Gerald mendapati dirinya di lingkungan yang tidak dikenal, sekelilingnya tampak remang-remang, suram, dan sunyi.
Jenis kesunyian yang membuat merinding, seakan ada monster yang bersembunyi dalam gelap siap menerkam di saat lengah. Gerald juga merasakan kakinya basah. Melihat ke bawah, ada air hitam legam mengotori kakinya. Dengan tenang Gerald memindai sekeliling, hanya ada kegelapan yang terlihat. Saat Gerald mencoba melangkah untuk mencari jalan keluar, ada angin kencang yang mencoba menelannya dalam kegelapan. Gerald berusaha melawan, tapi mendapati kekuatannya tidak bisa digunakan. Gerald menahan angin dengan sekuat tenaga, sampai suara yang paling dirindukannya terdengar, membuat lengah. "Gerald." Ia tercengang melihat istrinya berada dihadapannya sekarang. Meraih tangannya dengan erat, mencegahnya agar tidak terbawa oleh angin. Alina berkata dengan suara keras penuh urgensi, "Gerald, aku tak punya banyak waktu. Jadi dengarkan, Ken dalam bahaya lindungilah dia." Alina melemparkan Gerald ke dalam lingkaran cahaya, mengeluarkannya dari kegelapan. Gerald menyaksikan Alina menghilang bersama kegelapan. "Alina!" Gerald terbangun dengan nafas terengah-engah, karingat dingin membanjiri punggung dan lehernya. Membuat tubuhnya terasa kaku. Jantungnya berdebar dengan gila, seakan-akan ingin meledak di dadanya. Rasa terkejut dan kesedihan masih menggantung hatinya, sangat berat seperti beban yang tak tertahankan. Sekilas ia melihat lingkungan kantor yang akrab, jiwanya yang masih tersesat kembali sadar. Bahwa itu semua hanya mimpi. Namun, suara Alina masih tergiang di dalam benaknya seperti nyata, setiap suara membawa kerinduannya yang mendalam. Itu mengingatkan kembali Gerald pada diri Alina yang hangat dan lembut, yang selalu bisa membuatnya merasa nyaman dan tertawa, kini hanya tinggal kenangan. Membuat luka perih yang belum pulih dihatinya semakin robek, menambah beban yang tidak pernah hilang. Gerald menyandarkan dirinya di kursi, tangnnya yang dingin mencengkram erat lengan kursi. Seperti itu satu-satunya hal yang dapat menjaga kewarasannya. Matanya tertutup, mencoba memikirkan maksud dari ucapan Alina. Hari sudah gelap, tapi tidak ada yang berani untuk menyalakan lampu di ruangannya. Apa maksudnya? Gerald tidak bisa menebak sama sekali, perasaan tidak berdaya menyeruak dalam dirinya. Jenis perasaan yang paling ia benci, saat gagal melindungi orang-orang yang dicintainya. Ini terasa memuakkan, hingga membuatnya sulit bernafas. Ia hanya bisa mempersiapkan segalanya, agar dapat mencegah Ken terluka di masa depan. Meski Gerad tahu bahwa takdir adalah sesuatu diluar kendalinya, tapi apakah ia akan diam saja ketika takdir mencoba menghancurkan hal berharga pada dirinya. tentu saja Gerald tidak akan diam, ia rela menderita lagi dan lagi jika itu bisa menyelamatkan Ken. Namun kali ini, ia merasakan dengan jelas apa artinya hal itu. Gerald menggertakkan gigi, takdir saat ini seperti tangan besi yang menekannya agar terus tidak berdaya. Tidak ada yang lebih menyakitkan baginya selain mengetahui bahwa ia gagal melindungi orang yang disayanginya. Mata Gerald menatap pada cahaya biru yang muncul tiba-tiba di kantornya, sama sekali tidak terkejut. Semain lama cahaya itu membentuk tubuh seseorang, segera Caroline muncul di hadapannya. "Aku mendapat penglihatan tentang Ken, Gerald. Tidak lama lagi ia akan segera bangkit." Caroline