Sesuai yang Dea duga. Baru saja melangkah ke koridor sekolah, Andre menatapnya dengan mata lebar. Itu membuat tubuhnya membeku. Sorot khawatir, terkejut, sedih, dan tulus bercampur menjadi satu. Entahlah, Dea sendiri sulit mengartikan tatapan itu.Terpaksa ia menenggak salivanya lalu berjalan dengan enteng. "Selamat pagi Pak," sapa Dea kikuk. Mulut pria itu terbuka, "kepala Bu Dea kenapa?" Pertanyaan itu membuat Dea meringis, bukannya menjawab sapaannya. Andre justru balik bertanya. Dengan sebisanya ia menjawab, "terbentur meja Pak." Faktanya memang seperti itu, kepalanya terbentur ke meja rias saat Icha mendorongnya."Masa terbentur meja sampai diperban begitu." Andre mendekat ke arahnya, ingin mengecek luka itu. Namun wanita itu reflek menjauh. Pergerakannya membuat Andre terdiam, seperti merasa bersalah karena dia melihat ekspresi Dea penuh ketakutan. 'Apa setakut itu dia padaku?' batin Andre dengan ekspresi sedih. "S-saya..." Dea bingung harus berbuat apa, ia sudah yakin jika si
Dea kembali melakukan perkerjaanya dengan semangat. Setelah menenangkan diri di gazebo, energinya mencuat dengan tinggi hingga rasa sakit yang ada di kepalanya langsung hilang. Semua murid pun bisa diajak kompromi ketika melaksanakan pembelajaran. Entah karena merasa iba dengan keadaan dirinya, atau karena mendapat intrupsi dari Andre selaku kepala sekolah.Jam terakhir ini, Dea memang sedikit terlambat karena ia tak sadar menghabiskan waktu istirahat di taman sekolah hingga bel berbunyi. Sedangkan jarak taman ke kantor cukup jauh. Ditambah jarak kantor ke kelas pun jauh, jadi dia harus berjalan beberapa menit agar bisa mengajar anak didiknya.Ketika akan membuka pintu, ia terkejut karena Andre baru saja keluar dari kelas. "Selamat siang Bu Dea," sapa lelaki itu dengan senyum manis. Tanpa sadar jantung Dea berdegup kencang. Bahkan pipinya terasa panas. "Selamat siang Pak Andre," jawab wanita itu sekenanya. Ia bahkan tak berani menatap kepala sekolahnya karena takut ketahuan wajahnya
Dea memakirkan motornya dengan gelisah. Di halaman rumah terparkir dua mobil. Ia mengenali salah satunya adalah milik mertuanya, tapi yang lain Dea baru melihatnya."Kenapa mereka ada di rumah? Apa masalahnya sudah tuntas?" gumamnya. Telapak tangannya berkeringat dingin. perlahan kaki wanita itu masuk ke dalam rumah. Terlihat Gito, Kevin, Rita, dan seorang laki-laki yang tak dikenal Dea sedang duduk di ruang tamu."Udah pulang Sayang?" sambut Rita. Kedua sudut bibir mertunya tertarik ke atas cukup lama sampai Dea menghampiri untuk mencium tangan."Sudah Ma.""Bagaimana keadaanmu Dea?" tanya Gito."Alhamdulillah baik Pa.""Alhamdulillah, kalau ada rasa gaenak atau sakit. Langsung bilang kami, jangan sungkan-sungkan, Papa semakin merasa bersalah kalau kamu memendam kesulitanmu sendiri. Mengertikan?" Sorot mata yang teduh itu menenangkan hati Dea. "Pasti Pa. Tenang saja." Ia pun mendapat pelukan hangat dari papa mertuanya.Setelah selesai, ia salim kepada suaminya. Kevin membalas kecupa
"Ma, pengacara ingin berpamitan," panggil Gito. Mendengar panggilan itu, Rita langsung berucap, "tunggu sebentar ya Sayang." Kalimat itu mengisyaratkan Dea untuk tetap di ruang makan.'Kenapa di tutup-tutupi seperti ini?' tanyanya dalam hati, sedari tadi ia merasa mereka tak ingin dia tau apa yang sedang terjadi. Dan sikap mereka membuat Dea merasa tak nyaman. Rita langsung menghampiri suaminya. Mereka semua mengantar pengacara, meninggalkan Dea dan Mbok Lastri."Saya buatkan teh ya Mbak?" tanya Lastri pada majikannya. "Tidak Mbok. Aku udah kenyang,kalau ditambah minum teh bisa-bisa keluar semua makananku," jawab Dea yang diakhiri senyuman tipis di wajahnya. Tak berselang lama, suami dan mertuanya menghampiri Dea dengan senyum manis. Namun itu terlihat terpaksa, ia sangat mengetahuinya.Gito memeluk tubuh menantunya, "Maaf Sayang. apa belum mendapatkan hasil yang setimpal. Kami akan mencobanya lagi, kamu jangan khawatir. Di sini ada Papa, doakan Papa ya Nak," sesal Gito. 'Ahh... ga
Dea terbangun dengan posisi memeluk suaminya. Meskipun jengah bersama pengkhianat, tapi ia tak memungkiri jika nyaman berada di dekapan lelaki itu."Sudah bangun?" tanya Kevin. Dea menganggukkan kepala dan semakin erat memeluk tubuh suaminya. Lelaki itu pun melakukan hal yang sama. Terbuai dengan kasih sayang di pagi hari, membuat mereka lupa jika ini adalah jadwal efektif untuk bekerja."Astaga! Aku harus kerja sekarang," kaget Dea melepas pelukan suaminya. Ia tak menggubris Kevin, lelaki itu pun tak memaksa istrinya untuk tetap berada di sisinya. Ia hanya menatap lembut pergerakan Dea."Mas nggak kerja?" tanya Dea."Kerja. Mas kan tidak seribet kamu. 10 menit sudah cukup untuk bersiap."Dea mencebikkan bibirnya. "Iya iya," sahutnya datar. Ia sedikit kesal jika dikatain ribet. Pada akhirnya Kevin masuk ke kamar mandi. Dan sesuai ucapannya, ia hanya butuh 5 menit untuk membersihkan diri. Lalu 5 menit untuk memakai seragam dan mempersiapkan beberapa keperluan lain. Sedangkan Dea masih
Jika kediaman Dea dipenuhi dengan keheningan. Bahkan di saat ia akan berangkat ke tempat kerja, Gito dan kevin nampak berunding dengan ekspresi yang serius."Hati-hati Sayang. Jangan lupa mengganti perban. Kalau butuh bantuan, Mama bisa datang ke sekolahanmu," ucap Rita membuyarkan lamunan Dea."Pasti ingat kok Ma. Nanti mama bisa ingetin aku lewat telepon.""Iya. Mama akan mengingatkanmu lewat telepon," setuju Rita. Ia melambaikan tangannya ketika Dea menyetarter sepeda meninggalkan kediamannya yang dipenuhi dengan orang terkasih.Berbeda dengan rumah Icha. Ketika suara telepon berdering, Icha merasa dadanya berdegup kencang. Dia meraih ponselnya dengan tangan gemetar dan melihat nama "Polisi" muncul di layar. Detak jantungnya semakin cepat, dan kegelisahan merayap di dalam dirinya. Dengan napas yang berat, ia menjawab panggilan tersebut."Saya berbicara dengan Icha?" suara polisi terdengar serius di seberang telepon."Iya, saya Icha. Ada apa?" Icha mencoba meredam kecemasan yang mel
Dea sampai di sekolahan dengan badan yang lesu. Rasanya ia ingin lama-lama berada di atas kasur tetapi tanggung jawabnya sebagai pengajar harus ia laksanakan. "Pagi Bu Dea, bagaimana? Sudah baikan?" tanya Sinta salah satu rekan kerjanya. Wanita itu memamerkan senyuman tipis dan tulus."Alhamdulillah sudah baikan Bu." Dea membalas senyuman itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Ayo masuk ke kantor, bel akan segera berbunyi." Sinta langsung menggandeng tangannya tanpa izin dan Dea tidak masalah dengan hal itu. Di lobi sekolah terlihat Andre sedang berbincang dengan salah satu murid. Murid tersebut sedang membawa map dan beberapa bandelan kertas. "Selamat pagi Pak Andre," sapa Sinta dan menggeret Dea untuk mendekat ke arah mereka. Andre menolehkan kepalanya dengan kedua sudut bibir yang naik dan mata membentuk lengkungan tipis. "Pagi Bu.""Maaf, menyela Pak. Apa yang sedang Anda bahas?" tanya Sinta dengan penasaran, Dea menatap mereka tanpa mengatakan sepatah katapun."Ini saya m
Ketika Dea merenungi nasibnya di masa lalu, berbeda dengan Icha yang tengah berada di tengah kekacauan. Ia tiba-tiba di seret oleh orang-rang berpakaian hitam di rumahnya."Kalian tidak tau siapa saya?!" teriak Sony kepada kumpulan orang-orang tersebut. Matanya memerah karena merasa harga dirinya direndahkan oleh mereka.Namun semua orang itu tak menggubris dengan tindakannya. "Maaf Pak, kami hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh atasan."Soni dan Maya tampak resah karena putri semata wayang mereka diseret oleh kumpulan orang itu."Ayah Mama, tolong Saya!" teriak wanita itu memunculkan kegaduhan di sana. Soni semakin kalap ketika melihat putrinya di masukkan ke dalam mobil. Wanita itu meronta berkali-kali agar terlepas dari cengkeraman orang-orang tersebut. "Papa tolongin Icha Pa!" histeris Maya ketika mereka sudah tak melihat keberdaan putrinya. Sony langsung masuk ke dalam mobilnya dan diikuti Maya. Suasana nampak mencengangkan karena lelaki itu tak menyangka pihak kepo