Usai menunaikan shalat maghrib di sebuah masjid, Rakha mampir di warung rokok untuk membeli segelas air mineral.
Sisa uang di sakunya tinggal seribu perak dan dia hanya bisa membeli air mineral untuk penghilang dahaga kala berbuka puasa.
Tak perduli seberapa parah cacing-cacing di perutnya kini meronta dan berdemo, satu hal yang terlintas di dalam benaknya saat ini hanyalah bagaimana kondisi Rania.
Dengan langkah tertatih Rakha menempuh perjalanan dari perusahaan Dirgantara menuju rumah sakit tempat dimana Rania di rawat.
Sesekali dia duduk di tepi trotoar ketika merasakan kram melanda kakinya.
Hampir satu jam lebih Rakha berjalan kaki menuju rumah sakit. Hingga akhirnya dia pun sampai di tempat tujuan.
Tak mendapati keberadaan Rania di ruangan ICU, Rakha bertanya pada salah satu suster di sana.
"Oh, pasien atas nama Rania? Dia sudah di pindah ke ruang rawat inap kelas VVIP, ruang mawar," beritahu sang suster.
Tak ingin membuang waktu, Rakha pun bergegas menuju ruang yang dimaksud sang Suster.
Ternyata ruangan itu tertutup rapat dan Rakha sama sekali tak dapat melihat bagaimana keadaan Rania dari luar sini. Dan akan menjadi sangat tidak mungkin jika Rakha tetap memaksakan diri untuk masuk. Atas dasar apa? Ada kepentingan apa? Dia sendiri bingung menjelaskan alasannya.
Perasaan kecewa tiba-tiba saja merasuk di dalam dirinya.
Rakha menoleh sekali lagi ke arah pintu sebelum akhirnya dia benar-benar melangkah lebih jauh meninggalkan ruangan inap Rania.
*****
"Ayo, Rania, makan dulu, kamukan harus minum obat," ucap seorang wanita berhijab yang kini duduk di tepi ranjang Rania dengan sesendok nasi dan lauk pauk yang dia sodorkan ke arah mulut Rania.
"Rania nggak laper mbak," tolak Rania hampir tak bersuara. Suaranya habis terkuras setelah seharian kemarin dia terus menangis, meraung-raung seperti orang gila, melemparkan apa saja yang bisa di jangkaunya di dalam ruangan rawat inapnya, hingga setelahnya dia merasa lelah, Rania hanya bisa larut dalam tangis dan isakan di atas ranjang tempat tidurnya. Dia benar-benar tak kuasa menerima cobaan yang diberikan kepadanya kali ini. Semua ini sangat berat untuk Rania. Rania tidak sanggup...
Menjadi sebuah pukulan telak saat Rania harus menerima kenyataan bahwa kini dirinya cacat. Dia buta. Dia tidak bisa melihat seperti dulu lagi. Dunianya mendadak gelap. Tanpa sedikit pun cahaya. Rania tak tahu bagaimana dia bisa melalui hari-harinya ke depan dalam keadaannya yang seperti sekarang, sementara Dokter mengatakan, kemungkinan besar Rania bisa sembuh hanya lima puluh persen. Itupun jika ada donor mata yang cocok untuknya. Tapi jika tidak, Dokter tak bisa melakukan lebih banyak.
Lantas, harus sampai kapan kini Rania bertahan dalam kondisinya, menunggu pendonor yang tak tahu dimana rimbanya?
Kenapa Tuhan menghukumnya dengan begitu kejam?
Kenapa?
Apa salahnya?
Rania terus tergugu dalam kekalutan. Menangis dalam diam. Dan terus menerus meneriakkan kekecewaannya. Kepedihannya. Ketakutannya dalam hati.
Dia duduk di atas ranjang sambil memeluk ke dua lutut. Hawa dingin yang menusuk kulit tak dia hiraukan. Air matanya terus meleleh dan tak mau berhenti.
Delisha, sang Kakak perempuannya hanya bisa menatap iba pada sosok Rania. Dia menaruh piring yang masih penuh ke atas nakas. Dan perlahan menjauh dari tepi ranjang. Disekanya air mata yang meleleh di sudut matanya.
Dia berjalan menuju sofa dimana ke dua orang tuanya berada di sana. Sang Ibu Raline yang tak henti menangis di pelukan Bastian, suaminya.
Mereka hanya terdiam dan saling bicara melalui tatapan. Cobaan ini memang berat. Sangat berat. Terlebih saat mereka tak juga mendapat kabar dari Nando. Laki-laki itu seolah menghilang bagai di telan bumi. Bahkan setelah berpuluh-puluh kali ke dua orang tua Rania menghubunginya untuk memberitahukan bahwa Rania sudah sadar.
Tak bisa di telepon, pagi tadi Bastian meluangkan waktunya untuk mendatangi Nando kekediaman orang tuanya di pondok indah. Sayangnya, satpam rumah Nando mengatakan kalau Nando sedang tak ada di rumah.
Entah apa yang terjadi pada anak itu? Bahkan sejak hari dimana Nando terlibat baku hantam dengan Devano yang merupakan anak sulung Bastian, sejak itupula Nando sama sekali tak menampakkan batang hidungnya di rumah sakit untuk sekedar melihat kondisi Rania.
Dan semua hal itu semakin membuat Bastian dan Raline di rundung cemas. Pasalnya, hari pernikahan mereka sudah sangat dekat. Undangan telah di sebar. Pakaian pengantin sudah di pesan. Semua halnya yang menyangkut resepsi pernikahan sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Sebagai orang tua, mereka jelas tak ingin hal itu kini hancur berantakan.
Bagaimana nasib Rania selanjutnya jika ketakutan mereka akan pembatalan pernikahan itu benar-benar terjadi? Bastian dan Raline tak akan sanggup menghadapinya.
Terlebih mengingat kondisi Rania yang tengah berbadan dua.
Semua menjadi semakin rumit untuk mereka lalui.
Sebuah pintu yang dibuka dari luar mengalihkan perhatian mereka.
Termasuk Rania.
Kepala wanita berumur 24 tahun itu menoleh cepat ke arah suara daun pintu yang berderit.
"Nando," ucapnya parau. "Mah- Pah, Mbak Del, itu Nando bukan?" teriak Rania lagi. Dia merentangkan ke dua tangannya ke depan, meraba apapun yang bisa dia jangkau untuk membantunya bergerak.
Raline langsung berhambur ke arah Rania untuk menjelaskan. "Bukan, Rania. Itu Rayyan, Kakak iparmu, bukan Nando," beritahu sang Ibu pada Rania. Tubuh Rania yang sudah setengah turun dari ranjang mendadak membeku. Dia menepis tangan Raline yang memegangi lengannya. Rania mengambil posisi tidur menyamping membelakangi semua orang di dalam ruangan itu. Dia kembali larut dalam tangis.
Semua orang di dalam ruangan itu saling berpandangan.
Rayyan, yang merupakan suami Delisha, terlihat membisiki Delisha sesuatu. Hingga akhirnya, Delisha dan Rayyan pun pamit untuk pulang.
"Rania, makan dulu ya sayang, Mamah suapi ya?" ucap Raline saat pintu ruangan itu telah di tutup oleh Delisha.
Raline mengelus puncak kepala Rania dengan penuh kelembutan.
"Nando... Nando kemana Mah?" gumam Rania di sela tangisnya. Bahunya sedikit terguncang.
Raline menoleh ke arah Bastian, bingung harus menjawab apa.
"Tadi pagi Papah ketemu sama Nando, berhubung pernikahan kalian sebentar lagi akan terlaksana, Nando sibuk mengurus semuanya. Ada beberapa hal yang ingin dia rubah, jadi untuk sementara ini dia belum bisa menjenguk kamu," jawab Bastian sekenanya. Meski alasan itu dirasanya sangat tidak masuk akal. Sebab, Bastian tahu betul, sesibuk apapun seorang lelaki, jika dia memang benar-benar sungguh mencintai seseorang, jangankan waktu, bahkan hidupnya sekalipun pasti akan dia berikan untuk wanita yang dia cintai.
"Beneran Pah? Papah lagi nggak bohongkan?" Rania membalik tubuhnya perlahan.
"Buat apa Papah bohong, makanya kamu makan yang banyak, supaya di hari pernikahan kamu nanti, kamu sudah sehat betul," tambah Bastian lagi.
"Iya deh, Rania mau makan,"
"Nah gitu dong..."
*****
Sudah lima hari berlalu pasca Rania sadar dari komanya. Itu tandanya, sudah satu minggu sejak kecelakaan itu terjadi.