langsung berbicara ke intinya tanpa basa-basi, duduk langsung di sofa menghadap Gerald. "Tetapi, saat aku ingin melihat lebih jauh kapan tepatnya itu terjadi. Ada sulur mawar hitam yang menghentikanku, sehingga aku tak bisa melihat masa depannya lagi." Tanpa sadar Caroline mengusap merinding yang muncul di lengannya, saat mengingat hal itu. Caroline masih ingat dengan jelas rasa sakit di tubuh spritualnya, seperti ular berduri yang membelit erat mangsanya. Tidak membiarkannya lepas, menancapkan setiap gigitan dengan penuh racun yang menjalari seluruh jiwanya. Caroline ingin berteriak, namun tidak berani karena ketakutan membungkamnya. Jelas yang ia lihat hanyalah segumpal sulur bunga mawar, tapi membawa rasa ketakutan yang sama persis dari makhluk agung yang duduk di tempat tertinggi. Sesuatu yang tidak terjangkau, mulia, dan hikmat. Perasaan menindas yang datang dari makhluk yang agung itu begitu tak tertahankan, membuat Caroline segera berlutut memohon ampunan, seluruh tubuhnya mati rasa dan kaku dalam ketakutan. "Lancang sekali kau melangkah ke tempat ini! Dengarlah cenayang, jangan pernah kau mencoba untuk mengetahui jalan takdirnya, karena itu adalah sesuatu yang tidak pantas kau ketahui, atau kau akan mendapatkan balasannya." Roh mawar memperingati, sulur berduri secara tiba-tiba mencengkram leher Caroline. Tubuhnya mematung, rasa cekikan di lehernya membuat nafasnya tersendat. Kengerian melumpuhkan semua bagian dalam dirinya, Caroline hanya bisa bersujud, tidak berani menatap, menjawab dengan gemetar dan hati-hati. " ... baik ... saya mengerti. " Tubuh Caroline gemetar hebat ketika mengingat kembali suara itu, rasa dingin menjalar dari ujung kaki ke punggungnya. Kala menyaksikan kekuatan luar biasa yang tidak mungkin dilawan. Menyaksikan jarinya yang mulai bergetar tak terkendali, dan mengepalkannya dengan erat. Perasaan itu benar-benar terukir jelas di benaknya, membuat drinya selalu gelisah. Ketakutan itu begitu mengerikan hingga benar-benar membekas di jiwanya. Membuat tengorokannya tercekat, seakan suara itu masih menekan tenggorokannya agar tidak berbicara. "Kau baik-baik saja, Caroline?" Gerald bertanya, mengerutkan kening saat melihat wajah Caroline tiba-tiba pucat dan menjadi diam. Caroline tersadar dari lamunannya, menutup mata dan mencoba mengumpulkan keberaniannya dengan menghembuskan nafas dalam-dalam. Tubuhnya masih belum bisa tenang, tapi setidaknya ia bisa mengendalikannya sekarang. "Aku baik-baik saja." Jawaban Caroline tidak berguna, Gerald dapat merasakan ada yang tidak beres. Ia mengerutkan kening dengan tajam. "Kau belum menjelaskan semuanya padaku bukan, Caroline?" Caroline semakin menghela nafas, suaranya penuh frustasi. "Baik, aku diberi peringatan untuk tidak mencoba mengintip lagi masa depan Ken. Suara itu berasal dari makhluk agung, Gerald. Kau tahu apa artinya itu, bukan?" Ada ketakutan dalam terpendam dalam suaranya. Bahkan selama percakapan, setiap kali Caroline ingin melupakan pertemuan dengan makhluk agung itu. Ia akan selalu mengingat sulur mawar berduri yang mencekiknya, seperti tidak ingin membiarkannya bernafas dengan lega. Ingin selalu membatnya ketakutan, agar Caroline tetap tutup mulut. Apa artinya itu? Jelas artinya bahwa Ken akan terlibat dengan sesuatu di luar jangkauan Gerald, begitu juga dengan bahaya yang mengintainya. Pertama peringatan dari Alina, dan sekarang penjelasan Caroline. Membentuk bayangan situasi berbahaya yang dapat menimpa Ken. Ketakutan bahwa ia akan kehilangan Ken sama seperti Alina. Membuat jantung Gerald tercekik, seperti diperas dan diremukkan. Ini menandakan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi pada Ken, Gerald menghembuskan napas berat, tenggelam dalam pemikiran yang dalam. Tiba-tiba ia terkekeh, tertawa mengejek diri sendiri. "Pada akhirnya, semuanya tetap terjadi," katanya dengan putus asa, suaranya pecah. "Segala sesuatu yang kucegah tetap saja terjadi." Tangan Gerald meninju meja melampiaskan frustasi yang menyelimuti dadanya, menyebabkan retakan besar. Caroline melihat keputusasaan Gerald, menghela napas kembali. Setelah kehilangan Alina, Gerald menjadi sangat protektif terhadap Ken. Bahkan sampai mengunci kemampuan Ken ketika kecil, tetap membiarkannya dalam kegelapan. "Gerald, kita tidak bisa melawan takdir, apa yang terjadi akan selalu terjadi. Pada akhirnya, kekuatan Ken akan bangkit dan dia akan tahu identitas aslinya." Caroline bangkit dan menepuk bahu Gerald, membujuknya dengan lembut. "Kita hanya bisa bersiap untuk apapun yang akan terjadi di masa depan." "Segera pulang dan istirahatlah, Ken pasti sedang menunggumu di rumah." Gerald mengangguk, menghela nafas dalam-dalam menenangkan diri. Melihat Caroline telah berubah kembali menjadi cahaya dan menghilang. Sampai di rumah tanpa bertanya pada Tanon, Gerald mendatangi rumah kaca dan tebakannya benar. Ken sedang tertidur lelap di sana, Gerald pertama-tama mengusap rambut Ken dan memasangkan selimut. Anaknya terlelap begitu damai sekarang, di balik itu semua Gerald tahu sesuatu yang berbahaya menanti di dalam kegelapan. Namun untuk saat ini, Gerald ingin melindungi momen hangat ini dan menjaganya sedikit lebih lama. "Mimpi indah, Ken." ***Ken merasakan sengatan matahari begitu keluar dari gedung pengajaran, sore hari ini terasa begitu panas. Ken mampir ke toko minuman favoritnya dekat fakultas, membeli sebotol Lemon tea. Memikirkan minuman dingin itu saja sudah membuat Ken merasa segar. Ponsel Ken bergetar, ada pesan masuk dari Charlos. [Aku jalan-jalan dengan Sheila] Membaca pesan itu membuat Ken memutar matanya, menjawab dengan tidak peduli, yang lansung dibalas dengan stiker emoji seseorang yang mengirim Flying kiss, yang membuat Ken merasa mual. Kebiasaan untuk saling memberitahu posisi atau aktivitas apa yang dilakukan, entah itu Ken atau Charlos. Sudah biasa dilakukan semenjak mereka diberikan ponsel pertama mereka, yaitu saat di sekolah menengah pertama dan bertahan hingga sekarang. Bahkan meski rumah mereka bersebelahan, Charlos akan mengirim pesan atau menelepon Ken, ketika waktunya tidur atau hal sepele lainnya. "Apa ada yang salah di wajahku?" Ken akhirnya merasa tidak tahan, dan bertanya pada seorang
Sheila menyaksikan Ken dan Charlos terus terus berlari meski beberapa kali terjatuh, mereka dengan gigih berdiri. Ia tertawa lucu menyaksikan perjuangan mereka. Ketika melihat ke langit, Sheila mengangkat alisnya heran. Ada sebuah perisai besar yang mengelilingi gedung apartemen dan sekitarnya. Sheila sengaja melemparkan Charlos dan Ken, untuk mengetes apakah pemilik perisai datang untuk menghalangi atau melindungi kedua anak ini. Ia merasakan perisai aktif saat di dalam apartemen, bahkan saat kedua anak itu jatuh. Perisai yang melindungi mereka bukanlah energi yang sama dari perisai tersebut. Sheila waspada karena siapa pun yang mampu membuat perisai sebesar itu, bukanlah orang yang bisa Sheila hadapi sembarangan. Hasilnya, pemilik perisai tidak keluar untuk ikut campur dan membiarkannya. Terserah apa niatnya selama tidak mengganggunya, Sheila tidak peduli dan melanjutkan tujuannya. Tentakel Sheila melilit pinggang mereka berdua, dan membantingkan masing-masing ke arah yang be
