Suasana mobil menjadi hening, Charlos dan Ken tenggelam dalam kekhawatiran dipikiran mereka masing-masing.
Charlos mengingat kejadian saat mereka kecil, sekitar umur sepuluh tahun. Ketika Charlos akan pergi bermain bersama teman-temannya, tapi Ken waktu itu memegang tangan Charlos berkata, "jangan ke sana atau kalian akan mati." Mendengar hal itu, anak-anak lain mundur ketakutan menjauhi Ken, beberapa mengerutkan kening menatapnya. "Dia anak aneh." "Tinggalkan dia, jangan ajak lagi dia bermain." "Ayo pergi, jangan pedulikan kata-katanya, ayo Charlos." Charlos ingat dengan jelas waktu itu, Ken memegang erat tangan Charlos. Ken menatap dan menggelangkan kepala, lalu menatap dengan menusuk pada anak-anak lain. Ken sudah muak dengan ejekan mereka yang menyebutnya aneh, tapi ia tidak mempermasalahkan hal itu. Baginya mereka hanya sekumpulan anak berisik yang menjengkelkan, yang akan segera pergi. Charlos memilih untuk menuruti Ken dan berdiri melindungi Ken dari anak-anak lainnya. "Jangan menyebut Ken aneh, dia tidak aneh. Aku tidak akan pergi, aku akan bersama Ken saja." Anak-anak lain mencibir dan meninggalkan Charlos dan Ken, Ken sendiri hanya melirik mereka lagi dengan dingin tanpa emosi. Ia tidak peduli dengan mereka, karena yang terpenting sekarang adalah memastikan Charlos aman. Tidak lama setelah anak-anak keluar dari gerbang sekolah, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrak gerbang tersebut. Jeritan pilu memenuhi udara. Wajah Charlos membeku, ketika melihat dengan matanya sendiri teman-temannya bersimbah darah. Nafasnya tercekat dan seluruh tubuhnya kaku. Charlos terdiam sebelum merasakan tepukan lembut di kepalanya, dan mendengar kata-kata Ken. "Syukurlah, itu bukan kau yang mati." Melihat wajah Ken yang tenang, hati Charlos gemetar ketakutan hingga wajahnya langsung memucat. Sebelum rasa mual yang hebat membuatnya muntah dan mulai menangis tersedu-sedu. Wajah Ken yang semula tenang berubah panik. Wajahnya memucat saat melihat Charlos muntah dan menangis, tidak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan Charlos. Namun tangan yang memegang Charlos mejadi semakin erat, untuk menyatakan dukungannya. "Jangan menangis, aku bersamamu." Sejak saat itu, perasaan takut membuat Charlos bingung bagaimana menghadapi Ken. Ia sempat tak mau bertemu Ken sampai ibunya, Caroline, berkata, "Charlos, jangan takut pada Ken. Sama sepertimu Ken juga ketakutan, hanya saja kau tahu Ken selalu bersikap tenang." Caroline membelai lembut rambut Charlos. "Ken merasa sangat sedih saat tahu kau tak mau bertemu dengannya. Ketahuilah, Ken tidak akan melukaimu, ia akan selalu melindungimu karena kau adalah saudaranya, keluarganya. Jadi renungkan dan tenangkan dirimu. Setelah itu, coba temui lagi Ken, oke?" Charlos terdiam sebelum akhirnya ia mengangguk. Tak lama setelah Caroline pergi Ken mengetuk pintu kamar Charlos. Charlos berdiri ragu-ragu untuk mendekati pintu, kemudian mendengar suara Ken dari luar. "Maaf ... Charlos, maafkan aku membuatmu takut, tak apa jika kau tak mau bertemu denganku lagi, jangan dengarkan ucapan bibi. Sekali lagi maafkan aku." Setelah Ken pergi, Charlos terdiam dan menatap pintu lama, memikirkan kembali kata-kata ibunya. Di sisi lain ketakutan masih membayangi dirinya, namun di sisi lain Ken tetap keluarganya dan tidak akan menyakitinya. Butuh beberapa saat sebelum Charlos menarik napas dalam-dalam, dan menyusul Ken. "Ken tunggu," teriak Charlos membuat Ken berhenti dan menatapnya. "Aku memang takut padamu, tapi bukan berarti aku tidak mau berteman denganmu. Aku ... aku hanya kaget, dengar itu, aku hanya kaget. " Charlos lega setelah mengatakan hal itu, tapi terkejut ketika ia menatap Ken. Di sana Ken berdiri dengan mata dan hidungnya merah. Air mata mengalir di pipi Ken, ia langsung memeluk erat Charlos sambil berkata dengan terisak. "Terima kasih Charlos, aku ... aku ... aku takut kau tak mau berteman denganku lagi. aku ... aku pasti akan menjagamu." Ken ketakutan saat Charlos tidak mau bertemu denganya lagi, satu-satunya yang membuatnya bertahan selain ayahnya adalah Charlos sendiri. Ken mencoba menunggu beberapa hari setelah kejadian itu, tapi menjadi semakin cemas karena Charlos tidak kunjung mendatanginya. Ia tidak rela untuk kehilangan Charlos. Jika tahu akan seperti ini, mungkin Ken akan mencoba mencegah anak-anak yang lain, sehingga Charlos tidak ketakutan dan menjauhinya. Walaupun Ken sama sekali tidak peduli pada mereka. Untuk pertama kalinya, Charlos melihat Ken menunjukkan emosinya dengan menangis begitu kencang, sementara Charlos yang dipeluk masih terkejut melihat Ken menangis. "Ken kau kenapa? maafkan aku, tolong jangan menangis." Tangis Ken justru semakin kencang, bahunya gemetar tak terkendali. Membuat Charlos yang semula hanya terkejut, kini ketakutan dengan jantungnya berdetak kencang dan ikut menangis. Sampai Caroline datang dan menenangkan mereka berdua, hingga mereka tertidur karena kelelahan. Sejak kejadian itu Charlos benar-benar tidak takut lagi pada Ken, dan juga melindungi Ken dengan selalu bersama Ken atau memperkenalkan Ken dengan teman-temannya. Tanpa sadar sudut mulut Charlos melengkung, mengingat kekonyolan dirinya sendiri. Sekarang tampaknya, ia harus mengakhiri hubungan lebih awal dari biasanya. Charlos terkenal dengan tiga bulan hubungan sebelum berganti pasangan, sehingga para wanita akan memanfaatkan itu untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Charlos juga akan memberi apa pun asalkan tidak keterlaluan, karena ia juga bingung menghabiskan uang jajan yang terus menumpuk. Jadi Charlos hanya menganggapnya sedekah bagi para pengemis. "Jangan terlalu khawatir, Ken." Tangan Ken mengencang di sekitar setir, menarik nafas dalam-dalam, berkata dengan tekad. "Aku akan mencoba." *** Setelah sampai di rumah, Ken langsung lari menuju rumah kaca. Aroma mawar yang harum menyambutnya. Ken membaringkan diri di sofa yang dilengkapi bantal dan selimut, suhu yang diatur membuatnya menjadi lebih nyaman. Dikelilingi oleh rimbunya mawar, membuat hatinya yang gelisah sedikit mereda. Rumah kaca ini dibangun khusus oleh ayahnya untuk sang ibu, dengan hanya mawar merah favoritnya yang tumbuh di sini. Bahkan katanya, ibu sendiri yang merawat bunga-bunga ini. Saat Ken masih kecil ayahnya pernah berkata, "Ken jika kau merasa takut, sedih, atau gelisah, datanglah ke sini jika ayah tak ada bersamamu. Percayalah, di sini akan membuatmu tenang." Gerald menjelaskannya dengan lembut. Melihat Ken mengangguk patuh, ia mengecup dahinya puas. Memang benar bahwa hanya di tempat inilah, Ken merasa begitu damai dan tidak ketakutan. Beberapa minggu terakhir ini, Ken melihat lagi hantu-hantu itu. Sejak insiden masa kecil yang melibatkan teman-temannya, Ken tidak lagi melihat hantu atau cahaya hitam di tubuh seseorang. Tidak jelas kapan Ken melihat hal-hal menakutkan itu, tapi saat Ken kecil, ia sering melihat hantu yang berlumuran darah, hilang anggota tubuhnya, atau rusak di sekujur badan. Hal itu benar-benar membuat Ken ketakutan dan ingin meminta tolong pada ayahnya, tapi ia menahannya. Setelah membuat ibunya meninggal karena melahirkannya. Ken berpikir untuk tidak menjadi anak nakal dan merepotkan bagi ayahnya, serta menanggungnya sendirian. "Kata ibuku, kau membuat ibumu sendiri mati karena melahirkanmu. Kau anak nakal." "Benar, kau anak nakal. jauhi dia teman-teman." "Ayahmu juga pasti sangat membencimu, karena menjadi anak nakal." Ken mengepalkan tangannya erat-erat, begitu mengingat kembali kata-kata dari teman sekolah di taman kanak-kanak. Ken terkadang mengintip saat ayahnya duduk diam memandangi lukisan ibunya selama berjam-jam. Tatapan mata ayahnya kosong seolah kehilangan jiwa dengan kerinduan yang mendalam. Hal itu membuat Ken merasa semakin bersalah karena merusak kebahagiaan ayahnya, membuat ibunya berkorban untuk dirinya. Untuk mengatasi rasa takutnya, Ken selalu lari ke rumah kaca sesuai saran ayahnya, dan menemukan bahwa saat masuk ke sana, hantu itu akan lenyap. Jadi, Ken meminta Gerald untuk menyiapkan sofa yang juga bisa dijadikan tempat tidur. Ken tidak tahu bagaimana cara untuk menghilangkan cahaya gelap aneh di tubuh Charlos. Ken memaksa untuk menutup mata agar tertidur, supaya lebih tenang dan hanya berharap cahaya hitam di tubuh Charlos menghilang dengan sendirinya. Sulur dan cabang berduri mawar bergetar perlahan hingga terlihat dengan mata telanjang, bergerak sendiri tanpa ditiup angin. "Raja akan datang." "Sebentar lagi ... Kita akan memiliki raja." "Segera ... Ah ... dia akan bangkit." Para mawar begitu bersemangat seperti anak kecil yang mendapat permen, batang mawar bergerak melingkari satu sama lain. Dunia luar tidak dapat mendengar kata-kata mereka, hanya suara gemerisik antara daun yang terdengar. Bahkan Ken sedikit mengeryit merasa terganggu baru. Saat itulah para mawar sedikit tenang, bergerak perlahan ke arah Ken. Bagi mereka, ini adalah kabar yang paling dinanti setelah sekian lama tahta itu kosong. Mereka mulai membagikan berita pada roh mawar lainnya. ***Gerald mendapati dirinya di lingkungan yang tidak dikenal, sekelilingnya tampak remang-remang, suram, dan sunyi. Jenis kesunyian yang membuat merinding, seakan ada monster yang bersembunyi dalam gelap siap menerkam di saat lengah. Gerald juga merasakan kakinya basah. Melihat ke bawah, ada air hitam legam mengotori kakinya. Dengan tenang Gerald memindai sekeliling, hanya ada kegelapan yang terlihat. Saat Gerald mencoba melangkah untuk mencari jalan keluar, ada angin kencang yang mencoba menelannya dalam kegelapan. Gerald berusaha melawan, tapi mendapati kekuatannya tidak bisa digunakan. Gerald menahan angin dengan sekuat tenaga, sampai suara yang paling dirindukannya terdengar, membuat lengah. "Gerald." Ia tercengang melihat istrinya berada dihadapannya sekarang. Meraih tangannya dengan erat, mencegahnya agar tidak terbawa oleh angin. Alina berkata dengan suara keras penuh urgensi, "Gerald, aku tak punya banyak waktu. Jadi dengarkan, Ken dalam bahaya lindungilah dia." Alina me
Ken merasakan sengatan matahari begitu keluar dari gedung pengajaran, sore hari ini terasa begitu panas. Ken mampir ke toko minuman favoritnya dekat fakultas, membeli sebotol Lemon tea. Memikirkan minuman dingin itu saja sudah membuat Ken merasa segar. Ponsel Ken bergetar, ada pesan masuk dari Charlos. [Aku jalan-jalan dengan Sheila] Membaca pesan itu membuat Ken memutar matanya, menjawab dengan tidak peduli, yang lansung dibalas dengan stiker emoji seseorang yang mengirim Flying kiss, yang membuat Ken merasa mual. Kebiasaan untuk saling memberitahu posisi atau aktivitas apa yang dilakukan, entah itu Ken atau Charlos. Sudah biasa dilakukan semenjak mereka diberikan ponsel pertama mereka, yaitu saat di sekolah menengah pertama dan bertahan hingga sekarang. Bahkan meski rumah mereka bersebelahan, Charlos akan mengirim pesan atau menelepon Ken, ketika waktunya tidur atau hal sepele lainnya. "Apa ada yang salah di wajahku?" Ken akhirnya merasa tidak tahan, dan bertanya pada seorang
Sheila menyaksikan Ken dan Charlos terus terus berlari meski beberapa kali terjatuh, mereka dengan gigih berdiri. Ia tertawa lucu menyaksikan perjuangan mereka. Ketika melihat ke langit, Sheila mengangkat alisnya heran. Ada sebuah perisai besar yang mengelilingi gedung apartemen dan sekitarnya. Sheila sengaja melemparkan Charlos dan Ken, untuk mengetes apakah pemilik perisai datang untuk menghalangi atau melindungi kedua anak ini. Ia merasakan perisai aktif saat di dalam apartemen, bahkan saat kedua anak itu jatuh. Perisai yang melindungi mereka bukanlah energi yang sama dari perisai tersebut. Sheila waspada karena siapa pun yang mampu membuat perisai sebesar itu, bukanlah orang yang bisa Sheila hadapi sembarangan. Hasilnya, pemilik perisai tidak keluar untuk ikut campur dan membiarkannya. Terserah apa niatnya selama tidak mengganggunya, Sheila tidak peduli dan melanjutkan tujuannya. Tentakel Sheila melilit pinggang mereka berdua, dan membantingkan masing-masing ke arah yang be
Sheila menatap ke arah Ken yang pingsan dan mengerutkan kening, saat merasakan fluktuasi sihir dari tubuh Ken. Lalu tersentak, kaget saat tiba-tiba bersitatap dengan mata berwarna kemerahan, yang memancarkan rasa dingin dan haus darah milik Ken. Ken yang tiba-tiba membuka matanya, langsung mengirimkan sapuan rasa takut di hati Sheila, membuatnya mundur selangkah tanpa sadar. Momentum di sekitar Ken berubah, membuatnya membunyikan peringatan bahaya. Sulur mawar hitam berduri tiba-tiba muncul di sekitar tubuh Ken, merayap dan meliuk seperti ular. Sheila merasa seolah ditatap oleh banyak mata dari makhluk reptil berdarah dingin, seolah sedang mengamati mangsanya sebelum melahap habis mereka. Membuatnya gelombang dingin di tulang punggungnya. Bahaya, sulur itu berbahaya. Sheila semakin mengerutkan kening. Sulur itu bergerak merambat ke arah Ken, mencabut setiap tentakel yang menancap di tubuh. Ekspresi Ken berubah berkerut, menahan nafas dan mengatupkan bibirnya, saat mencabut tentak
Caroline sedang asik membaca buku ketika tiba-tiba tubuhnya tersentak. Ia diam mematung dengan pupilnya bersinar biru, lalu dengan cepat menutup matanya saat kilasan penglihatan dari kekuatannya yang muncul. Caroline melihat Charlos menindih Ken, sebelum dengan tergesa-gesa bangkit sambil membantu Ken. "Ken, lari!" Mata Caroline dengan tajam memperhatikan luka cakaran berdarah di bahu kiri putranya. Tempat itu adalah apartemen milik Charlos. Punggung Caroline langsung merasakan gelombang hawa dingin, setelah penglihatannya berakhir. Tubuhnya menggigil saat merasakan bahaya dan ketakutan yang dirasakan dalam penglihatannya. Caroline membuka mata, menarik nafas dalam-dalam, dan berusaha menenangkan diri saat mengepalkan tangannya yang mulai gemetar. Ia melemparkan buku dengan tergesa-gesa, mencari-cari ponsel dan mulai menghubungi nomor Charlos dengan cemas. Panggilan terhubung, tapi setelah sekian lama tidak ada yang menjawab. Hanya suara operator dingin yang menjawab, suara dingin
Ken terbangun dengan kepala terasa pening dan meringis, merasa sudah lama sekali kehilangan kesadaran. Hal terakhir yang diingat Ken adalah pingsan saat sedang menyiksa Sheila. Tubuh Ken tanpa sadar menegang waspada, dengan panik melihat sekeliling, mencari tahu di mana ia sekarang dan bagaimana keadaan Charlos. Ruangan ini gelap, tapi tidak sepenuhnya gelap. Ken masih bisa melihat dengan jelas lingkungan sekitarnya. Ken mencoba bangkit dan baru menyadari, bahwa ia sedang duduk di sebuah kursi. Kursi itu seperti yang biasa dipakai oleh seorang raja. Ada beberapa anak tangga yang berjumlah sekitar dua puluh, menuju ke bawah. Undakan tangga terakhir terhubung dengan sebuah kolam berbetuk persegi yang lumayan luas berisi air hitam, di mana sulur mawar muncul dari dalam kolam. Setiap sulur bergerak melingkari pagar-pagar di sisi kolam dengan tiang berukiran rumit, yang tidak bisa dilihat jelas oleh Ken dari tempatnya. "Kau sudah bangun?" Itu adalah suara wanita yang membantu
Semuanya bermula dari saat Alina sedang melahirkan Ken malam itu, Gerald merasakan kegugupan yang lebih besar daripada saat ia sedang melamar Alina. Menunggang kuda dengan lebih cepat dan tergesa-gesa untuk segera kembali ke mansion. Suara tapak kuda tampak terdengar lembut dan teredam saat menginjak tanah. Gerald pulang cukup terlambat setelah selesai menghadapi kemunculan tiba-tiba monster iblis di wilayahnya. Berita itu datang mendadak, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan Alina. Gerald dengan cepat menyelasaikan pembasmian monster-monster terkutuk itu. Ketika kembali ke mansion Gerald disambut dengan sebuah penyerangan, yang membuat jantungnya berdebar kencang mengkhawatirkan keselamatan Alina. "Di mana istriku?" Kepala pelayan meski sudah tua, masih sanggup untuk bergerak melawan sekelompok penyusup asing, sambil menahan serangan berkata, "Dalta melindungi kamar Nyonya, Tuan." Aura biru gelap milik Gerald keluar mengelimuti pedang, setiap ayunan pedang menciptakan badai y
Pupil mata Ken melebar, menatap ayahnya dengan tidak percaya. Tubuhnya yang awalnya bersandar, berangsur-angsur tegang sepanjang Gerald sedang bercerita. Ken tidak tahu bagaimana harus bereaksi seperti apa terhadap kebenaran yang dipaparkan. Ia memilih menunduk, menatap kosong pada selimut putih di tempat tidur. Perasaan yang dirasakan Ken terasa campur aduk, antara lega dan tidak berdaya. Sejak kecil, rasa bersalah atas kematian ibunya, selalu ia asumsikan sebagai kesalahannya. Kini dengan kebenaran dari Gerald, membuat otaknya menyadari bahwa sebagai bayi, ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjaga keselamatan ibunya, sehingga memang itu bukan kesalahannya. Namun, rasa bersalah yang tertanam di hati Ken hanya sedikit berkurang. Ia merasa jika tidak ada dirinya, ibunya tidak perlu berkorban, dan ayahnya tidak kehilangan kekasih tercintanya. Perasaan ini terasa mencekik Ken. Tangan yang semula meremas erat ujung selimut kini berganti meremas baju di dadanya. Dada Ken terasa ses
"Ken, berikan salah satu sulurmu, aku akan menaikinya." Ken melirik dengan kening berkerut, sedikit tidak setuju dengan gagasan yang diusulkannya. Meski khawatir dengan keselamatan Charlos, namun situasi memaksanya untuk segera bertindak. Ia bersedia mempercayai kemampuan Charlos, dan memberikan sulur besarnya sambil memperingatkan dengan serius. "Hati-hati." Charlos mengangguk dengan menyakinkan dan segera melompat ke atas sulur, permukaan sepatunya bergesekan dengan permukaan kasar sulur. Membuat langkahnya sempat goyah karena licinnya permukaan sulur. Menuntut ia untuk menginjakkan kakinya dengan hati-hati di antara duri besar yang tajam, tapi duri-duri itu menghilang di setiap langkahnya. Charlos menyeringai nakal, gembira melihat jalan mulus yang disediakan untuk memudahkannya bergerak. Berada di atas sulur memudahkannya melihat dengan jelas seluruh medan pertempuran. Kawanan serigala berlari mendekat dengan cepat, menyatu dengan kabut abu-abu di sekeliling hutan. Mata cyan
Dacia berdiri di tengah kawanan serigala spiritnya, mata cyannya bersinar semain tajam dengan kilau haus darah. "Kalian penyusup harus mati!" raung anak gadis itu, tubuhnya diselimuti aura gelap yang menyebarkan ancaman mematikan saat melambaikan tangannya. Serigala pemimpin melangkah maju, mengaum lantang setelah menerima isyarat serangan. Belasan serigala raksasa langsung menyerbu Ken dan Charlos, memperlihatkan deretan taring tajam mereka. Dari tubuh Ken sulur mawar hitam meledak keluar, duri tajamnya berdiri mengancam tak kalah mematikan. Dengan sekali lambaian tangannya, sulur-sulur itu mencambuk serigala dengan kuat, menghasilkan suara desing angin yang terbelah. Sulur bergerak gesit, melilit tubuh serigala dengan erat. Duri-durinya menancap ke dalam kulit dan menyedot energi serigala seperti lintah. Serigala meronta liar sekuat tenaga dan menggeram ganas, namun tubuhnya yang menggeliat dengan cepat tak berdaya di bawah cengkraman sulur yang tak kenal ampun. Hingga a
Ada dua kehebohan besar yang terjadi keesokan harinya. Yang pertama adalah kembalinya orang-orang yang hilang, disambut dengan suka cita oleh para keluarga terhadap hal tersebut. Banyak dari mereka memanggil tabib untuk segera memeriksa kondisi anggota keluarga yang kembali. Setelah dipastikan bahwa mereka sehat dan aman, semua orang tertawa bahagia dan menangis sekaligus. Peristiwa itu saja sudah menggemparkan seisi kota, tetapi kematian Jikia membuat seluruh kota semakin berisik dengan hiruk pikuk yang tak terduga. Tidak ada yang pernah menyangka kabar tak terduga tersebut, semua orang tercengang dengan kematian mendadaknya. Ketiadaan penjelasan yang jelas tentang kematiannya, seperti menabur api ke dalam minyak. Semakin memanaskan suasana dengan berbagai spekulasi liar dan dugaan konspirasi, menyebar secepat api yang membakar padang rumput. Namun pemakaman masih diadakan dengan khidmat, tanpa terpengaruh oleh semangat diskusi di luar. Semua orang tetap memberikan penghormatan
Ken termenung sejenak, melihat punggung Reinard yang menghilang dalam gelapnya lorong. Menyaksikannya membuat dadanya dipenuhi rasa sesak. Kejadian ini menyadarkan Ken, tentang betapa beruntungnya ia memiliki Gerald sebagai ayahnya. Charlos sebagai sepupunya, selalu siap tanpa ragu berdiri mendukungnya, serta paman dan bibinya juga terus menyayangi tanpa henti. Mereka selalu berusaha sekuat tenaga untuk memberikan kasih sayang pada Ken, agar ia tidak pernah merasa kesepian tanpa adanya sosok ibu. Ken masih bisa merasakan apa yang disebut kasih sayang keluarga, sesuatu yang berbanding terbalik dengan kehidupan Reinard. Dalam potongan memori yang disampaikan sulur padanya, dia tumbuh tanpa cinta dan hanya menerima pelecehan sejak kecil. Ken dapat melihat Reinard kecil yang pendiam, dan harus bersikap hati-hati bahkan terhadap pelayan yang bertugas melayaninya. Statusnya di rumah terbalik menjadi Reinard yang seolah budak rendahan, sementara pembantunya menjadi seorang majikan. Ke
Ken tiba setelah kedua orang itu telah lenyap, menatap terpaku pada Charlos yang berlumuran darah dengan tercengang. Berdiri di tengah kegelapan dan genangan darah, Charlos memancarkan kekejaman dan hasrat membunuh yang kental. Cahaya obor yang goyah menyinari wajahnya yang diwarnai merah, menciptakan bayangan yang seolah gemetar menyaksikan aksi brutal Charlos. Potongan-potongan daging berserakan di sekitar jalan maupun dinding, bau amis tercium pekat di udara dan memenuhi hidungnya hingga terasa pusing. Genangan darah mengalir perlahan ke arah kakinya, seperti menyapa untuk memberitahu Ken perbuatan gila saudaranya. Ken merasakan kemarahan dalam diri Charlos saat menatapnya tanpa ekspresi, tangannya mengepal saat ia perlahan mulai berbicara, "Charlos ... sebenarnya aku baik-baik saja, jangan khawatir dengan perkataan mereka." "Aku yang tidak baik-baik saja!" raung Charlos yang mengagetkan Ken, membuatnya terdiam, hanya bisa tutup mulut dan mendengarkan. "Mereka memandangmu sepe
Charlos mengerutkan kening, rahangnya mengatup erat. Menggertakkan gigi penuh kebencian menyaksikan cara mereka memandang Ken seolah dia adalah monster. Pemandangan itu menyulut kemarahannya, jelas-jelas Ken pernah menyelamatkan mereka. Tanpa Ken, mereka mungkin telah menjadi santapan hantu untuk mengisi kekuatan Pixy, tapi rasa terima kasih tampaknya tidak pernah terlintas di benak mereka. "Apa maksud dari pandangan kalian, berengsek?" Mata Charlos memancarkan rasa dingin, suaranya penuh dengan niat membunuh. Ia mengangkat pedangnya dengan aura hijau yang menyelimuti, memancarkan keganasan yang jauh lebih kuat daripada saat melawan Reinard. Tangannya mengepal erat saat memegang pedang, hingga sedikit gemetar karena emosinya yang membuncah. Dua orang itu menatap Charlos dengan heran, dalam pemahaman mereka kenapa bisa ada orang yang bisa berdampingan dengan monster kutukan itu. Salah satunya tidak bisa menahan untuk bertanya, "Kenapa kau bersamanya?" Ia menunjuk pada Ken dengan j
Charlos tentu saja mendengar jeritan Pixy, melirik sekilas kedatangan Ken sebelum beralih melihat pemandangan penyiksaan dibelakangnya. Sama seperti Ken, tidak banyak perubahan di wajahnya meski aroma amis dan tembaga dari darah Pixy tercium pekat di udara. Ia tetap tenang dengan mengangkat sebelah alisnya, sedikit heran terhadap tindakan Ken, namun tidak bertanya dan hanya menerima begitu saja. Bahkan Charlos cenderung penasaran terhadap Pixy yang bisa memicu kemarahan Ken, sehingga dia disiksa begitu parah. Sebab Ken jarang sekali marah, tapi apa pun itu Charlos menggeleng pelan. Ada rasa kasihan yang terpantul di pupil ungunya, tetapi senyum puas terlukis di bibirnya saat melihat keadaan tragis Pixy. Charlos menghela napas pendek, mengubah postur tubuhnya menjadi lebih santai. Menurunkan ujung tajam pedangnya ke tanah dengan bahu yang merosot rileks, aura agresi di tubuhnya untuk sementara di tekan. Matanya dipenuhi dengan kegembiraan saat Ken berada tepat dihadapan Re
"Pixy!" Reinard berteriak keras, matanya melebar dengan kepanikan saat melihat tubuhnya dilalap api, perhatiannya kembali terpecah di tengah pertarungan. "Sekali lagi, ke mana kau melihat, hah?" ejek Charlos dengan seringai lebar yang puas, nada suaranya menjengkelkan seperti pisau yang menusuk ego lawannya. Bajingan Reinard ini kembali mengalihkan pandangannya, membuat dirinya menjadi rentan di hadapan Charlos. Betapa bodohnya. Charlos mengangkat pedangnya, menebas secara horizontal. Menciptakan jejak aura hijau yang membelah udara dengan ancaman mematikan. Gerakannya secepat kilat, membuat udara gemetar oleh tindakannya. Merasakan bahaya yang mendekat, Reinard memaksa memusatkan kembali fokusnya pada Charlos. Rasa dingin memadat di matanya yang semakin suram, penuh kebencian yang siap menusuk siapa saja. "Dasar bajingan." Dengan sigap ia menangkis serangan itu. Aura biru keabu-abuannya menyala saat kedua pedang kembali beradu untuk kesekian kalinya. Percikan energi menyebar
Pixy keluar dari kepulan asap, sekujur tubuhnya tergores dan mengeluarkan darah. Meski begitu, ia segera menatap para tumbal, sedikit lega karena orang-orang itu tidak hancur dalam ledakan dan masih utuh. Sementara untuk gambar mantra yang hancur, Pixy masih bisa menggambarnya kembali. Asap hitam yang melayang kini menyebar dan mengeluarkan suara jeritan marah. Jeritan-jeritan itu menggema, menyebabkan telinga Pixy maupun yang mendengarnya berdenging dengan menyakitkan. Reinard dan Charlos juga mengerutkan kening tidak nyaman, merasakan kepala mereka berdenyut pusing akibat jeritan-jeritan melengking itu. Mereka tidak tahan mendengarnya, sehingga terpaksa berhenti dari pertarungan dan harus menutupi telinga untuk sementara. "Sial." Charlos dan Reinard memaki secara serempak. "Diam, aku akan segera memberi kalian makan. Bersabarlah! Jangan membuatku semakin marah, kau makhluk menjengkelkan!" geram Pixy, kemarahannya semakin memburuk ketika para jiwa itu mengacau setelah ritualnya