Dan sampai saat ini, Rakha belum mendapat kesempatan sekalipun untuk mengetahui lebih jauh mengenai kemajuan kondisi kesehatan Rania.
Tak ada satu hari pun yang Rakha lewati tanpa mendatangi ruangan rawat Rania, hitung-hitung dia sekalian melihat kondisi Siti sang Kakak yang memang belum sama sekali menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Siti masih setia dalam komanya.
Rakha masih berdiri tepat di depan pintu ruang rawat Rania ketika tiba-tiba kenop pintu itu bergerak tanda ada seseorang yang hendak keluar. Rakha buru-buru pergi. Meski langkahnya dia biarkan lambat dan pendek.
Sebuah teriakan yang terdengar dari dalam ruangan jelas membuat Rakha di landa rasa penasaran akut.
Rakha merogoh ponsel di saku celananya dan berpura-pura menerima telepon dari seseorang. Dia duduk di salah satu bangku tunggu, tak jauh dari ruang rawat Rania. Padahal, dia hanya berniat untuk sekedar menguping pembicaraan beberapa orang yang terlihat keluar dari ruangan itu.
Mereka adalah ke dua orang tua Rania, seorang wanita paruh baya bergaya sosialita dengan rambut ikal panjang bersemir coklat. Dan satu lagi... Laki-laki brengsek bernama Nando.
Rakha bersyukur tidak ada Devano di sana. Sebab jika ada, pasti dirinya tidak mungkin leluasa berada di sini. Devano pasti akan mengenalinya.
"Rania sedang sakit, saya mohon Ibu mengerti kondisi anak saya," ucap Bastian dengan suara meninggi. Tampak kilatan amarah dalam tatapan matanya.
"Kalau kalian memang ingin saya mengerti kondisi Rania, itu artinya kalian juga harus mengerti kondisi Nando! Keputusan saya sudah bulat, kami segenap keluarga besar Nando, ingin membatalkan pernikahan Nando dengan Rania. Saya tidak mungkin membiarkan masa depan Nando hancur dengan hidup bersama seorang wanita cacat macam Rania! Apalagi setelah kami tahu bahwa Rania kini hamil!" cecar wanita berambut pirang itu yang ternyata adalah Ibu Nando.
"Nando! Om tanya sekali lagi sama kamu, apa benar kamu tidak tahu menahu masalah kehamilan Rania? Apa benar bukan kamu yang sudah menghamili Rania?" cecar Bastian balik.
"Nando emang benar-benar nggak tahu apa-apa masalah itu, Om!"
"BOHOOONGGG... KAMU BOHOONGG NANDOOO..." suara teriakan Rania melengking dari dalam ruangan dibarengi dengan beberapa bantingan benda pecah belah di lantai. "LEPASIN RANIAAAA KAK ZIA! RANIA MAU NGOMONG SAMA NANDO... NANDOOOO... JANGAN TINGGALIN AKU... ANAK DI DALAM RAHIM AKU SEKARANG ANAK KAMU NANDOOO... ARRGGHHHH..."
"Nando, dengarkan Om, kamu bilang, kamu mencintai Raniakan? Oke, Om nggak akan memaksamu untuk mengakui hal itu, tapi Om mohon sama kamu, pertimbangkan lagi masalah ini, kita bisa membicarakan semua ini secara baik-baik," Bastian kembali menghiba. Berharap Nando berbelas kasihan kepada Rania.
"Bagaimana Nando? Apa keputusanmu sekarang?" tanya sang Ibu pada Nando.
Wajah Nando terus tertunduk. Hingga akhirnya lelaki itu pun menjawab dengan suara super pelan.
"Maafin Nando, Om-Tante, Nando nggak bisa melanjutkan pernikahan ini,
Tangis Rania di dalam ruangan itu terdengar pecah, membahana ke seluruh penjuru ruangan. Susah payah Zia, yang merupakan istri Devano, memegangi tubuh Rania yang terus mengamuk dan berusaha untuk mengejar Nando keluar akhirnya pun menyerah.
Pintu ruangan rawat itu berhasil di buka oleh Rania.
"NANDO... NANDO, KAMU DIMANA NANDO..." teriak Rania sambil meraba dinding. Sementara yang dipanggil saat itu bahkan bayangannya sudah menghilang entah kemana.
"Rania ayo masuk..." ajak Raline.
"Nandooooo... Nando mana Mah..." teriak Rania di tengah isakan tangisnya. Tubuh ringkih Rania di seret oleh Bastian agar kembali memasuki ruangan rawatnya.
Rakha masih di sana. Masih mengamati dengan hati yang ikut tersayat pedih. Rakha menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, betapa hancur keadaan Rania saat itu.
Dan semua hal itu, tak lepas dari kesalahannya.
Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?
Perasaan bersalah ini benar-benar menyiksa batin hamba Ya Allah...
Berikan petunjukmu ya Allah...
Doa Rakha dalam hati.
Tanpa terasa buliran air matanya menetes meski dengan cepat dia menyekanya. Tak sampai hati dia melihat penderitaan orang lain akibat kesalahannya. Sementara di sini dia bisa hidup layaknya manusia normal lain.
Hal ini tidak bisa dibiarkan.
Rakha harus melakukan sesuatu.
Setidaknya hal yang bisa meringankan beban hidup Rania.
Meski Rakha tak tahu, apa yang harus dia lakukan?
*****
Dua hari berlalu setelah kejadian naas malam itu di rumah sakit. Saat-saat dimana Rania kehilangan apa yang menjadi tumpuan hidupnya selama ini. Kehilangan harapan akan hidup bahagia bersama laki-laki yang dia cintai. Kehilangan seluruh impiannya.
Beberapa kali Rania mencoba untuk bunuh diri meski selalu berhasil digagalkan.
Dan hari ini, Rania sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit.
Lagi dan lagi, Rakha hanya bisa menatap kepergian Rania saat hendak meninggalkan rumah sakit dari kejauhan.
Wajah Rania tampak tirus dengan lingkaran hitam di sekitar bola matanya. Dia terduduk lesu di atas kursi roda yang di dorong oleh Raline sang Ibu.
Devano menjemput kepulangan Rania saat itu bahkan dirinya sempat bertemu dengan Rakha tadi. Devano baru tahu kalau ada keluarga Rakha yang juga di rawat di rumah sakit itu.
Dan sudah dua hari belakangan ini Rakha melaksanakan shalat istikharah.
Berharap Allah memberinya petunjuk lebih jauh akan keputusan yang hendak di putuskan oleh Rakha.
Sebuah keputusan besar yang bisa jadi merubah segala sendi kehidupannya.
Satu-satunya cara yang bisa Rakha lakukan demi menebus kesalahannya pada Rania.
*****
"Rakha ingin melamar seseorang Umi," ucap Rakha di telepon malam itu.
"Melamar? Tapi, kenapa mendadak sekali, Rakha?" sahut Umi di seberang. Dari jawabannya Rakha tahu Umi pasti terkejut mendengar hal itu.
"Iya Umi. Rakha tahu memang kesannya sangat buru-buru, tapi Rakha tidak memiliki waktu lagi Umi, Rakha berharap Umi bersedia menyiapkan segalanya di kampung, kalau bisa lusa nanti Umi dan Abi sudah di Jakarta untuk mengiringi lamaran Rakha,"
"Memangnya, siapa calonnya? Dan apa alasannya kamu ingin melamar dia dengan begitu tergesa seperti ini?"
Rakha terdiam sejenak. Dia menghembus napas pelan sebelum akhirnya dia menjelaskan semua kronologi yang sudah terjadi menimpa dirinya maupun Rania. Sebuah alasan besar mengapa Rakha berniat untuk melamar seorang Rania.
Yakni karena Rakha ingin bertanggung jawab atas kesalahannya. Rakha juga ingin menyelamatkan harga diri dan kehormatan Rania pun keluarganya supaya tidak mendapat malu.
"Tapi, nak, mereka itu orang kaya, apa mereka akan menerima lamaranmu nanti? Kalau seandainya mereka justru mengusir kita dan menolak mentah-mentah lamaranmu bagaimana? Bahkan diantara kamu dengan Rania belum saling mengenal satu sama lain," tutur Umi menyampaikan kekhawatirannya.
"Wallahu, Umi. Allah maha tahu siapa jodoh yang pantas untuk Rakha. Dan Rakha berharap Allah mendengar doa Rakha agar menjadikan Rania sebagai jodoh Rakha. Untuk yang pertama dan terakhir, Umi. Rakha ikhlas dunia-akhirat," ucap Rakha disertai satu titik air matanya yang terjatuh. Sungguh ini memang bukan keputusan yang mudah. Tapi Rakha harus melakukannya. Tak ada cara lain.
"Baiklah kalau begitu, Umi dan Abi di sini pasti selalu mendukung apapun niatan baik putranya. Umi akan bicarakan hal ini dengan Abi dan langsung bersiap menuju Jakarta untuk menghantar niatanmu melamar Rania, InsyaAllah lusa nanti Umi dan Abi sudah tiba di Jakarta,"
"Alhamdulillah, semoga Allah melancarkan niat baik kita ya, Umi..."
"InsyaAllah, aamiinn..."
Ini hari weekend.Seluruh perkantoran tutup termasuk perusahaan Dirgantara Grup.Rakha baru saja mengirim pesan singkat pada Devano bahwa dirinya hendak berkunjung ke kediaman utama keluarga Dirgantara, setelah Devano yang mengundangnya, sebab sejak satu minggu belakangan Rakha bekerja di perusahaan milik keluarga Dirgantara, hubungannya dengan Devano kian akrab satu sama lain.Devano kerap menyambangi Rakha ke kubikel kerjanya untuk mengajak makan siang lalu dia bertanya tentang bagaimana keadaan di Bantul saat ini. Dari apa yang telah dibicarakannya bersama Devano mengenai kampung halaman mereka, Rakha bisa menangkap adanya kerinduan akan suasana kampung halaman dari sisi lain dalam diri Devano. Bisa saja, lelaki itu merasa bosan dengan aktifitasnya di Jakarta yang monoton dan menginginkan suasana kehidupan baru atau sekedar
"Bagaimana Dev? Apa informasi yang kamu peroleh mengenai seluk beluk keluarga Rakha?" tanya Bastian setelah satu hari berlalu pasca kejadian di hari lamaran itu.Pihak keluarga memang merasa sangat tidak enak hati atas perlakuan Rania terhadap keluarga Rakha pun Rakha sendiri. Tapi, mereka juga tidak ingin terburu-buru menyimpulkan keputusan tentang sosok Rakha. Mereka perlu bukti lebih lanjut yang bisa membuat mereka benar-benar percaya bahwa Rakha memang berasal dari keluarga baik-baik.Dan fakta menbuktikan semua kebenaran itu setelah Devano mengirim orang kepercayaannya untuk menggali informasi lebih lanjut mengenai asal usul keluarga Rakha pun Rakha sendiri."Ternyata ayah Rakha itu adalah seorang Ustadz yang cukup terpandang di daerah Bantul, Pah- Mah. Mereka memiliki sebuah panti asuhan kecil di kampung. Sejauh ini dari
Sudah satu minggu berlalu sejak Rania menolak lamaran Rakha secara mentah-mentah. Meski sejak hari itu, Rakha tak patah semangat untuk terus mengetahui keadaan Rania, baik dari mulut Devano, maupun menyambanginya langsung ke kediaman utama keluarga Dirgantara.Kebetulan rumah mewah itu letaknya bersebelahan dengan sebuah lapangan sepak bola yang sangat luas.Dan letak kamar Rania berhadapan tepat dengan lapangan tersebut. Jadilah, lapangan itu salah satu tempat favorit Rakha untuk dia sambangi tiap kali ada kesempatan. Sebab hanya dari lapangan itu Rakha bisa melihat sesosok tubuh kurus seorang wanita yang kerap menghabiskan waktunya dengan duduk termangu di tepi jendela sambil terus menatap pada satu arah.Dialah Rania.Meski jarak mereka sangat jauh, setidaknya Rakha hanya ingin memastikan bahwa Rania dalam keadaan baik-baik saja. Sebab hal itu dirasanya sudah lebih dari cukup.Seperti b
Senja di Jakarta memang jauh berbeda dengan Senja di tepi pantai parang tritis.Apalagi suasana malamnya.Jakarta yang terkenal sebagai kota yang tak pernah tidur membuka peluang bagi banyak kalangan untuk mencari sepeser uang. Baik itu di waktu pagi, siang, sore, bahkan hingga malam kembali berganti menjadi pagi.Seolah tak mengenal lelah. Hiruk pikuknya terus bergulir penuh keambisian. Tak lekang oleh waktu.Malam ini, Rakha berencana untuk kembali menyambangi kediaman Dirgantara karena dirinya di undang makan malam bersama oleh calon Ibu dan Bapak mertuanya.Sayangnya, Rakha lupa bahwa kini dirinya bukan lagi hidup di daerah pedesaan dimana jalanannya lengang tanpa polusi dan kemacetan. Kini dirinya berada di Jakarta. Kota dengan tingkat kemacetan tertinggi seantero Indonesia.Untungnya kali ini Rakha memilih untuk naik Ojol ketimbang harus nai
Akhirnya, hari pernikahan pun tiba.Kumandang akad yang baru saja diteriakkan Rakha di dalam kantor KUA Jakarta, disambut antusias dan tangis haru oleh seluruh keluarga yang hadir, baik itu dari pihak keluarga pengantin perempuan maupun pihak keluarga pengantin laki-laki.Kalimat kabul itu berhasil dilafalkan dalam satu kali tarikan napas yang diikuti oleh kata 'Sah' dari para saksi.Hari ini, Rakha telah membuat keputusan besar dalam hidupnya. Bukan hanya dihadapan makhluk, melainkan dihadapan Allah SWT.Sebuah ikrar janji suci yang akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Semoga saja ini bukan keputusan yang salah. Rakha berharap ridha Allah senantiasa mengiringi setiap langkah dan usahanya dalam menata biduk rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warrahmah, bersama Rania.Wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya.
Bisik-bisik tetangga terus saja terdengar di sepanjang Rakha berjalan menuju ruangan kerjanya, yaitu bagian Divisi Perencanaan.Semua pasang mata melirik dengan lirikan aneh yang sama sekali tidak Rakha mengerti. Bukan hanya dari kaum hawa, namun mereka para lelaki pun menatap dengan tatapan yang sama ke arah Rakha. Yakni, tatapan mencemooh dan menyelidik. Seolah Rakha adalah seorang tersangka atas kasus berat yang hendak dihakimi.Di pintu masuk menuju ruang kerjanya, Rakha berpapasan dengan Pak Rizwan, manager utama di kantor ini.Dan menjadi sebuah hal yang wajar jika Rakha menyapanya dengan sopan di sertai senyuman super ramah, meski apa yang dia dapat setelahnya justru berbanding terbalik dengan apa yang dia berikan.Dengan tatapan nyalang, Pak Rizwan membalas senyuman Rakha. Bahk
Hari ini Rakha pulang telat ke kediaman Dirgantara. Sore tadi sepulang dari kantor, Rakha di telepon oleh Wisnu yang memberitahunya bahwa keadaan Siti tiba-tiba kritis. Jadilah, Rakha langsung beranjak ke rumah sakit detik itu juga. Kondisi sang Kakak sama sekali tak menunjukkan kemajuan melainkan justru semakin memprihatinkan. Di sepanjang perjalanan menuju kediaman Dirgantara, Rakha terus menangis di metromini dengan tasbih yang tergenggam di tangannya. Lelehan air matanya seolah tak mau berhenti. Tangisan Runi di rumah sakit membuat batin Rakha ingin berteriak sekencang mungkin. Meneriakkan bahwa dirinya tak sanggup melihat sang keponakan menjadi seorang piatu jika sampai sesuatu hal buruk terjadi menimpa Siti. Takdir Allah memang sudah digariskan tak ada yang bisa
"Kamu sudah shalat isya, Rania?" tanya Rakha ketika Rania sudah selesai dengan acara kumpul-kumpul bersama kawan-kawan satu kampusnya. Baru juga gue masuk kamar, udah ditanyain begituan! Keluh Rania dalam hati. "Nggak usah mulai deh!" ucap Rania acuh. Dia masih berjalan dengan tongkatnya mencari keberadaan ranjang tempat tidurnya. "Ini udah hampir jam sebelas malam! Kamu darimana aja tadi? Kenapa nggak ijin dulu sama saya kalau kamu mau keluar sama temen-temen kamu? Kamu pikir saya ini apa? Patung?" ucap Rakha. Suaranya terdengar tegas. "Gue udah bilang Mamah kok tadi, ribet lo! Lagian juga gue cuma nongkrong di kafe doang sama mereka, nggak jauh-jauh juga," jawab Rania yang mulai kesal. Dia melepas sepatu ketsnya, lalu kaus kakinya dan hendak merebahkan diri