Sheila menatap ke arah Ken yang pingsan dan mengerutkan kening, saat merasakan fluktuasi sihir dari tubuh Ken. Lalu tersentak, kaget saat tiba-tiba bersitatap dengan mata berwarna kemerahan, yang memancarkan rasa dingin dan haus darah milik Ken. Ken yang tiba-tiba membuka matanya, langsung mengirimkan sapuan rasa takut di hati Sheila, membuatnya mundur selangkah tanpa sadar. Momentum di sekitar Ken berubah, membuatnya membunyikan peringatan bahaya. Sulur mawar hitam berduri tiba-tiba muncul di sekitar tubuh Ken, merayap dan meliuk seperti ular. Sheila merasa seolah ditatap oleh banyak mata dari makhluk reptil berdarah dingin, seolah sedang mengamati mangsanya sebelum melahap habis mereka. Membuatnya gelombang dingin di tulang punggungnya. Bahaya, sulur itu berbahaya. Sheila semakin mengerutkan kening. Sulur itu bergerak merambat ke arah Ken, mencabut setiap tentakel yang menancap di tubuh. Ekspresi Ken berubah berkerut, menahan nafas dan mengatupkan bibirnya, saat mencabut tentak
"Alina kami datang lagi, apa kau merindukan kami? Kami di sini merindukanmu. Oh, kami juga membawa bunga mawar kesukaanmu." Seperti biasa Gerald mulai menceritakan bagaimana rutinitas sehari-harinya. Seringkali, Ken menatap ayahnya yang berbicara dengan lembut, tanpa menyembunyikan kasih sayang yang mendalam di matanya yang hitam pekat, seolah ibu ada di hadapannya menanggapi dan tertawa. Ken selalu berdiri di belakang, sedikit menjauh untuk memberi ruang untuk Gerald, tapi hari ini terasa berbeda. Seperti ada sepasang mata yang menatap lekat ke arahnya. Ken menoleh untuk memeriksa sekitar, tapi menemukan bahwa tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Meski begitu, Ken secara sensitif menangkap ketegangan aneh di situasi yang tenang ini. Membuat lengannya merinding, menelan ludah dengan gugup dan hatinya mulai merasa cemas. Sambil berbicara, Gerald segera merasakan tatapan asing mengarah pada anaknya. Jantungnya berdebar kencang, detaknya terdengar keras di teling
Suasana mobil menjadi hening, Charlos dan Ken tenggelam dalam kekhawatiran dipikiran mereka masing-masing. Charlos mengingat kejadian saat mereka kecil, sekitar umur sepuluh tahun. Ketika Charlos akan pergi bermain bersama teman-temannya, tapi Ken waktu itu memegang tangan Charlos berkata, "jangan ke sana atau kalian akan mati." Mendengar hal itu, anak-anak lain mundur ketakutan menjauhi Ken, beberapa mengerutkan kening menatapnya. "Dia anak aneh." "Tinggalkan dia, jangan ajak lagi dia bermain." "Ayo pergi, jangan pedulikan kata-katanya, ayo Charlos." Charlos ingat dengan jelas waktu itu, Ken memegang erat tangan Charlos. Ken menatap dan menggelangkan kepala, lalu menatap dengan menusuk pada anak-anak lain. Ken sudah muak dengan ejekan mereka yang menyebutnya aneh, tapi ia tidak mempermasalahkan hal itu. Baginya mereka hanya sekumpulan anak berisik yang menjengkelkan, yang akan segera pergi. Charlos memilih untuk menuruti Ken dan berdiri melindungi Ken dari anak-anak lainnya.