Kevin sampai di sekolah dengan hati yang gembira. Mengingat janji istrinya besok malam, membuat energi lelaki itu sepadan dengan Gozila yang ingin menyerang bumi. Perumpamaan ini terlalu berlebihan, intinnya dia sangat bersemangat menjalani hari ini.Searah dengan langkah kakinya menju kantor, di depan terlihat Nino tengah mendekatinya dengan tergesa-gesa. 'Dih kenapa orang utan itu nampak gembira?' tanyanya dalam hati. "Vin!" panggil lelaki itu nampak gembira.Melihat ekpresi Nino, langsung mengubah perasaan Kevin menjadi dongkol. Ia teringat jika nanti malam Dea akan dinner dengan sahabatnya itu. Sedangkan iasangat tau kalau Nino berencana untuk merebut istrinya. Tak sedikitpun kata terucap dari mulut Kevin, gejolak cemburunya membungkam bibir lelaki itu."Nanti malam aku mau dinner sama Dea. Tadi dia menghubungiku," ucap Nino dengan senyum lebar. Lelaki itu pun sangat exited menceritakan kabar baik ini kepada temannya. Padahal Kevin adalah suami dari Dea, entah kenapa dalam diri
Salah satu sudut bibir Nino terangkat tinggi, jika Icha berada di depan lelaki itu ia pasti merasa direndahkan, serendah-rendahnya. Ancaman yang diucapkan istri kedua Kevin terasa seperti bualan. Meskipun dalam hatinya ada perasaan was-was, tapi ia tak takut. Ini karena dia memiliki perkembangan hubungannya dengan Dea. "No!?" teriak Icha yang tak sabar mendengar jawaban dari Nino. Seperkian detik kemudia, akhirnya Nino pun menjawab pertanyaan Icha. "Ya. Ada sedikit progress dari tugas yang kamu berikan," jawabnya datar. Sebenarnya perasaannya sangat exited, tapi ia harus melakukan gimick agar tidak terkesan cupu dan gampang dikendalikan oleh Icha, wanita ular tak tau malu tersebut. Di seberang telepon, mata Icha nampak berbinar saat mendengar anak buahnya mendapat kemajuan dari tugas yang diberikannya. "Apa?!" tanyanya penasaran. Ia tak sabar mencapai tujuannya untuk menghancurkan Dea dan memiliki Kevin seutuhnya. "Sebelum aku menjawab, ada sy
Setelah Dea mengajar kelas terakhir. Ia tanpa sengaja bertemu dengan Andre yang tengah berdiri di depan pintu ruangannya."Bu Dea," sapa lelaki itu.Suara Andre terasa menggetarkan hatinya. Dea langsung gelagapan dan tak menggubris kepala sekolahnya. Jika berlama-lama dengan Andre, dia bisa hilang ingatan dengan rencananya saat ini.Tatapan penuh cinta yang diberikan lelaki itu membuat dia tak berdaya dan sering mengutuk dirinya sendiri karena menyia-nyiakannya.Setelah menganggukkan kepala sebagai balasan sapaan Andre, Dea langsung menuju rumah kakak kandungnya. Andre ingin menghadangnya, tapi dia memilih untuk menahan niatan itu. Ia teringat perkataan Dea yang memintanya untuk bersabar, jadi dia akan memberikan waktu pujaan hatinya.Dalam perjalanan, berkali-kali Dea merutuki nasibnya sendiri. "Seandainya aku sabar menunggu Mas Andre. Mungkin hidupku tak akan setragis ini," gumamnya dengan mata yang fokus ke jalanan kota Surabaya.Beberapa menit kemudian dia sampai di rumah kakaknya
"Tapi apa Mas?" tanya Dea yang mulai gemas pada Levi. Sudah seperkian detik Levi tak melanjutkan ucapannya. Dea berpikir pasti ada hal yang tidak beres pada kakaknya."Setengah dari warisanmu tanpa sadar kakak habiskan," ceblos Levi dengan kepala yang menunduk. Soal warisan, sebenarnya Dea tak mengharapkan mendapatkan harta turun temurun keluarganya ini. Mau dapat atau tidak ia tak peduli. Tapi di penasaran kenapa kakaknya tega menghabiskan harta miliknya."Untuk apa?"Glek! Levi menelan salivanya.'Apakah aku harus mengatakan sejujurnya pada Dea? Aku takut dia kecewa,' batinnya penuh pertimbangan. 'Tapi... aku mengatakan warisannya sudah ku habiskan pun membuat hatinya kecewa.'Lelaki itu memilin tangannya hingga berkeringat. Dea masih sabar menunggu jawaban dari lelaki itu. Tapi ini lebih dari satu menit, bukankah sudah berlebihan tak kunjung menjawab pertanyaannya?"Untuk apa Mas?" tanya Dea kembali. Dia sudah tak sabar menunggu bibir kakaknya bergerak. Dengan keberanian penuh, ak
