Setelah kepulungan putrinya. David meminta istrinya untuk menutup pintu rumah dan mematikan semua lampu menyisakan kamar utama. Hatinya terasa mengganjal ketika melihat kondisi Dea. Ia melirik tas yang dititipkan putrinya beberapa waktu lalu."Ma... hitung uang itu. Perasaanku kok gak enak."Tanpa banyak bicara Nala langsung membuka tas jinjing tersebut dan mengeluarkan semua uang. Kedua orang tersebut mulai menghitung lembaran berwarna merah dan biru saru persatu. Kemudian menumpuknya menjadi beberapa kelompok dengan kelipatan 50juta." Ini 50 juta. Ini juga 50 juta," ucap David."ini 50 juta. Terus ini 3 juta 200." Nala melaporkan hasil hitungannya di lembaran uang yang tidak terbendel.Alis David langsung berkerut. "Coba hitung lagi Ma."Nala yang ada di sampingnya kembali mengecek uang yang ada di dalam tas. Sudah setengah jam ia menghitung uang tersebut berkali-kali. "Hanya 153 juta 700 ribu Yah," ucap Nala dengan mata berair. "Seharusnya Dea dapat berapa?""Kurang lebih tiga r
Setelah mendapat telepon dari ayahnya Dea langsung masuk ke kamar tamu. Rita tengah membersihkan ranjang agar mereka bisa tidur dengan nyaman."Ayo tidur Sayang," ucap wanita paruh baya tersebut kepada menantunya. Dea mendekat ke arah mertuanya."Mama, Dea pengen peluk." Ia merentangkan kedua tangannya. Rita menyipitkan matanya sebentar lalu bibirnya melengkung ke atas. "Sini." Tanpa menunda-nunda Dea langsung memeluk mertuanya dengan erat."Putri Mama lagi pengen manja ya." Rita menempelkan pipinya di ubun-ubun Dea. Tak lupa salah satu tangannya mengelus punggung menantunya seperti menenangkan bayi.Dea mendongakkan kepala melihat ekspresi mama mertuanya. "Hehe..." kekeh wanita itu yang langsung dibalas kecupan tipis oleh Rita. Tak berselang lama ia segera melepas pelukan itu dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Rita mengamati menantunya dengan seksama, "sudah?" tanyanya bingung karena tanpa mengatakan sepatah katapun Dea sudah menjauh darinya."Sudah. Ayo tidur Ma," jawab menan
"Ada urusan apa kamu sama Seno?" sembur Gito dengan mata melotot. Kevin terperanjat mendapatkan pertanyaan tersebut. Namun dengan kesit ia berkilah, "ha? Maksudnya Pa?" Ia memasang ekspresi melongo agar terkesan bloon."Itu. Tadi Papa dengar kamu sebut nama Seno. Ada urusan apa kamu sama dia?," timpal Gito memperjelas maksudnya. Ia menyipitkan kedua matanya untuk memberi intimidasi kuat kepada putrnya yang sedang dia awasi.'Sial! Kenapa Papa bisa mendengar suaraku. Padahal jarak kami sangat jauh,' rutuk Kevin dalam hati. Tanpa menghabiskan banyak waktu ia mengeluarkan jurus aktingnya."Seno?" Kevin mengerutkan alisnya. 'Astaga kenapa aku harus menyebut nama ini,' batinnya kesal."Kevin tidak pernah sebut nama itu Pa. Tadi lagi mikirin Nino kok," kilah lelaki itu sebaik mungkin. Dia berusaha meyakinkan papanya yang sangat sensitif dengan kebohongan.Ia menelan paksa salivanya karena Gito tak kunjung memberi reaksi dari jawabannya. Tubuhnya yang sedang bergetar ia tahan semaksimal mung
Levi yang baru mengecek ponselnya di pagi hari dibuat terkejut dengan nama kontak ayahnya di deretan klien yang menghubunginya. Di dalam pesan tersebut tertulis.[Besok datanglah ke sini. PENTING.]Jantung lelaki itu langsung berdegup kencang membacanya. Keringat dingin mulai menjalar di pelipisnya. "Ada apa ini? Apa Dea mengadukan pembicaraanku pada Ayah?" Ia menekan dahinya. Kepala terasa berdenyut, mata berkunang-kunang. Hidungnya sibuk menghirup udara, sedangkan mulutnya monyong mengeluarkan napas."Mas ini kemejanya," ucap Nina yang baru saja masuk ke kamar. Levi langsung menoleh ke arah istrinya dengan ekspresi tegang. Wanita itu tampak kebingungan dengan reaksi suaminya."Ada apa?" tanya Nina dengan alis berkerut."Hari ini aku tidak kerja. Kita harus ke rumah Ayah dan Mamaku."Tanpa sadar mata wanita itu memutar dan bibirnya sedikit maju."Kamu kok gitu?" tanya Levi yang tersinggung dengan reaksi istrinya."Aku akan siapkan sarapan. Mandi sana." Nina meninggalkan lelaki itu t
Ponsel Kevin tiba-tiba berdering. Jantungnya hampir copot karena suara yang nyaring dilanjut dengan munculnya nama Seno di layar membuat bulu kuduknya meremang. Ia menoleh ke arah istrinya yang menatapnya penasaran. Darah berdesir hebat ke kepalanya. Rasa denyutan mengalir ke seluruh tubuhnya.Tanpa pikir panjang, lelaki itu langsung mematikan ponselnya. Dea tak menanggapinya sedikitpun dan memilih mengacuhkannya dengan mematut jalanan kota Surabaya yang kian padat karena weekend.“Sial, kenapa dia tiba-tiba telpon sih! Bikin kesel aja,” rutuk Kevin dalam hati. Ia melirik istrinya yang acuh padanya. “Dea lihat atau tidak ya?” tebaknya tanpa bersuara.“Setelah check up. Kita ke rumah orangtuamu ya Sayang?” Rita bertanya pada menantunya dengan wajah berseri.“Iya Ma,” sahut Dea tanpa menoleh ke Rita yang sangat antusias menjalani hari ini.“Kalau begitu nanti sebelum ke rumah Mbak Nala. Kita mampir ke toko roti langganan Mama ya Vin.” Kali ini dia memerintah putranya. Kevin sibuk menar
Sesampainya di kediaman orangtua Dea. Tanpa diduga mereka bersamaan dengan Levi dan Nina. David dan Nala menyambut kedatangan mereka berlima dengan senyum semringah. Rita yang rempong langsung menghamburkan pelukan pada Nala. Kedua wanita itu nampak girang karena bisa bertemu. Dea yang baru saja turun menatap datar iparnya. Nina menurunkan pandangan seakan tak ingin berurusan dengannya.“Huh... sudah seharusnya kamu tau diri Nin,” lirih Dea ketika berjalan melewatinya. Nina menelan salivanya karena merasa atmosfer berubah menjadi tegang. Dia cukup terluka mendegar celetukan adik iparnya. Semenjak Dea tau kebusukannya, ia mendapat berbagai serangan psikis.“Sabar Nin, sebentar lagi semua selesai. Yang penting tujuanku sudah tercapai. Setelah itu hidup bahagia dengan Bimo dan anak ini,” batin wanita itu tak lupa menarik kedua sudut bibirnya. Hari ini ia memaksakan senyum palsu agar imagenya sebagai menantu kalem tak pupus dari padangan mertuanya. Berbeda dengan Levi, ia justru melirik
Gito dan David masuk dengan wajah yang semringah. Kedua orang itu nampak seperti sohib yang lama tidak bertemu. Rumah pun menjadi ramai karena jokes bapak-bapak dan kedua putra mereka. Para ibu sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri, sedangkan Nina dan Dea memilih untuk bermain ponsel. Tanpa sadar mereka bercengkerama cukup lama hingga akhirnya makan siang sudah terhidang dengan rapi di meja makan.“Ayo Mbak Rita, Mas Gito makan dulu,” ajak David mempersilakan besannya menuju ruang makan.“Aduh repot-repot,” sahut Gito tak enak hati. Namun David segera mendekati lelaki itu dan berbisik, “setelah makan, saya ingin meminta tolong. Makan siang ini sebagai sogokan saja, jadi jangan sungkan.”“Ahahaha! Bisa aja Mas David ini.” Kekehan Gito menggelegar membuat mereka penasaran apa yang dibicarakan David sampai membuatnya seperti itu.“Ayo makan siang dulu Sayang,” ajak Nala kepada menantunya. Nina menganggukkan kepala dan segera berdiri. Dengan lembut wanita paruh baya itu membantunya berd
Nina menatap jengah kepergian suaminya. Ia hanya melirik sinis ke arah mereka yang tiba-tiba memisahkan diri dan mengatakan ada sesuatu yang perlu dibahas di keluarga inti. Wanita itu merasa sangat dibedakan dan tak dihormati karena tak turut andil dalam diskusi yang diinginkan mertuanya. Tapi Gito ayah Kevin, suami dari adik iparnya diajak bergabung dengan pertemuan tersebut.“Huhh apa mereka tidak menganggap aku keluarga?” kesal Nina dalam hati.Rita yang sebelumnya duduk berjarak darinya segera membereskan piring. Asisten rumah tangga langsung mencegahnya, “biar saya saja Bu.” Kebetulan orangtua Dea menyewa asisten rumah tangga yang pulang pergi jadi tidak menginap. “Kita lakukan sama-sama saja Mbak,” jawab Rita yang menumpuk piring kotor.Nina yang sadar diri berniat membantu mertua Dea. Tetapi baru mengangkat satu piring miliknya, Rita langsung mengambilnya. “Nina, kamu duduk saja Nak. Biar aku dan Mbak yang membereskannya. Kamu harus banyak istirahat.”“Aku ingin bantu Tante.”