Gerald mendapati dirinya di lingkungan yang tidak dikenal, sekelilingnya tampak remang-remang, suram, dan sunyi.
Jenis kesunyian yang membuat merinding, seakan ada monster yang bersembunyi dalam gelap siap menerkam di saat lengah. Gerald juga merasakan kakinya basah. Melihat ke bawah, ada air hitam legam mengotori kakinya. Dengan tenang Gerald memindai sekeliling, hanya ada kegelapan yang terlihat. Saat Gerald mencoba melangkah untuk mencari jalan keluar, ada angin kencang yang mencoba menelannya dalam kegelapan. Gerald berusaha melawan, tapi mendapati kekuatannya tidak bisa digunakan. Gerald menahan angin dengan sekuat tenaga, sampai suara yang paling dirindukannya terdengar, membuat lengah. "Gerald." Ia tercengang melihat istrinya berada dihadapannya sekarang. Meraih tangannya dengan erat, mencegahnya agar tidak terbawa oleh angin. Alina berkata dengan suara keras penuh urgensi, "Gerald, aku tak punya banyak waktu. Jadi dengarkan, Ken dalam bahaya lindungilah dia." Alina melemparkan Gerald ke dalam lingkaran cahaya, mengeluarkannya dari kegelapan. Gerald menyaksikan Alina menghilang bersama kegelapan. "Alina!" Gerald terbangun dengan nafas terengah-engah, karingat dingin membanjiri punggung dan lehernya. Membuat tubuhnya terasa kaku. Jantungnya berdebar dengan gila, seakan-akan ingin meledak di dadanya. Rasa terkejut dan kesedihan masih menggantung hatinya, sangat berat seperti beban yang tak tertahankan. Sekilas ia melihat lingkungan kantor yang akrab, jiwanya yang masih tersesat kembali sadar. Bahwa itu semua hanya mimpi. Namun, suara Alina masih tergiang di dalam benaknya seperti nyata, setiap suara membawa kerinduannya yang mendalam. Itu mengingatkan kembali Gerald pada diri Alina yang hangat dan lembut, yang selalu bisa membuatnya merasa nyaman dan tertawa, kini hanya tinggal kenangan. Membuat luka perih yang belum pulih dihatinya semakin robek, menambah beban yang tidak pernah hilang. Gerald menyandarkan dirinya di kursi, tangnnya yang dingin mencengkram erat lengan kursi. Seperti itu satu-satunya hal yang dapat menjaga kewarasannya. Matanya tertutup, mencoba memikirkan maksud dari ucapan Alina. Hari sudah gelap, tapi tidak ada yang berani untuk menyalakan lampu di ruangannya. Apa maksudnya? Gerald tidak bisa menebak sama sekali, perasaan tidak berdaya menyeruak dalam dirinya. Jenis perasaan yang paling ia benci, saat gagal melindungi orang-orang yang dicintainya. Ini terasa memuakkan, hingga membuatnya sulit bernafas. Ia hanya bisa mempersiapkan segalanya, agar dapat mencegah Ken terluka di masa depan. Meski Gerad tahu bahwa takdir adalah sesuatu diluar kendalinya, tapi apakah ia akan diam saja ketika takdir mencoba menghancurkan hal berharga pada dirinya. tentu saja Gerald tidak akan diam, ia rela menderita lagi dan lagi jika itu bisa menyelamatkan Ken. Namun kali ini, ia merasakan dengan jelas apa artinya hal itu. Gerald menggertakkan gigi, takdir saat ini seperti tangan besi yang menekannya agar terus tidak berdaya. Tidak ada yang lebih menyakitkan baginya selain mengetahui bahwa ia gagal melindungi orang yang disayanginya. Mata Gerald menatap pada cahaya biru yang muncul tiba-tiba di kantornya, sama sekali tidak terkejut. Semain lama cahaya itu membentuk tubuh seseorang, segera Caroline muncul di hadapannya. "Aku mendapat penglihatan tentang Ken, Gerald. Tidak lama lagi ia akan segera bangkit." Caroline langsung berbicara ke intinya tanpa basa-basi, duduk langsung di sofa menghadap Gerald. "Tetapi, saat aku ingin melihat lebih jauh kapan tepatnya itu terjadi. Ada sulur mawar hitam yang menghentikanku, sehingga aku tak bisa melihat masa depannya lagi." Tanpa sadar Caroline mengusap merinding yang muncul di lengannya, saat mengingat hal itu. Caroline masih ingat dengan jelas rasa sakit di tubuh spritualnya, seperti ular berduri yang membelit erat mangsanya. Tidak membiarkannya lepas, menancapkan setiap gigitan dengan penuh racun yang menjalari seluruh jiwanya. Caroline ingin berteriak, namun tidak berani karena ketakutan membungkamnya. Jelas yang ia lihat hanyalah segumpal sulur bunga mawar, tapi membawa rasa ketakutan yang sama persis dari makhluk agung yang duduk di tempat tertinggi. Sesuatu yang tidak terjangkau, mulia, dan hikmat. Perasaan menindas yang datang dari makhluk yang agung itu begitu tak tertahankan, membuat Caroline segera berlutut memohon ampunan, seluruh tubuhnya mati rasa dan kaku dalam ketakutan. "Lancang sekali kau melangkah ke tempat ini! Dengarlah cenayang, jangan pernah kau mencoba untuk mengetahui jalan takdirnya, karena itu adalah sesuatu yang tidak pantas kau ketahui, atau kau akan mendapatkan balasannya." Roh mawar memperingati, sulur berduri secara tiba-tiba mencengkram leher Caroline. Tubuhnya mematung, rasa cekikan di lehernya membuat nafasnya tersendat. Kengerian melumpuhkan semua bagian dalam dirinya, Caroline hanya bisa bersujud, tidak berani menatap, menjawab dengan gemetar dan hati-hati. " ... baik ... saya mengerti. " Tubuh Caroline gemetar hebat ketika mengingat kembali suara itu, rasa dingin menjalar dari ujung kaki ke punggungnya. Kala menyaksikan kekuatan luar biasa yang tidak mungkin dilawan. Menyaksikan jarinya yang mulai bergetar tak terkendali, dan mengepalkannya dengan erat. Perasaan itu benar-benar terukir jelas di benaknya, membuat drinya selalu gelisah. Ketakutan itu begitu mengerikan hingga benar-benar membekas di jiwanya. Membuat tengorokannya tercekat, seakan suara itu masih menekan tenggorokannya agar tidak berbicara. "Kau baik-baik saja, Caroline?" Gerald bertanya, mengerutkan kening saat melihat wajah Caroline tiba-tiba pucat dan menjadi diam. Caroline tersadar dari lamunannya, menutup mata dan mencoba mengumpulkan keberaniannya dengan menghembuskan nafas dalam-dalam. Tubuhnya masih belum bisa tenang, tapi setidaknya ia bisa mengendalikannya sekarang. "Aku baik-baik saja." Jawaban Caroline tidak berguna, Gerald dapat merasakan ada yang tidak beres. Ia mengerutkan kening dengan tajam. "Kau belum menjelaskan semuanya padaku bukan, Caroline?" Caroline semakin menghela nafas, suaranya penuh frustasi. "Baik, aku diberi peringatan untuk tidak mencoba mengintip lagi masa depan Ken. Suara itu berasal dari makhluk agung, Gerald. Kau tahu apa artinya itu, bukan?" Ada ketakutan dalam terpendam dalam suaranya. Bahkan selama percakapan, setiap kali Caroline ingin melupakan pertemuan dengan makhluk agung itu. Ia akan selalu mengingat sulur mawar berduri yang mencekiknya, seperti tidak ingin membiarkannya bernafas dengan lega. Ingin selalu membatnya ketakutan, agar Caroline tetap tutup mulut. Apa artinya itu? Jelas artinya bahwa Ken akan terlibat dengan sesuatu di luar jangkauan Gerald, begitu juga dengan bahaya yang mengintainya. Pertama peringatan dari Alina, dan sekarang penjelasan Caroline. Membentuk bayangan situasi berbahaya yang dapat menimpa Ken. Ketakutan bahwa ia akan kehilangan Ken sama seperti Alina. Membuat jantung Gerald tercekik, seperti diperas dan diremukkan. Ini menandakan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi pada Ken, Gerald menghembuskan napas berat, tenggelam dalam pemikiran yang dalam. Tiba-tiba ia terkekeh, tertawa mengejek diri sendiri. "Pada akhirnya, semuanya tetap terjadi," katanya dengan putus asa, suaranya pecah. "Segala sesuatu yang kucegah tetap saja terjadi." Tangan Gerald meninju meja melampiaskan frustasi yang menyelimuti dadanya, menyebabkan retakan besar. Caroline melihat keputusasaan Gerald, menghela napas kembali. Setelah kehilangan Alina, Gerald menjadi sangat protektif terhadap Ken. Bahkan sampai mengunci kemampuan Ken ketika kecil, tetap membiarkannya dalam kegelapan. "Gerald, kita tidak bisa melawan takdir, apa yang terjadi akan selalu terjadi. Pada akhirnya, kekuatan Ken akan bangkit dan dia akan tahu identitas aslinya." Caroline bangkit dan menepuk bahu Gerald, membujuknya dengan lembut. "Kita hanya bisa bersiap untuk apapun yang akan terjadi di masa depan." "Segera pulang dan istirahatlah, Ken pasti sedang menunggumu di rumah." Gerald mengangguk, menghela nafas dalam-dalam menenangkan diri. Melihat Caroline telah berubah kembali menjadi cahaya dan menghilang. Sampai di rumah tanpa bertanya pada Tanon, Gerald mendatangi rumah kaca dan tebakannya benar. Ken sedang tertidur lelap di sana, Gerald pertama-tama mengusap rambut Ken dan memasangkan selimut. Anaknya terlelap begitu damai sekarang, di balik itu semua Gerald tahu sesuatu yang berbahaya menanti di dalam kegelapan. Namun untuk saat ini, Gerald ingin melindungi momen hangat ini dan menjaganya sedikit lebih lama. "Mimpi indah, Ken." ***Ken merasakan sengatan matahari begitu keluar dari gedung pengajaran, sore hari ini terasa begitu panas. Ken mampir ke toko minuman favoritnya dekat fakultas, membeli sebotol Lemon tea. Memikirkan minuman dingin itu saja sudah membuat Ken merasa segar. Ponsel Ken bergetar, ada pesan masuk dari Charlos. [Aku jalan-jalan dengan Sheila] Membaca pesan itu membuat Ken memutar matanya, menjawab dengan tidak peduli, yang lansung dibalas dengan stiker emoji seseorang yang mengirim Flying kiss, yang membuat Ken merasa mual. Kebiasaan untuk saling memberitahu posisi atau aktivitas apa yang dilakukan, entah itu Ken atau Charlos. Sudah biasa dilakukan semenjak mereka diberikan ponsel pertama mereka, yaitu saat di sekolah menengah pertama dan bertahan hingga sekarang. Bahkan meski rumah mereka bersebelahan, Charlos akan mengirim pesan atau menelepon Ken, ketika waktunya tidur atau hal sepele lainnya. "Apa ada yang salah di wajahku?" Ken akhirnya merasa tidak tahan, dan bertanya pada seorang
Sheila menyaksikan Ken dan Charlos terus terus berlari meski beberapa kali terjatuh, mereka dengan gigih berdiri. Ia tertawa lucu menyaksikan perjuangan mereka. Ketika melihat ke langit, Sheila mengangkat alisnya heran. Ada sebuah perisai besar yang mengelilingi gedung apartemen dan sekitarnya. Sheila sengaja melemparkan Charlos dan Ken, untuk mengetes apakah pemilik perisai datang untuk menghalangi atau melindungi kedua anak ini. Ia merasakan perisai aktif saat di dalam apartemen, bahkan saat kedua anak itu jatuh. Perisai yang melindungi mereka bukanlah energi yang sama dari perisai tersebut. Sheila waspada karena siapa pun yang mampu membuat perisai sebesar itu, bukanlah orang yang bisa Sheila hadapi sembarangan. Hasilnya, pemilik perisai tidak keluar untuk ikut campur dan membiarkannya. Terserah apa niatnya selama tidak mengganggunya, Sheila tidak peduli dan melanjutkan tujuannya. Tentakel Sheila melilit pinggang mereka berdua, dan membantingkan masing-masing ke arah yang be
Sheila menatap ke arah Ken yang pingsan dan mengerutkan kening, saat merasakan fluktuasi sihir dari tubuh Ken. Lalu tersentak, kaget saat tiba-tiba bersitatap dengan mata berwarna kemerahan, yang memancarkan rasa dingin dan haus darah milik Ken. Ken yang tiba-tiba membuka matanya, langsung mengirimkan sapuan rasa takut di hati Sheila, membuatnya mundur selangkah tanpa sadar. Momentum di sekitar Ken berubah, membuatnya membunyikan peringatan bahaya. Sulur mawar hitam berduri tiba-tiba muncul di sekitar tubuh Ken, merayap dan meliuk seperti ular. Sheila merasa seolah ditatap oleh banyak mata dari makhluk reptil berdarah dingin, seolah sedang mengamati mangsanya sebelum melahap habis mereka. Membuatnya gelombang dingin di tulang punggungnya. Bahaya, sulur itu berbahaya. Sheila semakin mengerutkan kening. Sulur itu bergerak merambat ke arah Ken, mencabut setiap tentakel yang menancap di tubuh. Ekspresi Ken berubah berkerut, menahan nafas dan mengatupkan bibirnya, saat mencabut tentak
Caroline sedang asik membaca buku ketika tiba-tiba tubuhnya tersentak. Ia diam mematung dengan pupilnya bersinar biru, lalu dengan cepat menutup matanya saat kilasan penglihatan dari kekuatannya yang muncul. Caroline melihat Charlos menindih Ken, sebelum dengan tergesa-gesa bangkit sambil membantu Ken. "Ken, lari!" Mata Caroline dengan tajam memperhatikan luka cakaran berdarah di bahu kiri putranya. Tempat itu adalah apartemen milik Charlos. Punggung Caroline langsung merasakan gelombang hawa dingin, setelah penglihatannya berakhir. Tubuhnya menggigil saat merasakan bahaya dan ketakutan yang dirasakan dalam penglihatannya. Caroline membuka mata, menarik nafas dalam-dalam, dan berusaha menenangkan diri saat mengepalkan tangannya yang mulai gemetar. Ia melemparkan buku dengan tergesa-gesa, mencari-cari ponsel dan mulai menghubungi nomor Charlos dengan cemas. Panggilan terhubung, tapi setelah sekian lama tidak ada yang menjawab. Hanya suara operator dingin yang menjawab, suara dingin
Ken terbangun dengan kepala terasa pening dan meringis, merasa sudah lama sekali kehilangan kesadaran. Hal terakhir yang diingat Ken adalah pingsan saat sedang menyiksa Sheila. Tubuh Ken tanpa sadar menegang waspada, dengan panik melihat sekeliling, mencari tahu di mana ia sekarang dan bagaimana keadaan Charlos. Ruangan ini gelap, tapi tidak sepenuhnya gelap. Ken masih bisa melihat dengan jelas lingkungan sekitarnya. Ken mencoba bangkit dan baru menyadari, bahwa ia sedang duduk di sebuah kursi. Kursi itu seperti yang biasa dipakai oleh seorang raja. Ada beberapa anak tangga yang berjumlah sekitar dua puluh, menuju ke bawah. Undakan tangga terakhir terhubung dengan sebuah kolam berbetuk persegi yang lumayan luas berisi air hitam, di mana sulur mawar muncul dari dalam kolam. Setiap sulur bergerak melingkari pagar-pagar di sisi kolam dengan tiang berukiran rumit, yang tidak bisa dilihat jelas oleh Ken dari tempatnya. "Kau sudah bangun?" Itu adalah suara wanita yang membantu
Semuanya bermula dari saat Alina sedang melahirkan Ken malam itu, Gerald merasakan kegugupan yang lebih besar daripada saat ia sedang melamar Alina. Menunggang kuda dengan lebih cepat dan tergesa-gesa untuk segera kembali ke mansion. Suara tapak kuda tampak terdengar lembut dan teredam saat menginjak tanah. Gerald pulang cukup terlambat setelah selesai menghadapi kemunculan tiba-tiba monster iblis di wilayahnya. Berita itu datang mendadak, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan Alina. Gerald dengan cepat menyelasaikan pembasmian monster-monster terkutuk itu. Ketika kembali ke mansion Gerald disambut dengan sebuah penyerangan, yang membuat jantungnya berdebar kencang mengkhawatirkan keselamatan Alina. "Di mana istriku?" Kepala pelayan meski sudah tua, masih sanggup untuk bergerak melawan sekelompok penyusup asing, sambil menahan serangan berkata, "Dalta melindungi kamar Nyonya, Tuan." Aura biru gelap milik Gerald keluar mengelimuti pedang, setiap ayunan pedang menciptakan badai y
Pupil mata Ken melebar, menatap ayahnya dengan tidak percaya. Tubuhnya yang awalnya bersandar, berangsur-angsur tegang sepanjang Gerald sedang bercerita. Ken tidak tahu bagaimana harus bereaksi seperti apa terhadap kebenaran yang dipaparkan. Ia memilih menunduk, menatap kosong pada selimut putih di tempat tidur. Perasaan yang dirasakan Ken terasa campur aduk, antara lega dan tidak berdaya. Sejak kecil, rasa bersalah atas kematian ibunya, selalu ia asumsikan sebagai kesalahannya. Kini dengan kebenaran dari Gerald, membuat otaknya menyadari bahwa sebagai bayi, ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjaga keselamatan ibunya, sehingga memang itu bukan kesalahannya. Namun, rasa bersalah yang tertanam di hati Ken hanya sedikit berkurang. Ia merasa jika tidak ada dirinya, ibunya tidak perlu berkorban, dan ayahnya tidak kehilangan kekasih tercintanya. Perasaan ini terasa mencekik Ken. Tangan yang semula meremas erat ujung selimut kini berganti meremas baju di dadanya. Dada Ken terasa ses
Charlos keluar dari pusaran teleportasi milik Smith, masih sulit dipercaya bahwa kekuatan ini berasal dari ayahnya. Meski rumah Ken dan Charlos hanya lima belas menit jika berjalan kaki, ayahnya lebih suka menggunakan teleportasi untuk sampai ke rumah. Bagi Charlos sendiri, kenyataan bahwa dirinya adalah immortal bukan manusia masih terasa seperti. Ketika pertama kali mengetahui hal itu dari ayahnya, ia terpana. Charlos ingat dengan jelas reaksi pertamanya saat itu. "Ayah, apa kau sedang bercanda denganku?" Charlos memandang Smith dengan mata curiga, trauma karena selalu dijahili oleh ayahnya di masa lalu. Balasan dari Smith yaitu sentilan keras di dahi Charlos. "Siapa yang bercanda, hah?" Charlos terkejut dengan tindakan balasan ayahnya dan segera menutupi keningnya yang mulai berdenyut sakit. "Ibu, Ayah memukul diriku," adu Charlos memandang Caroline, meminta keadilan. Caroline selalu menjadi pelindung Charlos dari kecil, ketika ia tidak bisa melawan balik pada ayahnya. Mengad
"Kita sampai, ini tempatnya." Mirk melangkah ke samping dengan perhatian, memberikan Ken dan Charlos pemandangan yang jelas. Ken dan Charlos mengerutkan kening, merasakan firasat buruk saat melihat seringai Mirk yang lebar. Sekitar mereka hanyalah pepohonan dan rerumputan, dengan beberapa lubang kecil seukuran dua kepalan tangan orang dewasa di dekat akar pohon. "Apa maksudmu, di mana tempatnya?" tanya Charlos bingung, bibirnya mengerucut sebal menatap Mirk dengan jengkel. "Paman, berhenti main-main," ucap Ken dengan datar, terlalu malas untuk mengikuti lelucon dari Mirk. Ia hanya ingin segera menyelesaikan tugas secepat mungkin. Respon dingin dari Ken dan Charlos, membuat Mirk mengangkat tangan tanda menyerah. Namun senyum main-mainnya masih terpasang di wajahnya, sama sekali tidak memudar. "Kalian tidak seru, lubang kecil itu tempatnya." Segera Ken dan Charlos menatap lubang di dekat akar pohon dengan tidak percaya, mereka saling menatap dengan kebingungan di mata masing-masin
Ken duduk di samping ranjang melamun, suara pintu terbuka membawa kembali kesadarannya. Ia menoleh untuk melihat Charlos masuk sambil membawa nampan sarapan. "Kau tidur nyenyak, Ken?" Charlos menyimpan sarapan di meja, menyerahkan segelas susu hangat pada Ken sebelum duduk. Ken menunduk, perlahan jemarinya mengusap gelas kayu yang membawa panas ke telapak tangannya, mencari kenyamana untuk dirinya yang terjebak dalam ketidaknyamanan. Kemudian menjawab perlahan dengan penuh kelelahan, suaranya serak dan lesu akibat kurang tidur. "Aku tidak tidur nyenyak, bahkan aku tidak tahu kapan mulai tertidur. Apa kau juga begitu, Charlos?" Ken mendongak untuk mengamati wajah Charlos. Ada sedikit kelesuan di mata Charlos, tidak secerah biasanya. Lingkaran hitam di bawah matanya tampak mencolok di kulit cerahnya. Ken tidak bisa menahan diri untuk menghela nafas berat. Sebelum berangkat menuju dunia immortal, ayah mereka sudah mengimbau dari jauh hari untuk hal seperti ini. Bukan hanya m
Darua dapat melihat dengan jelas orang-orangnya dibantai dengan sangat cepat. Ia tidak pernah menyangka, bahwa ketiga orang asing itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Ia mendecakkan lidahnya, mengutuk dalam hati pada sekelompok orang yang tidak berguna. Bahkan tidak bisa melawan ketiganya, hanya dapat dilenyapkan denga mudah. Karena mereka tidak berniat untuk memberikan kalung tersebut, maka tidak peduli bagaimanapun caranya kalung itu harus menjadi miliknya. "Bersiaplah kalian berdua." Darua memerintah pada kedua orang di sampingnya. Ia sendiri langsung menyiapkan racun korosifnya. Racunnya melesat seperti ular hidup, berkelok-kelok dengan kecepatan mengerikan ke arah ketiganya. Menciptakan jejak samar abu-abu di udara serta desis yang mematikan. Charlos seketika membuat perisai dengan gerakan yang cepat, menahan serangan ular beracun yang menabrak perisai dengan keras seperti ombak ganas. Namun racun tidak dapat menembusnya, perisai Charlos tetap bertahan. Memberikan
Darua dengan malas bersandar pada kursi sambil menjulurkan kakinya pada meja, sama sekali tidak tertarik pada deretan benda aneh yang sedang dilelang. Kemudian matanya menangkap sosok laki-laki yang memakai jubah dan topeng, dia menoleh untuk berbicara dengan pemuda di sampingnya. Secara langsung Darua terpikat oleh matanya yang berwarna merah muda, begitu pula mata orang disampingnya yang berwarna ungu. Keduanya tampak mencolok diantara deretan orang-orang yang juga sama memakai jubah. Mau tidak mau membuatnya ingin terus menatapnya. Darua mendecakkan lidahnya merasa menyesal, andai saja pemuda itu seorang wanita, bisa dibayangkan bagaimana cantiknya hanya dari matanya. Juru lelang kemudian memperkenalkan sebuah kalung dengan permata berwarna abu-abu, salah satu orang di belakang Darua maju dan berbisik di telinganya. "Tuan, saya bisa merasakan energi sihir yang unik dari kalung itu. Benda itu cocok untuk hadiah pada Tuan Sharen." "Benarkah?" Darua mengangkat satu alisnya
Ken dan Charlos bangun dengan segar keesokan harinya, mereka berdua meminta izin untuk keluar daripada sarapan di penginapan. Selama beberapa bulan terakhir, keduanya bosan dan muak melihat monster serta terus mencium bau darah di hutan yang sunyi. Mereka merindukan suasana pasar yang sibuk dan penuh kehidupan dengan berbagai macam aroma makanan, mungkin dulu Ken dan Charlos tidak begitu menyukai keramaian dan merasa terlalu berisik. Sekarang setelah menghadapi pertarungan sengit antara hidup dan mati mereka dipertaruhkan. Serta kemungkinan mereka tewas di tempat yang sunyi, yang jauh dari jangkauan orang lain. Pengalaman itu membuat Ken dan Charlos merasa kedinginan, sehingga mereka lebih menghargai setiap momen santai saat ini. Keduanya segera memesan tusuk sate daging yang pedas, untuk menghapus semua stres yang menumpuk. Aroma gurih dan pedas membuat air liur mengalir, perpaduan antara kelembutan daging dan bumbu dalam mulut benar-benar memuaskan. Ken dan Charlos mengera
Mirk memberi kebebasan terhadap Ken dan Charlos untuk keluar dari penginapan dan menjelajahi dunia immortal di kota ini, lalu kembali saat hari sudah gelap. Pertama-tama, Ken dan Charlos keluar untuk melihat transaksi yang dilakukan sekaligus mencoba makanan unik di sini. Berbagai aroma rempah makanan tercium semerbak yang membuat orang ngiler, mereka juga menemukan buah-buahan yang berbentuk dan berwarna aneh. "Paman, buah apa ini?" Charlos menunjuk pada buah yang berwarna biru keunguan seukuran apel kecil. Paman pemilik kios dengan perawakann besar tersenyum ramah, dan menjelaskan dengan suara keras. "Sepertinya kalian baru di sini. Ini disebut apel Ubir, kalian cobalah." Paman itu memberikan satu untuk Ken dan Charlos. Ken merasakan buah apel di tangannya dingin seperti memegang es batu, merayapi telapak tangannya. Ada sedikit rasa penasaran dan keingintahuan di wajahnya, sebelum tanpa ragu langsung mencobanya. Teksturnya sangat renyah saat digigit, lalu Ken merasakan
Saat membuka mata Ken dan Charlos disambut oleh pohon-pohon tinggi di sekelilingnya. Bau hutan yang khas menyapa hidung mereka membuat orang merasa tenang, sesekali terdengar kicau burung dan dengungan serangga layaknya hutan normal di dunia manusia. Mirk keluar dari kepulan asap ungu, mengamati Ken dan Charlos dari atas ke bawah, lalu tersenyum tipis. "Ikuti aku anak-anak, hutan ini dekat dengan pemukiman." Tatapan tajam yang dilemparkan Mirk membuat keduanya merasa tegang. Ken merasakan jantungnya berdebar kencang dengan kewaspadaan, sementara Charlos diam-diam menelan ludahnya untuk menutupi kegugupanya. Ken dan Charlos saling melirik satu sama lain, sebelum mengikuti di belakang Mirk dalam keheningan. Derap langkah mereka terdengar keras saat menginjak dedaunan kering, sampai Charlos memecah kesunyian dengan bertanya, "Siapa namamu?" Langkah Mirk terhenti, ia menoleh ke arah Ken dan Charlos dengan senyum yang semakin lebar. "Apakah Ayah kalian tidak pernah memperingatkan
Charlos dan Ken dengan tenang mengamati ayah mereka memperbaiki lapangan latihan dengan sihir restorasi. Mereka menatap dengan cermat bagaimana luwesnya ayah mereka dalam menggunkan sihir, hati mereka diselimuti rasa kagum melihat hal itu dari ayah mereka. Sebab mereka tahu betapa sulitnya sihir restorasi tersebut. Tiba-tiba asap ungu muncul di hadapan mereka, menampakkan sosok Mirk dengan senyum main-main di bibirnya. Secara otomatis Ken dan Charlos langsung bangkit, bergerak mundur dengan waspada sambil menatap Mirk. Pada saat ini tubuh keduanya menegang dan jantung mereka berdegup kencang hingga terdengar jelas di telinga. Charlos dengan sigap membentuk perisai di sekitar mereka, sedangkan Ken sudah bersiap dengan sulur mawar serta api hitamnya yang berkobar. Ia mengepalkan tangannya erat, menyembunyikan gemetar yang dirasakan. Mirk hanya menanggapi kewaspadaan tinggi Ken dan Charlos dengan tawa kecil, terdengar sangat memuaskan di lapangan yang sunyi. "Yah. Kalian selalu be
2 tahun setelah latihan. Hari ini, Gerald dan Smith akan bertarung untuk memastikan Ken dan Charlos benar-benar siap untuk pergi ke dunia immortal, sebelum akhirnya yakin untuk melepaskan anak mereka. Karena waktu pelatihan yang telah disepakati dengan iblis telah habis, besok mereka akan dijemput oleh Mirk. Gerald menatap Ken, mengambil postur siap menyerang. "Mari mulai." Ia maju dengan cepat ke arah Ken dan menyerang dengan aura birunya yang dahsyat. Ken segera membungkus dirinya dengan sulur mawar, serta mengarahkan sulur. Memanjangkan duri-duri tajam, untuk menciptakan rintangan dengan mencoba memperlambat kecepatan ayahnya. Dengan pengalaman bertarung Gerald yang kaya, ia dengan mudah menghindari sulur yang mengelilinginya seperti cambuk yang mengancam. Tangan kirinya segera mengeluarkan sihir pembekuan ke arah sulur Ken. Ken mengerutkan kening saat melihat sulurnya membeku dan menyatu dengan lantai. Ia segera mengeluarkan kelopak mawar dan meledakkannya secara bertubi-t