Kevin yang menyadari sesuatu aneh terjadi pada istrinya segera melompat keluar. Raut wajah menegang dengan mata sedikit memerah membuat emosi Kevin membuncah. Ia mencengkeram erat kedua lengan Dea. Napas yang terengah-engah membuatnya mengedarkan pandangan, mencari tau apa yang terjadi.Sudut netranya menangkap sosok lelaki yang ia benci, Andre. Kevin melirik sinis ke arahnya, dan disambut dengan tatapan sendu."Ada apa? Kenapa kamu seperti ini?" tanya Kevin kepada Dea. Wanita itu menghembuskan napas panjang untuk menetralisir kegugupannya."Tidak ada. Aku capek Mas. Pengen pulang.""Beneran hanya itu? Apa gara-gara lelaki itu?" Alis Dea langsung berkerut, ia menoleh ke belakang menuju arah pandangan suaminya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah kumpulan murid baru keluar dari lobi, tapi setelah itu dia baru mengetahui jika Andre menatapnya dengan murung.Tenggorokan Dea seakan tercekat melihat pemandangan tersebut. "Benar gara-gara dia?" tunjuk Kevin yang bersiap mendekati And
Pagi pun tiba, Rita sekali lagi berusaha bernegoisasi dengan menantunya. "Bagaiaman kalau diantar Papa?""Tidak. Papa kan harus urus bisnisnya." Dea sibuk memasang helm."Tidak masalah kalau mengantarmu sebentar Sayang.""Tidak Ma... Nanti ribet kalau harus nunggu Papa. Lebih enak berangkat sendiri, sekalian ke rumah Mas Levi lebih cepat." Sekarang Dea menaiki sepeda motor dan menstaternya. "Dea berangkat Ma. Assalamualaikum."Ia tak ingin berlama-lama mengobrol dengan mertuanya. Bisa-bisa urusannya makin runyam kalau terus meladeni Rita. Meskipun ada rasa bersalah karena membangkang, tapi ia tak ingin menambah masalah lagi. Apalagi Levi akan membahas sesuatu yang sensitif, meskipun dia tidak tau masalah apa. Tapi dia sudah berniat untuk menanyakan kelanjutan masalah Nina pada kakaknya tersebut."Huft... oke. Sekarang fokus kerja, jangan alihkan pandangan ke hal lain," ucap wanita itu ketika sampai di depan sekolah tempatnya mengajar. Ia cukup waspada dengan Andre. Sementara waktu dia
"Pak Gito kemarin ke sini. Kevin serahin cafenya ke kamu Dik?" tanya Levi membuka percakapan. Ia mengulur waktu untuk menjawab pertanyaan adiknya mengenai tujuan pertemuan mereka."Iya." Dea kembali duduk dengan nyaman di atas sofa. Ia cukup malas berbasa-basi."Hm... Bisnis mertuamu berkembang sangat pesat. Ternyata dia lagi bangun beberapa bisnis. Kemarin aku disuruh mengurus beberapa hal, terutama kontrak dan perjanjian kerjasama dengan koleganya.""Mas bisa langsung ke topik kita nggak? Aku harus segera pulang, capek," keluh Dea dengan wajah masam. Dia sangat mengenal kakaknya, jadi ketika Levi berusaha menyembunyikan sesuatu atau memiliki maksud lain Dea bisa menyadarinya dengan cepat. Dan kali ini dia akan memotongnya secepat mungkin agar tidak melebar kemana-mana.Lelaki itu menghela napasnya bentar. "Ini." Dia menyodorkan tas yang ia tenteng.Dea menatap sebentar itu dengan penuh tanda tanya. "Ini apa?""Ini warisan dari Oma yang dia berikan ke kamu. Sekarang aku kembalikan se
Dea menatap kakaknya dengan datar. Pengakuan yang diberikan lelaki itu seakan berada di luar nalar. Bagaiaman bisa dia mempertahankan wanita murahan itu yang jelas-jelas sudah mengkhiantinya. Meskipun dia sendiri masih bertahan di pernikahan toxic dengan Kevin, tetapi suaminya itu tergoda oleh wanita licik karena terpaksa. Sedangkan Nina sedari awal sudah berniat memanfaatkan Levi bahkan memiliki lelaki lain."Jadi? Kamu tetap bertahan?" tanya Dea mengonfirmasi intisari pertanyaan kakaknya. Levi menganggukkan kepala."Kenapa?" Ia tak terima dengan keputusan tersebut. "A-aku cinta Nina."Mulut Dea melongo. "Cinta?""Iya. Bagaimanapun juga, aku yang memilihnya untuk menjadi istriku. Bukankah aku harus menanggung semua ini sebagai bayaran karena mengikatnya dalam pernikahan." Dea mendengkus tak percaya dengan jawaban yang diberikan kakaknya."Bagaimana kasusmu denganku ada perbedaan Mas. Setidaknya dari awal Mas Kevin tidak mendua, dia terpaksa menikahi Icha." Dea benci mengatakannya,