Tatapan Dea membuat hati Levi mencelos, entah kenapa ia merasa jika adiknya mengetahui hal yang tak diketahuinya. "Coba Mas tanyakan pada Nina deh, apa benar itu janin hasil bercinta kalian? Soalnya kemarin lusa aku melihat dia bersama lelaki lain. Nih fotonya," sumbar Dea yang langsung memperlihatkan foto Nina bersama Bimo. "Ini kan sepupu Nina," sahut Levi yang menyangkal pemikiran negatif adiknya. "Bukan. Itu gundik Nina, bisa dibilang berondongnya Nina." Levi menampik penjelasan adiknya. "Tidak mungkin, kamu hanya mengada-ngada De." "Mas Levi tidak percaya sama aku?" Lelaki itu langsung menggelengkan kepala. "Mas... mantan tunangan Mas Levi, Mbak Mawar mati bukan karena kecelakaan biasa. Tapi Nina yang menyabotase mobil Mbak Mawar. Bahkan aku punya videonya, ini dari Icha - maduku." Rasanya getir mengatakan Icha sebagai madunya, tapi pada kenyataannya itu memang benar. "Nina yang membanting setir mobil. Dan sengaja memposisikan Mbak Mawar di pembatas jalan agar tingkat kese
Ketika sampai di tempat yang dijanjikan, kepala Dea celingak-celinguk mencari keberadaan lelaki itu. Tak butuh lama, ia langsung menemukan Nino dengan tangan yang melambai-lambai kepadanya.Dea berjalan ke arah sahabat suaminya itu, senyum manis menetap di wajahnya membuat Nino senang."Hai Mas Nino, sudah lama di sini?" Dea langsung menjabat tangan Nino."Tidak De. Baru sampai kok. Mau pesan makanan sekarang?""Boleh."Salah satu pelayan menghampiri mereka, keduanya mulai memilih makanan yang akan dipesan. Setelah itu keduanya diam, karena Dea sibuk membalas pesan dari suaminya. Sedangkan Nino tak berkedip mata melihat wanita itu.[Apa kalian sudah bertemu?] pesan yang dikirim Kevin.[Sudah Mas. Ini mau makan.][Oke. Nanti pulangnya mau di jemput?][Tidak usah. Kan adik bawa sepeda sendiri, nanti jadi repot.][Kalau begitu, ya sudah. Hati-hati ya.][Iya Mas.]Dea menghela napasnya pelan karena merasa perilaku Kevin menjadi berubah, entah kenapa seakan dia sedang jatuh cinta kembali.
Namun, lagi-lagi Kevin menahan diri karena Dea terdengar tertawa mendengar ucapan Nino."Mau coba punyaku?" tawar Dea yang lanngsung memberikan helaian spaggeti di piring Nino."Thanks."Kevin langsung membuang muka dan memilih untuk undur diri karena tidak tahan melihat istrinya bersama lelaki lain. Hatinya terasa sakit mendengar tawa Dea pecah karena tingkah Nino. Sudah lama Kevin tak mendengar gelak tawa Dea. Bahkan sekarang ia merindukan suara bahagia wanita itu saat bersamanya."Apa semenyakitkan itu saat kamu bersamaku Dik? Sampai-sampai tingkah kecil Nino begitu saja kamu sudah terawa renyah," gumam Kevin sebelum melangkahkan kakinya pergi. Netranya menangkan interaksi menyenangkan kedua orang itu dengan senyum getir. "Ahh... sudahlah. Untuk sekarang aku membebaskanmu selagi bahagia. Aku akan memperbaiki semua saat terlepas dari Icha." Kevin langsung meninggalkan tempat makan itu dengan perasaan kesal. Nahkan Icha yang memantau gerak-gerik Nino dari mobil pun tersenyum puas sa
Setelah selesai menyantap hidangan utama, kini Nino mulai mengeluarkan suara untuk membahas topik yang menjadi alasan kenapa ia meminta bertemu dengan Dea. Karena lelaki itu ingin lebih berlama-lama dengan wanita yang disukainya, tanpa menunggu persetujuan Dea, dia langsung memesan beberapa hidangan penutup yang berupa pudding dan jajanan tradisional lainnya. "Terimakasih," ucapnya pada seorang pelayan. "Ya ampun Mas Nino, perutku udah kenyang," keluh Dea dengan mata membulat ketika melihat jajanan di depannya. "Haha, ya tunggu makanannya turun dulu De. Nanti pasti kemakan kok." Wanita itu hanya mencebikkan bibirnya. Nampaknya ia merasa gusar karena memikirkan berat badan yang akan bertambah saat memakan itu semua. "Kalau kayak gini berat badanku jadi nambah Mas." Ia mengucapkan kalimat itu dengan muka cemberut. "Hih! Kenapa kamu imut banget si De, jadi pengen cubit." tangan Nino sudah bersiap menyentuh pipi wan
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng