Alex duduk berhadapan dengan Erlangga di ruang kantornya. Aura dingin mencekam menguasai tempat itu.Er memandang asistennya nyaris tanpa kedip. Percakapan terakhir mereka membuat Er tidak mengerti."Kenapa Paman Daniel tiba-tiba kembali? Apa yang sedang dikerjakannya di sini?" gumam Erlangga. "Apa anda mencurigai sesuatu?""Maksudmu?" Erlangga mengangkat wajahnya."Mungkin ini tentang pekerjaan yang sedang anda tangani sekarang. Tuan Daniel mungkin saja kembali untuk membantu anda," terang Alex.Mata obsidian Erlangga menyipit. Namun, sedetik kemudian wajahnya menggelap. Er memukul meja dengan kepalan tinjunya."Sialan! Aku sudah didahului oleh mereka. Tak kusangka ternyata Papa sampai turun tangan hanya demi membela anak supir itu. Menggelikan sekali!""Saya masih tidak mengerti," kata Alex. Dahinya berkerut memperlihatkan cekungan dalam di antara kedua alisnya yang hitam tebal."Sudahlah! Kali ini aku kalah dari mereka. Tapi pembalasanku masih belum berakhir," ucap Erlangga dingi
"Apa kamu marah pada Papa?"Er menggelengkan kepalanya pelan. "Kalau tidak, kenapa wajahmu seperti itu? Lihatlah, makanan di piringmu bahkan belum disentuh sama sekali. Apa kamu masih mau bilang kalau kamu tidak marah?" timpal Prabujaya. Ia berusaha untuk tetap menjaga komunikasi di antara mereka meskipun Er bersikap dingin padanya.Er membuang napasnya kuat. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya lebih lama. Akan sangat menyakitkan untuk disimpan sendiri."Aku hanya kesal karena Papa berusaha keras untuk membela Rangga. Kenapa? Apa karena dia pernah menjadi anak Papa?" sindir Er. Dia bahkan menolak untuk menatap wajah ayahnya ketika berbicara dengannya.Erlangga berharap ayahnya akan menyesal dan kembali membujuknya. Namun, pria tua itu malah menghela napasnya sambil menggelengkan kepalanya."Sudah Papa katakan, Papa tidak membelanya. Rangga memang bersalah dan Papa sudah akui itu di depanmu. Tapi kamu jangan lupa kalau Rangga sudah memperbaiki semuanya dengan usahanya sendiri da
"Selamat pagi, Tuan. Apa pagi ini anda siap untuk bekerja? Hari ini saya akan menemani anda seharian di kantor." Alex menyapanya dengan sopan seperti yang biasa dia lakukan ketika Er sudah duduk di dalam mobil."Ada apa denganmu? Apa otakmu dudah rusak? Jangan sok manis seperti itu, itu sangat menggelikan!"lontar Erlangga. Dia mencebikkan bibirnya seraya mendengus kesal padanya.Alex melirik tuannya dari spion depan sambil menahan senyumnya hinggaembuat Erlangga merasa muak padanya. Asistennya itu telah merusak awal paginya dengan bualan receh."Baiklah. Tidak maslah bila anda tidak suka," jawab Alex, "Saya akan diam saja kalau begitu.""Itu lebih baik. Jalanlah!"Alex tetap diam seperti tidak pernah mendengar perintah apapun. Mesin mobil masih belum menyala hingga memancing kemarahan Erlangga."Kenapa kau diam saja? Jalan sekarang! Apa lagi yang kau tunggu?" bentak Erlangga.Alex tak berkutik. Pria itu masih duduk diam di kursinya tanpa melakukan apa-apa
Berikan ponselmu padaku."Erlangga mengulurkan tangannya di antara dua kursi di jok depan ketika Alex baru mengendarai mobil hitam itu ketika akan meninggalkan kediaman Prabujaya."Untuk apa? Apakah anda ingin memeriksanya?" kata Alex menyahuti permintaan Erlangga. Dia melihat tepat di mata Erlangga saat Alex beniat mengintip dari kaca spion.Mata obsidian Erlangga tampak melotot ke arahnya. Dengan cepat Alex mengambil ponselnya yang tersimpan di saku celananya."Baiklah, ini ponselnya. Apa yang akan anda lakukan dengan benda itu? tanya Alex bingung.Keningnya ikut berkerut ketika Alex menekuk wajahnya. Dia cemberut karena Er menyita ponselnya dan menyimpannya di balik jasnya."Aku akan menyita ponselmu selama satu hari.""Kenapa? Gimana jika ada orang yang menelpon?" debat Alex."Hari ini aku sedang tidak ingin ke kantor. Aku juga malas kalau hanya diam di rumah. Jadi kau harus temani aku hari ini. Aku tidak ingin diganggu oleh siapapun.""Bagaimana jika mereka mencari anda? Seharu
Alex memejamkan matanya kuat. Ia tidak berani untuk menyaksikan semua hal yang sedang berlangsung di depannya saat ini.Pasangan itu mengacuhkannya dan menganggapnya tak ada di sana sehingga membuat Alex merasa tidak nyaman.Hingga akhirnya Alex berdehem kuat, membuat dua sejoli itu saling melepaskan diri masing-masing."Maaf, Tuan ... saya masih ada di sini," celetuk Alex.Suasana canggung seketika menguasai mereka ketika Viona akhirnya menyadari bahwa pria yang ada di hadapannya adalah Erlangga.Gadis itu tercengang dengan mulutnya yang menganga lebar. Mata Viona membelalak hingga membuat kedua bola matanya hampir jatuh keluar."Sedang apa kalian di rumahku? Siapa yang mengizinkan kalian untuk masuk?" pekik Viona.Gadis itu langsung melempar buket bunga pemberian Erlangga itu hingga membuat beberapa kelopak bunganya patah dan berhamburan di atas lantai."Kenapa kamu jadi marah-marah seperti itu? Bukannya kamu bilang kalau kamu merindukan aku? Aku juga," balas Erlangga santai seperti
Viona membelalak kaget. Tubuhnya dengan spontan menjauh dari jendela mobil ketika seorang pria mengetuk jendela mobilnya."Siapa kamu? Kamu mau apa?" pekik Viona dari dalam mobil.Pria itu langsung menunduk sambil mengintip ke dalam ketika suara cicitan Viona terdengar meski kecil. Dia memberi kode agar gadis itu menurunkan kaca jendelanya."Kamu sedang apa di sini? Tidak ada siapa pun yang tinggal di rumah ini. Siapa yang kamu cari?"Pria itu langsung melempar pertanyaan ketika Viona memberikan sedikit celah untukbya berbicara."Aku mencari pemilik rumah ini. Apa Tante Liana tidak tinggal di sini lagi?" balas Viona. Sulit dipercaya jika calon ibu mertuanya itu pergi begitu saja tanpa memberi kabar padanya kecuali jika dia ikut betsama Rangga untuk menemaninya di kota baru. Padahal pernikahan mereka hanya tinggal kurang dari satu bulan.Mendengar jawaban Viona, alis pria itu langsung berkerut."Apa kamu belum tahu kalau wanita itu sudah ditangkap polisi? Ku dengar dia tidak sendiri,
"Kamu sudah datang, Er? Papa menunggumu sejak tadi. Apa Paman Daniel tidak datang bersamamu?"Prabujaya menoleh mencari sosok di belakang Erlangga. Tetapi yang tampak hanya Alex, asisten putranya.Erlangga menggeleng kemudian menjawab, "Tidak. Paman Daniel tidak bersama kami. Aku juga belum bertemu dengannya."Prabujaya mengerutkan keningnya, raut wajah langsung berubah. Tetapi buru-buru dia tepis pikiran jelek dari pikirannya itu."Untuk apa Papa datang ke sini? Aku pikir Papa tidak akan mencampuri urusanku lagi. Tapi ..." Kalimat Er menggantung. Wajahnya menyiratkan rasa kecewa karena Prabujaya gagal menepati janji yang telah dibuatnya."Papa datang bukan untuk mencampuri urusanmu," jawab Prabujaya cepat."Jika bukan untuk itu, lalu untuk apa Papa datang ke sini?"Pria tua itu menarik napasnya dalam-dalam. Dia berbalik dan berjalan menjauh lalu duduk di kursi tunggu. Ada orang lain di sana, karena itu dia menahan dirinya untuk mengatakan semuanya.Namun, sikapnya membuat Erlangga je
"Tuan ...""Kita kembali ke rumah dulu," titah Prabujaya.Raut datar nyaris tanpa emosi mewarnai wajah pria paruh baya itu. Dia menahan gejolak di dadanya.Prabujaya masih tidak menyangka jika putra yang dia perjuangkan selama ini dan sangat di sayanginya telah melangkah terlalu jauh.Kali ini, Er tidak hanya menyeret mantan istrinya dan pria selingkuhannya itu. Tetapi juga menyeret banyak nama yang bakal sulit untuk dibersihkan."Erlangga terlalu nekat. Apa yang sedang direncanakan olehnya?" gumam Prabujaya pelan.Dia memutar sepasang bola mata hitamnya, menatap ke luar jendela di sisi kanan mobil.Daniel dapat mendengar semua perkataan Prabujaya dengan jelas, karena dia duduk di kursi pengemudi. Sementara pengawal berada di mobil lain.Namun, asisten pria itu tak ingin berkomentar. Daniel hanya tidak ingin membuat majikannya semakin khawatir."Apa tidak sebaiknya kita ke kantor saja, Tuan? Saya yakin, Tuan muda tidak akan kembali ke rumah siang ini." Daniel memberi saran padanya. K