"Dea mau menitipkan ini." Wanita itu menyerahkan tas kepada Mamanya. Nala menerima barang itu tanpa mengecek apa isinya."Apa ini Nak?" tanya David mencari tau."Warisan dari Oma. Mas Levi baru memberiku sekarang."Alis lelaki itu langsung berkerut. Ia menatap istrinya penuh tanda tanya. "Baru hari ini?" Nala mencari tau kebenarannya. Dea menganggukkan kepala.Kedua orangtuanya membisu."Padahal Mama dan Ayah menyuruh dia untuk memberikan bagianmu secepat mungkin. Tapi kenapa baru sekarang dia berikan," renung Nala."Yang penting sudah diberikan Ma. Dari pada diraib orang lain."Jawaban Dea terdengar penuh makna. David dan istrinya sekali berpandangan, hati mereka terasa ganjal."Apa ada masalah antara kamu dan Levi?" telisik David yang merasakan frekuensi putrinya menghitam.Dea menatap lekat ayahnya. "Em... tidak tau. Sepertinya sudah selesai." Ia mengendikkan pundaknya."Hm... Apa kamu menangis gara-gara Levi?" Lelaki itu berusaha mencari informasi mengenai alasan perilaku Dea yan
Rita yang baru saja menelpon menantunya segera memanggil Kevin. Sebagai orangtua ia merasa khawatir karena Dea pulang sendiri malam ini. Gito yang ada di sampingnya pun sampai terkejut mendengar lengkingan wanita itu."Kevin~!" panggil Rita.Kevin yang ada di kamar pun langsung keluar mencari tau apa yang membuat mamanya berteriak seperti itu. Ia melihat papanya tengah menutup kedua telinga dengan tangan, wajah yang meringis menandakan ada hal serius."Iya Ma?" tanya Kevin begitu tiba di samping mamanya.Rita langsung menoleh ke arahnya. "Dea lagi perjalanan pulang dari rumah orangtuanya. Coba kamu jemput ikutin dia!""Dia kan mau pulang Ma. Kenapa harus Kevin ikutin.""Hih! tunggu saja di mana gitu! Masa kamu tega biarin istrimu pulang sendiri malam-malam begini!" sahut Rita dengan otot wajah yang menegang. Ia risih mendengar jawaban putranya yang tidak bertanggung jawab."Tapi kan Kevin tidak tau dia lewat mana."Kekesalan wanita itu semakin memuncak karena Kevin memberi alasan yang
"Pucuk dicinta ulam pun tiba," ujar Kevin penuh rasa puas. Bibirnya tersungging menampakkan gigi taring seperti vampire. Ia sangat senang melihat pemandangan di seberang jalan. Meskipun dia tak tau bagaimana ekspresi istrinya sekarang, tapi dengan adegan tersebut tujuan yang baru saja ia ranjang langsung terealisasikan tanpa harus mengeluarkan tenaga lebih."Siapa sangka targetku sendiri yang mendongkrak tujuanku. Semoga saja setelah ini tidak ada pengganggu lagi!" semangat lelaki itu memacu sepeda motornya mengikuti Dea yang sudah berjalan duluan. Dea melirik sebentar pada sosok yang sering terngiang di kepalanya. Laki-laki yang dikenalnya penuh wibawa sekarang bersama seorang wanita yang tak dia kenal. Bahkan netranya menangkap mereka sedang bergandengan satu sama lain dan saling menatap dengan sorot mata yang tajam."Huft. Padahal kemarin dia bilang aku menggantungnya. Siapa sangka sekarang sudah menggandeng perempuan lain," hela Dea sembari menggelengkan kepala. "Sepertinya aku t
Setelah kepulungan putrinya. David meminta istrinya untuk menutup pintu rumah dan mematikan semua lampu menyisakan kamar utama. Hatinya terasa mengganjal ketika melihat kondisi Dea. Ia melirik tas yang dititipkan putrinya beberapa waktu lalu."Ma... hitung uang itu. Perasaanku kok gak enak."Tanpa banyak bicara Nala langsung membuka tas jinjing tersebut dan mengeluarkan semua uang. Kedua orang tersebut mulai menghitung lembaran berwarna merah dan biru saru persatu. Kemudian menumpuknya menjadi beberapa kelompok dengan kelipatan 50juta." Ini 50 juta. Ini juga 50 juta," ucap David."ini 50 juta. Terus ini 3 juta 200." Nala melaporkan hasil hitungannya di lembaran uang yang tidak terbendel.Alis David langsung berkerut. "Coba hitung lagi Ma."Nala yang ada di sampingnya kembali mengecek uang yang ada di dalam tas. Sudah setengah jam ia menghitung uang tersebut berkali-kali. "Hanya 153 juta 700 ribu Yah," ucap Nala dengan mata berair. "Seharusnya Dea dapat berapa?""Kurang lebih tiga r
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng