Tepukan tangan tersebut berhasil mengejutkan kedua orang yang berada di dalam kamar. Kevin yang sebelumnya memijit tubuh istrinya langsung mematung. Dan Dea yang terpejam menikmati tekanan lembut dari suaminya langsung membuka kedua netranya. Wanita paruh baya yang Dea minta untuk segera pulang kini sudah tiba. Dia tersenyum sinis menatap putranya yang sedang gelagapan seperti ketahuan mencuri. Sedangkan Dea tersenyum tipis mendapati kehadiran mertuanya di waktu yang tepat."Bagus!" Rita masih menepuk tangannya dengan girang karena berhasil menangkap basah pencuri. "Bisa-bisanya kamu meminta uang pada putriku yang sedang sakit.""T-tidak Ma." Kevin langsung berdiri dan menjauh dari istrinya."30 juta? Kenapa kamu meminta uang sebanyak itu pada Dea?" interograsi Rita memojokkan Kevin.Putranya semakin menepi ke pojok karena mamanya menekan dengan langkah yang semakin mendekat."Jawab!" seru Rita yang seirama dengan masuknya Gito. Suasana semakin menegang karena lelaki paruh baya ters
"Selama ini Kevin belum memberikan laba cafe ke Dea. Kevin hanya memberikan ke Icha. Tapi Icha menghabiskan semua uang itu tanpa sisa, sekarang Kevin menanggung hutang 60 juta ke Nino dan beberapa gaji karyawan. Kevin sudah mengambil 30 juta dari Icha, tinggal 30 juta lagi." Kevin menjawab itu dengan menundukkan kepala. Rasanya sangat malu mengakui hal yang ia sembunyikan dari lama. Apalagi cafe ini sengaja ia rahasiakan agar bisa bersenang-senang tanpa diketahui keluarganya. Semuanya hancur karena istri sirinya. Dan selama ini istri sahnya belum merasakan hasil cafe yang ia bangun.Rita menghela napas lalu berucap. Tangannya mengepal erat karena rasa kesal bergelora di hatinya. "Selesaikan masalahmu sendiri, jangan minta sepeserpun pada Dea. Apalagi selama ini kamu tidak memberikan sedikitpun uang itu padanya."Mata Kevin melebar. "Tapi Ma. Ini urgent banget. Nino memberikan tenggat waktu sampai jam 8." Ia melirik jam analog yang terpatri di dinding. Dan betul saja, sudah jam 8 tepat
Suasana langsung sunyi saat Gito mengajukan persyaratan. Kevin menatap istrinya dengan dalam, begitu pula Dea. Pikirannya melayang tak menentu mencari keputusan atas pertanyaan papanya. Hingga akhirnya saliva yang terkumpul di mulutnya segera ia telan lalu berucap."Iya. Cafenya aku serahkan ke Dea."Beban dalam hati langsung hilang begitu saja ketika ia menjawab pengajuan papanya."Sekarang buat perjanjian di atas kertas terlebih dahulu."Kevin menganggukkan kepala dan berdiri mengambil secarik kertas beserta materai untuk dibubuhi tanda tangan mereka. Dengan adanya materai tersebut, perjanjian dianggap sah.Kevin menulis sesuai arahan Gito. Dea mengamatinya dalam diam sembari memilin jari jemarinya.Ada banyak narasi yang berputar di kepala wanita itu. "Tanda tangan di sini Dik," tunjuk Kevin kepada istrinya. Wanita itu sempat menatap kedua mertuanya bergantian. Gito dan Rita memberi anggukan agar ia segera menandatangani surat perjanjian sekaligus penyerahan cafe padanya."Beneran
"Sebenarnya apa yang kamu lakukan dengan semua uang itu?" tanya Nino pada adiknya. Perasaannya sudah dongkol seharian karena memikirkan masalah yang dibuat Nina. Dia yang tidak tau apapun tiba-tiba harus menanggung akibat dari perbuatan wanita itu."Aku berinvestasi ke bisnis Bimo tanpa sepengetahuan Mas Levi. Uangnya belum balik, tapi Mas Levi sedang butuh cepat," jawab Nina dengan menundukkan kepala. Dia tidak tau harus pergi ke mana mencari uang sebanyak itu. Ditambah suaminya mengatakan jika besok akan mengembalikan sebagian harta Dea yang mereka pakai."Levi butuh buat apa?"Adiknya hanya bisa menggigit bibir. Ia kesulitan mengeluarkan jawaban atas pertanyaan kakaknya. " Jawab.""Untuk mengganti uang Dea."Nino tak menanyakan lebih lanjut soal itu. Tetapi ada satu nama yang membuatnya penasaran."Terus kamu pakai uang itu buat investasi ke Bimo?"Nina menganggukkan kepala."Hahh..." Nino menghela napasnya panjang. "Sebenarnya Bimo itu siapa? Kenapa kalian sering terlihat bersama
Dea menatap kepergian suaminya dengan perasaan tidak nyaman. Entah kenapa gelagat Kevin sangat aneh, seakan ada yang dia sembunyikan. Apalagi sedari semalam ia melihat suaminya banyak melamun. Sikap lelaki itu membuatnya penasaran mengenai apa yang terjadi. Atau masalah apa yang menimpa Kevin hingga membuatnya merenung panjang seperti itu."Huft..." Dea menghela napasnya panjang. Ia segera menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri dari lamunan. "Tidak sesuai dengan rencanaku, tapi tak buruk juga dapat cafe itu dengan cara ini," batin Dea.Awalnya ia berniat merampas cafe ketika mengajukan perceraian ke pengadilan. Ditambah alasan cerai karena Kevin menikah lagi sehingga melanggar perjanjian pra-nikah mereka. Konsekuensi yang harus diterima adalah dengan menyerahkan semua harta miliknya kepada korban perselingkuhan. Itu artinya Dea bisa mendapatkan semua aset Kevin tanpa terkecuali.Tetapi semalam mertuanya menekan Kevin untuk menyerahkan cafe yang kebetulan adalah aset terbesar lela
"Jadi cafe ini bukan milik lu lagi, tapi Dea?" tanya Nino setelah mendengar penjelasan sahabatnya. Kevin menganggukkan kepala dan menjawab, "Ya.""Terus nasib gua?" Kali ini lelaki itu menanyakan perihal investasinya yang diberikan kepada cafe."Ya tetap kayak sebelumnya. Bedanya hak milik cafe ini bukan lagi nama gua, tapi nama Dea.""Ohh... berarti masih aman ya?""Aman. Bagian lu lebih aman kalau cafe ini dipegang Dea.""Bener juga omongan lu. Daripada dirampas sama Mak Lampir Icha, khehe..." kekeh Nino yang mengingat kebengisan Icha merampas semua hak nya di cafe ini."Nah bener kan.""Terus Icha udah tau kalau cafe ini sudah pindah tangan ke istri sah lu?" Nino menjadi kepo dengan respon musuh bebuyutannya."Belum. Lu rahasiain ini dari Icha ya. Gua mau urus masalah ini pelan-pelan."Bibir Nino langsung mecebik. "Rahasia-rahasiaan lagi nih. Capek gua," keluhnya."Ya setidaknya jangan kasih tau Icha. Gak perlu lu sembunyiin, penting jangan tiba-tiba kasih tau dia.""Oh... Oke kala
Mendengar deru kuda besi milik suaminya membuat Icha terlonjak senang. Seno dan Maya yang tengah menyantap makanan mereka terperangah melihat putri mereka yang berlari kencang keluar rumah."Mas Kevin!" teriak wanita itu dengan tangan yang sibuk memutar kunci pintu."Aaaa! Kok tidak bilang kalau mau ke sini," ucapnya sembari lari kecil menghampiri lelaki yang dicintainya. Tanpa meminta persetujuan, Icha langsung memeluk erat tubuh suaminya. "Ahaha... Aku senang banget kamu ngasih kejutan seperti ini Mas." Dia berucap dengan mata yang berkaca-kaca. Maya yang mengikuti putrinya keluar langsung mematung melihat pemandangan di depannya.Keceriaan yang dipancarkan anak semata wayangnya membuat dia terharu. Begitu pula yang dirasakan Seno saat ia baru keluar dari dalam. Kevin melepas helm dan menaruhnya di atas jok. Kemudian ia melepas pelukan istrinya perlahan. "Ayo masuk Mas. Di dalam ada banyak makanan. Aku juga mau buatin kamu kopi." Icha menggandeng suaminya dengan erat."Sebentar."
Rita dan Dea tengah menunggu Gito di lobi sekolah. Sudah satu jam lebih mereka berdiam diri di sana. Sesekali bercengkerama dengan beberapa guru yang berjalan melewati lobi."Aduh Papa kok lama banget ya," keluh Rita dengan dahi berkerut. Ia sudah bosan menunggu suaminya. Dua jam lalu, Gito menghubunginya dan berkata kalau telat menjemput karena bertemu dengan koleganya semalam. Ada hal penting yang perlu mereka bahas, jadi Gito meminta istrinya untuk menunggunya sebentar.Sayangnya kata sebentar ini sudah lebih dari satu jam. Wanita paruh baya itu mengetuk telapak kakinya ke lantai berkali-kali karena tidak sabar untuk pulang."Apa kita naik taksi aja Ma?" tawar Dea."Hm?" Bukannya menjawab, Rita justru bergumam.Andre yang baru keluar dari ruangannya bersama Jono dibuat penasaran karena melihat Dea dan Rita yang masih berada di sekolah."Loh Dea kok belum pulang Nak?" tanya Jono.Dea menoleh ke sumber suara dan menjawab, "Lagi nuggu Papa Pak." "Papanya ke mana?""Lagi ketemu teman
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng