Ken merasakan sengatan matahari begitu keluar dari gedung pengajaran, sore hari ini terasa begitu panas.
Ken mampir ke toko minuman favoritnya dekat fakultas, membeli sebotol Lemon tea. Memikirkan minuman dingin itu saja sudah membuat Ken merasa segar. Ponsel Ken bergetar, ada pesan masuk dari Charlos. [Aku jalan-jalan dengan Sheila] Membaca pesan itu membuat Ken memutar matanya, menjawab dengan tidak peduli, yang lansung dibalas dengan stiker emoji seseorang yang mengirim Flying kiss, yang membuat Ken merasa mual. Kebiasaan untuk saling memberitahu posisi atau aktivitas apa yang dilakukan, entah itu Ken atau Charlos. Sudah biasa dilakukan semenjak mereka diberikan ponsel pertama mereka, yaitu saat di sekolah menengah pertama dan bertahan hingga sekarang. Bahkan meski rumah mereka bersebelahan, Charlos akan mengirim pesan atau menelepon Ken, ketika waktunya tidur atau hal sepele lainnya. "Apa ada yang salah di wajahku?" Ken akhirnya merasa tidak tahan, dan bertanya pada seorang lelaki yang dari tadi terus menatapnya, bisa ia rasakan dari saat masuk membeli minuman. Di cuaca panas ini lelaki itu mengenakan setelan jas yang rapi dan formal, terlihat mencolok di tengah kerumunan mahasiswa di toko yang berpakaian santai. Lelaki itu tersenyum tidak malu ketika diketahui menatap terus pada seseorang. "Maaf bersikap tidak sopan. Hanya saja, wajahmu sangat mirip dengan seseorang yang aku kenal sebelumnya." Ken terdiam dengan alasannya dan menatap senyum ceria lelaki itu, memutuskan untuk segera pergi saat pesanannya tiba. "Lain kali, tolong jangan menatap seseorang seperti itu. Itu membuat seseorang tidak nyaman." Ken memberi nasihat sambil pergi. Mirk menatap pada sosok belakang Ken, semakin tersenyum lebar. "Akhirnya aku menemukanmu juga, Master." Mirk berbisik sebelum terkekeh pelan dan bangkit meninggalkan toko. *** Kedua sudut bibir Sheila melengkung menggoda, mendekatkan tubuhnya lebih dekat pada Charlos. Charlos menatap dengan kilatan main-main di matanya, ingin melihat aksi apa yang akan dilakukan Sheila. Sheila benar-benar datang ke apertemen pribadi Charlos, dengan alasan kakinya lelah sehabis jalan-jalan. Charlos tentu saja tidak keberatan. Tangan Sheila menyelinap masuk ke dalam kaus Charlos, yang segera ditangkap oleh Charlos. Mencegahnya lebih awal dari memancing api. "Jangan memancing, Sheila," peringat Charlos dengan senyum lembut yang tidak sampai ke mata. "Kenapa? bukankah kau menyukainya?" Charlos hanya tersenyum sambil menyingkirkan tangan Sheila. Meski Charlos dikenal sebagai playboy. Ia tidak berhubungan intim dengan mereka semua, paling hanya sebatas ciuman bibir. Jika Charlos berani melakukan hal itu, mungkin kelaminnya yang dalam bahaya. Dipotong oleh ayahnya sendiri, dan kakinya ikut dipatahkan dengan restu sang ibu. Tidak peduli bagaimana rumor negatif tentangnya tersebar, Charlos tetap memegang teguh prinsipnya, apalagi dengan pengingat Ken tentang Sheila. Charlos berniat untuk memutuskannya hari ini, tapi entah kenapa Sheila terlihat sedikit berbeda hari ini. Seperti memberikan perasaan ... merinding padanya, suasananya sama sekali tidak benar sekarang. "Charlos, seharusnya kau tidak menolak." Kata Sheila menggoda, jarinya dengan lembut membelai pipi Charlos. lidahnya menjulur keluar menjilat sudut bibirnya sensual. Charlos diam-diam menelan air liurnya, jantungnya berdebar kencang. Matanya melebar saat melihat kedua mata Sheila. Bahaya. *** Ken mengakhiri panggilan telepon dari Caroline, segera memakai jaket dan menggendarai mobil. Entah kenapa panggilan dari bibinya, membuat hati Ken berdebar-debar cemas, saat menanyakan tentang keberadaan Charlos yang tidak bisa dihubungi. Ken menginjak pedal gas dengan kuat saat kepanikan menguasai dirinya. Menambah kecepatan laju mobil dengan gila, sejenak melupakan aturan lalu lintas. Pikirannya saat ini penuh dengan bayangan-bayangan buruk yang bisa saja terjadi pada Charlos. "Dia pasti baik-baik saja. Pasti." Ken bergumam untuk menenangkan dirinya, namun tetap merasa cemas. Tangannya berkeringat dingin dan mengepal erat pada kemudi, tubuhnya tanpa sadar kau dan duduk dengan tegak. Ken segera sampai di apartemen Charlos dan buru-buru lari menuju lift ke lantai delapan. Ken hapal kata sandi apartemen Charlos dan masuk ke dalam, segera mendengar suara gaduh di kamar Charlos. Ken baru saja membuka pintu kamar, ketika Charlos terbang keluar menabraknya. Mereka berdua terjatuh, dengan Ken tertindih oleh Charlos. Membuat bunyi gedebuk keras dan Ken mengerang kesakitan. "Ken, lari!" Charlos melihat Ken, bukannya gembira tapi menjadi khawatir. Adrenalin dalam tubuhnya memuncak, mengabaikan rasa perih dari luka cakaran besar di lengan kirinya. Dengan panik Charlos buru-buru bangkit, membantu Ken untuk berdiri dan segera lari. Ken sejenak tercengang dan bingung, mendengar ucapan Charlos dan segera berdiri dengan tarikan tergesa-gesa dari Charlos. Apa yang terjadi? Matanya otomatis melihat ke dalam kamar yang berantakan, barang-barang pecah berserakan di bawah. Sheila berdiri di sana dengan kedua sudut bibir lebar mencapai telinga, dan seluruh matanya berwarna hitam. Tentakel hitam muncull dari balik punggung Sheila, dengan cepat meraih dan melilit kaki Charlos dan Ken saat mereka baru mencapai ruang tamu. Rasa panik menyerang Ken saat merasakan tentakel yang dingin dan licin melilit pergelangan kakinya. Rasa dingin itu membuat tubuhnya tegang dan kakinya membeku. Jantungnya berdetak dengan kecepatan yang gila, seperti ingin melompat keluar dari tenggorokannya. Mereka berdua diangkat terbalik ke atas, terdengar tawa Sheila yang menyeramkan dan serak membuatnya merinding. "Sial, kau membawa monster, Charlos!" Ken tidak bisa menahan mengutuk. Merasakan pusing ketika rasanya semua darah mengalir ke kepalanya, membuat pandangannya berkunang. "Aku juga tidak tahu." Charlos menjawab dengan suara gemetar, meratapi kesialan itu dalam hatinya. Saat Sheila mendekati dirinya di dalam kamar, Charlos dengan matanya sendiri menyaksikan mata Sheila berubah menjadi hitam seluruhnya. Terkejut, Charlos mendorong Sheila menjauh darinya dan berniat mengambil jarak darinya. Ia tidak siap saat tiba-tiba tangan Sheila mencakar bahu kiri Charlos. Luka cakaran itu benar-benar menancap ke dalam dan membuat dagingnya menganga, lansung membuat Charlos merasakan perih berdenyut disertai gelombang panas. Darah mengalir deras dan nafasnya menjadi berat saat rasa perih menghantamnya. Namun ia menjadi waspada di tengah ketakutan yang merayapi hatinya. Tentu Charlos membalas dengan meninju wajah Sheila, tapi tidak mengharapkan bahwa tendangan balasan dari Sheila begitu kuat, membuatnya terbang langsung menuju pintu kamar. Sheila keluar dari kamar, penampilannya yang semula cantik kini berubah mengerikan. Tubuhnya meregang menjadi semakin tinggi dan kurus, tulang-tulangnya menonjol dari kulitnya yang sangat pucat. Aroma amis yang sangat kuat menguar dari tubuhnya, membuat Ken dan Charlos mual dan semakin ketakutan. Lidahnya yang panjang, menjilat gigi bergeriginya yang berderet menjajar. Ada cakar panjang berwarna hitam di setiap jari. "Kalian pikir bisa melarikan diri ke mana?" suara Sheila serak dan berat, mengirimkan merinding lagi di tulang punggung Ken dan Charlos. Tindakan tidak terduga dari Sheila adalah membantingkan Ken dan Charlos ke jendela prancis yang lebar, jendela di ruang tamu untuk bersantai dan menikmati pemandangan kota malam dari sana. Charlos dan Ken segera otomatis melindungi kepala mereka ketika membanting kaca, kekuatan dari Sheila sangat kuat sampai memecahkan jendela tersebut. Membuat Ken dan Charlos meluncur keluar dari lantai delapan ke bawah. Keduanya menjerit merasakan perasaan tubuh mereka yang melayang terjun bebas dengan cepat, menukik ke bawah dengan tajam dan suara angin yang menggema terdengar jelas di telinga mereka. Jantung Ken dan Charlos berdebar kencang, detik-detik yang berlalu serasa menyedot kehidupan dalam tubuh mereka. Tiba-tiba ada cahaya hijau bersinar dari anting di telinga kiri Charlos. Cahaya itu menyelimuti Ken dan Charlos seperti sebuah gelembung, membuat keduanya melayang. Keduanya mendarat dengan lembut, saat gelembung hijau hilang mencapai tanah dengan selamat. Nafas Charlos maupun Ken terengah-engah, kombinasi dari ketakutan dan syok membuat tangan mereka gemetar. Mereka sekarang bisa mendengar dengan jelas, suara detak jantung mereka. Ada beberapa luka gores akibat pecahan kaca jendela, tapi mereka tidak peduli. Masih gemetar ketakutan dari pengalaman nyaris mati. "Apa itu tadi?" Charlos bertanya menatap Ken kosong. Ken menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu, ayo cepat lari." Kaki Ken terasa seperti jeli, gemetar dan lemas seolah kekutannya terkuras habis. Namun ia memaksakan untuk berdiri, memikirkan tentang maut yang mengintai nyawanya jika mereka tetap di sini. Charlos yang sejenak kebingungan juga tersadarkan, naluri bertahan hidupnya aktif dan buru-buru berdiri. Memaksakan tubuhnya yang menolak bergerak, untuk melangkahkan kakinya yang lemas. Segera bangkit dan menjauh dari monster. Bagaimanapun juga Charlos tidak mau mati jika seperti ini, ia masih harus selamat dan kabur secepatnya. Bahkan jika ia tidak selamat, biarkan Ken tetap hidup untuk membayar kesalahannya karena membiarkan Ken terlibat dengan Sheila yang berbahaya. Charlos lebih dari rela jika seperti itu. Setiap langkah yang keduanya ambil terasa berat. seperti berjalan di atas berlumpur, tapi adrenalin yang terpacu memicu Ken dan Charlos bergerak. "Charlos, cepat." Ken menarik tangan Charlos erat dengan tangan yang terus bergetar. Menyeretnya untuk mempercepat kecepatan berjalan, walau dirinya sendiri pun masih terhuyung. Ken menggertakkan gigi untuk bertahan, ia harus membawa pulang Charlos dengan selamat pada bibinya, yang sudah pasti sedang cemas di rumah. Tidak akan membiarkan paman dan bibinya merasakan sakit karena kehilangan orang tersayang mereka, sama dengan Ken dan yang kehilangan ibunya. Rasa sakit itu begitu mencekik dan memuatnya tidak berdaya, bahkan hingga sekarang. Cukup ia seorang yang engalami hal itu. Bagaimanapun caranya, mereka berdua harus pergi bahkan jika perlu merangkak, atau ini akan menjadi akhir dari hidup mereka. satu langkah sama dengan menyelamatkan nyawa dari cengkraman monster gila. Tawa keras menyeramkan Sheila terdengar dari belakang, Ken dan Charlos melirik. Punggung mereka menjadi semakin dingin, sama seperti tersengat es begitu melihat Sheila turun dengan mudah. Menggunaan bantuan tentakel hitamnya yang menjijikkan memegang erat dinding. Meninggalkan garis panjang hitam, sama seperti tali yang tidak akan membiarkan mereka lolos dengan mudah. Nafas keduanya semakin cepat dan pendek, otak mereka memanas dengan rasa urgensi. ***Sheila menyaksikan Ken dan Charlos terus terus berlari meski beberapa kali terjatuh, mereka dengan gigih berdiri. Ia tertawa lucu menyaksikan perjuangan mereka. Ketika melihat ke langit, Sheila mengangkat alisnya heran. Ada sebuah perisai besar yang mengelilingi gedung apartemen dan sekitarnya. Sheila sengaja melemparkan Charlos dan Ken, untuk mengetes apakah pemilik perisai datang untuk menghalangi atau melindungi kedua anak ini. Ia merasakan perisai aktif saat di dalam apartemen, bahkan saat kedua anak itu jatuh. Perisai yang melindungi mereka bukanlah energi yang sama dari perisai tersebut. Sheila waspada karena siapa pun yang mampu membuat perisai sebesar itu, bukanlah orang yang bisa Sheila hadapi sembarangan. Hasilnya, pemilik perisai tidak keluar untuk ikut campur dan membiarkannya. Terserah apa niatnya selama tidak mengganggunya, Sheila tidak peduli dan melanjutkan tujuannya. Tentakel Sheila melilit pinggang mereka berdua, dan membantingkan masing-masing ke arah yang be
Sheila menatap ke arah Ken yang pingsan dan mengerutkan kening, saat merasakan fluktuasi sihir dari tubuh Ken. Lalu tersentak, kaget saat tiba-tiba bersitatap dengan mata berwarna kemerahan, yang memancarkan rasa dingin dan haus darah milik Ken. Ken yang tiba-tiba membuka matanya, langsung mengirimkan sapuan rasa takut di hati Sheila, membuatnya mundur selangkah tanpa sadar. Momentum di sekitar Ken berubah, membuatnya membunyikan peringatan bahaya. Sulur mawar hitam berduri tiba-tiba muncul di sekitar tubuh Ken, merayap dan meliuk seperti ular. Sheila merasa seolah ditatap oleh banyak mata dari makhluk reptil berdarah dingin, seolah sedang mengamati mangsanya sebelum melahap habis mereka. Membuatnya gelombang dingin di tulang punggungnya. Bahaya, sulur itu berbahaya. Sheila semakin mengerutkan kening. Sulur itu bergerak merambat ke arah Ken, mencabut setiap tentakel yang menancap di tubuh. Ekspresi Ken berubah berkerut, menahan nafas dan mengatupkan bibirnya, saat mencabut tentak
Caroline sedang asik membaca buku ketika tiba-tiba tubuhnya tersentak. Ia diam mematung dengan pupilnya bersinar biru, lalu dengan cepat menutup matanya saat kilasan penglihatan dari kekuatannya yang muncul. Caroline melihat Charlos menindih Ken, sebelum dengan tergesa-gesa bangkit sambil membantu Ken. "Ken, lari!" Mata Caroline dengan tajam memperhatikan luka cakaran berdarah di bahu kiri putranya. Tempat itu adalah apartemen milik Charlos. Punggung Caroline langsung merasakan gelombang hawa dingin, setelah penglihatannya berakhir. Tubuhnya menggigil saat merasakan bahaya dan ketakutan yang dirasakan dalam penglihatannya. Caroline membuka mata, menarik nafas dalam-dalam, dan berusaha menenangkan diri saat mengepalkan tangannya yang mulai gemetar. Ia melemparkan buku dengan tergesa-gesa, mencari-cari ponsel dan mulai menghubungi nomor Charlos dengan cemas. Panggilan terhubung, tapi setelah sekian lama tidak ada yang menjawab. Hanya suara operator dingin yang menjawab, suara dingin
Ken terbangun dengan kepala terasa pening dan meringis, merasa sudah lama sekali kehilangan kesadaran. Hal terakhir yang diingat Ken adalah pingsan saat sedang menyiksa Sheila. Tubuh Ken tanpa sadar menegang waspada, dengan panik melihat sekeliling, mencari tahu di mana ia sekarang dan bagaimana keadaan Charlos. Ruangan ini gelap, tapi tidak sepenuhnya gelap. Ken masih bisa melihat dengan jelas lingkungan sekitarnya. Ken mencoba bangkit dan baru menyadari, bahwa ia sedang duduk di sebuah kursi. Kursi itu seperti yang biasa dipakai oleh seorang raja. Ada beberapa anak tangga yang berjumlah sekitar dua puluh, menuju ke bawah. Undakan tangga terakhir terhubung dengan sebuah kolam berbetuk persegi yang lumayan luas berisi air hitam, di mana sulur mawar muncul dari dalam kolam. Setiap sulur bergerak melingkari pagar-pagar di sisi kolam dengan tiang berukiran rumit, yang tidak bisa dilihat jelas oleh Ken dari tempatnya. "Kau sudah bangun?" Itu adalah suara wanita yang membantu
Semuanya bermula dari saat Alina sedang melahirkan Ken malam itu, Gerald merasakan kegugupan yang lebih besar daripada saat ia sedang melamar Alina. Menunggang kuda dengan lebih cepat dan tergesa-gesa untuk segera kembali ke mansion. Suara tapak kuda tampak terdengar lembut dan teredam saat menginjak tanah. Gerald pulang cukup terlambat setelah selesai menghadapi kemunculan tiba-tiba monster iblis di wilayahnya. Berita itu datang mendadak, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan Alina. Gerald dengan cepat menyelasaikan pembasmian monster-monster terkutuk itu. Ketika kembali ke mansion Gerald disambut dengan sebuah penyerangan, yang membuat jantungnya berdebar kencang mengkhawatirkan keselamatan Alina. "Di mana istriku?" Kepala pelayan meski sudah tua, masih sanggup untuk bergerak melawan sekelompok penyusup asing, sambil menahan serangan berkata, "Dalta melindungi kamar Nyonya, Tuan." Aura biru gelap milik Gerald keluar mengelimuti pedang, setiap ayunan pedang menciptakan badai y
Pupil mata Ken melebar, menatap ayahnya dengan tidak percaya. Tubuhnya yang awalnya bersandar, berangsur-angsur tegang sepanjang Gerald sedang bercerita. Ken tidak tahu bagaimana harus bereaksi seperti apa terhadap kebenaran yang dipaparkan. Ia memilih menunduk, menatap kosong pada selimut putih di tempat tidur. Perasaan yang dirasakan Ken terasa campur aduk, antara lega dan tidak berdaya. Sejak kecil, rasa bersalah atas kematian ibunya, selalu ia asumsikan sebagai kesalahannya. Kini dengan kebenaran dari Gerald, membuat otaknya menyadari bahwa sebagai bayi, ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjaga keselamatan ibunya, sehingga memang itu bukan kesalahannya. Namun, rasa bersalah yang tertanam di hati Ken hanya sedikit berkurang. Ia merasa jika tidak ada dirinya, ibunya tidak perlu berkorban, dan ayahnya tidak kehilangan kekasih tercintanya. Perasaan ini terasa mencekik Ken. Tangan yang semula meremas erat ujung selimut kini berganti meremas baju di dadanya. Dada Ken terasa ses
Charlos keluar dari pusaran teleportasi milik Smith, masih sulit dipercaya bahwa kekuatan ini berasal dari ayahnya. Meski rumah Ken dan Charlos hanya lima belas menit jika berjalan kaki, ayahnya lebih suka menggunakan teleportasi untuk sampai ke rumah. Bagi Charlos sendiri, kenyataan bahwa dirinya adalah immortal bukan manusia masih terasa seperti. Ketika pertama kali mengetahui hal itu dari ayahnya, ia terpana. Charlos ingat dengan jelas reaksi pertamanya saat itu. "Ayah, apa kau sedang bercanda denganku?" Charlos memandang Smith dengan mata curiga, trauma karena selalu dijahili oleh ayahnya di masa lalu. Balasan dari Smith yaitu sentilan keras di dahi Charlos. "Siapa yang bercanda, hah?" Charlos terkejut dengan tindakan balasan ayahnya dan segera menutupi keningnya yang mulai berdenyut sakit. "Ibu, Ayah memukul diriku," adu Charlos memandang Caroline, meminta keadilan. Caroline selalu menjadi pelindung Charlos dari kecil, ketika ia tidak bisa melawan balik pada ayahnya. Mengad
Mirk mendecak dalam hatinya, mulai merasa jengkel. Ketika melihat Gerald maupun Smith tidak mau bekerja sama, tidak peduli pada apa yang dikatakannya. Mungkin ia hanya bisa menggunakan satu cara yang tersisa. Senyum Mirk sedikit memudar. "Aku bilang, aku hanya ingin berbicara dengannya. Kenapa kalian membuatnya menjadi sulit?" Kemudian menjentikkan jarinya. Ken langsung membungkuk dan jatuh berlutut. Ia mengerang kesakitan, begitu sakit hingga mengeluarkan air mata. Memegangi dadanya yang terasa sangat nyeri, seolah jantungnya ditarik secara paksa. Senyum di bibir Mirk kembali melebar, diam-diam senang melihat reaksi kesakitan Ken. Ini membuktikan bahwa kontrak dengan masternya masing terhubung, sehingga dapat menggunakannya untuk menghukum Ken. Sekaligus menakuti Gerald dan Smith. Mirk sebenarnya enggan menyakiti Ken. Terutama setelah akhirnya dapat menemukan keberadaan masternya, setelah sekian lama mencari. Namun, momen yang paling dinantikannya menjadi rumit, karena kebe
Duri-duri kecil menusuk lebih dalam pada kulit lehernya, meninggalkan garis-garis ungu yang perlahan berubah menjadi tetesan darahnya. Secara naluriah, Bellis meronta saat lehernya dicengkeram lebih erat lagi. Napasnya tersengal saat mencoba mengirim lebih banyak oksigen pada paru-parunya. Ken tidak tergesa-gesa, ia menatap Bellis dengan dingin tanpa emosi. Seolah-olah Bellis tidak lebih dari serangga yang bisa ia remukkan dengan santai. Tidak ada rasa kasihan, ia hanya merasa jengkel karena mengganggu istirahatnya. Jemarinya bergerak sedikit, dan detik berikutnya sulur menarik tangan dan kaki Bellis. "Ahhh!" Jeritan melengking memenuhi ruangan, ketika tulang di pergelangan tangan Bellis patah dengan mudah, semudah seperti mematahkan cabang tipis di pohon. Air mata dengan cepat memenuhi mata Bellis, jari-jarinya menegang lalu terkulai lemas tak bisa lagi digerakkan. Rasa sakitnya begitu mendalam hingga otaknya tidak bisa memproses. Keringat dingin mengalir dengan cepat menetes ke
Bagi Bellis, Ken adalah sumber kekuatan yang besar. Saat menyaksikan Ken dan Charlos bertarung melawan ular monster, gelombang kekuatan dahsyat menyebar ke seluruh hutan. Kekuatan itu menarik perhatiannya, yang dengan antusias mengamati. Setelah melihat keduanya, mata Bellis berbinar, puas menemukan mangsa berkualitas tinggi.Dapat dibayangkan seberapa besar kekuatan dan umur yang bisa didapat Bellis dengan memakan Ken. Maka ia mengeluarkan aroma yang kuat dari tubuhnya, sama seperti afrodisiak yang bisa merangsang tubuh. Bellis tidak percaya bahwa Ken masih bisa bertahan dan tidak terpengaruh sama sekali.Namun di detik berikutnya, leher Bellis dicekik oleh sulur dan ditarik dengan kuat ke belakang. Membuat kepalanya menghantam lantai dengan bunyi gedebuk tumpul, rasa pusing seketika menyerangnya.Rasa sakit menjalar dari kulitnya yang terkoyak. Bellis ingin menjerit namun suaranya tertahan, tenggorokannya ditusuk oleh lebih dari satu duri.Sulur mencengkeram lehernya seperti ular me
Namun Tanin berpuas diri terlalu dini. Ia masih saja lengah, dan tidak belajar dari pengalamannya tadi. Di detik berikutnya Charlos menyerangnya, belati tajam menggores secara horisontal pada kedua matanya. Belati itu menyentuh kulitnya dengan tajam, rasa sakit datang begitu cepat pada Tanin. Sesaat, waktu terasa membeku. Sebelum ledakan sakit menyebar ke seluruh wajahnya. Ada rasa panas yang menyusup di sepanjang guratan luka, rasa sakitnya begitu dalam hingga Tanin merasa wajahnya terbelah dua. "Ahhh!" Tanin berteriak kencang seolah merobek tenggorakannya. Tangannya segera menutupi wajahnya, ia bisa merasakan darahnya keluar seperti air yang tak terbendung. "Kau manusia bajingan!" Kedua matanya terluka parah, membuatnya tidak bisa melihat. Gelombang rasa takut dan keputusasaan menimpanya, saat dunia yang biasa ia lihat kini menjadi gelap. Namun meski begitu, Tanin masih tidak ingin menyerah. Naluri bertahan hidupnya masih menyala, ia mengumpulkan energi gelap dan melayangkannya l
Di tengah malam yang sunyi, asap tipis menyelinap dari celah jendela, dan masuk dengan tenang ke dalam kamar. Kemudian merayap seperti tentakel yang hidup, menyusup ke arah hidung Charlos, membaur ke dalam napasnya tanpa disadari. Setelah itu menyebar ke seluruh ruangan secara diam-diam, membentuk perisai transparan yang mengurung Charlos. Sementara itu di kamar Mirk yang tidak jauh dari Charlos, ia mulai membuka mata dari tidurnya yang berpura-pura. Tawa rendah lolos dari bibirnya yang tersungging nakal. Penyusup itu bergerak dengan sangat cepat, langsung menyambar umpan yang telah ia siapkan malam ini. "Oho~ kalian benar-benar tikus yang kelaparan." Mirk kemudian bangun dan bersandar di ranjang. Duduk dengan malas sambil mengeluarkan secangkir darah, teman yang cocok untuk menonton hiburan yang menarik. "Tolong beri aku kesenangan yang memuaskan, anak-anak," gumamnya sambil menjilat bibirnya dengan tidak sabar. Kekuatan dari penyusup itu mulai bekerja pada Charlos. Ia mulai
Ken menatap dengan seksama saat monster ular itu tumbang, memastikan dia benar-benar mati sebelum perlahan menarik kekuatannya. Sulur raksasa yang membelit ular itu bergerak untuk membuka cengkeramannya. Tanpa diperintah oleh Ken, salah satu sulur maju menuju kepala ular. Ujung sulur meruncing panjang, lalu membelah kening ular dan mencongkel permatanya. Setelah mendapatkan permata itu, sulur meninggalkan ular tanpa nostalgia. Memperlakukan bangkai ular itu sebagai sampah menjijikkan, dan membakarnya sebagai langkah terakhir. Ken tidak dapat melihat semua tindakan sulurnya, karena dalam sekejap tubuhnya langsung jatuh menghantam tanah. Saking cepatnya hingga Charlos di belakang tidak sempat bereaksi. "Ken!" Wajahnya lebih pucat daripada kertas, kontras dengan darah merah yang terus dimuntahkannya. Keringat dingin mengucur deras dari sekujur tubuh Ken, membuat bajunya basah kuyup dan melekat. Tangannya mencengkeram erat dadanya, rasa sakit dari jantung membuat Ken mengerutkan ken
Charlos menyisihkan pedangnya dan mulai mengumpulkan energi hijau besar ditelapak tangannya. Matanya memandang monster ular itu dengan tajam, memanfaat momen di mana ular itu sedang bertarung sengit dengan sulur Ken. Aura penyembuhannya melayang dan mulai membentuk perisai besar di udara. Perisai itu melebar dengan cepat, hampir menutupi daerah bukit yang luas. Energinya terlihat berkilauan, membentuk sebuah dinding yang kokoh. "Ini hadiah untukmu, ular berengsek!" teriak Charlos dengan bersemangat, mendorong perisai raksasa itu dengan kuat menuju monster ular. Monster ular tentu saja mendeteksi sebuah ancaman, mata abu-abunya melihat cahaya hijau yang besar. Ekornya diangkat untuk menyerang ke arah Charlos, namun dihalangi dengan kuat oleh sulur Ken. Setiap kali ia maju untuk mendekat, ledakan akan muncul di bawah tubuhnya. Membuatnya mundur dengan kesakitan, sama sekali tidak bisa mendekat. Namun ular itu terlambat, perisai besar itu datang ke arahnya secepat kilat. Menghantam
Kekuatan petir dari monster ular itu sangat mengerikan. Lingkungan sekitar menjadi saksi bisunya, ketika debu yang baru saja mereda kini dipenuhi asap hitam dari sulur raksasa yang hangus disambar. Serpihan kayu menyebar bercampur dengan pecahan-pecahan batu yang hancur. Beberapa batu yang besar terbelah dan menghitam akibat terkena arus listrik yang dahsyat. Tanah di bawah monster ular semakin merekah, menciptakan celah besar yang masih memancarkan sisa kilatan listrik. Udara di hutan penuh dengan bau menyengat, bercampur dengan aroma vegetasi yang terbakar. Kepala ular terangkat tinggi, mendesis puas melihat keadaan sulur mawar yang menjauh darinya dan menggeliat dengan lemah. Mata abu-abunya berbinar dengan kilau kemenangan, sekaligus ejekan terhadap musuh-musuhnya yang terluka. Meski manusia-manusia yang mengedalikan sulur dan mencoba menyerangnya bersembunyi di balik sulur menjijikkan ini, monster ular akan segera memusnahkannya. Namun ia kembali memuntahkan lidah bercaban
Ken mengerahkan sulur besarnya untuk menghadapi ular itu. Sulurnya melesat dengan cepat ke arah ular, bergoyang menerobos kabut debu yang tebal dengan duri tajam disekujur tubuhnya. Bergegas melilit tubuh ular dengan duri tajam sekeras besi, menusuk kuat sisik keras ular tersebut. Menghasilkan suara berderit seperti logam yang dipaksa patah. Monster ular itu mengeluarkan desisan keras saat kesakitan. Darah berwarna hitam merembes keluar dari sela-sela sisiknya, bercampur aroma busuk yang menusuk hidung, membuat orang mual dengan menciumnya. Ular itu menggeliat liar, mata abunya menyala dengan penuh kebencian. Ia membuka lebar mulutnya, siap menggigit sulur yang melingkari lehernya. Mencoba membuat dirinya bebas. Dan pada saat yang sama menggunakan ekornya untuk memukul-mukul tubuh sulur, menghukum sulur yang berani menyentuhnya. Gerakan dua ular raksasa itu mengonyak kembali tanah di sekitar mereka. Setiap hentakan dari ekor monster ular menyebabkan kembali gempa bumi. Retakan di
Benang perak berakhir di sebuah bukit, lebih tepatnya pada sebuah batu aneh yang setengah tenggelam ke tanah. Ken dan Charlos saling memandang, lalu mendekati batu tersebut. "Ini ... apakah benar menunjuk pada batu aneh ini?" Charlos berjongkok, mengamati dengan seksama. Terdengar bunyi 'tuk' keras ketika ujung pedang Charlos mengetuk badan batu. Bentuk dari batu tersebut adalah lonjong hitam panjang, dengan sebuah kuncup bunga di atasnya berwarna hitam serupa. Ken juga mengangkat sebelah alisnya aneh, tapi benang perak jelas menunjuk pada batu aneh ini. Ken berpikir, mustahil fragmen jiwa bisa diperoleh semudah ini. Lingkungan di sekitarnya tampak damai, tetapi tidak ada rumput yang tumbuh di sekitar area batu aneh itu. Ia berkedip, menatap tanah di bawah kakinya, dikombinasikan dengan suasana biasa ini. Hati Ken mengepal dengan waspada, yakin bahwa ada bahaya yang sedang mengintai mereka. Sulur mawarnya dikeluarkan, Ken berniat untuk mencabut bunga di atas batu. Ia ingin meliha