enggak bisa ngelakuin ini.” Enggak setelah Pertempuran Darklyn.Enggak setelah semua yang terjadi.“Tapi, Jean—”“Kamu enggak bisa lihat atau gimana?” Aku pikir, dia bakal mengerti. “Ke mana pun aku pergi, aku bawa masalah. Aku cuma bawa kehacuran, kesedihan, kehilangan.”Bahkan karena tindakanku yang ceroboh, beberapa orang gak bersalah mesti gugur.“Hei, udah kubilang kan kalau itu bukan—”“Bukan salahku?” Aku udah muak. “Bukan salahku. Enggak ada hubungannya denganku. Tau gak itu apa? Tindakan egois.” Aku sudah ambil keputusan. “Aku akan mengundurkan diri dari posisi ini.”Bisa kuliat wajah Rachel gelagapan. Entah apa yang dia khawatirin. Bukannya tugasku udah usai?Bukannya tujuan yang berusaha kucapai udah gagal?Untuk apa pula dia masih melibatkanku di siniTapi, sebelum aku bisa beranjak, tanganku digenggam dan Rachel menggeleng.Aku berdecak. “Lepas!” Cengkeramannya begitu lemah hingga aku dapat berhasil berontak dalam sekali percobaan.Bukan cuma itu, dia sampai terempas
“Sumpah, Nona, sumpah. Kalau bisa, aku gak bakal biarin mereka untuk ke atas, meski nyawaku taruhannya. Tapi, mereka tau tempat tinnggalku, dan orang-orang sinting ini, dia bahkan bawa-bawa keluargaku dalam urusan ini.”Aku berkacak pinggang dan bingung bereaksi seperti apa.Aku sempat mengira kalau semua ini hanya semacam perampokan atau upaya balas dendam—aku kenal banyak pria yang suka membesarkan masalah sepele. “Ck!” Aku menatap si pemilik bar.Pria malang yang kebanyakan rambutnya udah dipenuhi uban. Dengan kulit wajah yang udah melorot dan mata berkantung-kantung, sepertinya dia berusia lebih tua dari yang pertama kukira. “Lain kali jangan diulangi lagi.”Emang alasannya masuk akal, tapi ngebiarin orang bersenjata ngerencanai suatu penyergapan terstruktur pada tamu dan pelangganmu? “Kamu gagal sebagai tuan rumah.”“Maaf, Nona. Maaf. Kalau ada yang bisa saya lakukan untuk membuat hati Nona lebih baik …”“Oh, kalau gak keberatan, jadikan semua ini gratis, ya. Biaya penginapan kam