Ini hari weekend.
Seluruh perkantoran tutup termasuk perusahaan Dirgantara Grup.
Rakha baru saja mengirim pesan singkat pada Devano bahwa dirinya hendak berkunjung ke kediaman utama keluarga Dirgantara, setelah Devano yang mengundangnya, sebab sejak satu minggu belakangan Rakha bekerja di perusahaan milik keluarga Dirgantara, hubungannya dengan Devano kian akrab satu sama lain.
Devano kerap menyambangi Rakha ke kubikel kerjanya untuk mengajak makan siang lalu dia bertanya tentang bagaimana keadaan di Bantul saat ini. Dari apa yang telah dibicarakannya bersama Devano mengenai kampung halaman mereka, Rakha bisa menangkap adanya kerinduan akan suasana kampung halaman dari sisi lain dalam diri Devano. Bisa saja, lelaki itu merasa bosan dengan aktifitasnya di Jakarta yang monoton dan menginginkan suasana kehidupan baru atau sekedar refreshing penghilang penat.
Bukan hanya sekedar bercakap mengenai kampung halaman, Devano juga sempat bercerita mengenai silsilah keluarga Dirgantara, dimana ternyata, sosok Bastian Dirgantara bukanlah Ayah kandung dari Rania dan Delisha yang kini menjadi adik Devano. Mereka adalah anak tiri Bastian. Anak dari hasil pernikahan Raline dengan seorang laki-laki bernama Keanu yang meninggal sejak Devano berusia sepuluh tahun.
Dari situlah Rakha tahu, pantas saja ras bule dari Bastian tidak turun kepada Rania maupun Delisha tapi hanya kepada Devano.
Karena mereka bertiga ternyata saudara satu Ibu beda Ayah.
Dan sesungguhnya keturunan darah asli Dirgantara hanyalah Devano seorang.
Rakha masih mematut dirinya di depan cermin. Semalaman dia tidak bisa tidur karena terus memikirkan akan datangnya hari ini.
Seserahan telah dipersiapkan dengan begitu matang oleh Umi. Keluarganya yang sejak kemarin sudah sampai di Jakarta.
Umi, Abi, dan ke dua adik perempuan Rakha, Aminah dan Latifah.
Mereka yang sudah rapi dengan setelan kebesaran mereka. Pakaian yang hanya mereka pakai di hari-hari besar seperti idul fitri atau idul adha dan hari-hari penting seperti ini. Maklum, karena minimnya budget, Umi memang tak pernah memanjakan anak-anaknya untuk menghamburkan uang dalam membeli pakaian-pakaian bagus.
Nabi Muhammad saja, hanya memiliki dua setel pakaian seumur hidupnya. Itulah yang selalu Umi tanam dalam setiap pikiran anak-anaknya jika sampai ada salah satu dari anaknya yang ngambek karena meminta dibelikan pakaian baru.
"Wuidih, gantengnya Masku, udah kayak Artis," goda Latifah si bungsu. Dia memang paling suka meledek Rakha.
Rakha terkekeh sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Kemeja biru tua yang melekat di tubuhnya saat ini adalah pakaian turun temurun dari Abi. Salah satu pakaian yang paling Rakha sukai. Untuk itulah, dia sengaja memakainya hari ini. Di hari penting ini.
"Padahal kemarin itu Ifah baru aja mau telepon Mas, kasih tau, kalau Mbak Zulfa udah selesai pendidikan di Malaysia, sekarang dia ngajar di pesantren tempat Mas ngajar dulu, di kampung kita, dia sempet nanyain Mas loh, iyakan Umi?" beritahu Latifah dengan gayanya yang cengengesan.
"Terrruuuss, apa hubungannya sama Mas?" tanya Rakha balik sembari mencubit gemas ke dua pipi adik bungsunya yang chubi.
"Omongan Ifah tidak usah di dengar Rakha, Zulfa kemarin memang sempat mampir ke rumah, tapi dia cuma berniat untuk silaturahmi dan bertanya tentang keadaan Mbakmu, ya Umi jelaskan saja apa adanya. Makanya ujung-ujungnya jadi membicarakanmu, mengenai alasan kenapa sekarang kamu ada di Jakarta,"
Rakha hanya mengangguk masam. Sosok Zulfa memang sempat menjadi bagian dalam hidup Rakha semasa dirinya masih menempuh pendidikan SMA di pesantren. Zulfa adalah adik kelasnya yang menjadi salah satu muridnya dalam pelajaran menghafal Al-Quran di pesantren. Kedekatan Zulfa dan Rakha dahulu sempat menjadi bulan-bulanan murid-murid Rakha yang lain pun beberapa guru pesantren Rakha. Meski hal itu hanya mereka tanggapi sebatas candaan.
Tak berbeda jauh dengan dirinya, Zulfa memiliki otak yang cerdas, akhlak baik dan dia, sangat cantik. Namun, meski pun begitu sejujurnya, dari dalam lubuk hatinya yang terdalam, Rakha hanya menganggap Zulfa seperti adik perempuannya. Tidak lebih.
"Sudah siap semua? Kita berangkat sekarang bisa?" teriak sebuah suara lain dari arah luar, dia Abi.
Abi yang sejak tadi asik mengobrol dengan Wisnu sang menantu.
Berbondong-bondong, keluarga muslim itu keluar dari kediaman Wisnu menuju tepian jalan raya. Wisnu sengaja mencharter mobil pribadi milik sahabatnya untuk keperluan penting keluarganya hari ini.
"Asik kita jalan-jalan pake mobil bagus," celoteh Runi dengan begitu semangat. Dia masuk lebih dulu ke dalam mobil itu sambil berjingkrak girang.
"Runi duduk di depan saja sama Pak Le, Pak Le pangku, di belakangkan ada Mbah Uti sama Mbah kakung, terus Bu Le Aminah sama Bu Le Ifah, ayo pindah sayang, nanti nggak muat mobilnya" ajak Rakha pada Runi. "Nanti Pak Le kasih tahu ke Runi gedung tinggi tempat Pak Le bekerja," bujuknya lagi saat itu, membuat Runi pun akhirnya menurut.
Dengan Wisnu sebagai supir, mobil pribadi omprengan itupun beranjak dari depan gang di daerah Mampang prapatan menuju kawasan di pusat Jakarta. Lokasi dimana sebuah istana besar nan megah milik keluarga Dirgantara berdiri kokoh.
Diiringi dengan kata Basmalah, mereka pun hendak memulai apa yang telah menjadi niat mereka sejak awal.
Yakni, melamar Rania.
Semoga Allah melancarkan segala sesuatunya...
Aaamiinn.
*****
Seperti biasa di hari weekend, jika Devano sedang menginap di kediaman orang tuanya, pasti dia selalu menghabiskan waktu untuk jogging di pagi hari bersama Bastian.
Sembari menunggu para wanitanya memasak untuk sarapan.
Karena pekarangan kediaman utama keluarga Dirgantara yang cukup luas mereka bisa puas hanya dengan jogging berkeliling di sekitar halaman rumah mereka.
Menikmati beberapa tanaman hias yang belum lama di beli oleh Bastian untuk mempercantik pekarangan rumahnya. Pun beberapa tanaman buah dan sayur yang menjadi kebanggaan Raline sang istri.
Buah anggurnya sudah terlihat hampir matang. Hal itu membuat Devano tak sabar untuk memetiknya.
"Jangan di petik dulu, itu belum matang Dev, nanti kamu kena omel Mamahmu baru tahu rasa, dia itu paling marah kalau tanaman dikebunnya di usik sama orang lain, termasuk Papah," celoteh Bastian sambil tersenyum.
"Cuma satu biji Pah," tandas Dev sambil memakan buah itu. Manis.
"Tapi Mamahmu bilang, kalau buahnya belum matang udah dipetik nanti pohonnya ngambek terus dia nggak mau berbuah lagi, begitu,"
"Hahaha... Si Mamah ada-ada aja," Dev tertawa nyaring. Sebuah pesan masuk di ponselnya membuat langkah Dev terhenti.
Bastian pun ikutan menghentikan joggingnya sejenak dan menggantinya dengan gerakan-gerakan pemanasan.
"Rakha jadi mau ke sini, Pah," beritahu Dev pada sang Papah.
"Rakha si karyawan baru itu," tanya Bastian.
"Iya, Devano yang emang sengaja nyuruh dia mampir. Orangnya asik Pah di ajak ngobrol. Tutur bahasanya sopan banget. Nggak aneh sih, lulusan Al-Azhar di Kairo, nilainya juga Cumlaude lagi, padahal dia cuma anak nelayan di Bantul,"
"Oh ya? Keren banget dong, kenapa nggak jadi ustadz aja?"
"Udah sewaktu di kampung, cuma pendapatannyakan nggak tetap dan hasilnya juga kecil, sementara dia punya Kakak di Jakarta yang sekarang koma karena penyakit kanker, makanya dia harus mencari uang lebih untuk bantu meringankan beban kakak iparnya. Kerjanya rajin. Dia nggak akan pulang sebelum tugas kantor yang di kasih ke dia selesai hari ini juga, walau pun deadlinenya masih beberapa hari lagi, dia tetap kekeuh untuk menyelesaikannya hari itu juga. Makanya dia selalu pulang paling telat di kantor. Salut sih sama kerja kerasnya dia. Kayaknya, anaknya bertanggung jawab banget,"
Bastian hanya manggut-manggut kepala mendengar cerita putranya tentang Rakha. Sudah bisa dipastikan laki-laki macam Rakha perbandingannya 1 : 1000 di muka bumi. Sulit di cari.
Masih berbicara seputar kantor dan Rakha, Ayah dan Anak itu kembali melanjutkan jogging mereka.
Sesampainya di halaman utama, tatapan mereka beralih pada sebuah mobil pribadi usang yang baru saja memasuki pintu gerbang kediaman mereka hingga akhirnya berhenti di pelataran parkir depan teras utama.
Saat melihat sosok Rakha turun dari mobil itu, Dev pun langsung mengisyaratkan pada sang Papah untuk mendekat dan memberitahukan bahwa itu loh yang namanya Rakha.
Meski setelahnya, baik Dev maupun Bastian justru dibuat terheran-heran oleh kehadiran beberapa sosok lain yang sama sekali tidak mereka kenal.
Dalam setiap genggaman tangan mereka membawa bingkisan, seperti orang yang berniat melakukan seserahan pernikahan atau lamaran.
Bastian menyikut siku putranya diikuti dengan ke dua bahu Devano yang terangkat. Tanda bahwa dirinya pun tidak mengerti dengan maksud kedatangan Rakha yang bergerombol seperti ini. Padahal Dev mengundang Rakha ke kediamannya hanya untuk sekedar mengobrol dan minum teh. Itu saja.
"Assalamualaikum," ucap Abi sebagai orang paling tua yang pastinya akan menjadi pemimpin dalam acara lamaran sang anak.
"Waalaikumsalam," jawab Dev dan Bastian bersamaan masih dengan kebingungan di sorot wajah mereka.
Abi menoleh ke arah Rakha yang langsung mengambil posisi berdiri di sisi sang Abi.
"Maaf, jika kedatangan kami mungkin mengganggu, tapi, insyaAllah kedatangan kami ke sini di pagi hari ini karena kami memiliki niatan baik yang ingin kami sampaikan kepada keluarga Bapak," tambah Abi lagi menjelaskan.
"Kenalkan Pak Dev, mereka semua ini keluarga saya," kali ini Rakha yang bersuara.
"Oh ya? Yasudah, silahkan masuk kalau begitu, mari Pak, Bu, silahkan masuk semuanya..." ucap Devano diikuti Bastian.
Rombongan orang itu pun masuk ke dalam rumah itu dengan ekspresi kagum yang tak mampu mereka sembunyikan. Terlebih lagi Runi.
"Wah... Rumahnya gede banget ya Buk Le, udah kaya istana di negeri dongeng," Si kecil Runi langsung mengoceh dengan penuh kejujuran dan ketakjuban dengan apa yang kini dilihatnya.
Latifah yang saat itu menuntun Runi sontak langsung membekap mulut keponakannya itu. Ish, malu-maluin aja nih Runi! Keluh gadis berhijab ungu itu membatin.
"Silahkan duduk,"
"Sebentar, saya panggil istri saya dulu," ucap Bastian sambil berlalu ke arah dapur sementara ini biarkan Dev yang menemani tamu-tamu itu.
******
"Apa? Melamar?"
Itulah kiranya kalimat yang spontan keluar begitu saja dari mulut Bastian dan Raline secara bersamaan. Keduanya saling melempar pandang dengan ekspresi yang sulit di artikan. Belum lagi Devano dan Zia yang memperlihatkan keterkejutan dalam tatapan matanya. Kerutan di kening sepasang istri itu terlihat menjelas saking tidak percayanya saat mereka mendengar pengakuan Abi mengenai kedatangannya hari ini bersama putra dan keluarga besarnya.
"Iya, Om-Tante, tujuan kedatangan saya bersama keluarga saya hari ini, dikarenakan saya berniat untuk melamar Rania, anak Om dan Tante," ungkap Rakha menambahkan. Perasaannya saat ini jelas tak mampu dia ungkap dengan kata-kata. Semuanya bercampur menjadi satu. Cemas, resah, gelisah, takut, was-was dan malu.
Rakha sadar betul apa yang dilakukannya hari ini memang terkesan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dirinya yang sama sekali tak mengenal siapa itu Rania, siapa itu keluarga Dirgantara begitupun sebaliknya, kini justru tiba-tiba muncul dengan maksud ingin melamar anak gadis mereka.
Semua ini terasa begitu aneh.
Sangat aneh.
Bahkan.
Tapi bagaimanapun itu, apapun resikonya, Rakha tetap berusaha untuk berhusnudzon.
Selama niatnya memang baik, insyaAllah balasannya pun akan baik. Itulah yang menjadi pedoman Rakha saat ini.
Terdengar tawa sumbang nan hambar yang keluar dari mulut Bastian meski hanya sekilas sebelum akhirnya lelaki paruh baya itu berkata, "maaf sebelumnya, apa Om boleh mengajukan sebuah pertanyaan padamu Rakha?"
"Silahkan Om,"
"Sejak kapan kamu mengenal Rania?"
Rakha menarik dalam-dalam napasnya sebelum dia menjawab pertanyaan Bastian. "Untuk pertama kalinya saya bertemu Rania sesaat sebelum kejadian kecelakaan malam itu, Om,"
"Apa Rania juga mengenalmu?" kali ini Raline yang bertanya.
"Tidak, Tante. Rania sama sekali tidak mengenal saya," jawab Rakha apa adanya.
"Lantas, karena alasan apa sampai kamu memutuskan untuk melamar Rania? Apa sebelumnya kamu sudah tahu keadaan Rania saat ini?" tambah Bastian.
"Saya sudah tahu kondisi Rania saat ini Om. Saya tahu semuanya tentang Rania... Dan alasan saya melamar Rania saat ini, karena..."
Rakha menggantung kalimatnya. Membuat hati seluruh manusia di dalam ruangan itu ikutan berdebar.
"Saya jatuh cinta pada Rania saat pertama kalinya saya melihat Rania di halte itu. Dan perasaan saya sama sekali tidak berubah meski kini saya tahu kondisi Rania. Saya mencintai Rania, karena Allah..."
Bastian dan Raline kembali saling berpandangan. Hati mereka tergugah mendengar pengakuan Rakha. Sama halnya dengan yang dirasakan oleh Devano juga sang istri, Zia.
"So sweet banget nih cowok," bisik Zia pada sang suami yang disambut pelototan Devano.
Bastian berdehem satu kali. "Begini, Nak Rakha, sebagai orang tua, tentunya kami tidak bisa memutuskan hal ini tanpa campur tangan Rania langsung, bagaimana jika kami membawa Rania ke sini, supaya kita bisa sama-sama mendengar jawaban Rania,"
"Iya, benar. Saya juga berpikir itu akan lebih baik Pak," sambung Abi.
"Zia, tolong bawa Rania ke sini," perintah Raline pada menantunya.
"Baik, Mah,"
Detik waktu yang berlalu bagaikan detik dimana bom waktu seakan hendak meledak. Menjadikan detik-detik terlama bagi Rakha maupun keluarganya. Mereka semua menunggu dalam kecemasan.
Hingga akhirnya, sosok yang dinanti-nantikan itupun hadir ditengah-tengah mereka.
Zia membantu Rania menduduki sofa di sebelah Raline sebelum dia kembali duduk di sisi sang suami.
"Ada apaan sih Mah?" tanya Rania yang masih belum mengerti kenapa dirinya tiba-tiba di minta untuk keluar dari kamar.
Raline meraih tongkat di tangan Rania dan menaruhnya di sisi meja.
Rania duduk dengan penuh gusar. Hatinya merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini.
"Begini Rania, dihadapan kamu sekarang ada keluarga besar Rakha. Dia itu salah satu karyawan di kantor Masmu, kedatangan mereka saat ini bertujuan untuk melamar kamu,"
Jantung Rania seolah berhenti berdetak mendengar kata lamar yang diucapkan sang Mamah.
Hatinya mendadak kacau.
Belum surut kesakitannya akibat ulah Nando, kini Rania harus mendengar kembali kata-kata yang berhubungan dengan pernikahan. Rania muak mendengarnya. Benar-benar muak!
Rania masih berusaha bersikap wajar. Wajah cantiknya memulas senyum tipis disertai tawa kecil yang terdengar hambar. "Mamah pasti lagi bercanda," tebaknya saat itu. Mana mungkin orang yang tidak sama sekali dia kenal tiba-tiba saja datang untuk melamarnya. Aneh bukan?
"Mamahmu tidak sedang bercanda, Rania. Perkenalkan saya Rakha. Saya sungguh-sungguh dengan niat saya datang bersama keluarga saya kesini, karena ingin melamarmu," dengan segenap keberanian Rakha berusaha menjelaskan.
Ekspresi Rania yang tadinya santai, sontak berubah dalam hitungan detik. Pulasan senyumnya sirna tanpa bekas.
"Gila kali! Lo siapa tiba-tiba dateng buat ngelamar gue? Jelas-jelas gue nggak kenal sama lo! Rakha? Rakha siapa lagi? Udah ah, Rania mau ke kamar lagi,"
Rania hendak berdiri tapi niatnya itu langsung di tahan oleh Raline. Dengan desahan keras, Rania pun kembali duduk dengan membanting tubuhnya ke sofa.
"Niat mereka baik, Rania. Tolong jaga sikapmu," ucap Raline setengah berbisik.
"Ya ampun Mah! Jangan terlalu gampang percaya sama orang di jaman sekarang deh! Gimana kalau dia itu punya niat buruk di belakang dengan menjadikan Rania sebagai kambing hitam? Tadi Mamah bilang dia itu salah satu karyawannya Mas Devkan? Gimana kalau dia itu punya niat buat ngancurin perusahaan Papah atau mungkin bisa ajakan dia berniat mengambil alih perusahaan Papah, makanya dia beralasan mau menikahi Rania!" Rania berdiri dengan angkuh sambil menatap ke arah depan meski dia tak tahu apa dan bagaimana keadaan di sana saat ini.
"HEH! NGGAK USAH MIMPI LO BISA JADI SUAMI GUE! DAN NGGAK USAH BERUSAHA MENCARI SIMPATIK KELUARGA GUE! GUE NGGAK KENAL SAMA LO! DAN LO LIHATKAN KEADAAN GUE SEKARANG? MUSTAHIL ADA LAKI-LAKI YANG MAU MENERIMA GUE TANPA NIATAN LAIN DIBELAKANGNYA! JADI LEBIH BAIK SEKARANG, LO PULANG! DAN JANGAN PERNAH DATENG LAGI KESINI! OKE!"
Rania pergi setelahnya.
