Rita dan Dea tengah menunggu Gito di lobi sekolah. Sudah satu jam lebih mereka berdiam diri di sana. Sesekali bercengkerama dengan beberapa guru yang berjalan melewati lobi."Aduh Papa kok lama banget ya," keluh Rita dengan dahi berkerut. Ia sudah bosan menunggu suaminya. Dua jam lalu, Gito menghubunginya dan berkata kalau telat menjemput karena bertemu dengan koleganya semalam. Ada hal penting yang perlu mereka bahas, jadi Gito meminta istrinya untuk menunggunya sebentar.Sayangnya kata sebentar ini sudah lebih dari satu jam. Wanita paruh baya itu mengetuk telapak kakinya ke lantai berkali-kali karena tidak sabar untuk pulang."Apa kita naik taksi aja Ma?" tawar Dea."Hm?" Bukannya menjawab, Rita justru bergumam.Andre yang baru keluar dari ruangannya bersama Jono dibuat penasaran karena melihat Dea dan Rita yang masih berada di sekolah."Loh Dea kok belum pulang Nak?" tanya Jono.Dea menoleh ke sumber suara dan menjawab, "Lagi nuggu Papa Pak." "Papanya ke mana?""Lagi ketemu teman
Setelah menyesap kopi yang dihidangkan istrinya, Kevin segera membuka pembicaraan mengenai masalah yang dibuat Icha selama beberapa bulan ini di cafenya. Icha yang awalnya tersenyum lebar berubah menjadi kecut saat Kevin memberikan segepok uang senilai 5 juta rupiah di hadapannya."Untuk beberapa bulan ke depan jangan ambil uang di cafe. Aku harus mengganti uang Nino dan gaji karyawan yang kamu potong selama tiga bulan ini. Jadi selama itu tidak ada uang bulanan untuk kamu." Kevin menyodorkan lembaran uang itu kepada istri sirinya.Maya dan Seno memperhatikannya dalam diam."Kok gitu Mas," kesal Icha dengan wajah tertekuk."Uangku tinggal segini.""Bagaimana dengan gajimu sebagai guru?""Aku berikannya pada Dea.""Kalau begitu mulai bulan depan kamu harus membagi gajimu itu denganku juga.""Tidak bisa. Itu semua bagian Dea," tolak Kevin mentah-mentah."Kok kamu pilih kasih gini Mas. aku kan juga istrimu. Sudah sepantasnya kamu bersikap adil." Icha bersikeras menagih haknya."Kamu kan
Kevin mengendari kuda besinya dengan kecepatan tinggi. Hatinya sangat dongkol karena ditekan bercerai dengan Dea. Bagaimana dia bisa melepaskan wanita yang sulit didapatkan. Bahkan setelah memilikinya Kevin harus menghadapi orang-orang yang menginginkan istrinya secara terang-terangan seperti Nino. Belum lagi Andre yang secara inplisit berusaha mengambil hati Dea.Meskipun begitu ia merasa bangga bisa memiliki Dea. Dengan melihat kegilaan pria lain saat ingin merebut Dea membuat Kevin puas. Dia mendapat wanita yang didambakan banyak orang."Sial sial sial!" geramnya. "Kenapa aku harus menceraikan Dea! Bukankah yang lebih pantas aku ceraikan itu Icha! Kenapa harus Dea. Kenapa juga aku tidak berdaya seperti ini!?" rutuknya pada diri sendiri. Ia merasa jadi pria pengecut karena tak tau harus melakukan apa untuk menyelesaikan masalah ini.Tanpa sadar ia memacu motornya dengan cepat dan sudah sampai di kediaman pernikahan pertamanya. Ketika ia memarkir motor ke garasi, Gito baru saja masuk
Kevin membasahi seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. Ia merasakan sensasi pancuran air dingin di setiap inci kulitnya. Kepala yang sebelumnya berdenyut perlahan mengalami relaksasi. Ia bahkan menarik dan mengeluarkan napas yang panjang seakan membuang racun dari dalam tubuhnya."Hahhh..." helanya panjang dengan kedua tangan menempel di dinding. Ia melakukan peregangan otot punggung yang menegang."Andre," lirihnya mengingat rival yang Ia benci."Lagi-lagi nama itu mengusik hatiku." Kevin mengepal tangannya kuat."Kalau dipikir-pikir, Nino lebih beringas dari dia. Tapi kenapa setiap mendengar namanya hatiku sakit? Padahal dua cuma melakukan sesuatu yang sepele dan tak memiliki kesan mendalam. Tapi..."Lelaki itu menengadahkan wajahnya ke atas agar tersiram air shower. Dentikan air jatuh ke kepala Kevin tanpa henti.Setelah puas ia mematikan peralatan mandinya dan mengibaskan rambutnya hingga muncrat tak beraturan mengenai dinding kamar mandi."Kruk..." suara perut menusuk telinganya. "Ak
Mendengar pertanyaan papanya, Kevin terdiam. Rita meliriknya penuh arti. Dengan bibir yang bergetar Kevin pun menjawab, "masalah cafe. Kevin sudah mengurusnya sebagian. Untuk pengalihan usaha masih dalam proses tetapi Kevin sudah memberitahu Nino selaku investor dan beberapa karyawan jika ownernya akan ganti."Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan omongan. Gito menunggunya dengan sabar."Tapi ada satu masalah lagi Pa," ucap Kevin.Kedua alis Gito terangkat. "Apa?""Selama tiga bulan ini, Icha memotong gaji semua karyawan. Jadi aku berniat menggantinya. Tapi..." ia menggantung kalimatnya takut jika keputusannya salah."Tapi apa?" tanya papanya."Em... Kevin sudah tidak punya. Jadi Kevin berniat mengganti gaji karyawan yang dipotong itu dari laba bulan depan. Itu artinya Dea tidak akan mendapatkan laba cafe bulan depan." Kevin mengatakannya dengan takut-takut, ia melirik istrinya penuh arti. Gito menyorot matanya penuh kekesalan.Karena tidak ingin masalah semakin runyam, Kevin langs
"Hari ini aku berangkat sama Mas Kevin Ma," ucap Dea pada Rita yang sedari tadi mengomel memperhatikan setiap anggota keluarga. Dea dan Kevin akan berangkat kerja, sedangkan Gito akan bertemu dengan Levi sesuai diskusi semalam."Iya Sayang. Ini bekal sama obatmu." Rita menyerahkan tas kecil dan mencium kening Dea dengan lembut."Makasih Ma.""Punyaku mana?" tanya Kevin yang memamerkan tangan kosong. "Beli aja.""Ya ampun Ma.""Sstt! Sana berangkat, keburu siang," usir Rita mendorong anak menantunya menjauh. Dea dan Kevin hanya saling melirik dan masuk ke dalam mobil. Gito yang baru keluar dari rumah pun segera mencium kening istrinya. Lelaki paruh baya itu menenteng berbagai berkas di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanan sibuk membuka pintu mobil."Semua sudah Mas serahkan ke Papa?" tanya Dea pada suaminya. Kevin menoleh ke arahnya dan menjawab, "Sudah.""Em..." Gumam tersebut menarik perhatian Kevin."Kenapa?" "Tidak.""Hm... hari ini jadi tidur sama Mas kan?""Liat nanti saja
"Ma-maaf Pak. Saya belum bisa menerimanya," jawab Dea dengan menundukkan kepala.Andre mengerutkan alis. "Kenapa? Bukankah masalah Bu Dea sudah selesai?" "I-itu..." Wanita itu tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Masalah seakan sudah usai dan Dea juga memutuskan tetap bertahan dengan pernikahannya sesuai permintaan mertuanya. Namun di dalam lubuk hatinya ada sesuatu yang mengganjal. Ia tidak merasa semua masalahnya sudah terselesaikan dengan baik, dia tidak ouas dengan hasil seperti ini."Lalu kapan kamu mau nerima ini De?" tahya Andre membuang statusnya sebagai kepala sekolah di hadapan wanita yang dicintai nya.Dea hanya menggelengkan kepala. Mata beriris coklat perlahan basah. Ia bahkan mengeratkan kedua bibirnya yang merah mudah."Jangan gantung aku seperti ini De," keluh Andre menatap sendu kepadanya. Dea langsung mendongakkan kepala seakan tak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut kepala sekolahnya."G-gantung?" tanyanya tak percaya. Andre masih terdiam."Kapan saya gantun
Kevin yang menyadari sesuatu aneh terjadi pada istrinya segera melompat keluar. Raut wajah menegang dengan mata sedikit memerah membuat emosi Kevin membuncah. Ia mencengkeram erat kedua lengan Dea. Napas yang terengah-engah membuatnya mengedarkan pandangan, mencari tau apa yang terjadi.Sudut netranya menangkap sosok lelaki yang ia benci, Andre. Kevin melirik sinis ke arahnya, dan disambut dengan tatapan sendu."Ada apa? Kenapa kamu seperti ini?" tanya Kevin kepada Dea. Wanita itu menghembuskan napas panjang untuk menetralisir kegugupannya."Tidak ada. Aku capek Mas. Pengen pulang.""Beneran hanya itu? Apa gara-gara lelaki itu?" Alis Dea langsung berkerut, ia menoleh ke belakang menuju arah pandangan suaminya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah kumpulan murid baru keluar dari lobi, tapi setelah itu dia baru mengetahui jika Andre menatapnya dengan murung.Tenggorokan Dea seakan tercekat melihat pemandangan tersebut. "Benar gara-gara dia?" tunjuk Kevin yang bersiap mendekati And
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng