Part 3
Melihat keadaan Adrina yang sepertinya syok setelah mendapat panggilan dari entah siapa. Dathan menyuruh asisten pribadinya untuk menunggu di luar saja, biar ia yang bicara dengan gadis itu.
“Mau kemana kamu? saya belum ngomong apa-apa, jangan main kabur.” Dathan menahan pintu yang hendak dibuka oleh Adrina, pasalnya wanita itu terlihat hampir membuntuti Cakra keluar dari ruangan.
“Apa Bapak nggak bisa biarin saya tenang sebentar? Saya perlu waktu sendiri.”
“Apa kamu sekarang di posisi berhak ngomong begitu Adrina? Kepada atasanmu sendiri? Apa kamu nggak sadar kita lagi ada di mana?” balas Dathan tidak kalah datar dari suara Adrina.
Adrina hanya terdiam, awalnya matanya menatap tajam dan dingin ke arah atasannya, namun beberapa detik kemudian ia menghirup nafas dalam-dalam dan menunduk. Ia tahu, sikapnya memang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang karyawan biasa kepada seorang CEO, yang merupakan atasannya sendiri. Status karyawan dan tidaknya ia ditentukan oleh pria itu.
“Ada apa? kamu menerima telepon dari siapa? Apa itu lebih penting dari urusan perusahaan?” Dathan bertanya. Ia kini berbalik badan dan mendudukkan dirinya di kursi besar dengan name tag dirinya.
“Duduklah dulu, kamu kayak patung kalau berdiri terus di deket pintu,” titah Dathan.
“Saya tahu ceritanya dari Cakra, yang buat kamu jadi begini, Paman kamu ‘kan?” tebak Dathan, karena Adrina tidak kunjung membuka suara malah diam dan terus menunduk.
“Saya tahu dan sadar, kalau masa percobaan ini adalah penentu. Tapi, bisakah Bapak sedikit--“
“Saya nggak lagi bahas tentang masa percobaan Adrina, yang saya bahas itu kamu dan Pamanmu itu. Walau itu urusan pribadi, tapi saya mewakili perusahaan yang peduli dengan karyawannya, berhak tahu kalau menghambat kinerja seorang karyawan. Sehingga, kami tidak mempekerjakan karyawan dengan segudang problematik dan tidak bisa profesional dalam pekerjaan, kamu ngerti maksud saya?”
“Saya minta maaf, saya—“
“Bukan maaf yang saya perlukan, tapi komitmen kamu. Perusahaan nggak bisa berdiri kokoh dari kata maaf para karyawan yang mementingkan urusan pribadi. Mereka nggak akan bisa memaklumi, mereka hanya bisa sedikit memberi solusi. Apa sebenarnya masalah kamu dengan Pamanmu?”
“Itu… Paman saya berhutang atas nama saya sendiri Pak. Tadi pagi, saat mau berangkat kerja, dia tiba-tiba datang dan meminta uang, serta ngasih tahu saya tentang hutang itu.”
“Terus?”
“Hanya itu Pak.”
“Kamu diam aja dan nggak ngelawan?”
Pertanyaan dari Dathan memancing amarah Adrina kembali meletup, ia mengepalkan tangannya. Mengingat masa-masa yang lalu dan yang membuatnya harus seperti ini adalah pria bernama Tigor itu. Ia dan Neneknya bahkan entah sudah berapa puluh kali pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain demi menghindari lintah darat itu. Dulu, saat ia bersekolah juga sering tidak masuk, gara-gara pria itu memintanya untuk bekerja lebih keras dan membayar semua hutang-hutang karena judi dan alkohol.
Tigor juga tidak ragu untuk memukul Nenek, sebagai Ibunya sendiri kalau tidak dituruti keinginannya. Hal itu membuat Adrina semakin hari semakin membenci Pamannya itu. Jika terus begini, apakah hidup Adrina akan semakin membaik atau justru semakin berantakan? Setidaknya, ia harus bisa melawan. Pertanyaan dari Dathan baru terpikirkan olehnya, kenapa ia tidak melawan? Bukan dengan fisik dan adu jotos, ia harus bisa melawan dengan cara lain dan menjatuhkan pamannya, sehingga pria itu tidak akan lagi datang ke dalam hidupnya. Tapi, dengan cara apa?
“Saya mempekerjakan kamu bukan karena koneksi Adrina, ini murni saya ingin tahu kemampuan kamu sampai mana. Apa kamu punya kualifikasi untuk menjadi sekretaris? Ya saya ingin kamu mencobanya. Apalagi, saat saya baca portofolio kamu. Hampir semua jenis pekerjaan kamu geluti. Jadi kasir, pramusaji, pegawai toko, bartender, OB, penjual street food, daycare, asisten rumah tangga, jadi badut, apalagi yang kamu belum lakukan? Saya rasa hampir semua pekerjaan kamu lakukan, itulah yang membuat saya berani dan percaya, kalau saya nggak salah milih orang.”
Adrina hanya diam menyimak semua perkataan CEO yang memang banyak benarnya. Ia sangat keterlaluan menduga bahwa ada udang dibalik batu ketika secara terus menerus dan kebetulan Dathan selalu menolongnya di saat-saat genting. Bahkan, pria itu memberinya pekerjaan dengan mudah dan diposisi yang tidak semua orang diberi kesempatan.
“Apa kamu pikir, saya merekrut karyawan karena perasaan pribadi semata? Rasa kasihan dan iba misalnya? Kamu tentu sangat tahu bagaimana pola pikir seorang pengusaha Adrina, kamu lulusan bisnis dan pasti sangat tau. Kenapa, kamu bisa berfikir saya merekrut kamu karena saya ada maunya secara pribadi? Nggak, untuk apa? kalau saya nyari wanita, tentu saya banyak kenalan wanita yang lebih dari kamu. Kalau saya nyari kesempatan dan ingin memperalat kamu, saya bisa cari yang lebih licik dan mahir mengelabui orang. Terus, kenapa saya pilih kamu? karena kamu adalah orang yang bisa saya percaya, saya yakin kamu bisa menjaga rahasia.”
Tidak ada satu kata bantahan yang bisa keluar dari mulut Adrina. Semuanya ia telan meski pahit. Selama ini, ia memang sangat menjaga harga dirinya, sehingga saat ditawari untuk menjadi kekasih palsu seorang CEO dan tentunya menipu banyak orang, seketika ia menganggap bahwa Dathan telah merendahkannya. Pria itu hanya mencuri kesempatan untuk nanti menidurinya suka-suka.
Melihat Adrina yang diam saja dengan wajah lebam dan kepala menunduk, membuat Dathan tidak bisa lagi berkata-kata panjang lebar yang penting intinya sudah tersampaikan. Ini merupakan pelajaran paling dasar agar membuat sekretarisnya paham akan arti komitmen. Tentu saja demi kebaikan karyawan itu sendiri, menaikkan integritas dan tentu akan berakibat baik pada perusahaan.
“Kamu boleh pergi dan … ini.” Dathan merogoh sesuatu dari laci mejanya, sebuah perban dan ada betadine di dalamnya.
“Ambil dan obati wajah kamu, tutupi lebamnya. Tempat ini bukan ajang pamer penderitaan hidup. Kamu harus terlihat baik-baik aja, meski sulit.”
Adrina menerima uluran obat dan kain kasa itu walau hatinya merasa sedikit kesal dengan kalimat terakhir CEO-nya. Kemudian, ia menatap Dathan membuat pria itu terlihat mengernyitkan alis walau sedikit salah tingkah, karena tatapan yang entah artinya apa.
“Saya tau, saya mirip artis Korea. Kamu udah jadi sekretaris saya sebulan, harusnya kamu udah biasa dan jangan norak begitu Adrina.”
Helaan nafas Adrina keluarkan, bisa-bisanya Dathan begitu percaya diri memiripkan wajahnya seperti oppa-oppa. Saat ini, bukan wajah pria itu yang menjadi pusat perhatian Adrina, tapi tawaran tentang menjadi kekasih palsu dan berikut tawarannya.
“Kalau saya terima tawaran Bapak kemarin, apa Bapak mau mengabulkan permintaan saya?” tanya Adrina setelah lama terdiam menimbang-nimbang. Mendengarnya, tentu saja membuat Dathan tercengang, apa yang membuat wanita itu berubah pikiran dalam sehari semalam? Tidak ingin membuang kesempatan, Dathan langsung to the point.
“Apapun, kecuali memiliki saya.”
Seketika mata Adrina memicing, apa Dathan merasa bahwa dirinya sangat ingin memiliki lelaki itu. Meski wajah itu semulus marmer dari pualam, terasa bak pie ketika dicubit pipinya dan aroma tubuhnya yang khas yang soft, segar dan manis. Seperti aroma pohon pinus, tidak menusuk dihidung tapi terasa menghangatkan.
“Ya iyalah, karena saya hanya miliki Tuhan, Adrina astaga. Kamu serius, mau terima tawaran saya? Ini saya nggak maksa, itu berarti suka sama suka dan atas kesepakatan.” Dathan bermaskud bercanda, tapi sepertinya Adrina sangat menganggap serius kata-katanya.
Adrina mengangguk sebagai jawaban, kini ia memiliki cara untuk membuat Pamannya enyah dari kehidupan dirinya dan sang Nenek. Ia tidak ingin hidup sama seperti di masa lalu. Harus membuat perubahan dalam hidup menuju ke arah yang lebih baik. Barangkali, jalan menuju ke sana sudah di depan matanya, ia hanya perlu menerima tawaran itu dan menyingkirkan Pamannya sesuai rencana.
“Saya nggak perlu rumah atau apapun. Saya cuma mau Bapak bikin paman saya masuk bui.”
Part 4Dathan terkekeh pelan, permintaan yang amat sederhana. Tapi, itu akan jadi masalah besar jika ternyata Adrina belum siap kehilangan Pamannya untuk waktu yang lama. Bukan hal yang sulit bagi Dathan untuk memasukkan pria bernama Tigor ke dalam bui, apalagi dengan mengetahui treck record pria itu sejak dulu hingga saat ini yang akan ia kulik sampai yang paling dasar sekali pun.“… dan saya minjam uang sebanyak 100 juta dengan tambahan 20 % bunganya, itu jumlah utang yang dilakukan Paman saya atas nama saya, nanti untuk pelunasannya, biarkan gaji saya yang di potong.” Adrina melanjutkan.Ia sudah bisa memperkirakan jika hanya bermodal gaji, maka ia hampir tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup dalam sebulan, karena angsuran yang akan ia berikan kepada pegadaian di Thailand lebih dari sepuluh juta, sementara tenggat waktu tinggal enam bulan, bagaimana bisa ia melunasi secepat itu? ia harus menombok dalam jumlah banyak
Part 5Usai sekretarisnya keluar ruangan, Dathan menghela nafas lega. “Gimana bisa Cakra nyuruh aku buat latihan kayak gitu, aish.”Ternyata tidak semudah yang dibayangkan, ia yang juga minim pengalaman tentu juga sangat terkejut dengan aksinya barusan, merasa malu sendiri. Walau ia seorang pengusaha muda yang hampir mutlak menduduki posisi CEO perusahaan, tapi waktu mudanya ia habiskan untuk sekolah, menambah skill dan bekerja. Tidak ada waktu baginya untuk bermain dengan banyak wanita, berpacaran atau bergaul layaknya muda mudi kebanyakan, bahkan teman-temannya pun kebanyakan pria yang juga sama-sama satu passion dengannya, yaitu seorang pengusaha.Ponsel dari brand milik Stave Job keluaran terbaru milik Dathan berbunyi. Pria itu menghela nafas, panggilan siapa lagi yang membuatnya malas mengangkat selain dari Ibu tirinya.“Iya Ma.”“Luangkan waktumu buat makan malam nanti. Brenda s
Part 6“Apa kamu lupa perjanjian yang dibuat Kakekmu Dathan? Kakekmu pasti marah kalau cucunya mau membatalkan tunangan ini.” Nyonya Jesika terlihat murka, wajahnya memerah karena amarah yang meluap. Pasalnya, sesampainya mereka ke kediaman keluarga besar Dathan, putranya itu malah ingin membatalkan pernikahan dengan Brenda.“Kenapa? Kamu mau nasibku sama seperti Kakakku?”“Apa kamu bilang? Kakakmu beda Dathan, kamu laki-laki dan kamu yang bakal mimpin perusahaan ini. Kalau ternyata Pamanmu yang resmi di pilih oleh Kakek, kamu punya pilihan lain yaitu meneruskan perusahaan Winner Grup, punya Ayah Brenda.”“Kenapa aku mesti mengikuti semua perintahmu Nyonya Jesika? Sejak kamu menjadi istri dari Ayahku, aku selalu harus menuruti perintahmu bahkan kini Kakakku harus menanggung akibatnya karena dia sangat patuh padamu. Lantas, aku juga harus mengalami hal yang sama?”PLAKSeketika
Setelah kepergian pengacara itu, Adrina dan Cakra menghela nafas lega sekali. Namun, Adrina tentu saja penasaran berapa tarif pengacara sekelas Pak Jhon itu. Sekelas Hotman Paris, ia bisa memperkirakan tembus miliaran, tapi kalau untuk Pak Jhon ia tidak bisa menebak-nebak.“Oke finish, mari kembali ke kantor Mbak Adrina,” ajak Cakra saat ia sudah mentransfer sejumlah uang dari rekening pribadinya karena Dathan yang menyuruh.“Mas Cakra, harusnya ada notanya ‘kan untuk pembayaran pengacara? Maksudnya bukti transfer gitu?” tanya Adrina. Cakra menatap sekretaris Dathan itu dengan senyuman.“Tentu, harus. Aku bakal menagihnya pada CEO kita.”“Berapa tarifnya?” Adrina bertanya.“Kira-kira bisa beli perumahan di Graha Karya.” Cakra menjawab santai dan berjalan pelan mendahului Adrina. Graha Karya merupakan perumahan yang kisaran harganya per satu unit mencapat 400 juta jika cash, kalau mem
Adrina yang mendengar teriakan tidak biasa itu pun ikut terkejut. Pasalnya ia baru melihat CEO itu berteriak keras memanggil asisten pribadinya, memangnya apa yang membuat Dathan begitu? Apakah pakaian yang dipilihikan Cakra memang kemahalan? Untuk model kekurangan kain dan amat tipis ini.Tepat saat Cakra mengetok pintu dan membukanya setelah diberi izin, pria itu datang dengan senyuman dan wajah tanpa dosanya. “Apa yang kamu lakukan sama bajunya Cakra?”“Emang ada yang salah? Itu baju dari desainer terkenal, bajunya pernah di pakai di acara konferensi di Korea loh. Dipake sama Yoona SNSD.”“Kamu pikir Adrina sama seleranya dengan kamu hah? sini kamu.” Dathan membisiki telinga asistennya, agar Adrina yang berdiri heran tidak jauh darinya itu tidak mendengar pecakapannya. “Kamu mau bikin belahan dadanya terekspos dan diliat banyak orang? Aish. Aku paling ga suka pakaian kayak gini, ini bener-bener pelecehan.”
Setelah mendarat di Bandara Ngurah Rai Bali, tepat pukul tiga sore. Mereka langsung pergi ke sebuah hotel dimana Dathan akan melakukan pertemuan dengan partner kerjanya. Namun, ia tanpa sengaja berpapasan dengan Pamannya yang bernama Andre, pria yang juga menjadi kandidat CEO perusahaan untuk semua cabang. Kini pria itu sibuk dengan proyek pembangunan Mall cabang terbaru di daerah Bogor.“Suatu kebetulan atau kamu emang mau ketemu aku Dathan, apa kabar?” Andre menyapa dan menjabat tangan keponakannya.“Sangat buruk, setelah aku bertemu sama kamu Paman.”Mendengar perkataan yang tidak mengenakan dari Dathan, seketika Adrina mengernyit heran. Entah siapa pria dihadapannya dengan perawakan besar dan jambang yang lebat diwajahnya itu.“Haha, gimana kerja sama dengan Golden Grup, lancar?”“Pasti, kamu tau aku bagaimana,” balas Dathan bukan menyombongkan diri, tapi dihadapan Andre ia tidak boleh terlihat le
“Bagaimana Pak? kalau mereka yang memang suka konsep kesederhanaan, pasti akan sangat suka.”“Gimana menurut kamu Adrina?” Dathan meminta saran dari sekretarisnya.“Walau saya nggak terlalu ngerti mode dan juga bagaimana bagusnya sebuah pakaian adat, tapi saya rasa cocok sekali kalau teman Bapak memang sederhana. Tapi, seperti yang dijelaskan oleh Mbaknya ini, konsep pakaian yang ini, lebih cocok digunakan untuk kegiatan di masyarakat, seperti pesta panen atau acara silaturrahmi.”“Bisa lihat yang lain, kalau gitu Mbak?” tanya Dathan.Setelah mencoba dua pakaian yang lain, pilihan Dathan jatuh pada Payas Agung yang memiliki tampilan yang cukup mewah dan terlihat elegan untuk kalangan atas. Meski temannya dengan marga menengah, namun karena kesuksesannya dalam berbisnis pria itu seperti tidak lagi terikat pada kasta. Tapi pada apa yang kini diraih dan dipunya.“Orang bisa berubah, bukan begitu Adrina?” tanya Dathan, begitu sekretarisnya bertanya mengapa Dathan memilih Payas Agung.“Bis
Adrina menyerahkan draft miliknya yang sudah selesai ia susun. Ia masih terus terngiang perkataan dari wanita yang mengaku tunangan Dathan. Jika pria itu sudah memiliki wanita yang akan resmi diikat, lalu mengapa malah menjadikan dirinya kekasih palsu?“Pak Dathan, ini mungkin kesannya mencampuri urusan pribadi, tapi bolehkah saya bertanya?” Adrina mengatakan itu dengan perasaan waspada, khawatir Dathan tidak suka jika ia bertanya-tanya lebih hingga ke urusan pribadi.“Karena kamu sekarang udah sepakat jadi kekasih palsu saya, silakan tanya urusan pribadi.”“Cewek yang ketemu di basement kemarin, bukannya itu tunangan Bapak, kenapa Bapak malah jadiin saya kekasih palsu? Gimana respon dia nantinya? Apa Bapak nggak kasian, bukankah kalian saling mencintai? Apa kalian berniat saling menyakiti?”Mendengar kalimat demi kalimat dari sekretaris dan sekaligus kekasih palsuanya itu Dathan menghela nafas. Ia menaruh