Meninggalkan torehan luka dalam hati masing-masing anggota keluarga Rakha.
Terlebih, bagi Rakha sendiri.
"Bagaimana Dev? Apa informasi yang kamu peroleh mengenai seluk beluk keluarga Rakha?" tanya Bastian setelah satu hari berlalu pasca kejadian di hari lamaran itu.Pihak keluarga memang merasa sangat tidak enak hati atas perlakuan Rania terhadap keluarga Rakha pun Rakha sendiri. Tapi, mereka juga tidak ingin terburu-buru menyimpulkan keputusan tentang sosok Rakha. Mereka perlu bukti lebih lanjut yang bisa membuat mereka benar-benar percaya bahwa Rakha memang berasal dari keluarga baik-baik.Dan fakta menbuktikan semua kebenaran itu setelah Devano mengirim orang kepercayaannya untuk menggali informasi lebih lanjut mengenai asal usul keluarga Rakha pun Rakha sendiri."Ternyata ayah Rakha itu adalah seorang Ustadz yang cukup terpandang di daerah Bantul, Pah- Mah. Mereka memiliki sebuah panti asuhan kecil di kampung. Sejauh ini dari
Sudah satu minggu berlalu sejak Rania menolak lamaran Rakha secara mentah-mentah. Meski sejak hari itu, Rakha tak patah semangat untuk terus mengetahui keadaan Rania, baik dari mulut Devano, maupun menyambanginya langsung ke kediaman utama keluarga Dirgantara.Kebetulan rumah mewah itu letaknya bersebelahan dengan sebuah lapangan sepak bola yang sangat luas.Dan letak kamar Rania berhadapan tepat dengan lapangan tersebut. Jadilah, lapangan itu salah satu tempat favorit Rakha untuk dia sambangi tiap kali ada kesempatan. Sebab hanya dari lapangan itu Rakha bisa melihat sesosok tubuh kurus seorang wanita yang kerap menghabiskan waktunya dengan duduk termangu di tepi jendela sambil terus menatap pada satu arah.Dialah Rania.Meski jarak mereka sangat jauh, setidaknya Rakha hanya ingin memastikan bahwa Rania dalam keadaan baik-baik saja. Sebab hal itu dirasanya sudah lebih dari cukup.Seperti b
Senja di Jakarta memang jauh berbeda dengan Senja di tepi pantai parang tritis.Apalagi suasana malamnya.Jakarta yang terkenal sebagai kota yang tak pernah tidur membuka peluang bagi banyak kalangan untuk mencari sepeser uang. Baik itu di waktu pagi, siang, sore, bahkan hingga malam kembali berganti menjadi pagi.Seolah tak mengenal lelah. Hiruk pikuknya terus bergulir penuh keambisian. Tak lekang oleh waktu.Malam ini, Rakha berencana untuk kembali menyambangi kediaman Dirgantara karena dirinya di undang makan malam bersama oleh calon Ibu dan Bapak mertuanya.Sayangnya, Rakha lupa bahwa kini dirinya bukan lagi hidup di daerah pedesaan dimana jalanannya lengang tanpa polusi dan kemacetan. Kini dirinya berada di Jakarta. Kota dengan tingkat kemacetan tertinggi seantero Indonesia.Untungnya kali ini Rakha memilih untuk naik Ojol ketimbang harus nai
Akhirnya, hari pernikahan pun tiba.Kumandang akad yang baru saja diteriakkan Rakha di dalam kantor KUA Jakarta, disambut antusias dan tangis haru oleh seluruh keluarga yang hadir, baik itu dari pihak keluarga pengantin perempuan maupun pihak keluarga pengantin laki-laki.Kalimat kabul itu berhasil dilafalkan dalam satu kali tarikan napas yang diikuti oleh kata 'Sah' dari para saksi.Hari ini, Rakha telah membuat keputusan besar dalam hidupnya. Bukan hanya dihadapan makhluk, melainkan dihadapan Allah SWT.Sebuah ikrar janji suci yang akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Semoga saja ini bukan keputusan yang salah. Rakha berharap ridha Allah senantiasa mengiringi setiap langkah dan usahanya dalam menata biduk rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warrahmah, bersama Rania.Wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya.
Bisik-bisik tetangga terus saja terdengar di sepanjang Rakha berjalan menuju ruangan kerjanya, yaitu bagian Divisi Perencanaan.Semua pasang mata melirik dengan lirikan aneh yang sama sekali tidak Rakha mengerti. Bukan hanya dari kaum hawa, namun mereka para lelaki pun menatap dengan tatapan yang sama ke arah Rakha. Yakni, tatapan mencemooh dan menyelidik. Seolah Rakha adalah seorang tersangka atas kasus berat yang hendak dihakimi.Di pintu masuk menuju ruang kerjanya, Rakha berpapasan dengan Pak Rizwan, manager utama di kantor ini.Dan menjadi sebuah hal yang wajar jika Rakha menyapanya dengan sopan di sertai senyuman super ramah, meski apa yang dia dapat setelahnya justru berbanding terbalik dengan apa yang dia berikan.Dengan tatapan nyalang, Pak Rizwan membalas senyuman Rakha. Bahk
Hari ini Rakha pulang telat ke kediaman Dirgantara. Sore tadi sepulang dari kantor, Rakha di telepon oleh Wisnu yang memberitahunya bahwa keadaan Siti tiba-tiba kritis. Jadilah, Rakha langsung beranjak ke rumah sakit detik itu juga. Kondisi sang Kakak sama sekali tak menunjukkan kemajuan melainkan justru semakin memprihatinkan. Di sepanjang perjalanan menuju kediaman Dirgantara, Rakha terus menangis di metromini dengan tasbih yang tergenggam di tangannya. Lelehan air matanya seolah tak mau berhenti. Tangisan Runi di rumah sakit membuat batin Rakha ingin berteriak sekencang mungkin. Meneriakkan bahwa dirinya tak sanggup melihat sang keponakan menjadi seorang piatu jika sampai sesuatu hal buruk terjadi menimpa Siti. Takdir Allah memang sudah digariskan tak ada yang bisa
"Kamu sudah shalat isya, Rania?" tanya Rakha ketika Rania sudah selesai dengan acara kumpul-kumpul bersama kawan-kawan satu kampusnya. Baru juga gue masuk kamar, udah ditanyain begituan! Keluh Rania dalam hati. "Nggak usah mulai deh!" ucap Rania acuh. Dia masih berjalan dengan tongkatnya mencari keberadaan ranjang tempat tidurnya. "Ini udah hampir jam sebelas malam! Kamu darimana aja tadi? Kenapa nggak ijin dulu sama saya kalau kamu mau keluar sama temen-temen kamu? Kamu pikir saya ini apa? Patung?" ucap Rakha. Suaranya terdengar tegas. "Gue udah bilang Mamah kok tadi, ribet lo! Lagian juga gue cuma nongkrong di kafe doang sama mereka, nggak jauh-jauh juga," jawab Rania yang mulai kesal. Dia melepas sepatu ketsnya, lalu kaus kakinya dan hendak merebahkan diri
"Ihhh, kenapa juga harus pakai jilbab sih? Gerah tau!" keluh Rania saat dirinya diajak pergi oleh Rakha untuk mengantar kepulangan keluarga Rakha di stasiun gambir. Hari ini, Umi, Abi, Aminah dan Latifah hendak pulang ke Bantul setelah hampir dua minggu lebih mereka ada di Jakarta. Niatan untuk pulang terus tertahan, akibat keadaan Siti yang kritis kemarin. Kini, keadaan Siti sudah mulai stabil meski belum menunjukkan kemajuan apapun. Rakha baru saja membelikan tiket untuk keluarganya. Dia terdiam sesaat ketika dilihatnya isi uang di dalam dompetnya kini hanya tersisa selembar uang dua puluh ribu rupiah. Uang tabungan Rakha sudah habis terkuras. Terpakai untuk segala keperluan hidupnya selama dia tinggal di Jakarta pun untuk biaya pernikahannya dengan Rania. Belum lag