"Pucuk dicinta ulam pun tiba," ujar Kevin penuh rasa puas. Bibirnya tersungging menampakkan gigi taring seperti vampire. Ia sangat senang melihat pemandangan di seberang jalan. Meskipun dia tak tau bagaimana ekspresi istrinya sekarang, tapi dengan adegan tersebut tujuan yang baru saja ia ranjang langsung terealisasikan tanpa harus mengeluarkan tenaga lebih."Siapa sangka targetku sendiri yang mendongkrak tujuanku. Semoga saja setelah ini tidak ada pengganggu lagi!" semangat lelaki itu memacu sepeda motornya mengikuti Dea yang sudah berjalan duluan. Dea melirik sebentar pada sosok yang sering terngiang di kepalanya. Laki-laki yang dikenalnya penuh wibawa sekarang bersama seorang wanita yang tak dia kenal. Bahkan netranya menangkap mereka sedang bergandengan satu sama lain dan saling menatap dengan sorot mata yang tajam."Huft. Padahal kemarin dia bilang aku menggantungnya. Siapa sangka sekarang sudah menggandeng perempuan lain," hela Dea sembari menggelengkan kepala. "Sepertinya aku t
Setelah kepulungan putrinya. David meminta istrinya untuk menutup pintu rumah dan mematikan semua lampu menyisakan kamar utama. Hatinya terasa mengganjal ketika melihat kondisi Dea. Ia melirik tas yang dititipkan putrinya beberapa waktu lalu."Ma... hitung uang itu. Perasaanku kok gak enak."Tanpa banyak bicara Nala langsung membuka tas jinjing tersebut dan mengeluarkan semua uang. Kedua orang tersebut mulai menghitung lembaran berwarna merah dan biru saru persatu. Kemudian menumpuknya menjadi beberapa kelompok dengan kelipatan 50juta." Ini 50 juta. Ini juga 50 juta," ucap David."ini 50 juta. Terus ini 3 juta 200." Nala melaporkan hasil hitungannya di lembaran uang yang tidak terbendel.Alis David langsung berkerut. "Coba hitung lagi Ma."Nala yang ada di sampingnya kembali mengecek uang yang ada di dalam tas. Sudah setengah jam ia menghitung uang tersebut berkali-kali. "Hanya 153 juta 700 ribu Yah," ucap Nala dengan mata berair. "Seharusnya Dea dapat berapa?""Kurang lebih tiga r
Setelah mendapat telepon dari ayahnya Dea langsung masuk ke kamar tamu. Rita tengah membersihkan ranjang agar mereka bisa tidur dengan nyaman."Ayo tidur Sayang," ucap wanita paruh baya tersebut kepada menantunya. Dea mendekat ke arah mertuanya."Mama, Dea pengen peluk." Ia merentangkan kedua tangannya. Rita menyipitkan matanya sebentar lalu bibirnya melengkung ke atas. "Sini." Tanpa menunda-nunda Dea langsung memeluk mertuanya dengan erat."Putri Mama lagi pengen manja ya." Rita menempelkan pipinya di ubun-ubun Dea. Tak lupa salah satu tangannya mengelus punggung menantunya seperti menenangkan bayi.Dea mendongakkan kepala melihat ekspresi mama mertuanya. "Hehe..." kekeh wanita itu yang langsung dibalas kecupan tipis oleh Rita. Tak berselang lama ia segera melepas pelukan itu dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Rita mengamati menantunya dengan seksama, "sudah?" tanyanya bingung karena tanpa mengatakan sepatah katapun Dea sudah menjauh darinya."Sudah. Ayo tidur Ma," jawab menan
"Ada urusan apa kamu sama Seno?" sembur Gito dengan mata melotot. Kevin terperanjat mendapatkan pertanyaan tersebut. Namun dengan kesit ia berkilah, "ha? Maksudnya Pa?" Ia memasang ekspresi melongo agar terkesan bloon."Itu. Tadi Papa dengar kamu sebut nama Seno. Ada urusan apa kamu sama dia?," timpal Gito memperjelas maksudnya. Ia menyipitkan kedua matanya untuk memberi intimidasi kuat kepada putrnya yang sedang dia awasi.'Sial! Kenapa Papa bisa mendengar suaraku. Padahal jarak kami sangat jauh,' rutuk Kevin dalam hati. Tanpa menghabiskan banyak waktu ia mengeluarkan jurus aktingnya."Seno?" Kevin mengerutkan alisnya. 'Astaga kenapa aku harus menyebut nama ini,' batinnya kesal."Kevin tidak pernah sebut nama itu Pa. Tadi lagi mikirin Nino kok," kilah lelaki itu sebaik mungkin. Dia berusaha meyakinkan papanya yang sangat sensitif dengan kebohongan.Ia menelan paksa salivanya karena Gito tak kunjung memberi reaksi dari jawabannya. Tubuhnya yang sedang bergetar ia tahan semaksimal mung
Levi yang baru mengecek ponselnya di pagi hari dibuat terkejut dengan nama kontak ayahnya di deretan klien yang menghubunginya. Di dalam pesan tersebut tertulis.[Besok datanglah ke sini. PENTING.]Jantung lelaki itu langsung berdegup kencang membacanya. Keringat dingin mulai menjalar di pelipisnya. "Ada apa ini? Apa Dea mengadukan pembicaraanku pada Ayah?" Ia menekan dahinya. Kepala terasa berdenyut, mata berkunang-kunang. Hidungnya sibuk menghirup udara, sedangkan mulutnya monyong mengeluarkan napas."Mas ini kemejanya," ucap Nina yang baru saja masuk ke kamar. Levi langsung menoleh ke arah istrinya dengan ekspresi tegang. Wanita itu tampak kebingungan dengan reaksi suaminya."Ada apa?" tanya Nina dengan alis berkerut."Hari ini aku tidak kerja. Kita harus ke rumah Ayah dan Mamaku."Tanpa sadar mata wanita itu memutar dan bibirnya sedikit maju."Kamu kok gitu?" tanya Levi yang tersinggung dengan reaksi istrinya."Aku akan siapkan sarapan. Mandi sana." Nina meninggalkan lelaki itu t
Ponsel Kevin tiba-tiba berdering. Jantungnya hampir copot karena suara yang nyaring dilanjut dengan munculnya nama Seno di layar membuat bulu kuduknya meremang. Ia menoleh ke arah istrinya yang menatapnya penasaran. Darah berdesir hebat ke kepalanya. Rasa denyutan mengalir ke seluruh tubuhnya.Tanpa pikir panjang, lelaki itu langsung mematikan ponselnya. Dea tak menanggapinya sedikitpun dan memilih mengacuhkannya dengan mematut jalanan kota Surabaya yang kian padat karena weekend.“Sial, kenapa dia tiba-tiba telpon sih! Bikin kesel aja,” rutuk Kevin dalam hati. Ia melirik istrinya yang acuh padanya. “Dea lihat atau tidak ya?” tebaknya tanpa bersuara.“Setelah check up. Kita ke rumah orangtuamu ya Sayang?” Rita bertanya pada menantunya dengan wajah berseri.“Iya Ma,” sahut Dea tanpa menoleh ke Rita yang sangat antusias menjalani hari ini.“Kalau begitu nanti sebelum ke rumah Mbak Nala. Kita mampir ke toko roti langganan Mama ya Vin.” Kali ini dia memerintah putranya. Kevin sibuk menar
Sesampainya di kediaman orangtua Dea. Tanpa diduga mereka bersamaan dengan Levi dan Nina. David dan Nala menyambut kedatangan mereka berlima dengan senyum semringah. Rita yang rempong langsung menghamburkan pelukan pada Nala. Kedua wanita itu nampak girang karena bisa bertemu. Dea yang baru saja turun menatap datar iparnya. Nina menurunkan pandangan seakan tak ingin berurusan dengannya.“Huh... sudah seharusnya kamu tau diri Nin,” lirih Dea ketika berjalan melewatinya. Nina menelan salivanya karena merasa atmosfer berubah menjadi tegang. Dia cukup terluka mendegar celetukan adik iparnya. Semenjak Dea tau kebusukannya, ia mendapat berbagai serangan psikis.“Sabar Nin, sebentar lagi semua selesai. Yang penting tujuanku sudah tercapai. Setelah itu hidup bahagia dengan Bimo dan anak ini,” batin wanita itu tak lupa menarik kedua sudut bibirnya. Hari ini ia memaksakan senyum palsu agar imagenya sebagai menantu kalem tak pupus dari padangan mertuanya. Berbeda dengan Levi, ia justru melirik
Gito dan David masuk dengan wajah yang semringah. Kedua orang itu nampak seperti sohib yang lama tidak bertemu. Rumah pun menjadi ramai karena jokes bapak-bapak dan kedua putra mereka. Para ibu sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri, sedangkan Nina dan Dea memilih untuk bermain ponsel. Tanpa sadar mereka bercengkerama cukup lama hingga akhirnya makan siang sudah terhidang dengan rapi di meja makan.“Ayo Mbak Rita, Mas Gito makan dulu,” ajak David mempersilakan besannya menuju ruang makan.“Aduh repot-repot,” sahut Gito tak enak hati. Namun David segera mendekati lelaki itu dan berbisik, “setelah makan, saya ingin meminta tolong. Makan siang ini sebagai sogokan saja, jadi jangan sungkan.”“Ahahaha! Bisa aja Mas David ini.” Kekehan Gito menggelegar membuat mereka penasaran apa yang dibicarakan David sampai membuatnya seperti itu.“Ayo makan siang dulu Sayang,” ajak Nala kepada menantunya. Nina menganggukkan kepala dan segera berdiri. Dengan lembut wanita paruh baya itu membantunya berd
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng