"Selamat pagi, bagaimana istirahatmu?" sapa Prabujaya ketika melihat Erlangga masuk ke ruang makan."Selamat pagi juga," jawabnya datar.Er tersenyum tipis. Dia menarik kursinya dan duduk di sana, berhadapan dengan sang ayah.Er mengabaikan Prabujaya yang bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi diantara mereka kemarin siang dan melupakan pertengkaran mereka begitu saja.Karena itu, Er menghindari kontak mata dengannya. Dia hanya fokus menatap piringnya sementara mulutnya tak berhenti mengunyah makanannya.Melihat sikapnya yang acuh tak acuh, Prabujaya tidak membiarkannya begitu saja. Pria tua itu meletakkan sendoknya lalu mulai menanyainya lagi."Papa dengar kamu pulang terlambat tadi malam. Kamu pergi dengan siapa?" tanya Prabujaya."Apa mereka yang melaporkannya? Itu memang benar. Aku pergi makan malam dengan seorang teman," jawab Erlangga dingin."Teman? Apa dia teman wanitamu?" tanya Prabujaya lagi.Mendengar Prabujaya mulai menginterogasinya, Er meletakkan sendoknya. Dia meng
Daniel mengarahkan mobil mewah itu menuju salah satu pabrik dimana semua produk gagal di simpan sebelum di jual kembali ke pasaran dengan harga yang lebih murah.Pria paruh baya itu bisa bernapas dengan lega ketika mendapati mobil milik Erlangga tidak berada di tempat itu.Daniel sengaja memarkirkan mobilnya jauh dari pintu masuk agar tidak ada orang yang melihatnya datang ke sana."Selamat pagi, Pak." Seorang petugas keamanan menyapanya dengan ramah saat Daniel masuk ke dalam gedung."Selamat pagi juga. Apakah putra Tuan Prabujaya ada datang ke sini?" tanya Daniel padanya.Pria itu menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak ada, Pak. Tuan Rangga tidak pernah datang sejak satu bulan terakhir."Daniel mengusap pelipisnya yang berdenyut setelah mendengar kata-katanya."Aku tidak bertanya tentangnya," ucap Daniel datar berusaha menahan dirinya."Lalu?""Apa kalian tidak tahu bahwa Tuan Prabujaya memiliki putra yang bernama Erlangga Wijaya?"Petugas keamanan itu kembali menggelengkan kep
"Selamat pagi, Pak Hamdan. Terima kasih sudah bersedia menemui saya pagi ini."Alex menyapa pria paruh baya yang baru saja turun dari sebuah mobil SUV berwarna perak.Hamdan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Alex ketika mereka bertemu di depan kantor polisi."Sama-sama. Kita sebaiknya bicara di dalam saja. Saya sudah menelpon Pak David dan memberi tahu bahwa kamu akan datang untuk mewakili Erlangga.""Baiklah, Pak. Silahkan," ucap Alex saat mempersilahkan pria tua itu untuk masuk lebih dulu.Asisten Erlangga itu mengikuti Hamdan. Keduanya memilih untuk duduk di ruang tunggu.Pagi ini suasana tempat itu masih sepi. Hanya ada beberapa petugas yang terlihat berada di meja mereka sementara beberapa meja lain masih terlihat kosong.Bahkan ruangan David masih tertutup rapat. Mereka bisa melihat jika lampu di dalam ruangan itu tidak menyala."Sepertinya saya datang terlalu pagi. Maaf sudah merepotkan Bapak," kata Alex. Dia merasa sedikit bersalah akan hal itu.Senyum simpul
Alex duduk berhadapan dengan Erlangga di ruang kantornya. Aura dingin mencekam menguasai tempat itu.Er memandang asistennya nyaris tanpa kedip. Percakapan terakhir mereka membuat Er tidak mengerti."Kenapa Paman Daniel tiba-tiba kembali? Apa yang sedang dikerjakannya di sini?" gumam Erlangga. "Apa anda mencurigai sesuatu?""Maksudmu?" Erlangga mengangkat wajahnya."Mungkin ini tentang pekerjaan yang sedang anda tangani sekarang. Tuan Daniel mungkin saja kembali untuk membantu anda," terang Alex.Mata obsidian Erlangga menyipit. Namun, sedetik kemudian wajahnya menggelap. Er memukul meja dengan kepalan tinjunya."Sialan! Aku sudah didahului oleh mereka. Tak kusangka ternyata Papa sampai turun tangan hanya demi membela anak supir itu. Menggelikan sekali!""Saya masih tidak mengerti," kata Alex. Dahinya berkerut memperlihatkan cekungan dalam di antara kedua alisnya yang hitam tebal."Sudahlah! Kali ini aku kalah dari mereka. Tapi pembalasanku masih belum berakhir," ucap Erlangga dingi
"Apa kamu marah pada Papa?"Er menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau tidak, kenapa wajahmu seperti itu? Lihatlah, makanan di piringmu bahkan belum disentuh sama sekali. Apa kamu masih mau bilang kalau kamu tidak marah?" timpal Prabujaya. Ia berusaha untuk tetap menjaga komunikasi di antara mereka meskipun Er bersikap dingin padanya.Er membuang napasnya kuat. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya lebih lama. Akan sangat menyakitkan untuk disimpan sendiri."Aku hanya kesal karena Papa berusaha keras untuk membela Rangga. Kenapa? Apa karena dia pernah menjadi anak Papa?" sindir Er. Dia bahkan menolak untuk menatap wajah ayahnya ketika berbicara dengannya.Erlangga berharap ayahnya akan menyesal dan kembali membujuknya. Namun, pria tua itu malah menghela napasnya sambil menggelengkan kepalanya."Sudah Papa katakan, Papa tidak membelanya. Rangga memang bersalah dan Papa sudah akui itu di depanmu. Tapi kamu jangan lupa kalau Rangga sudah memperbaiki semuanya dengan usahanya sendiri da
"Selamat pagi, Tuan. Apa pagi ini anda siap untuk bekerja? Hari ini saya akan menemani anda seharian di kantor." Alex menyapanya dengan sopan seperti yang biasa dia lakukan ketika Er sudah duduk di dalam mobil."Ada apa denganmu? Apa otakmu dudah rusak? Jangan sok manis seperti itu, itu sangat menggelikan!"lontar Erlangga. Dia mencebikkan bibirnya seraya mendengus kesal padanya.Alex melirik tuannya dari spion depan sambil menahan senyumnya hinggaembuat Erlangga merasa muak padanya. Asistennya itu telah merusak awal paginya dengan bualan receh."Baiklah. Tidak maslah bila anda tidak suka," jawab Alex, "Saya akan diam saja kalau begitu.""Itu lebih baik. Jalanlah!"Alex tetap diam seperti tidak pernah mendengar perintah apapun. Mesin mobil masih belum menyala hingga memancing kemarahan Erlangga."Kenapa kau diam saja? Jalan sekarang! Apa lagi yang kau tunggu?" bentak Erlangga.Alex tak berkutik. Pria itu masih duduk diam di kursinya tanpa melakukan apa-apa
Berikan ponselmu padaku."Erlangga mengulurkan tangannya di antara dua kursi di jok depan ketika Alex baru mengendarai mobil hitam itu ketika akan meninggalkan kediaman Prabujaya."Untuk apa? Apakah anda ingin memeriksanya?" kata Alex menyahuti permintaan Erlangga. Dia melihat tepat di mata Erlangga saat Alex beniat mengintip dari kaca spion.Mata obsidian Erlangga tampak melotot ke arahnya. Dengan cepat Alex mengambil ponselnya yang tersimpan di saku celananya."Baiklah, ini ponselnya. Apa yang akan anda lakukan dengan benda itu? tanya Alex bingung.Keningnya ikut berkerut ketika Alex menekuk wajahnya. Dia cemberut karena Er menyita ponselnya dan menyimpannya di balik jasnya."Aku akan menyita ponselmu selama satu hari.""Kenapa? Gimana jika ada orang yang menelpon?" debat Alex."Hari ini aku sedang tidak ingin ke kantor. Aku juga malas kalau hanya diam di rumah. Jadi kau harus temani aku hari ini. Aku tidak ingin diganggu oleh siapapun.""Bagaimana jika mereka mencari anda? Seharu
Alex memejamkan matanya kuat. Ia tidak berani untuk menyaksikan semua hal yang sedang berlangsung di depannya saat ini.Pasangan itu mengacuhkannya dan menganggapnya tak ada di sana sehingga membuat Alex merasa tidak nyaman.Hingga akhirnya Alex berdehem kuat, membuat dua sejoli itu saling melepaskan diri masing-masing."Maaf, Tuan ... saya masih ada di sini," celetuk Alex.Suasana canggung seketika menguasai mereka ketika Viona akhirnya menyadari bahwa pria yang ada di hadapannya adalah Erlangga.Gadis itu tercengang dengan mulutnya yang menganga lebar. Mata Viona membelalak hingga membuat kedua bola matanya hampir jatuh keluar."Sedang apa kalian di rumahku? Siapa yang mengizinkan kalian untuk masuk?" pekik Viona.Gadis itu langsung melempar buket bunga pemberian Erlangga itu hingga membuat beberapa kelopak bunganya patah dan berhamburan di atas lantai."Kenapa kamu jadi marah-marah seperti itu? Bukannya kamu bilang kalau kamu merindukan aku? Aku juga," balas Erlangga santai seperti