Rakha baru saja terbangun pasca kecelakaan yang dialaminya tadi malam.
"Akhirnya kamu siuman juga, Kha..." sambut sebuah suara yang jelas Rakha kenal, suara Wisnu sang Kakak ipar.
Rakha mendapati Wisnu berdiri di sisi brankar rumah sakit yang ditempati Rakha di ruang UGD. Wajah lelaki itu tampak kusut.
"Saya di mana Mas? Apa yang terjadi?" ucap Rakha dengan suara serak. Rasa nyeri di kepalanya membuat Rakha agak kesulitan mengingat apa yang telah terjadi.
"Kamu di rumah sakit sekarang. Semalam kamu kecelakaan. Ada mobil box hitam yang menabrakmu," jawab Wisnu apa adanya.
Rakha mengerutkan kening. Otaknya mencoba mencerna ulang kalimat Wisnu.
Kecelakaan...
Mobil box hitam...
Astagfirullah al-adzim...
Walau belum sepenuhnya mengingat dengan baik, entah kenapa, Rakha merasa apa yang dikatakan Wisnu itu tidak benar.
"Tadi polisi sudah menjelaskan semuanya pada Mas dari bukti di TKP dan keterangan saksi warga sekitar. Ada sebuah mobil box hitam yang dikendarai oleh seorang laki-laki tua bernama Bapak Ahmad. Polisi menduga, Bapak Ahmad kehilangan keseimbangan saat mengemudi sehingga menyebabkan mobilnya tergelincir dikarenakan dia mengidap penyakit berat. Bapak Ahmad menderita penyakit TBC, dia meninggal di tempat kejadian setelah mobil yang dia kendarai menabrakmu dan seorang wanita bernama Rania di halte dekat Rumah sakit," jelas Wisnu panjang lebar.
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun..." gumam Rakha pelan. Takdir Allah memang tidak ada yang bisa menebak. Nyatanya, malam tadi adalah detik-detik waktu kehidupan Bapak Ahmad berakhir di dunia. Dan tentunya, malam tadi malaikat maut sudah berada begitu dekat dengan Bapak Ahmad maupun Rakha sendiri.
Pelupuk mata lelaki berumur 27 tahun itu pun menghangat. Menjadi sebuah pelajaran berharga bagi Rakha bahwa sudah sepatutnya manusia itu selalu mengingat akan kematian. Karena maut tak mampu ditebak kapan datangnya. Bisa saja hari ini kita masih bisa tertawa bersama kawan sejawat, membicarakan lelucon konyol bersama, tapi siapa yang tahu jika hari esok, justru diri kita sudah terbujur kaku di liang lahat.
Bisa saja pagi ini kita masih bisa menikmati senyuman keluarga kita sebelum berangkat mencari nafkah. Mencium kening istri dan meneriakkan kata cinta, tapi siapa yang tahu jika satu jam setelahnya kita mendapat kabar bahwa istri yang pagi tadi masih kita rasakan kehangatan pelukannya dan manis senyumannya, kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Wallahu, maut, rejeki dan jodoh semua adalah rahasia mutlak sang maha pencipta. Manusia hanya bisa berusaha untuk tidak lalai dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah yang taat. Hingga pada saatnya tiba nanti, kita memiliki cukup bekal untuk menghadap-Nya.
"Ya sudah, Mas mau menyelesaikan administrasimu dulu. Kata dokter luka yang kamu derita tidak serius, kamu sudah diperbolehkan pulang begitu siuman,"
"Mas," panggil Rakha saat Wisnu hendak pergi. Perlahan, Rakha mulai mengingat kronologi kejadian kecelakaan yang dialaminya malam tadi.
Tubuh Wisnu pun berbalik dengan cepat. "Ya, ada apa?"
Rakha menatap Wisnu dengan penuh keraguan. Semua kronologi kejadian yang dikatakan Wisnu jelas tidak benar. Dan Rakha bukan seorang manusia culas yang akan menyembunyikan kebenaran begitu saja. Setidaknya, dia masih memiliki tanggung jawab agar pihak kepolisian tidak menimpakan segala kesalahan pada Pak Ahmad.
"Sebenarnya, malam tadi, yang mengendarai mobil box hitam itu bukan Pak Ahmad, Mas, ta-tapi... Saya Mas..." ucap Rakha terbata.
Wajah Wisnu yang tadinya mulai tenang terlihat panik kembali. Lelaki berjanggut tipis itu sangat terkejut mendengar pengakuan Rakha.
Wisnu langsung celingukan mengamati keadaan sekitar, memastikan tak ada polisi atau siapapun yang mendengar pengakuan konyol Rakha. Ditariknya gorden pembatas brankar di ruang UGD tersebut untuk melindungi percakapan mereka dari pihak luar.
"Apa yang kamu katakan Rakha? Jangan bercanda!" bentak Wisnu setengah berbisik. Matanya melotot menatap garang ke arah Rakha.
"Sungguh, saya tidak sedang bercanda, Mas. Saya serius,"
Hingga akhirnya, Rakha pun menceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya dia alami. Juga tentang sebuah mobil sedan lain yang lebih dulu menghantam mobil box milik Pak Ahmad dari arah berlawanan hingga dirinya kehilangan kendali akibat jalanan yang licin dan pedal rem yang bermasalah.
"Nggak ada yang tahu menahu tentang mobil sedan itu di TKP, semua kesalahan merujuk pada Pak Ahmad sebagai pengendara mobil box itu, Kha! Udah deh, kamu nggak usah ngada-ngada! Nggak usah buat masalah ini jadi tambah runyam!" bantah Wisnu setengah kesal. Dia benar-benar tak menyangka jika kenyataannya justru adik iparnya sendirilah yang seharusnya menjadi tersangka dalam hal ini.
"Tapi saya tidak mungkin diam saja, Pak Ahmad sama sekali tidak bersalah dalam hal ini, Mas..."
"Ssssttt... Jangan keras-keras bicaranya! Polisi masih ada diluar!" Wisnu buru-buru mengunci mulut Rakha dengan tangannya membuat Rakha bungkam seketika.
Wisnu menarik kembali tangannya dari wajah Rakha. Dihempasnya kuat-kuat seluruh karbondioksida yang tiba-tiba membuat dadanya sesak melalui mulut. Dia berdiri dengan berkacak pinggang di sisi brankar Rakha.
"Sekarang gini aja deh, Kha, demi Mas, demi Mbakmu, ada baiknya kita merahasiakan hal ini," suara Wisnu kali ini terdengar melemah seiring dengan keputusasaan yang menyergap dirinya tanpa ampun. Masalah dalam hidupnya sudah cukup berat, tak sampai hati jika dirinya kini harus melihat sang adik ipar terlibat urusan hukum. Sebab Wisnu tahu betul perangai Rakha, dia itu laki-laki sholeh dan baik. Rakha bukan pecundang yang akan diam saja ketika melihat hal-hal buruk terjadi di sekitarnya. Rakha adalah seorang lelaki sejati dalam pandangan kacamata seorang Wisnu. Sebab itulah, Wisnu perlu bicarakan masalah ini secara baik-baik dengan Rakha agar dia mengerti dan tidak melakukan hal bodoh yang bisa merugikan dirinya sendiri.
"Polisi sudah menutup kasus ini karena dianggap tersangka atas kasus ini sudah tiada, yaitu Pak Ahmad. Polisi mengatakan seandainya pun pihak keluarga korban menuntut ganti rugi, silahkan langsung datangi pihak keluarga Pak Ahmad. Mas sudah bilang kalau Mas tidak akan menuntut apa-apa sebab Mas tahu keluarga Pak Ahmad berasal dari keluarga tidak mampu seperti kita. Tapi Mas tidak tahu bagaimana dengan keluarga Rania, yang Mas tahu, Rania berasal dari kekuarga terpandang di Jakarta. Ayahnya pemilik perusahaan Dirgantara, seandainya mereka sampai tahu kalau tersangka yang sudah menabrak anaknya masih hidup, pasti mereka akan mengusut tuntas kasus ini karena mereka berkuasa. Kamu mau dijebloskan ke dalam penjara sama mereka? Kalau hal itu sampai terjadi, bagaimana nasib Mbakmu? Sementara Mas di sini hanya bisa mengandalkanmu untuk membantu Mas membiayai pengobatan Siti. Tolong Rakha, Allah juga maha tahu, Runi masih butuh sosok ibunya..."
Hati Rakha terenyuh mendengar kalimat terakhir yang di ucapkan Wisnu. Bahkan dia pun tak sanggup menahan air matanya saat dilihatnya kini Wisnu menangis di hadapannya. Rakha tidak menyalahkan keputusan Wisnu, namun sisi lain dihatinya merasa tidak terima jika dia harus menyembunyikan kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.
Dan lagi, mengenai pemilik sedan hitam itu, alangkah berdosanya dia telah lari dari tanggung jawab akan kesalahan yang dia perbuat, bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain. Meski dia tak bermaksud melakukan hal itu dengan sengaja, setidaknya dia harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami para korban.
"Baiklah, Mas. Rakha akan menuruti apa kata, Mas..." ucap Rakha pada akhirnya. Dia tak punya pilihan lain.
"Kalau begitu, jika nanti polisi sampai datang menemuimu, bilang saja kamu tidak tahu menahu masalah mobil box milik Pak Ahmad, yang kamu tahu, mobil itu tiba-tiba menabrakmu saat kamu sedang menunggu angkutan umum di halte, mengerti Rakha?"
Rakha mengangguk pasrah.
"Kalau begitu, Mas keluar sebentar untuk mengurus administrasimu,"
"Mas," panggil Rakha lagi.
"Apalagi?"
"Bagaimana kondisi Rania sekarang?" tanya Rakha dengan segala pikirannya yang berkecamuk. Dia sadar betul, seandainya dia tidak membanting setir ke arah halte, ada kemungkinan wanita bernama Rania itu tak akan menjadi korban malam tadi. Ini jelas murni kesalahannya.
"Rania masih koma, tapi masa kritisnya sudah lewat, dia masih di ruang ICU," jawab Wisnu sebelum benar-benar berlalu dari ruang UGD.
Ya Allah... Selamatkan Rania...
Jangan buat perasaan bersalah hamba semakin menjadi-jadi seandainya hal terburuk sampai menimpa Rania...
Hamba mohon...
Bisik Rakha membatin.
Sepertinya, dia harus memastikan kondisi Rania sendiri.
Supaya hatinya bisa lebih tenang.
******
Rakha masih berdiri mematung di depan pintu ruangan ICU dimana di sana tampak sesosok tubuh lemah seorang perempuan bernama Rania tengah terbaring.
Tubuhnya di penuhi oleh selang infus dan alat bantu pernapasan.
Karena saat itu posisi Rakha memang terlampau jauh ditambah terhalang oleh kaca pembatas ruangan, jadilah wajah perempuan itu tak mampu dia tangkap dengan sempurna. Tapi meskipun begitu, Rakha tetap berharap keajaiban itu terjadi. Dimana Rania bisa melewati masa-masa kritis dan sembuh total seperti sedia kala.
Beberapa orang yang tiba-tiba datang dari arah koridor kanan tempat Rakha berdiri menyita perhatian Rakha. Dia langsung merangsek pergi dari depan pintu ruangan ICU Rania karena dia berpikir kalau segerombol orang itu adalah keluarga Rania. Rakha duduk di sebuah bangku tunggu tak jauh dari sana. Hanya sekedar memastikan apa benar mereka adalah keluarga Rania.
Dari penampilannya mereka terlihat seperti orang-orang berpendidikan dan yang pasti mereka terlihat layaknya orang-orang kaya kebanyakan.
Dan benar saja dugaan Rakha bahwa mereka adalah anggota keluarga Rania karena saat pintu ruangan ICU terbuka, seorang laki-laki tertua di sana langsung memberondong sang dokter dengan berbagai pertanyaan.
"Untuk saat ini Rania belum bisa dijenguk karena kondisinya belum stabil pasca operasi tadi, tapi masa kritisnya sudah lewat. Dan ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan pada Bapak dan Ibu mengenai Rania," jelas sang Dokter saat itu. Rakha sengaja melebarkan telinga untuk mengetahui kondisi Rania lebih lanjut.
Kalimat Dokter itu terhenti saat tiba-tiba seorang lelaki lain berhambur ke arah mereka. Wajahnya tampak pucat pasi. Bahkan matanya sedikit berair. Keadaannya tampak kacau.
Kedua mata Rakha terbelalak saat dilihatnya sosok laki-laki itu.
"Om, Tante, bagaimana kondisi Rania? Maafin Nando, Om, Tante, karena tadi malam Nando nggak mengantar Rania pulang..." ucap suara lelaki itu dengan nada parau. Wajahnya tampak sangat ketakutan.
"Masa kritis Rania sudah lewat Nando, sudah tak apa-apa. Tidak usah menyalahkan dirimu. Ini musibah," sahut seorang lelaki yang dipanggil Om oleh Nando. Rakha menebak kalau lelaki itu pasti Ayah Rania. "Oh ya, Dok, apa yang tadi ingin Dokter katakan," lanjut si lelaki paruh baya itu yang kembali mengalihkan perhatiannya pada sang dokter.
"Jadi, begini Pak, Bu, dari hasil pemeriksaan yang sudah kami lakukan terhadap Rania, kami mengetahui bahwa saat ini, Rania sedang mengandung, usia kandungannya sudah memasuki dua bulan,"
Deg!
Bukan hanya keluarga Rania yang terkejut, tapi Rakha lebih terkejut lagi.
Ya Allah, jadi... Jadi...
Rania itu adalah perempuan yang sama dengan yang aku lihat sebelumnya di rumah sakit semalam?
Pikir Rakha membatin.
Dan keterkejutan Rakha belum selesai sampai di situ karena adegan drama yang terjadi di depan ruangan ICU saat itu masih terus berlanjut bahkan terlihat semakin menegangkan.
Sebuah pukulan keras mendarat mengenai rahang Nando dari seorang lelaki lain yang sepertinya memiliki umur tak jauh dengan Rakha. Laki-laki itu terlihat sangat marah.
"Brengsek! Jadi lo udah hamilin adik gue?" sentaknya pada Nando yang sudah tersungkur di lantai rumah sakit.
"Dev! Sudah Dev! Tahan emosi kamu, ini rumah sakit!" teriak wanita paruh baya lain sembari menangis terisak. Dia menahan tangan putranya yang hendak melayangkan sebuah pukulan lagi pada Nando.
"Sumpah! Sumpah demi Tuhan, Kak! Nando nggak tahu apapun mengenai kehamilan Rania! Bukan Nando yang udah hamilin Rania, Nando bener nggak tahu apa-apa," teriak Nando membela diri. Dia menyembunyikan wajahnya dengan siku, takut-takut terkena pukulan secara tiba-tiba lagi.
Rakha langsung berdiri dari duduknya, ke dua tangannya terkepal keras di sisi tubuhnya. Laki-laki bernama Nando itu benar-benar brengsek! Bagaimana bisa dia berbohong padahal dia pelakunya. Bahkan sampai membawa nama Tuhan untuk menutupi kebohongannya! Sungguh keterlaluan. Besar sekali keinginan Rakha untuk memberitahu kebenaran itu, tapi sekelebat bayangan Mba Siti dan Mas Wisnu juga keponakannya Runi seolah membuat langkah kaki Rakha memberat dan kaku.
Rakha sadar, dirinya bukan siapa-siapa.
"Tahan emosi kamu, Dev! Kita tidak bisa melimpahkan kesalahan begitu saja pada Nando, sebelum mendengar penjelasan dari Rania sendiri," ucap laki-laki paruh baya tadi.
"Tapi sejak awal kita tahu kalau Rania selama ini cuma menjalin hubungan serius sama dia Pah! Sejak awal Dev kan udah bilang, laki-laki ini brengsek! Dia nggak pantes buat Rania! Kenapa sih nggak ada yang mau dengerin Dev?"
"Kita tunggu sampai Rania sadar, jangan main hakim sendiri,"
"Kalau sampai hal itu terbukti, abis lo sama gue!" ancam laki-laki bernama Dev itu pada sosok Nando yang baru saja bangkit dari lantai.
"Rania itu punya banyak temen lelaki, Kak! Nando nggak terima diperlakukan seperti ini!" sentak Nando yang tiba-tiba melawan.
"APA MAKSUD LO NGOMONG KAYAK GITU?" emosi Dev kembali meluap.
"Bisa ajakan Rania hamil sama laki-laki lain,"
"BRENGSEK!"
"DEV! UDAH!"
Saat itu, Rakha masih di sana.
Masih terus menyaksikan betapa dirinya lemah untuk sekedar mengungkap kebenaran yang dia ketahui.
Tapi sungguh, hal ini benar-benar diluar kuasanya.
Ya Allah, ampuni hambamu yang lemah ini...
Rakha hanya berharap, semoga Rania cepat sadar. Agar kebenaran segera terbongkar.
Sebuah panggilan dari ponselnya mengalihkan perhatian Rakha sejenak dari keributan di depan ruang ICU itu.
Dia mendapati nomor baru tertera di layar ponselnya saat itu.
Tanpa pikir panjang, Rakha pun mengangkatnya.
"Assalamualaikum, ini siapa ya?" tanya Rakha sopan.
"Hallo, selamat pagi. Kami dari perusahaan Dirgantara Grup. Apa benar kami sedang bicara dengan pemilik akun email Rakha_AlFarizi@g***l.com yang malam tadi sudah mengisi kuisioner yang diadakan perusahaan kami?"
"Ya, benar, saya pemilik akun email itu,"
"Kalau begitu, selamat ya Pak, anda terpilih sebagai salah satu calon peserta interview di perusahaan kami untuk menempati posisi jabatan sebagai staff HRD di perusahaan Dirgantara Grup. Karena hasil pengisian kuisioner anda semuanya benar dan tepat. Anda kami undang untuk melakukan interview lusa nanti. Silahkan datang pukul delapan pagi dengan membawa serta CV lengkap dan data diri anda. Untuk keterangan lebih lanjut, nanti akan di jelaskan sebelum interview dimulai, demikian infomasi dari kami, apa ada yang ingin di tanyakan?"
"Oh, tidak ada Mba. Terima kasih atas informasinya. Sudah cukup jelas,"
"Kalau begitu, kami nantikan kehadiran anda lusa nanti di kantor kami, selamat pagi,"
Tut! Tut! Tut!
Sambungan telepon itu pun terputus.
Dengan pikiran Rakha yang masih terpecah belah.
"Pak le, nanti pulang kerja belikan Runi mainan ya? Kemarin di telepon sebelum berangkat ke Jakarta, Pak Le bilang mau bawakan Runi mainan dari kampung, mana nggak adakan mainannya? Pak le lupa ya?" celoteh Runi yang menghadang langkah Rakha saat lelaki itu hendak keluar untuk memakai sepatu.Rakha sudah rapi dengan setelan formalnya. Kemeja putih dan celana bahan hitam. Pagi ini dia hendak mendatangi perusahaan Dirgantara Grup yang mengundangnya untuk interview.Rakha tersenyum kecil seraya mengangkat tubuh kurus Runi ke atas pangkuannya. "Maaf ya, Pak Le lupa. InsyaAllah hari ini sepulang bekerja nanti Pak Le akan mampir belikan Runi mainan, Runi mau dibelikan mainan apa?" tanya Rakha sambil membereskan poni sang keponakan yang berantakan."Boneka Barbie, Pak Le,""Oke deh, boneka barbie siap meluncur ke tangan Runi hari ini,""Asiik, makasih ya Pak Le. Runi doakan semoga hari ini apapun
Usai menunaikan shalat maghrib di sebuah masjid, Rakha mampir di warung rokok untuk membeli segelas air mineral.Sisa uang di sakunya tinggal seribu perak dan dia hanya bisa membeli air mineral untuk penghilang dahaga kala berbuka puasa.Tak perduli seberapa parah cacing-cacing di perutnya kini meronta dan berdemo, satu hal yang terlintas di dalam benaknya saat ini hanyalah bagaimana kondisi Rania.Dengan langkah tertatih Rakha menempuh perjalanan dari perusahaan Dirgantara menuju rumah sakit tempat dimana Rania di rawat.Sesekali dia duduk di tepi trotoar ketika merasakan kram melanda kakinya.Hampir satu jam lebih Rakha berjalan kaki menuju rumah sakit. Hingga akhirnya dia pun sampai di tempat tujuan.Tak mendapati keberadaa
Ini hari weekend.Seluruh perkantoran tutup termasuk perusahaan Dirgantara Grup.Rakha baru saja mengirim pesan singkat pada Devano bahwa dirinya hendak berkunjung ke kediaman utama keluarga Dirgantara, setelah Devano yang mengundangnya, sebab sejak satu minggu belakangan Rakha bekerja di perusahaan milik keluarga Dirgantara, hubungannya dengan Devano kian akrab satu sama lain.Devano kerap menyambangi Rakha ke kubikel kerjanya untuk mengajak makan siang lalu dia bertanya tentang bagaimana keadaan di Bantul saat ini. Dari apa yang telah dibicarakannya bersama Devano mengenai kampung halaman mereka, Rakha bisa menangkap adanya kerinduan akan suasana kampung halaman dari sisi lain dalam diri Devano. Bisa saja, lelaki itu merasa bosan dengan aktifitasnya di Jakarta yang monoton dan menginginkan suasana kehidupan baru atau sekedar
"Bagaimana Dev? Apa informasi yang kamu peroleh mengenai seluk beluk keluarga Rakha?" tanya Bastian setelah satu hari berlalu pasca kejadian di hari lamaran itu.Pihak keluarga memang merasa sangat tidak enak hati atas perlakuan Rania terhadap keluarga Rakha pun Rakha sendiri. Tapi, mereka juga tidak ingin terburu-buru menyimpulkan keputusan tentang sosok Rakha. Mereka perlu bukti lebih lanjut yang bisa membuat mereka benar-benar percaya bahwa Rakha memang berasal dari keluarga baik-baik.Dan fakta menbuktikan semua kebenaran itu setelah Devano mengirim orang kepercayaannya untuk menggali informasi lebih lanjut mengenai asal usul keluarga Rakha pun Rakha sendiri."Ternyata ayah Rakha itu adalah seorang Ustadz yang cukup terpandang di daerah Bantul, Pah- Mah. Mereka memiliki sebuah panti asuhan kecil di kampung. Sejauh ini dari
Sudah satu minggu berlalu sejak Rania menolak lamaran Rakha secara mentah-mentah. Meski sejak hari itu, Rakha tak patah semangat untuk terus mengetahui keadaan Rania, baik dari mulut Devano, maupun menyambanginya langsung ke kediaman utama keluarga Dirgantara.Kebetulan rumah mewah itu letaknya bersebelahan dengan sebuah lapangan sepak bola yang sangat luas.Dan letak kamar Rania berhadapan tepat dengan lapangan tersebut. Jadilah, lapangan itu salah satu tempat favorit Rakha untuk dia sambangi tiap kali ada kesempatan. Sebab hanya dari lapangan itu Rakha bisa melihat sesosok tubuh kurus seorang wanita yang kerap menghabiskan waktunya dengan duduk termangu di tepi jendela sambil terus menatap pada satu arah.Dialah Rania.Meski jarak mereka sangat jauh, setidaknya Rakha hanya ingin memastikan bahwa Rania dalam keadaan baik-baik saja. Sebab hal itu dirasanya sudah lebih dari cukup.Seperti b
Senja di Jakarta memang jauh berbeda dengan Senja di tepi pantai parang tritis.Apalagi suasana malamnya.Jakarta yang terkenal sebagai kota yang tak pernah tidur membuka peluang bagi banyak kalangan untuk mencari sepeser uang. Baik itu di waktu pagi, siang, sore, bahkan hingga malam kembali berganti menjadi pagi.Seolah tak mengenal lelah. Hiruk pikuknya terus bergulir penuh keambisian. Tak lekang oleh waktu.Malam ini, Rakha berencana untuk kembali menyambangi kediaman Dirgantara karena dirinya di undang makan malam bersama oleh calon Ibu dan Bapak mertuanya.Sayangnya, Rakha lupa bahwa kini dirinya bukan lagi hidup di daerah pedesaan dimana jalanannya lengang tanpa polusi dan kemacetan. Kini dirinya berada di Jakarta. Kota dengan tingkat kemacetan tertinggi seantero Indonesia.Untungnya kali ini Rakha memilih untuk naik Ojol ketimbang harus nai
Akhirnya, hari pernikahan pun tiba.Kumandang akad yang baru saja diteriakkan Rakha di dalam kantor KUA Jakarta, disambut antusias dan tangis haru oleh seluruh keluarga yang hadir, baik itu dari pihak keluarga pengantin perempuan maupun pihak keluarga pengantin laki-laki.Kalimat kabul itu berhasil dilafalkan dalam satu kali tarikan napas yang diikuti oleh kata 'Sah' dari para saksi.Hari ini, Rakha telah membuat keputusan besar dalam hidupnya. Bukan hanya dihadapan makhluk, melainkan dihadapan Allah SWT.Sebuah ikrar janji suci yang akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Semoga saja ini bukan keputusan yang salah. Rakha berharap ridha Allah senantiasa mengiringi setiap langkah dan usahanya dalam menata biduk rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warrahmah, bersama Rania.Wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya.
Bisik-bisik tetangga terus saja terdengar di sepanjang Rakha berjalan menuju ruangan kerjanya, yaitu bagian Divisi Perencanaan.Semua pasang mata melirik dengan lirikan aneh yang sama sekali tidak Rakha mengerti. Bukan hanya dari kaum hawa, namun mereka para lelaki pun menatap dengan tatapan yang sama ke arah Rakha. Yakni, tatapan mencemooh dan menyelidik. Seolah Rakha adalah seorang tersangka atas kasus berat yang hendak dihakimi.Di pintu masuk menuju ruang kerjanya, Rakha berpapasan dengan Pak Rizwan, manager utama di kantor ini.Dan menjadi sebuah hal yang wajar jika Rakha menyapanya dengan sopan di sertai senyuman super ramah, meski apa yang dia dapat setelahnya justru berbanding terbalik dengan apa yang dia berikan.Dengan tatapan nyalang, Pak Rizwan membalas senyuman Rakha. Bahk