Netra wanita itu sontak melebar melihat pemandangan di depannya. Sedangkan Kevin yang sedang berada di bawah Dea merasa terganggu dengan kehadiran Icha."Apa-apaan kalian!" histeris Icha dengan kaki yang langsung berlari ke arah mereka berdua. Matanya memanas melihat pemandangan di depannya. Sedangkan Dea terpaku tak berua apa-apa, hingga..."Akhh!!!" teriak Dea dengan tangan yang memegang rambutnya."Wanita murahan! Kau sudah menghianatiku De, rasakan ini!" bentak Icha dengan menyeret Dea menjauh dari suaminya. Kevin lamgsung beranjak dari ranjang berniat menolong Dea. Nahasnya ia terlambat karena Icha menghantamkan kepala istrinya ke meja rias."Icha!" teriak Kevin. Raut wajahnya langsung merah padam bahkan menyingkirkan wanita itu dengan kasar untuk menyelamatkan Dea yang sedang kesakitan sembari tangan yang menekan kepalanya."Astghfirullahaladzim!" pekik Kevin ketika mendapati darah bercucuran dari kepala istrinya."Sayang kamu tidak apa-apa?" tanya Kevin memastikan keadaan istri
Kevin mendekati istrinya dengan tatapan sendu, rasa bersalah menggerogoti hatinya. "Sayang..." lirihnya dengan tatapan penuh harap. Lastri yang sebelumnya menyeka kepala Dea langsung menjauh memberikan ruang kjepada majikan laki-lakinya."Maafkan aku," lanjut Kevin yang kini bersimpuh di hadapan istrinya. Kejadian hari ini tak terpikirkan di benaknya. Siapa sangka Icha merusak hari penuh kasihnya bersama Dea."Jangan seperti itu Mas. Sebentar lagi mama akan ke sini. Kamu pulanglah bersama istri barumu, biar mama yang mengobati lukaku."Kevin langsung menggelengkan kepalanya beberapa kali, ia menolak perintah istrinya. Bagaimana bisa dia meninggalkan wanita yang dicintainya dalam keadaan terluka seperti ini?"Tidak Sayang. Ayo kita ke rumah sakit sekarang. Benturanmu tadi sangat keras, aku takut terjadi apa-apa denganmu." Ia langsung beranjak memakai pakaian yang terkesan sopan, tak lupa memberikan cardigan panjang untuk istrinya. Setidaknya outher itu mampu menyembunyikan baju dinas m
"Papa!" histeris Rita dalam rumah. Mendengar suara itu, Gito bergegas masuk dan diikuti oleh Lastri. Icha merasa kesal karena kesempatan emas untuk memperkenalkan diri sebagai istri Kevin gagal. Ia bahkan mematung dan tak tau harus melakukan apa."Astghfirullahaladzim!" pekik Gito saat melihat dahi menantunya penuh dengan darah. Dea sengaja membiarkan darah itu mengalir ke pelipisnya. Bahkan ketika Lastri mencoba membersihkan cairan itu, ia menolak karena ingin membuat kejadian sedramatis mungkin."Bagaimana ini bisa terjadi?!" murka Rita. Wanita itu sudah dibuat terkejut melihat keadaan menantunya yang terkulai lemas di tepi ranjang, ditambah Kevin terlihat tak becus mengurus istrinya. Dea meringis kesakitan, tapi hatinya sangat bahagia karena semua rencananya berhasil. 'Akhirnya Mama datang juga!' batin wanita itu.Rita dan Gitu mendekati mereka, Kevin sudah menutup tubuh istrinya menggunakan outher yang dari tadi ia siapkan. Istrinya pasrah menerima outher itu, karena bagaimanapun
Mobil berubah jadi hening ketika Gito menanyakan orang yang menyerang anak dan menantunya. Kevin yang sebelumnya melajukan mobil dengan cepat kini berangsur pelan karena tangannya tremor."Dea apa kamu masih mengingat siapa orang yang menyerangmu?" tanya Gito pada menantunya."Icha Pa."Alis lelaki paruh baya itu sontak mengerut, begitu pula Rita. Nama yang diucapkan Dea terasa tidak asing di telinga mereka."Icha? Siapa dia?" sahut Rita yang penasaran dengan nama yang disebutkan menantunya."Dia temanku," sahut Kevin takut pembahasan akan berlanjut kemana-mana."Dia wanita yang ada di depan gerbang Ma." Meskipun dalam keadaan lemas, Dea tak ingin kalah suara dengan suaminya. Dia sangat tau gerak-gerik Kevin yang mencoba menutupi fakta. "Icha adalah orang yang menyiram minuman ke bajuku saat acara syukuran usaha Mama Papa," jawab Dea sembari melirik tajam ke arah Kevin. Lelaki itu hanya bisa menelan salivanya."Oh! Anak Dewan Sony!" kejut Rita setelah memecahkan teka-teki dalam pikira
Sekitar 5 hari lalu, ketika Gito tengah menjaga toko, seseorang datang dengan memakai setelan dinas yang elok. "Selamat siang Pak Gito," sapa lelaki itu dengan senyum semringah. Wajah berkulit sawo matang dengan rambut yang bergaris putih membuat pemilik toko terkejut."Selamat siang Pak Sony," jawab Gito kaku. Setelah datang ke acara syukurannya, kini dewan itu berkunjung ke tokonya tanpa pemberitahuan. Biasanya para pejabat akan menghubungi admin jika akan melakukan kunjungan.'Kenapa dia ke sini?' tanya Gito dalam hati. Ada dua kemungkinan, lelaki itu datang membeli keperluan pribadi dan ingin bernegoisasi tentang bisnis. Gito sudah berkali-kali menjalankan kerja sama dengan pihak dinas yang ingin membangun infrastruktur pemerintah."Ada yang bisa saya bantu?" tanya Gito menelisik tujuan Sony."Ah iya begini..." Sony memberikan kode agar Gito mendekatkan diri padanya. Lelaki itu langsung membisikkan beberapat kalimat yang membuat alis Gito berkerut."Maaf Pak. Saya tidak bisa mene
Kondisi mobil dipenuhi dengan ketegangan, Gito tak henti-hentinya menggerutu ketika melihat rekaman video di ponsel Dea. Tak hanya itu, ada kumpulan foto saat kediaman Kevin dilumuri darah. Napas Dea yang terengah-engah terdengar jelas di sana. Nada bicara yang ketakutan menambah kemarahan Gito. "Kenapa dia bisa sekeji itu," geramnya sembari tangan memijat pelipis. Semua video-video itu dikirimkan ke ponsel pribadinya tanpa sisa. "Bukankah Icha temanmu?" "Iya Pa." "Kenapa dia menyerang Dea seperti itu?" tanya Gito. Ia tak sanggup melihat adegan video berkali-kali. Melihat Icha menghantam kepala menantunya ke meja rias sudah membuat badannya lemas. "A-aku tidak tau Pa," jawab Kevin dengan gelagapan. Ia memegang setir mobil dengan kuat. Rasa takut dan bersalah campur menjadi satu. "Lalu apa maksudnya Dea telah mengkhianati Icha? Bukankah tadi wanita itu bilang seperti itu?" Gito langsung mereply video. Dan ucapannya benar, di sana Icha berteriak Dea telah mengkhianatinya. "Aku
Sesuai yang Dea duga. Baru saja melangkah ke koridor sekolah, Andre menatapnya dengan mata lebar. Itu membuat tubuhnya membeku. Sorot khawatir, terkejut, sedih, dan tulus bercampur menjadi satu. Entahlah, Dea sendiri sulit mengartikan tatapan itu.Terpaksa ia menenggak salivanya lalu berjalan dengan enteng. "Selamat pagi Pak," sapa Dea kikuk. Mulut pria itu terbuka, "kepala Bu Dea kenapa?" Pertanyaan itu membuat Dea meringis, bukannya menjawab sapaannya. Andre justru balik bertanya. Dengan sebisanya ia menjawab, "terbentur meja Pak." Faktanya memang seperti itu, kepalanya terbentur ke meja rias saat Icha mendorongnya."Masa terbentur meja sampai diperban begitu." Andre mendekat ke arahnya, ingin mengecek luka itu. Namun wanita itu reflek menjauh. Pergerakannya membuat Andre terdiam, seperti merasa bersalah karena dia melihat ekspresi Dea penuh ketakutan. 'Apa setakut itu dia padaku?' batin Andre dengan ekspresi sedih. "S-saya..." Dea bingung harus berbuat apa, ia sudah yakin jika si
Dea kembali melakukan perkerjaanya dengan semangat. Setelah menenangkan diri di gazebo, energinya mencuat dengan tinggi hingga rasa sakit yang ada di kepalanya langsung hilang. Semua murid pun bisa diajak kompromi ketika melaksanakan pembelajaran. Entah karena merasa iba dengan keadaan dirinya, atau karena mendapat intrupsi dari Andre selaku kepala sekolah.Jam terakhir ini, Dea memang sedikit terlambat karena ia tak sadar menghabiskan waktu istirahat di taman sekolah hingga bel berbunyi. Sedangkan jarak taman ke kantor cukup jauh. Ditambah jarak kantor ke kelas pun jauh, jadi dia harus berjalan beberapa menit agar bisa mengajar anak didiknya.Ketika akan membuka pintu, ia terkejut karena Andre baru saja keluar dari kelas. "Selamat siang Bu Dea," sapa lelaki itu dengan senyum manis. Tanpa sadar jantung Dea berdegup kencang. Bahkan pipinya terasa panas. "Selamat siang Pak Andre," jawab wanita itu sekenanya. Ia bahkan tak berani menatap kepala sekolahnya karena takut ketahuan wajahnya
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng